It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
###
=Vicky POV=
Mata gue perlahan terbuka. Pandangan gue menyapu seisi ruangan ini. Temaram, dari jendela gue bisa lihat langit di luar yang udah bersemu gelap. Gerimis tipi masih sayup terdengar di sana. Cepat-cepat gue tengok arloji gue, jam udah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. God ! gue ketiduran selama itu ? >.< setelah beberapa menit terjaga gue baru sadar kalau ada yang janggal sama gue. Setahu gue tadi gue cuman bersandar sebentar di tepi kasur. Kok sekarang gue jadi tiduran tepat di atas ranjang, tadi kan yang di sini martin. Entah di mana martin sekarang.
“HWAAA!!!” gue terlonjak kaget melihat tubuh gue.
Kemeja osis dan celana abu-abu yang gue kenakan tadi kini udah berganti menjadi sebuah sweater lengan panjang warna hijau dan celana tigaperempat ! OMG ! martin yang ganti ini semua ? jadi tadi dia buka baju gue, buka celana gue terus gantiin dengan semua ini ??? arrgghhh... gue jambak-jambak rambut sendiri karena bergidik membayangin dia melakukan itu. apa gue di apa-apain lagi sama dia. Apa jangan-jangan.....
SRRTTHH..., gue ngintip sesuatu di balik celana ini. Fiuhhh... ternyata masih yang tadi, masih lengkap, masih utuh ! duh.. kok gue mikirnya sampe ke situ sih ?
“gue nggak ganti yang itu kali..” gue tersentak kaget mendengar suara martin di samping gue. Entah sejak kapan dia di sana.
“lu... jadi emang elu yang...” desis gue tertahan.
“emang lu lihat orang lain apa di sini ?” sahutnya santai.
“...” nggak ada kata2, gue sendiri bingung mau ngomong apa.
“tadi kemeja lu basah karena keringat dingin, gue sampe panik tadi, makanya gue ganti... celana lu juga”
“...” sekali lagi gue cuman bisa terdiam mencerna perkataannya tadi. ‘panik’ ? dia panik sama gue ? argh... tapi cepat2 gue tepis pikiran itu. nggak lah ! gue pasti salah ! huh dasar ge-er.
Kembali hening, gue masih sibuk berkutat dengan pikiran yang masih nggak tenang sementara martin sepertinya makin asyik aja dengan komputernya. Gue iseng melirik ke ponselnya yang tergeletak tak berdaya di tepi ranjang(?). Tangan nakal gue mengambilnya perlahan. Beberapa menit mengutak-atik benda itu perhatian gue tertuju pada satu folder berjudul ‘serenade from my heart’, ‘haha unyu banget judulnya’ gumam gue dalam hati. Begitu di buka ternyata folder tersebut berisi sejumlah rekaman berformat wav. Gue coba putar satu.
Terdengar bunyi petikan gitar akustik yang begitu merdu....
‘karamnya cinta ini tenggelamkanku di duka yang terdalam’
‘hampa hati terasa’
‘kau tinggalkanku meski ku tak rela’
‘salahkah diriku hingga saat ini’
‘ku masih mengharapkan kau untuk kembali’
‘mungkin suatu saat nanti’
‘kau temukan bahagia meski tak bersamaku’
‘bila nanti kau tak kembali’
‘kenanglah aku sepanjang hidupku’
...
“siniin !!!” tiba-tiba martin merampas ponselnya dari tangan gue, mematikan rekaman itu lalu kembali menghadap meja belajarnya.
“maaf...”
“...” nggak ada jawaban, kayaknya dia beneran marah deh.
“maaf deh gue lancang, tapi suara lu bagus banget !” ujar gue melas.
“...” masih nggak ada jawaban, akhirnya gue putuskan mendekat ke dia.
“sorry deh tin ! masa gitu aja lu marah sih..... tin?.....HAHAHAHA!!!” sesaat kemudian tawa gue pecah melihat wajahnya.sekujur muka si jutek memerah kayak kepiting rebus. Ooo... dia malu toh rupanya. Hahaha...
“apa lu liat-liat !” sahutnya kalut tanpa bisa menutupi ‘kemaluan’ nya.
“hahaha, sorry-sorry deh.. tapi serius kok suara lu bagus banget ! harus di salurin tuh bakat, sayang kalo enggak.”
“nggak minat !” sergahnya ketus, haha, kena kamu jutek.
“yahh itu terserah lu sih, hehe tapi kok muka lu merah banget sih tin ? telinga lu juga... lu demam yah ? hahaha” gue semakin nggak bisa mengontrol ketawa melihat ekspresi wajahnya yang semakin nggak karuan. Wajah dan telinganya memerah seketika. Gue letakin punggung tangan gue menyentuh dahinya, tapi tak sampai empat detik udah di tepis. Makin merah aja wajahnya, senengnya bisa ngerjain dia.
“apaan sih pegang-pegang!”
“hehe, iya iyaaa...”
“ah udah ah gue antar lu pulang sekarang!” tanpa menunggu jawaban gue dia beranjak keluar dari kamar.
“ayo buruan keluar !” umpatnya kesal.
“iya iyaaa... hahaha...”
+++
“pegangan yang kuat ! gue mau ngebut nih, mau hujan !”
