BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

SI COWOK HUJAN (PART 9, 16 DESEMBER 2011, Page 2)

edited December 2011 in BoyzStories
Maaf buat semuanya yang sudah menunggu kelanjutan ceritaku. kemarin sempat ada masalah dengan account gmail-ku dan gak bisa kebuka lagi jadi terpaksa harus membuat account gmail baru. untuk selanjutnya cerita SI COWOK HUJAN akan di update menggunakan account saia yang baru.
«1345

Comments

  • Si Cowok Hujan

    Hujan…

    Lagi-lagi hujan turun. Memang Kota Bogor merupakan kota dengan julukan Kota Hujan. Tapi hujan ini mungkin gara-gara aku, karena tadi cuaca Kota Bogor sangat cerah. Huff, selalu saja begini, tiba-tiba saja turun hujan, dalam setiap kejadian atau kesempatan yang penting pasti turun hujan. Nasibku sungguh sial. Aku sangat benci hujan. Padahal hari ini aku berencana akan mengukapkan perasaanku kepada ‘dia’. Sahabat baik aku dari 1 ½ tahun yang lalu. Aku hanya bisa menghela nafas. Dan hanya bisa manatapi hujan. Mungkin memang aku tak seharusnya mengatakan kepadanya. Aku teringat ketika pertama kali mengenalnya.

    *****

    Satu setengah tahun yang lalu.

    Aku tak percaya bahwa aku datang terlalu pagi di hari pertama aku masuk SMA. Masih ada sekitar 30 menit lagi sebelum pelajaran pertama dimulai. Sekolah juga belum terlalu ramai, aku melihat hanya beberapa murid yang sudah datang. Entah apa yang mereka lakukan sepagi ini di sekolah. Saat hari terakhir MOS kelas untuk murid-murid baru sudah dibagikan, aku di tempatkan di kelas X-3. Untungnya saat MOS, kakak-kakak kelas mengadakan tour mengelilingi sekolah jadi aku tak perlu repot mencari ruang kelasku. Ruang kelas 1 berada di bagian depan mengelilingi taman sekolah. Ternyata ada yang datang lebih pagi dariku, cewek berkacamata dan berambut panjang sebahu. Cewek itu duduk paling depan dekat meja guru. Dia sedang asik membaca buku pelajaran tapi akhirnya sadar dengan kehadiranku. Akhirnya aku mengetahui bahwa nama cewek itu ada Dhea.

    Menit-menit pun berlalu, kelas X-3 sudah mulai ramai dengan murid-murid yang berdatangan. Aku memilih bangku paling belakang karena menurutku cuma disitu tempat yang paling enak. Aku juga sudah berkenalan dengan teman-teman sekelasku.

    “Bangku yang ini kosong?” Tanya salah satu murid yang baru datang.

    Di depanku berdiri cowok cakep, aku sampai dibuat terbengong-bengong melihat cowok tersebut. Belum pernah aku melihat cowok secakep ini.

    “Halo?? Boleh gak aku duduk di sini?” Tanya cowok itu.

    Sadar bahwa cowok tersebut sedang berbicara denganku. “ Eh, kosong kok. Boleh boleh kalo kamu mau duduk sini.” jawabku.

    Nggak pernah terpikir olehku bahwa teman sebangku aku adalah cowok cakep. Wajahnya terlihat maskulin di usia yang begitu muda. Tinggi badanya hampir sama denganku sekitar 175-177 cm. Kulitnya kecoklatan tapi tidak terlihat dekil.

    “Oh ya, kita belum kenalan. Nama kamu siapa?” kata cowok itu sambil menjulurkan tangannya ke arahku.

    Aku segera menyambut uluran tangan cowok itu dan memperkenalkan diri, “Nama aku Chandra Dwi Putra. Kalo nama kamu siapa?”

    “Aku Topan. Topan Aska Pradipta.”


    *****

    Aku hanya bisa menatap Topan dari luar Gedung Olahraga.

    “Ada apa, Chan?” Tanya Topan ketika dia istirahat latihan basket. Topan memang salah satu anggota team basket sekolah.

