BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Gay attribute 3

edited December 2011 in BoyzStories
Aku adalah aku bukan orang lain
(Proses pengungkapan diri menuju penghargaan diri)
By Ardika Hadinata
Siapa aku? Aku adalah aku, bukan orang lain. Aku tidak bisa menjadi orang lain, dan orang lain tidak bisa menjadi aku. Karena aku adalah aku. untuk itu cukuplah bagi “aku” untuk bisa bertingkah laku sesuai “aku” bukan orang lain.

Secara umum, manusia memiliki orientasi seksual pada lawan jenis (laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya). Hal ini disebut heteroseksual. Namun ada kondisi dimana sebagian orang tertarik terhadap sesama jenis, laki-laki tertarik pada laki-laki yang kemudian disebut sebagai gay, atau perempuan tertarik kepada perempuan yang selanjutnya di sebut lesbian. Gay dan lesbian untuk selanjutnya di sebut homoseksual.
Berbicara mengenai orientasi seksual tentu saja kita tidak bisa lepas dari istilah gender, seks dan seksualitas. Lantas, apakah pengertian dari kesemuanya itu?

Seks
Mengacu pada jenis kelamin yang telah melekat secara biologis semenjak kita lahir. Para ahli membagi seks ke dalam 2 jenis, jantan dan betina. Seseorang dikatakan jantan bila ia memiliki jakun, kandung kemih, penis, sperma dll sedangkan seseorang disebut sebagai wanita jika dia memiliki vagina, ovum, buah dada dll. Perbedaan antara jantan dan betina didasarkan pada organ genital yang terbentuk sejak mereka dalam kandungan. Oleh sebab itu, Seks merupakan sesuatu yang pasti dan tidak bisa berubah secara otomatis seiring berjalannya waktu.

Gender
Gender mengacu pada sosial konstruksi yang terjadi di masyarakat. Umumnya, masyarakat membagi gender di dasarkan pada jenis kelaminnya. Seorang jantan harus lah bertingkah laku seperti laki-laki seperti tidak boleh menangis, tidak boleh lemah, berani, dan rasional. Sedangkan seorang betina juga haruslah bertingkah laku selayaknya wanita dimana dia penurut, tunduk pada laki-laki,emosional dsb. Konstruksi ini telah mengakar dan menjadi stereotype bagi masyarakat untuk melabeli yang mereka percaya atas “laki-laki” dan “perempuan”. Karena gender adalah suatu konstruksi sehingga gender bersifat fluid, dimana hal itu bisa berubah seiring berjalanya waktu. Seorang yang terlahir jantan bisa tumbuh menjadi lebih emosional dari pada seorang betina.

Seksualitas
Ini mengacu pada orientasi seksual yang dimiliki oleh pria dan wanita. Pada umumnya, terdapat dua jenis orientasi seksual. Heteroseksual, kondisi dimana seseorang tertarik pada lawan jenisnya dan homoseksual, kondisi dimana seseorang tertarik pada sesama jenis. Meskipun masyarakat telah mengetahui keberadaan dari kaum homoseksual, namun homoseksual masih dianggap kaum yang termarginalisasi. Selain itu keberadaanya yang inferior menjadikan homoseksual rentan untuk mendapat intimidasi serta diskriminasi (Boellstorff, 2005)

Secara umum, homoseksual bisa di bagi dalam dua tipe, homoseksual ego distonik dan ego sintonik (Maxwen, 1986 dalam Wibowo, 1998). Disebut ego distonik berarti homoseksual ini merasa terganggu dengan sifat homoseksualnya dan mencoba mengubahnya ke arah heteroseksual. Orang dengan golongan ini biasanya akan mengalami gelisah, malu, depresi terhadap sifat homoseksualitasnya. Sedangkan yang ke dua adalah ego sintonik, keadaan dimana orang tersebut bisa menerima sifat homoseksualnya. Homoseksual dengan jenis ini mengaku lebih transparan dan bisa bergaul dengan orang lain karena telah menerima sifat homoseksualnya sebagai bagian dari kepribadianya. (Maxwen, 1986 dalam Wibowo, 1998).