“iya iyaaa.. Waaaaa!!!” tiba-tiba dia menginjak gas membuat gue refleks mengeratkan pelukan keperutnya. Motornya melaju cepat sekali melawan angin. Bingung juga kenapa dia milih antar gue pake motor kalau tau sebentar lagi mau hujan. Do you all thinking what i’m thinking about ? hahaha jangan ge-er deh vicky ! kebiasaan banget sih.
“duh pelan-pelan aja kenapa sih tin ! lagian masih sempat kok kayaknya sebelum huj... HAAAA!!!” mendengar ocehan gue bukannya melambatkan motor si jutek malah mempercepar laju motor sialan ini. -,-“ memaksa gue semakin erat lagi mendekapnya. gue memejamkan mata dan membenamkan wajah gue di punggungnya. Gue paling nggak suka kebut-kebutan kayak gini.
Jantung gue tiba-tiba berdegup lebih kencang begitu merasakan genggaman tangan yang hangat di tangan gue. Gue cuman bisa diam mematung saat martin meggenggam tangan gue. Rasa ini, rasa yang hampir mirip dengan yang gue rasakan saat bersama kak rama. Hangat dan nyaman. Si jutek betul2 membuat gue merasakan semua itu. >.< dari spion gue bisa ilhat dia tersenyum lebar sekarang. Huh.. pasti gantian gue deh yang mukanya merah kayak kepiting rebus Y.Y
###
==Martin POV ==
Jam sudah menunjukan pukul dua siang, setengah jam yang lalu kegiatan belakar mengajar di sekolah telah selesai. Dengan seringai senyum lebar di wajahku aku melangkah pasti menuju tempat perpustakaan. Vicky sudah menunggu di sana. Aku berencana mengajaknya main ke pantai sore ini. Hmm, sepertinya spekulasi yang ku ambil saat di lab seni waktu itu betul-betul berbuah manis untukku. Vicky Budiman William, anak itu betul-betul sudah mencuri hatiku. Ah, tapi kembali lagi. Selalu saja saat aku di perhadapkan dengan situasi seperti ini, ego dan tabiat kembali menguasaiku. Rasa takut bercampur ragu mengobrak-abrik batinku. Ingin rasanya aku memeluk tubuh vicky lalu dengan lembut berbisik di telinganya kalau aku mencintainya. Tapi takut. Selalu saja, rasa takut itu menguasaiku sebelum sempat melakukan apapun.
“coba soal yang ini...” langkahku terhenti melihat sedang apa dan dengan siapa vicky.
“hmm, oke..........” lama mereka berdua terdiam.
“kok diem ?” tanya rama.
“ngeblank lagi kak, hehe”
“ah dasar kamu nih, huhhh, ngegemesin !” rama yang gemas mencubit pipi vicky.
“aw..aw..aw.. sakit kakak, kasar banget sih...” vicky terlihat tertunduk sembari meringis kesakitan. Sontak rama berubah panik.
“ss..sakit ya, aduh.. vick, maaf.. kakak nggak..” tiba-tiba vicky mendongak sembari tersenyum aneh ke arahnya.
“kena ! hahahaha...” pecah sudah tawa vicky mengerjai rama.
“oh jadi ngerjain nih ceritanya”
“hahaha, wek !” vicky menjulurkan lidah lalu dengan sigap berlari menjauh dari rama.
“awas kamu yaa !!!” rama pun dengan sigap mengejarnya. Aku semakin jengah dengan tingkah mereka ini. Menyebalkan !
“hwaaaa!!! Hehehe kejar kalo bisa, hahaha”
“awas kamu ya !”
Segera aku melangkah cepat menuju vicky.
“hwaa, aww, eh elu tin...” ujarnya saat hampir saja menabrakku, rama berhenti di belakangnya.
“ikut gua sekarang !” tanpa menungggu jawabannya ku seret dia meninggalkan perpustakaan.
“aw.aw.aw iya iya, nggak usah tarik-tarik kenapa ! sakit tau...”
“lama !” semakin kupercepat langkahku.
“iya iya bawel ! kak rama , vicky duluan yahh...” sekesal aku diapun mengikutiku.
+++
Kulajukan motorku dengan kecepatan sedang menyusuri jalan raya yang lengang. Dari tadi tak ada kata-kata keluar dari mulutku, juga vicky. Kami berdua sibuk dengan benak masing-masing. Vicky memelukku erat sekali, kepalanya ia benamkan di punggungku. Jantung ini berdetak sangat cepat setiap ia melakukan itu. atau lebih tepatnya setiap aku memboncengnya naik motor.
“hey ! betah sekali lu meluk gue..” sindirku.
“pelanin nggak motor lu, dasar setres !” sergahnya dengan tetap menunduk.
“ini udah pelan kok, noh liat speedo-nya, 70 kurang juga haha”
“tetep aja cepat ! pelanin nggak !”
“iya-iyaaa...”
BRUUUUMMM !
“aaaaaaaaaaa!!!!!”
“hahahaha” aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya berteriak ketakutan saat bukan ku perlambat laju motor malah kuinjak gas hingga kecepatan diatas 80.
Aku terus tertawa sembari melajukan motor ini dengan kecepatan yang tak kuturunkan. Vicky semakin erat memelukku. Tangannya melingkar mantap di pinggangku. Perlahan teriakannya mereda. Ia diam. Aku terus memacu motor ini. Sekedar ingin menikmati momen ini lebih lama lagi.