    “A…anu, Pan?” Kataku malu-malu.

    “Ya?”

    Tiba-tiba saja hujan turun sangat deras.

    “Wah, hujannya deras sekali.” Kata Topan melihat ke arah luar gedung olahraga.

    Sial! Kenapa mesti hujan… ah pupus sudah memang itu tidak mungkin.

    “Lebih baik aku pulang saja.”

    “Lho, nggak nunggu hujan reda?”

    “Nggak apa-apa, aku bawa payung.”
    “Wah, sedia payung sebelum hujan rupanya!”

    “Kemana pun aku pergi, aku memang selalu membawa payung.” Kataku. “Karena aku ini si cowok hujan.”

    Di sinilah aku sekarang, di depan gedung olahraga sekolah. Padahal aku sudah mencoba mengumpulkan keberanian buat mengungkapkan perasaanku dan berdoa agar hujan tidak turun.

    “Chandra…!!”

    Aku mendengar ada suara cewek yang meneriakan namaku, setelah kulihat itu Dhea. Mau ngapain dia? Masih ada di sekolah pada jam segini.

    “Duh, sebal! Padahal tadi cuacanya cerah kok malah hujan deras kayak gini.” Keluh Dhea menghampiriku.

    “Hai Dhea, kok jam segini kamu belum pulang?” Tanyaku.

    “Haha, iya, Abis latihan Marchine Band tadi.”

    “O…”

    Dhea menengok ke dalam gedung olahraga dan memperhatikan Topan lalu kembali menatapku dengan aneh.

    “Kenapa menatapku seperti itu?” Tanyaku heran.

    “Hmm…Chan… hmmm… Nggak jadi deh.”

    “Apa sich?” Menatap Dhea aneh. Kenapa si Dhea mau ngomong tapi nggak jadi.

    “Chan, aku mau nanya tapi kamu jangan marah, ya?” kata Dhea ragu-ragu.

    “Ya, Tanya aja sesukamu.” Aku makin penasaran.

    “Gimana kalo kita pindah ke kantin sajah? Kita bisa sambil duduk-duduk dan jajan.” Ajak Dhea.

    “Oke baiklah.”

    Akhirnya aku dan Dhea berjalan menuju ke arah kantin sekolah. Kami memilih tempat duduk dekat dengan warung nasi Teh Iis. Pada jam segini kantin sekolah sudah tutup semua.

    “Chan… kamu mau… mau nyatakan perasaan kamu ke Topan, ya?” Tanya Dhea hati-hati.

    Dheg…

    Bagaimana Dhea tau soal itu. Aku kan tidak pernah berbicara hal itu kepada siapa pun.

    “Ah…Ng…Nggak kok…Nggak. Kata siapa?” Kataku salah tingkah.

    “Aku hanya menerka kok.” Kata Dhea. “Chandra, aku tuh selalu memperhatikan kamu sejak kelas IX. Aku tahu tatapan mata kamu ke Topan. Bukan tatapan seorang sahabat tapi tatapan seseorang yang jatuh cinta.”

    “Eh…jangan…jangan ngomong yang aneh-aneh deh Dhea.” Kilahku salah tingkah. Sejelas itu kah aku menatap Topan sehingga orang lain menyadarinya.

    “Nggak usah bohong sama aku, Chan. Aku mengerti kok perasaan kamu.” Kata Dhea sambil menggenggam tanganku.

    Huff… aku mengela nafas. Mau bagaimana lagi kalo sudah ketahuan oleh Dhea. “Kayaknya aku nggak bisa menghindar lagi deh. Semua tebakan kamu benar.”

    Perasaan aku terasa lebih lega sekarang. Sekaligus juga takut. “Dhea kamu nggak merasa jijik kepadaku? Nggak menjauhi aku?”

    “Tentu sajah nggak. Aku bukan orang yang sepicik itu. Chan, I don’t care if you are gay or not. I’m your friend, right?”