Mengacu mengenai penyebab homoseksualitas, dr. Wimpie mengemukakan terdapat 4 faktor yang menyebabkan orang menjadi homoseksual, diantaranya: Faktor biologis (adanya kelainan di otak atau genetik), faktor psikodinamik (adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak2), faktor sosiokultural (adat istiadat yang memberlakukan hubungan homosek), Faktor lingkungan (keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat)
Pada umumnya, masyarakat percaya bahwa orientasi seksual yang benar menurut mereka dimana masing2 pihak tertarik terhadap lawan jenis. (pria dengan wanita atau sebaliknya) atau disebut heterosekual. Hal ini di dasari pada konsep heteronormativity yang membuat masyarakat yang mengatur tentang “good and bad”, “normal and abnormal” and “is allowed and is not allowed”. Heteronormativity beranggapan bahwa heteroseksual merupakan the “good, normal and is not allowed”. Sehingga segala macam aktivitas seksual di luar itu (homoseksualitas) di cap sebagai “bad, abnormal and is not allowed”.

Konstruksi heteronormativity telah membuat stigma yang buruk pada kaum homoseksual untuk mereka bisa melakukan aktivitas sosial. Ditambah lagi American Psychology Association yang sempat memasukkan “homoseksualitas” sebagai suatu penyakit ‘socially mental illness” membuat masyarakat semakin takut untuk mendekati kaum homoseksual karena issues penyakit ini menular. Walaupun, homoseksualitas telah dikeluarkan dari daftar penyakit, namun masyarakat telah lama terkonstruksi mengenai keberadaan homoseksual yang dianggap penyakit dan bersifat menular. Lebih parahnya, tidak adanya tempat bagi kaum homoseksual untuk diterima di tempat ibadah yang merupakan hak tiap orang untuk datang kepada Tuhan karena homoseksual dianggap sebagai orang yang berdosa dan terlaknat menjadikan kaum ini semakin termargenalisasi (Boellstorff, 2005).

Studi kasus di Amerika tahun 2008 terhadap 548 homoseksual mengindikasikan telah terjadi 54% kasus diskriminasi, 68% mengalami pelecehan, dan 24% mengalami serangan fisik dari masyarakat. Hal ini menjadi bukti bagaimana masyarakat tidak bisa menerima kaum homoseksual.

Adanya diskriminasi dari masyarakat membuat kaum homosexual merasa sulit untuk mengungkapkan jati dirinya. Faktor tersebut yang menjadi penghambat bagi kaum homoseksual untuk terbuka dengan orang lain. Proses membuka diri ini disebut “coming out”, suatu proses bagi kaum homoseksual untuk mengakui bahwa dirinya adalah seorang homoseksual baik kepada dirinya sendiri atau orang lain. Menurut Suara Srikandi (2003), membuka diri memiliki peranan yang penting bagi kesehatan jiwa dan berhubungan dengan psikologis. Semakin positif seorang homoseksual, semakin baik kesehatan jiwa mereka dan semakin tinggi penghargaan diri mereka.

Proses pengungkapan diri ini disebut Self disclosure yang mengacu pada proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan membagi perasaan dan informasi dengan orang lain (Wrightsman, 1987). Informasi ini dapat bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif berarti individu menjabarkan berbagai fakta tentang dirinya yang belum diketahui pendengar, sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya. Melalui self disclosure seorang homosexual diharapkan akan mengungkapkan tentang jati dirinya kepada orang yang dia percaya. Dengan begitu seorang homoseksual mampu untuk lebih menghargai dirinya sendiri serta ke-homoseksual-annya.