Limabelas menit perjalanan tibalah kami di rumahku. Motor sudah berhenti tapi vicky masih saja tak bergerak, posisinya tetap sama memelukku erat dengan kepala yang masih terbenam di punggungku.
“hey ! betah banget lu, udah nyampe nih...”
“.....” tak ada suara, ia bahkan tak mau bergerak.
Perlahan ku lepas rengkuhannya setelah menstandar motorku. Firasatku tak baik. Aku berbalik, menopang tubuhnya dengan kedua tanganku. Astaga ! ia tertunduk, tubuhnya gemetaran, ia menangis.
“vv..vick ? lu nggak apa-apa ?” sontak akupun panik. Wajahnya pucat dengan keringat dingin membanjirinya.
“....” tak ada kata-kata, tangisnya makin sesengukan.
“ya tuhan, vicky maaf, mm..maafin aku” aku kalut, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“.....” ia masih menangis untuk beberapa saat hingga tiba-tiba tubuhnya melemas, jatuh ke pelukanku, dia pingsan.
“vicky !? ya tuhan, sadar vick, maaf, maafin aku vick..!”
Dengan sigap ku gendong tubuhnya dari motor. Tubuh mungilnya terasa begitu ringan di rengkuhanku. Badannya dingin. Aku semakin panik saja. Pikiranku kalut, aku melangkah menuju kamarku, membaringkannya di ranjangku. Wajahnya pucat bermandikan keringat dingin.
“bibi !!!!!!!” teriakku memanggi bik asih pembantu kami.
“iya den ada apa !!??” dengan terpogoh-pogoh ia mendatangi kamarku.
“tolongin aku bik, temanku pingsan aku bingung” entah kenapa aku tak bisa berpikir lebih lagi saat itu, bahkan untuk menangani vicky. Yang ada di benakku hanyalah kepanikan dan ketakutan. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
“memang dia kenapa tadi den ?” tanya bik asih sambil memeriksa keadaan vicky.
“dd..dia.. martin.. martin bawa motor ngebut tadi bik, sampai dia berteriak-teriak ketakutan, martin cuman ingin bercanda bik, martin nggak nyangka dia bakal seperti ini” ujarku apa adanya.
Bik asih hanya mendengus jengah padaku. Ia kembali menangani vicky dengan tenangnya. Ia keluar sebentar lalu masuk lagi ke kamar mengambil seloyang air dan kain bersih, sepertinya untuk mengompres.
“tolong ambilin kaos sama celana aden yah, seragamnya basah sama keringat” ujar bik asih dengan tenang, tak sedikit pun kepanikan tergurat di wajahnya, mungkin karena pengalamannya menjadi bidan selama bertahun-tahun ia tak lagi kaget dan kalut menangani vicky.
Tanpa suara aku menuruti perkataan bik asih, ku ambil sebuah kaos dan celana training punyaku di lemari, segera ku sodorkan pada bik asih.
“aden ini ada-ada aja sih... dia pasti shock gara-gara aden bawa ngebut seperti ini” ujar bik asih tanpa menatapku sambil membuka satu persatu kancing kemeja putih vicky.
“i..iya bik maaf, martin khilaf, martin emang bodoh bik...” desisku menyesal.
“aden memang tidak tahu dia punya asma ?”
“asma bik ?!...” aku terdiam sejenak, mengingat-ingat lagi semua yang ku tahu tentang vicky. Ah, bodohnya aku, ia memang punya penyakit itu. Aku ingat kejadian di mos minggu yang lalu. Bodohnya aku mengulanginya saat ini.
“biarpun bibik bukan dokter bibik bisa lihat temanmu ini punya asma, kamu harus lebih hatihati berteman sama dia, anak ini cukup rapuh, ukur-ukurlah aden kalau bercanda atau bermain dengannya.” Ujar bik asih sembari melepas perlahan kaos dalam yang dikenakan vicky.
Kembali aku menyaksikan lekuk tubuh polosnya itu. Bik asih membasuh tubuh vicky dengan air hangat yang ia siapkan tadi, mengeringkannya kemudian menggosokan minyak angin ke dada, perut dan punggungnya. Memijatnya sebentar lalu memakaikan kaos yang kuberikan tadi. Terlihat vicky menggeliat kecil dibawah kesadarannya. Bik asih kemudian berdiri sembari menenteng loyan berisi air bekas membasuh tubuh vicky tadi.
“sekarang aden gantiin celananya, bibik mau buang ini dulu sekalian masak bubur dan minuman obat buat teman aden ini.” Ujarnya membuatku membelalak.
“hah ! celana ? aku bik ?”
“iyalah ? memangnya kenapa den ? masak bibik yang gantiin celananya ?” tanya bik asih dengan wajah bingung.
“ah.. ee.. iya bik, yaudah..” jawabku sekenanya.
“yasudah bibik kebelakang dulu, cepetan kamu gantiinnya, jangan sampai dia masuk angin” ujar bik asih seraya berlalu dari kamarku.