    Entah apa yang terjadi tiba-tiba air mataku mengalir membasahi pipi ketika mendengar semua kata-kata Dhea. Dhea tetap menggenggam tanganku.

    “Cup…cup…cup… Sudah jangan nangis.”

    “Iya, aku terlihat cengeng ya?” kataku sambil menyeka air mataku.

    “Oia, kalo boleh tau sejak kapan kamu menyukai Topan?” Tanya Dhea penasaran.

    Sekarang Dhea sudah tau semua lebih baik aku menceritakan semuanya. Karena aku tidak akan mungkin menutupi semua yang terjadi kepada Dhea.

    “Itu dimulai ketika…”

    *****

    Topan dan aku mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang sama yaitu paskibra. Walaupun masih anggota baru, kami sudah dipersiapkan untuk mengikuti lomba yang memperebutkan Piala Walikota. Ketika hampir tiba giliran team paskibra sekolah kami untuk tampil tiba-tiba saja turun hujan deras sekali padahal sebelumnya matahari bersinar dengan terik. Kejadian serupa terulang lagi ketika team paskibra kami mengikuti perlombaan lainnya. Pernah suatu kali, aku tidak masuk sekolah selama seminggu karena harus dirawat di rumah sakit gara-gara demam berdarah. Saat aku tidak masuk sekolah team paskibra sekolah mengikuti perlombaan yang diadakan oleh sekolah lain. Saat aku tidak dapat mengikuti perlombaan tersebut cuaca sangat cerah dan tidak turun. Oleh karena itu, seluruh anggota team paskibra berpikir bahwa aku adalah cowok pembawa hujan. Sehingga aku dijuluki oleh mereka ‘Si Cowok Hujan’. Julukan tersebut segera saja tersebar ke seluruh penjuru sekolah.

    Aku masih ingat ketika perlombaan Paskibra terakhir. Saat itu hujan turun sangat derasnya.

    “Ya ampun, kok malah hujan.” Kata Tio, salah satu anggota Paskibra.

    “Payah nih, bisa-bisanya hujan saat begini!” Kata Adit, anggota Paskibra yang lainnya.

    “Chandra, ini pasti gara-gara kau! Dasar cowok pembawa hujan!” kata Tio menyalahkan aku.

    “Eh?” aku tak percaya mendengarnya.

    “Iya, gak salah lagi setiap ada kau, pasti turun hujan! Sana pulang! Pulang!” Kata Adit ikut menyalahkan aku juga.

    “Kok begitu…” Kataku sedih.

    “Sudah, jangan berantem kayak anak kecil! Mana mungkin kalian boleh menyalahkannya?!” Tegur Topan.

    “Topan…”

    “Jangan di ambil hati ya, Chan.”

    “Makasih, sudah membela aku.”

    Topan hanya memberikan senyum manisnya.


    *****

    “Awalnya aku tidak pernah merasakan apapun terhadap Topan, aku juga masih menyukai cewek. Tapi perhatian dan perlakuan Topan kepadaku membuatku berdebar-debar yang belum pernah kurasakan terhadap cowok.” Aku menjelaskan kepada Dhea. Dhea menyimak dengan baik, ternyata Dhea seorang pendengar yang baik.

    “Aku mencoba untuk menghapus perasaan ini, semakin aku ingin menghapusnya semakin aku terus membayangkan Topan. Lama kelamaan aku menyerah dan harus menerima keadaan yang seperti ini. Sekarang aku tak mau mengingkari orientasi seksual aku.”

    “Apakah Topan tahu kalo… kalo kamu gay? Sehingga kamu mau menyatakan perasaan kamu?” Tanya Dhea.

    Aku hanya bisa menggelengkan kepala. “Tidak, Topan sama sekali tidak tahu.”

    “Lho? Aku kira Topan sudah tau. Kalian bersahabat dekat kan?” Tanya Dhea heran.

    “Ya tapi dia belum tau tentang ini. Aku terlalu takut untuk mengatakan aku seperti ini. Tadinya aku mau menanyakan terlebih dahulu pendapat dia tentang orang yang memiliki orientasi seksual seperti aku. Tapi terburu hujan deras. Aku takut kalo Topan jijik dan menjauhi aku. Aku tidak pernah bisa membayangkannya.”