Ada beberapa tingkatan yang bisa dilakukan oleh seorang homoseksual dalam melakukan Self disclosure menurut Powell, (1) Basa-basi- sebelum melakukan pembicaraan lebih mendalam, seorang individu akan melakukan basa basi dalam percakapan, dalam hal ini masih tercipta self disclosure yang dangkal. Seorang homoseksual dapat melakukan basa-basi dahulu dengan berbicara mengenai topik-topik yang “dangkal” hanya untuk memulai suatu pembicaraan yang serius kepada orang lain. (2). Membicarakan orang lain. Dalam hal ini seorang homoseksual dapat mengangkat topik mengenai figur-figur seorang homoseksual yang sukses agar bisa menjadi pemicu bagi kaum heteroseksual bahwa menjadi homoseksual juga bisa sukses seperti kaum heteroseksual. Dalam fase ini masih belum terciptanya proses self discloser yang dalam karena seseorang tidak membagikan informasi mengenai dirinya sendiri melainkan orang lain.(3) Menyatakan pendapat, dalam hal ini sudah terjadi pembicaraan yang lebih mendalam. Seorang homoseksual bisa menyampaikan pendapatnya mengenai masalah ke-homoseksualitas-an terhadap orang lain dengan tujuan sebagai awal menuju pembicaraan yang lebih dalam serta untuk memberi tahu si-penerima pesan mengenai konsepsi kita tentang homoseksual (4) Hubungan puncak, pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati berdasar pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak. Dalam hal ini, seorang homoseksual telah mengungkapkan jati dirinya (coming out) terhadap sahabat atau orang yang dia percayai.

Ada beberapa fungsi dengan kita melakukan self disclosure (Gerlega & Grzelak dalam Taylor, 2000), diantara nya (1) Ekspresi (expression). Melalui pengungkapan diri seorang homoseksual dapat mengungkapkan perasaanya terhadap lawan bicara, entah perasaan kecewa, sedih, marah, atau bahkan takut dengan kondisi nya sebagai homoseksual. (2) b. Penjernihan diri (self-clarification). Melalui sharing terhadap permasalahan yang dihadapi, kita berharap memperoleh penjelasan dan pemahaman tentang masalah atau keberatan hati kita. Sebagai seorang homosekual, penting untuk mengetahui penjelasan dan pemahaman orang lain mengenai konsep homoseksual sehingga akan tercipta pikiran yang jernih terhadap konsep homoseksual karena masing-masing telah menyatukan pendapat. (3). Perkembangan hubungan. Dengan sikap saling berbagi rasa dan informasi diri kita ke orang lain serta saling mempercayai merupakan hal yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan yang lebih akrab. Dengan menceritakan identitas seorang homoseksual, artinya kita memberi kepercayaan terhadap orang tersebut mengenai pribadi kita. Sehingga akan terjalin rasa persahabatan yang lebih erat berbasis kepercayaan.

Proses coming out tentu saja tidak mudah bagi kaum homosexual karena stigma buruk yang telah diterima oleh kaum homoseksual di masyarakat. Namun, melalui metode pendekatan self disclosure penulis mencoba memberikan solusi terbaik bagi homoseksual untuk lebih terbuka sehingga ke depannya homoseksual mampu untuk menghargai dirinya sendiri. Melalui penghargaan terhadap dirinya sendiri seorang individu akan memperoleh sukses dalam menampilkan perilaku sosialnya, tampil dengan keyakinan (self-confidence) dan merasa memiliki nilai dalam lingkungan sosialnya (Jordan et. al. 1979)


“Sure, in a lot of ways, I am just like you. I wanna be happy, I want some security, a little extra money in my pocket, but in many ways, my life is nothing like yours. Why should it be? Do we all have to have the same lives to have the same rights? I thought that diversity was what this country was all about. In the gay community, we have drag queens, leather daddies, trannies, and couples with children - every color of the rainbow. My mother's standing way in the back with some friends. My friends. She once told me that people are like snowflakes; every one special and unique... and in the morning you have to shovel 'em off the driveway. But being different is what makes us all the same. It's what makes us family.” – Michael Novotsky, Queer as Folk, 2008


Sign In or Register to comment.