Hening. Sejenak kamarku kembali hening, sekarang sudah menjelang senja. Diluar langit mendung, rintik hujan perlahan mulai terdengar. Perlahan aku mendekati tubuhnya. Vicky masih begitu tenang terlelap dalam tidurnya. Ini kedua kalinya aku melakukan ini padanya, mengganti pakaiannya. Rasanya tetap saja sama, jantungku serasa ingin meledak saja.
Dengan dada bergemuruh aku melepas kait ikat pinggang vicky. Hal yang seharusnya mudah karena ku lakukan di sela-sela kegugupanku berubah menjadi begitu sulit. Cukup memakan waktu untukku melepas kaitan itu. step one done, sekarang perlahan ku buka kait celananya, sejurus kemudian tanganku dengan hati-hati menurunkan retsleting celananya. Ah ! tanganku sepertinya menyentuh tempat yang salah. Ku percepat laju tanganku menurunkan celananya hingga memakaikan celana training itu padanya. Semua ku lakukan sebisa mungkin tanpa memandanginya. Hampir setengah jam, semuanya selesai, langkah terakhir yang kulakukan adalah menyelimuti tubuhnya yang masih terlelap dengan selimut. Aku duduk tepat di tepi ranjang. Ku pandangi tubuh rentahnya yang terbaring tak berdaya di sampingku.
Lama aku memandangi wajah indahnya yang terlelap begitu tenang. Aku duduk bersandar pada tumpukan bantal di ranjangku, di samping vicky. Tanganku perlahan mengusap lembut pipinya, menyingkap sedikit keatas rambut yang menutupi dahinya. Dari jarak sedekat ini dapat kulihat jelas lekuk wajahnya. Indah. Ia tiba-tiba bergerak menyamping, kepalanya tepat mendarat di pahaku. Ia terlelap dengan nyaman di sana. Deru jantung yang semakin menggila mengiringi gerak tanganku yang perlahan membelai rambutnya. Ah, benarkah aku jatuh cinta padanya ? Entahlah...
Rintik hujan di luar semakin membesar, makin lama makin kuat saja. Aku masih dalam posisi yang tak kunjung berubah, duduk sambil membelai rambut vicky. Tak pernah aku merasa sedekat ini dengannya. Ah.. lama-lama capek juga dalam posisi ini. Perlahan ku sandarkan kepalaku ke dinding, ku coba memejamkan mata. Berhasil. Kantuk perlahan mulai menyerangku. Masih dapat ku rasakan dekapan tangan vicky ke tanganku, hingga aku pun terlelap.
---Another Cast---
#####
=Rama POV=
“menangis lagi nak ?” suara lembut itu mengagetkanku. Tangan halusnya membelai rambutku penuh kasih sayang. Ibuku.
“eng,,, enggak kok bu, dirga nggak nangis... “ kilahku sambil dengan cepat , menyeka sisa airmata yang masih menggenang di mataku. Sekali lagi menatap mama namun dengan senyuman yang susah payah kupaksakan. “hehe, nggak kok ma,,, dirga kelilipan mah,,, mata dirga perih...” ujarku senetral mungkin. Tapi tetap saja, terdengar lirih dan berbalut isakan. Aku tak kuat menahannya.
“benar itu nak ? hmm... itu foto siapa ? ” naluri mama memang tak terbantahkan. Satu terkaan saja dia langsung tau titik lemahku.
“i... ini... ini... ” tak sempat satu kalimat pun terangkai dari mulutku, dengan lembut mama sudah menggenggam selembar foto yang sejak tadi ku genggam.
“dirga kangen sama adek yah ?” ucap mama lirih, kulihat ia pun ikut terenyuh menyaksikan potret anak keduanya itu. aku tak menjawab, kepalaku tertunduk. Berusaha sekuat tenaga menahan butir-butir airmata yang sudah mendesak begitu kuat sejak tadi. “ibu juga kangen sama adekmu itu dir, nggak terasa udah 2 tahun ia pergi”. Aku tak kuat lagi, perlahan namun pasti isakan mulai terdengar dari mulutku. Semakin kuat dan semakin kuat. Aku menangis dalam belaian mama, dalam dekapannya. “sabar nak, ikhlaskan dia, walau perlahan kita harus benar-benar merelakan dia agar ia tenang di sana. “ iya mah” jawabku sesengukan .
“yaudah, udahan ah nangisnya... adik kamu itu pasti sudah tenang di alam sana sekarang, kita harus berusaha ikhlasin dia nak, yah ?” ujar ibunya mantap. Betul-betul sosok ibu yang tegar. “iya ma...” ku torehkan sedikit senyum simpul dari wajahku. “mama ke belakang ya nak, banyak pesanan yang harus di selesaikan...” , ”Dirga bantu ma...” aku beranjak dari meja belajarku. Mama menahan pundakku, “nggak usah dulu lah nak, kamu lanjut saja dulu belajarnya, sekarang udah kelas tiga, ujian semakin dekat nak, nggak apa-apa kok, masih bisa mama dan papa handle semuanya...” mama tersenyum sembari mengusap pelan rambutku. Ia kemudian keluar dari kamarku dan mengunci pintunya. Aku kembali menoleh ke meja. Rasanya sudah terlalu jenuh untukku melanjutkan belajar sore ini.
Ku pegang lagi selembar foto yang sedari tadi menjadi bahan tangisanku. ‘kakak kangen kamu dek..’ bisikku dalam hati. Aku tak tau jelas kapan aku terlelap.