    “Jika kau tidak mencobanya bagaimana kau tau?”

    “Aku takut Dhea, takut dengan kemungkinan terburuknya. Mungkin lebih baik tidak mengatakannya.”

    “Ya, aku ngerti kok. Aku rasa aku tau kenapa kamu bisa sangat menyukai Topan.”

    “Hah?”

    “Topan itu selalu ceria seperti matahari. Walaupun sedih dia tidak pernah menunjukannya kepada teman-temannya. Dia selalu baik dan ramah ke semua orang. Sehingga dia banyak disukai oleh semua orang. Dan kamu bisa kepincut oleh Topan.”

    “Haha, ya. Kamu betul-betul memahami aku, ya.”

    “Chandra, aku pikir tidak ada jeleknya kok jadi cowok hujan… Justru hujan membawamu pada kebahagiaan, kan? Membuatmu jatuh cinta pada Topan. Iya, kan?”

    Aku kaget ternyata Dhea bisa mengatakan hal tersebut. Aku jadi tidak benci lagi pada hujan. Aku bersyukur karena hujan bisa membuat aku jatuh cinta pada Topan.

    “Iya juga, ya… Makasih, Dhea.” Aku memberikan senyum terbaik pada Dhea. Dan Dhea balas tersenyum.

    *****

  • Tidak terasa aku sudah mengobrol dengan Dhea selama 1 jam. Aku merasa tidak enak hati karena Dhea harus mendengarkan curhat-ku. Lagipula saat ini hujan sudah reda.

    Aku mengajukan diri untuk mengantar Dhea pulang ke rumah. “Dhea, biar aku mengantar kamu sampai ke rumah.”

    “Eh… Nggak usah, Chan. Aku pulang sendiri saja.” Ujar Dhea menolak ajakkanku halus.

    “Ayolah lagi pula sudah mau magrib, nggak baik loh buat anak perempuan.” Bujukku.

    “Hm…” Dhea berpikir.

    “Aku memaksa. Aku bakal mengantarmu sampai rumah dengan selamat.”

    “Oke baiklah. Kalo kamu memaksa.”

    Aku dan Dhea berjalan menuju parkiran motor, tempat motor Ninja kesayanganku di parkirkan. Motor ini adalah hadiah ulang tahunku yang ke-17 dari orang tua-ku. Padahal aku mengingkan mobil tapi kedua orang tua-ku belum memperbolehkan aku mempunyai mobil sendiri.

    “BTW, rumah kamu dimana ya? Perasaan aku belum tau rumah kamu. Hehehe.” Kataku tersenyum.

    “Di Bantar Jati. Nanti aku tunjukin jalannya.”

    Tanpa kusadari, saat itu Topan melihat kearah kami berdua dari kejauhan.

    *****

    “Assalamu’alaikum.” Tidak terdengar jawaban.

    KRIEEETT…

    Aku membuka pintu garasi. Kosong. Mobil Papa, Mobil Mama dan Mobil Mas Billy nggak ada. Pada belum pulang semua. Padahal jam segini Mas Billy sudah pulang. Aku memasukkan motor ke garasi dan masuk ke rumah. Loh kok sepi! Beneran nggak ada siapa-siapa nich di rumah? Masa Mbak Surti juga pergi? Mana pintu rumah gak dikunci. Aku masuk lagi ke dalam ruang keluarga. Ya ampun, ternyata pembantu keluargaku sedang asik nonton TV. Nonton film drama Korea. Dasar, memang sich sekarang sedang demam Korea sampai-sampai pembantu aku juga ikut-ikutan.

    “Ehem…”

    Mbak sadar kalo ada suara di belakangnya, Mbak Surti menoleh dan tersipu malu. “Kapan pulang Mas? Kok Surti nggak denger Mas masuk rumah.”

    “Baru saja kok Mbak.” Aku langsung duduk di sofa.