Jam setengah sembilan malam aku terbangun. Wah.. lama betul tidurku, letih di tubuhku setelah beraktifitas seharian lumayan berkurang setelah bangun. Segera aku beranjak dari ranjangku, melepas seragam, kaos dan celana abu-abu yang sedari tadi melekat di tubuhku, berbalutkan selembar boxer aku melangkah ke kamar mandi. Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan keadaan tubuh yang luar biasa segarnya. Perutku terus berdentum sepanjang aku berpakaian, karenanya tak sampai sepuluh menit aku selesai berpakaian. Aku langsung menuju ke lantai bawah, bau harum masakan ibu langsung menelusup ke syaraf-syaraf penciumanku. Genderang perang di perutku kembali berdengung.
“dirga, udah bangun nak ? yaudah cuci tangan sana, kita makan sekarang...” seperti ibu selalu bisa membaca pikiranku. Dengan semangat aku menuju keran air di tempat cuci piring, ku cuci tanganku sampaai bersih lalu mengelapnya. Setelahnya dengan segera aku melangkah menuju meja makan, di saja sudah tersaji beberapa masakan, ikan, daging, sayur, walau tak mewah tapi cukup lengkap dan bernutrisi lah, ada yang tak boleh tak ada di meja makan saat aku makan, tahu dan tempe, aku paling tak bisa makan tanpa dua penganan itu, entah kenapa.
Mama terlihat masih mempersiapkan masakan di dapur, aku masih menunggu. Tak lama kemudian papa pulang kerja, hampir berbarengan dengan mama yang meletakan masakan terakhir ke atas meja. Aku tertegun memandangi masakan itu, kangkung tumis ebi, makanan kesukaan Septian adikku.
“kenapa nak ?... udahlah, sekarang kita makan yah, jangan pikirkan hal lain dulu, perut kamu sudah kosong sejak siang tadi...” peringat ibu halus. Papa hanya menepuk pelan pundakku, kami sama-sama tau apa yang menjadi kegundahanku. Dalam keheningan kami menyantap hidangan masakan mama malam ini. Aku jadi teringat memori saat-saat masih bersama adikku itu.
---Septian Ady Prasetya – Kisah Masa Lalu---
“sejak kapan kamu merokok hah !” bentakku geram, dengan kasar ku rebut sebatang rokok yang sedari tadi di hisapnya. Ku hujamkan ke tanah lalu ku injak-injak hingga hancur.
Anak itu hanya menatapku datar, tanpa suara ia kemudian memalingkan wajahnya dari hadapanku, menatap lurus pada hamparan laut luas di hadapannya. Aku hanya bisa mendengus kesal melihatnya. Septian, adik kecilku. Entah oleh apa ia berubah seolah menjadi monster saat ini, satu tahun sudah mampu mengubah si kutu buku anak kesayangan mama dan papa ini menjadi tak ubahnya maniak yang di kejar-kejar polisi. Tiap minggu kami akan mendapat surat teguran dari kepala sekolah atas ulah Tian membuat kekacauan, ia sekarang kelas tiga smp, bisa-bisa ijazah kelulusan akan gagal di genggamnya jika sikapnya terus seperti ini.
“peduli apa kamu !” sahutnya pelan, mataku membelalak mendengar ia mengatakan itu. Kalimat pertama yang ia ucapkan untukku setelah lebih sebulan ia mendiamkanku itu sontak menyulut amarahku.
Geram aku mendekat padanya yang tengah duduk di atas pasir pantai lalu menghujam wajahnya sekali dengan satu bogem mentahku, ia terjerembab. Aku sendiri, entah kenapa tiba-tiba mematung setelah melakukan hal itu. Ini kali pertama aku mengasarinya, kulihat ia bangkit perlahan sembari meringis pelan menahan sakit di wajah sebelah kirinya, darah mengalir perlahan dari sudut bibirnya. Seketika itu juga aku menyesal melakukan itu, segera aku mendekatinya.
“dek.. mm..maafin kakak dek, kakak nggak bermaksud..”
“lu bukan kakak gua !” aku tersentak mendengar bentakannya.
Suasana tiba-tiba hening, Tian menatap datar ke arah laut, dengan raut kebencian yang begitu mengakar, seolah lautlah yang bersalah atas semuanya. Hanya ada suara deru ombak yang mengisi keheningan sore itu. sesaat kemudian Tian meraih ranselnya dari pasir lalu memakainya. Tanpa menoleh padaku sedikitpun anak itu melengos begitu saja dari hadapanku. Sedang aku, masih mematung tanpa suara menyesali hal bodoh yang barusan aku lakukan. Aku memukulnya, sesuatu yang bahkan tak pernah sekalipun terlintas di benakku sebelumnya.
***
Kami sedang di meja makan, menikmati makan dalam keheningan. Septian yang baru sampai di rumah tadinya berniat langsung ke kamarnya, namun di tahan ayah. Dengan raut terpaksa ia bergabung dengan kami di meja makan.
“nasinya nak ?” mama menyendoki nasi ke piring Tian.
“nggak usah, aku bisa sendiri!” di tepisnya tangan mama. Sontak aku geram melihatnya, namun ayah menahanku. Aku yang sempat ingin bangkit mendekatinya pun mengurungkan niatku.
“Tian, kok gitu sama mama?” tanya papa selembut mungkin, padahal aku tahu ia tak kalah geramnya denganku melihat caranya memperlakukan mama.
PRANG ! bunyi sendok dan garpunya di hentakkan ke piring kacanya.
“dia bukan ibuku!” ucapnya datar, seketika itu juga bangkit beranjak meninggalkan kami.
Yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaanku. Papa yang sudah tak mampu menahan emosinya serta-merta bangkit lalu melayangkan satu tamparan keras ke wajah Tian, anak itu terjerembab hingga kepalanya membentur sisi kursi kayu yang tepat berada di hadapannya. Terlihat kepalanya lecet dan berdarah. Sontak mama panik melihatnya.
“papa ! Apa-apaan sih ! sudah gila papa hah!” tiba-tiba mama yang geram melihat perlakuan papa, Tian masih tertunduk sambil menahan sakit di kepalanya, mama terlihat gelagapan menuju dapur mengambil kotak p3k.
“nak, sini mama obatin lukanya yah...” dengan lembut mama coba membujuk Tian, anak itu masih saja bergeming.
“nggak usah, nggak perlu!” ia masih dengan ego-nya, bangkit sempoyongan dan melangkah meninggalkan kami. ia masuk ke kamarnya.
Mama berusaha menahannya namun lagi-lagi hanya sebuah tepisan kasar yang ia dapatkan. “biar saja ma! Anak itu takkan mati hanya karena lecet kecil di kepalanya itu! ia betul-betul sudah kelewatan” sergah papa geram. Mama malah menatap tajam papa tanpa suara, lalu melengos juga meninggalkan kami berdua. Aku pun bingung dengan situasi ini.
***
Jam demi jam berlalu, sudah pukul satu dinihari tapi aku masih juga tak bisa tidur. Pikiranku terus mengkhawatirkan Septian, ia pasti sangat terpukul menerima perlakuan papa tadi. Ia memang salah, tapi papa juga tak seharusnya mengasarinya sampai seperti itu. Anak itu sejak siang ku tahu belum makan, di tambah lukannya tadi juga belum di obati, semkin membuatku gundah saja. Gelisah sendiri, akhirnya kuputuskan menengok ke kamarnya.
Tiba di depan pintunya aku samar-samar mendengar suara isakan dari dalam, belum usai juga sepertinya tangisannya. Ku ketuk pelan pintunya.
“dek? Kakak tau kamu belum tidur, bukain pintunya dong...” ujarku sehalus mungkin. Tak ada sahutan.
Lebih setengah jam aku bertengger di depan pintu kamarnya,memohon-mohon agar ia membukakan pintu itu dan membiarkanku masuk. Aku betul-betul merasa bersalah padanya. Tetap saja tak ada jawaban. Ia pasti sangat membenciku.
“dek, kakak minta maaf dek, kakak udah kasar sama kamu tadi... kakak khilaf dek...” aku semakin gusar, tak tau lagi harus bagaimana.
Aku terduduk bersandar di daun pintu kamarnya, tanpa sadar airmata mengalir dari kedua sudut mataku. Sejak kecil aku mendambakan seorang adik, adik yang bisa ku ajak bermain, bercengkrama, ku jahili, juga kulindungi dengan kasih sayang seorang kakak. Aku selalu iri melihat teman-temanku bermain dengan lepasnya bersama adik-adik mereka. Namun harapan itu hanya jadi angan-angan belaka. Kata ibu, saat umurku 3 tahun rahim ibu harus di angkat karena mengalami keguguran.
Kehadiran Tian betul-betul sebuah anugerah bagiku. Mama menikah dengan papa empat tahun yang lalu, dua tahun setelah menginggalnya istri pertama papa, ibu Septian. Awalnya Tian tak menunjukkan penolakan berarti pada mama, namun seiring berjalannya waktu ia semakin memahami semuanya. Rasa bencinya itu mulai tumbuh dan kian hari kian besar saja. Aku yang sempat begitu akrab dengannya di tahun-tahun awal kebersamaan kami seperti kembali kehilangan dia, sosok adik yang begitu kusayangi.
***
Tiba-tiba aku teringat, mama selalu menyimpan kunci cadangan semua ruangan di rumah kami ini di laci bufet di ruang tengah. Dengan cepat aku mengambilnya, syukurlah benar disitu.
CKLEK...
Pintu kamarnya terbuka, perlahan aku memasuki kamar gelapnya itu. Lampu ia matikan. Ia terlihat meringkuk di atas ranjang dengan selimut menutup tubuhnya hingga ke leher, ia menggigil. Aku mendekatinya, mataku membelalak melihat wajahnya yang pucat pasi bercucur keringat. Tak dapat lagi ku bedakan mana keringat dan airmata yang membasahi wajahnya.
“dek ? kamu sakit dek ? kamu kenapa ?” aku bingung harus berbuat apa.
Ia tak menjawab, tubuhnya gemetaran seolah kedinginan sedangkan ku raba suhu tubuhnya begitu panas. Dengan sigap aku menuju dapur mengabil sebaskom air hangat, dan handuk untuk menyeka tubuh Tian. Aku ingin membangunkan ibu tadinya, namun kuurungkan karena aku tahu ibu pasti begitu capek seharian bekerja. Walhasil aku harus menangani Tian dengan keahlian minimku.