    Mbak Surti hendak meninggalkan ruang keluarga tetapi kucegah, “Nonton aja, Mbak! Tapi tolong siapin air panas buat mandi sama teh manis hanget dolo.”

    “Baik, Mas! Bentar ya, Mas. Surti siapin dolo air panas sama Teh-nya.” Surti segera menuju ke dapur.

    Aku menatap layar kaca yang sedang memutar drama Korea. Apa sich bagusnya drama Korea. Eh, loh itu aktornya cakep. Siapa ya namanya?? Judul drama korea ini apa ya?

    “Ini mas teh manis hangetnya, air panasnya lagi dimasak dulu.” Mbak Surti meletakan mug yang berisi teh manis hanget di meja lalu kembali menatap layar kaca.

    “Mbak…”

    “Iya, Mas?”

    “Ini film-nya judulnya apa?” tanyaku.

    “S’cret Gar-den.” Kata Mbak Surti dengan inotasi pengucapan yang salah.

    “Secret Garden kali, Mbak.” Aku membetulkan pengucapan Mbak Surti.

    “Ya itu…yang bener Secret Garden.” Aku hanya bisa tertawa karena Mbak Surti masih salah mengucapkannya. Tapi biarlah, katanya dia dulu hanya lulusan SD. Jadi aku bisa memakluminya.

    “Itu yang pemaen siapa Mbak? Yang cowok-nya?”

    “Oooo itu namanya Hyun Bin, Mas. Ganteng yah, Mas? Aku aja nge-fans sama dia.” Cerocos Mbak Surti.

    Dasar pembantu yang satu ini urusan beginian dia jago, kalau yang laen suka lemot. Huff, lebih baik aku mandi sekarang deh.

    *****

    Huaah…Segar setelah mandi pakai air hangat. Sekarang sudah jam 7 malam, Papa, Mama dan Mas Billy juga sudah pulang. Kami sekeluarga siap-siap untuk makan malam. Di keluargaku memang sudah tradisi untuk makan malam bersama-sama walaupun nggak setiap hari karena kesibukan Papa dan Mama. Mereka memang sibuk dengan pekerjaannya, bahkan di akhir pekan, selalu pulang larut malam dan berangkat kerja pagi-pagi sehingga kami anak-anaknya tidak sempat bertemu. Dengan cara ini, kami bisa bertemu dan berkumpul bersama. Sesibuk apapun itu mereka selalu menyempatkan untuk berkumpul dengan kami, anak-anaknya. Kadang kalau ada waktu kami sekeluarga menyempatkan untuk berlibur bersama.

    “Chan, gimana sekolah kamu?” Tanya Mama ketika aku sedang menyuapkan nasi ke dalam mulutku.

    “Yuea Beu…hieathu aj…haeah…” kataku dengan mulut penuh makanan.

    “Aduh, Chan. Telan dulu makananmu. Baru berbicara.” Ujar Papa.

    Aku hanya bisa tersenyum dan menelan makananku, “Begitu saja, gak ada yang istimewa. Setiap hari seperti itu.”

    “Bohong tuh, pasti sudah punya pacar si Chandra?” ejek Mas Billy. “Tadi sore aku lihat dia ngeboncengin cewek.”

    Aku tersedak mendengar ucapan Mas Billy, “Uhuk…Uhuk…Uhuk…”

    “Neh minum dolo.” Mama menyodorkan gelas kepadaku.

    “Billy jangan godain adek kamu. Kasihankan Chandra jadi keselek.” Tegur Papa.
    Aku meminum air putih yang diberikan oleh Mama. Sial, bagaimana Mas Billy bisa tau. Awas nanti aku bales.

    “Memangnya kamu sudah punya pacar, Chan?” Mama bertanya. Akh, Mama malah ikut-ikutan lagi, menyebalkan.

    “Ajaklah pacar kamu kemari kenalkan ke kami semua. Nanti Papa dan Mama batalin janji meeting minggu depan untuk berkenalan pacar kamu.” Akh, kok Papa juga ikut-ikutan sich.