***
Ku sibak selimut yang menutupi tubuhnya, terlihat kaos dan celana yang ia gunakan sejak tadi sore sudah basah kuyup dengan keringat, ku buka perlahan kaosnya. Aku keringkan keringat-keringat itu dari tubuhnya, begitu pun celananya ku buka untuk mengeringkan keringat yang terus saja membanjir di tubuhnya. Setelahnya aku seka seluruh tubuhnya dengan air hangat, kemudian ku keringkan lalu ku pakaikan lagi kaos dan celana bersih ke tubuhnya. Tubuhnya masih saja gemetar, aku putuskan mengompresnya.
Semalaman aku tak bisa tidur, terus memonitor keadaan Tian di kamarnya. Ini kali ke lima aku mengganti kaosnya yang terus menerus di banjiri keringat, kompresan di kepalanya pun tak ku hentikan. Sekarang pukul setengah tiga pagi, dan syukurlah suhu tubuhnya sudah tak se panas tadi. Walau masih terasa hangat.
Aku baru selesai memakaikannya kaos kering yang baru ketika ku lihat ia terjaga, matanya terbuka perlahan, terasa begitu berat. Tatapannya lirih, masih saja meringis menahan sakit di kepalanya.
“haus...” ujarnya singkat.
“adek haus ? yaudah sebentar yah...” sedikit serampangan aku berlari menuju dapur, ku ambil segelas besar air putih untuk Tian.
“nih, di minum dulu...” ku lihat tangannya gemetaran menggapai gelas di tanganku, ku putuskan mengangkat tengguknya.
Aku bergerak hingga ke puncak ranjangnya, duduk di samping kepalanya. Perlahan ku angkat tengguknya hingga sejajar dadaku, lalu dengan hati-hati ku minumkan air itu ke mulutnya. Beberapa teguk saja lalu ia berhenti, kembali ku baringkan tubuh letihnya itu ke atas ranjang. Ku letakan sisa air dalam gelas tersebut ke meja.
Sesaat kemudian keadaan kamar hening, ku tatap Tian yang masih terjaga, menatap ke sisi lain, tak mau menatapku. Hampir setengah jam kami dalam posisi ini.
“adek lapar ?... kakak tau kamu pasti lapar, sejak siang kemarin kamu belum makan kan ?...” aku pun membuka pembicaraan.
“.....” tak ada suara, ia masih tak mau menatapku. Ku sentuhkan punggung tangan kananku ke dahinya, panasnya benar-benar sudah turun kali ini, syukurlah. Ia tak bergeming saat aku melakukannya masih dalam posisinya menatap jendela di sampingnya. Langit pagi mulai bersemu merah, pertanda fajar sebentar lagi menyingsing.
“kakak buatin bubur yah ?... walau sedikit adek harus makan, jangan sampai kamu sakit lagi...” ia masih saja diam, tak ada mengiyakan atau menolak tawaranku.
Ku putuskan langsung saja membuatkan bubur untuknya.
Ia masih tak menatapku saat aku beranjak meninggalkan kamar ini. Aku menuju dapur, kulihat jam sudah menunjukkan pukul lima pagi saat aku mulai memasak. Tak butuh waktu lama untukku menyelesaikan seporsi bubur ayam spesial untuk adikku septian, bik asih tadi melarangku, ia menyuruhku istirahat saja biar ia yang membuat buburnya namun ku tolak, aku ingin membuat ini sebagai permintaan maafku pada Tian.
Aku masuk ke kamar Tian menenteng baki berisi semangkuk bubur ayam dan segelas susu coklat hangat untuk Tian. Anak itu masih terbaring lemah di ranjangnya berbalut selimut, melihatku masuk pandangannya menoleh lagi, tak mau menatapku.
“dek makan yah? Sini kakak tegakin badannya...” ia terlihat risih namun sepertinya masih terlalu lemas untuk mengelak saat aku merengkuh punggungnya berusaha menegakkan tubuhnya.
Ku sodorkan sesendok bubur ke hadapannya, “ayo dek buka mulutnya dong...” ujarku selembut mungkin, Tian masih tak bergeming.
“dek... ayo dong... beberapa sendok aja, mau yah...” aku memelas, anak itu masih tak mau menatapku, sendok yang ku dekatkan ke wajahnya pun tak di indahkannya.
Mmhh...
Lama-lama kesabaranku habis juga kalau begini.
“ehem-ehem, perhatian, pesawat jurusan mulut bandel septian adi prasetya sebentar lagi sampai, harap di persiapkan landasan, oke.. kereta dataaaang, aaaaaa...” ku liak-liukkan sendok berisi bubur ayam di depan wajahnya layaknya pesawat terbang.
Kali ini ada kemajuan. Ku lihat ujung-ujung bibirnya tertarik membentuk senyum kecil, walau tiap ku tatapi senyum itu langsung hilang. Aku tak akan menyerah, sedikit lagi pasti berhasil.
“ayoo... pesawat dataaaaang, aaaaa?” aku menyodorkan sendok itu ke mulutnya.