    “Dhea…”

    “Oooo, namanya Dhea.” Kata Mas Billy.

    “Mas Billy!!! Dhea bukan pacar aku, dia sahabat aku. Lagipula aku belum punya pacar kok.” Kataku marah karena Mas Billy ngejek aku.

    “Ia deh, percaya percaya kok.” Kata Mas Billy. Tapi nada Mas Billy seperti tidak percaya ucapanku.

    Papa dan Mama hanya bisa tersenyum melihat tingkahku dan Mas Billy. Mas Billy sejak dulu memang seperti itu selalu saja senang ngegodain aku. Tapi sebenarnya dia sayang sama aku. Mas Billy berumur 21 tahun, hanya 4 tahun lebih tua dari umurku. Dia merupakan salah satu mahasiswa di IPB Fakultas Kedokteran Hewan. Memang sejak dulu Mas Billy itu pencinta hewan. Padahal Papa dan Mama ingin Mas Billy meneruskan usaha mereka tetapi Mas Billy tidak mau dan memilih menjadi Dokter Hewan. Sehingga kewajiban untuk meneruskan usaha keluarga ada di pundakku.

    “Tau ah gelap! Mas, nanti aku bilangin kalo Mas…” Sebelum aku menyelesaikan perkataanku Mas Billy sudah membekap mulutku dengan tanganya. Memang sich aku tau rahasianya soalnya aku pernah mergokin dia sedang berhubungan intim dengan pacarnya dikamarnya. Hehehe.

    “Bilangin apa Chan?” Tanya Papa penasaran.

    “Ia bilangin apa?” Mama juga terlihat penasaran.

    “Nggak bukan apa-apa kok, Ma, Pa.” Hehe, yes. Mas Billy mati kutu dah. Awas ajah kalo godain aku mulu.

    Tapi kelihatannya Mama dan Papa percaya dan tidak menanyakan lebih lanjut lagi.

    “Oia, kalian nanti cek rekening kalian. Papa dan Mama menang tender besar. Papa kirimin uang untuk kalian.”

    Yes, dapat hadiah uang dari Papa dan Mama. Memang semua keperluan aku dan Mas Billy selalu ditransfer oleh Papa dan Mama. Jadi kami tidak perlu repot meminta kepada mereka.

    “Makasih yah Pa, Ma.” Kataku dan Mas Billy.

    Akhirnya acara makan malam telah selesai. Papa dan Mama kembali menuju ruang kerja mereka, katanya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Sedangkan Mas Billy sudah pergi keluar lagi. Ngapel ke rumah pacarnya mungkin karena dia baru dapat uang jajan lebih. Sebelum pergi Mas Billy sempet nyubit pipi aku dan ngomong, “Awas ya, Dek. Aku bales nanti.”.

    *****

    Sekarang sudah jam sepuluh malam, buku pelajaran dan baju seragam buat besok sudah disiapkan semua. PR juga sudah kukerjakan. Sekarang aku siap-siap untuk tidur. Sambil tiduran seperti ini, aku jadi memikirkan apa yang bakal terjadi besok di sekolah. Memikirkan Topan, apa yang sedang dilakukan dia sekarang? Apa dia juga memikirkan aku, ya? Haha nggak mungkin terjadi deh.

    Hachi…

    Astagfirullah, kaget aku. Ternyata suara ringtone handphone-ku. Oh, God. Siapa sich yang sms malem-malem gini. Nggak tau apa kalau aku mau tidur. Eh, nggak deng lagi mikirin Topan. Hehe. Kuambil handphone yang aku letakkan di atas meja. Begitu aku membaca nama pengirimnya, aku tersenyum senang.

    -Topan-
    Oi, Chan! Lagi ngapain? Udah molor apa belum?


    Panjang umurnya si Topan lagi dipikirin tiba-tiba sms. Cihuy, udah rada ngantuk sich tapi nggak jadi ngantuknya. Aku senyum-senyum sendiri, kalo dilihat sama orang mungkin aku orang gila yang kabur dari Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi.