Anak itu sepertinya menyerah, ia membuka mulutnya. Sedikit lagi makanan itu masuk ke mulutnya dan...
“amm... kakak juga laper tau, lama sih” tian ternganga, bubur itu malah sukses masuk ke mulutku, sedikit kejahilan sepertinya ku butuhkan saat ini.
“aaahh..” tian mendesis sebal, aku terpingkal melihatnya.
“hehehe, jangan ngambek dong, nih lagi deh...” ku sodorkan sesendok lagi, tian kembali tak mau menatapku.
“...” ia masih tak bergeming.
“ayo dong dek, cobain dulu, aaaaa...” ku dekatkan sendok itu ke mulutnya, cukup lama akhirnya bubur itu terbuka juga. Ia makan perlahan. Aku tersenyum.
Satu sendok, dua sendok, tiga sendok... hingga tak terasa satu mangkuk penuh di habiskan olehnya.
“masih mau dek? Kakak ambilin lagi...” ujarku setelah selesai memberinya minum.
Tian menggeleng, ia sudah cukup kenyang rupanya. Aku tersenyum, perlahan ku usap kepala anak ini. Panasnya sudah turun. Tiba-tiba ia tertunduk, perlahan ku lihat ia terisak.
“dek..? kok nangis? Adek nggak apa-apa kan?” sergahku panik.
Tak ada jawaban, tangisnya malah kian keras saja. Refleks aku mendekatinya, kulingkarkan kedua lenganku ke tubuhnya, ku peluk ia begitu erat. Berharap sedikit bisa menenangkan hatinya.
“dek? Kenapa nangis? A..apa kakak buat salah sama kamu? Kakak minta maaf dek? Jangan nangis lagi..” ku belai pelan kepala anak itu.
Ia adik tiriku, tak setetespun punya hubungan darah denganku. Tapi aku menyayanginya, sangat. Bahkan lebih dari diriku, adik yang sejak dulu ku dambakan. Hidupku terasa lebih berwarna semenjak kehadirannya. Dan di sinilah ia sekarang, di dalam hangat pelukanku. Ini kali pertama aku memeluknya sejak bertahun-tahun kebersamaan kami. damai terasa di sini, dalam lubuk hati ini. Entah ia juga merasakannya atau tidak.
Ke lepas perlahan pelukanku, jemariku perlahan mengusap airmatanya. Tatapannya lirih
“udah nggak usah nangis lagi...” ku coba terus tersenyum di hadapannya.
“kenapa?... kenapa kamu baik banget sama aku?” ia tiba-tiba berucap. Aku terdiam.
“kenapa kamu baik banget sama aku, aku selalu kasar sama kamu, aku nggak pernah nerima kamu, kenapa kamu terus-terusan baik sama aku” ujarnya bertubi-tubi. Butir bening itu kembali menganak lagi.
“semuanya karena kakak sayang sama kamu, kakak selalu mendambakan kehadiran seorang adik sejak dulu, namun semuanya pupus semenjak rahim mama di angkat, sampai adek datang, bahagia kakak nggak terlukiskan, seperti mimpi aja kakak punya seorang adik sekarang” sahutku pelan, mataku pun basah juga.
“...” tak ada sahutan lagi. Isakannya memelan. Kembali aku memeluknya, kepalanya ku sandarkan kebahuku, punggungnya ku usap pelan.
Keadaan hening sejenak. Ia masih dalam pelukanku, isakannya tak lagi terdengar. Perlahan ku lepas pelukanku. Ku baringkan hati-hati tubuhnya ke atas ranjang, matanya masih sembab, menatapku datar.
“kakak ke dapur sebentar yah, balikin ini” ku usap pelan rambutnya lalu perlahan beranjak dari atas ranjang.
“kak...” tangannya tiba-tiba menggenggam lenganku.
Aku terdiam, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Tian memanggilku kakak, ini pertama kali setelah bertahun-tahun. Niatku beranjak dari sini pun urung juga, aku beringsut sesegera mungkin kembali memeluk tubuhnya. Aku yakin saat ini mataku pun basah.
“maafin tian kak, maafin sikap tian selama ini, tian udah jahat banget sama kakak...”
“nggak ada yang perlu di maafin dek, lupain aja semuanya, kakak bahagia sekarang, kamu udah bisa terima kakak sekarang, rasanya hari kakak nggak pernah se bahagia ini, makasih dek”
Serta-merta aku mengecup kening tian saking bahagianya. Terlihat wajahnya merona dengan apa yang barusan. Ia kembali memelukku erat, membenamkan wajahnya di dadaku. Bahagiaku tak terlukiskan saat itu. seorang adik, aku benar-benar memilikinya saat ini.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
see you next part^^
smoga masih sudi membaca ceritaku ^^
@adam08 @adinu @angelofgay @just_pj @zea.mays @yanuarwicaksono @darkrealm @yoedi16 @tonymonster @nur_hadinata @iamyogi96 @dollysipelly @firmanE @the_jack19 @rama84_ @zulkorich @aldo_graci0 @4ndh0 @moccachino @putra_belitung @adacerita @angga_chandrawinata @red_hard [-O<
@adacerita sipsip... mhon masukannya yah ^^
Cerita kamu bagus, lanjutkan ya, tetap semangat
Cerita kamu bagus, lanjutkan ya, tetap semangat
:x