    Uit... Lagi tiduran ajah. Belum lah. Kenapa pan? Kangen sama aku yah? Xp

    Hehe, mancing-mancing dikit nggak apa-apa kali yah. Hehe kali ajah dia kangen sama aku.

    Hachi…

    Aku meraih handphone-ku. Cepet juga Topan membalas smsnya.

    -Topan-
    Haha. Mau-mu dikangenin sama orang ganteng kayak aku. :p
    Oia tadi siang kamu mau ngomong apa?


    Dheg… aduh Topan masih inget aja.

    Yeeee… Narsis. PD banget. Haha. Bukan hal yang penting kok.

    Sumpah, Topan tuh narsis banget. Tapi memang Topan tuh cakep. Dia juga popular di sekolah. Badannya atletis dengan tinggi badan memadai. Oiya, nilai plusnya, Topan cukup cerdas, suka olahraga, dan mempunyai selera humor. Tapi aku suka semua yang ada di diri Topan, kebaikan dan kejelekannya.

    Hachi…

    -Topan-
    Chan, kamu pacaran ya sama Dhea?


    What???? Kok Topan bisa berpikir seperti itu ya? Darimana dia berkesimpulan seperti itu? Topan aku tuh suka sama kamu. Cinta sama kamu. Tapi kenapa kamu berpikir aku pacaran sama Dhea. Tapi aku nggak mungkin nulis seperti itu.

    Nggak kok. Kok kamu bisa ngira aku pacaran sama Dhea? Dhea cuma temen kok, nggak lebih.

    Andai saja aku punya keberanian, aku pasti akan mengatakan kebenarannya kepadamu. Tapi aku terlalu takut untuk kehilangan kamu.

    Hachi…

    -Topan-
    Ooo, kirain. Soalnya tadi aku liat kamu ngeboceng Dhea. Kirain aku, kamu pacaran sama Dhea.


    OMG, dia ngeliat aku sama Dhea. Jangan-jangan Topan… Ah, tapi nggak mungkin.

    Haha, tadi aku cuma nganterin pulang Dhea karena kasihan kalo pulang sendiri udah sore. Kamu cemburu yah?? ;p

    Topan, oh Topan.

    Hachi…

    -Topan-
    Haha, ngapain juga aku cemburu sama kamu. Biasa ajah kali. Lagi pula aku sudah punya cewek.


    Topan punya pacar? Nggak mungkin, nggak mungkin itu nggak mungkin. Topan nggak pernah cerita kalau dia punya cewek. Aku nggak percaya. Aku…God, perasaanku saat ini benar-benar kacau. Refleks, aku mematikan handphone dan meletakkan jauh-jauh dariku. Kini air mataku menetes lagi. Ya, sudah kesekian kalinya aku menangis di hari ini. Aku nggak sanggup harus menerima kenyataan ini.

    Tiba-tiba hujan turun sangat deras di malam ini. Entah mengapa alam ikut menangis dengan kesedihanku ini. Aku merasa konyol, mengharapkan cinta yang tidak mungkin terjadi. Iya betul, konyol. Ya Allah, kenapa hal ini harus terjadi kepadaku? Kenapa aku harus mendengar apa yang tidak ingin kudengarkan. Kenapa hari ini aku harus banyak menangis? Aku sudah capek harus menangis terus…

    Entah sampai jam berapa aku menangis. Aku tidak memperhatikannya, aku terlalu capek untuk menangis kembali. Mungkin air mataku sekarang sudah kering. Lebih baik aku tidur sekarang. Aku sudah mengantuk.

    *****

    Hari Sabtu aku memang sengaja berangkat ke sekolah lebih awal daripada biasanya. Hari yang berembun akibat hujan semalam, suasana terlihat dingin pagi ini. Kulihat keadaan kelas pagi ini masih cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang sudah datang, termasuk aku dan Dhea.

    “Pagi, Dhea.” Sapaku lesu lalu tersenyum.

    “Pagi juga.” Sepertinya Dhea menyadari bahwa senyumku bukan senyum tulus. Lalu Dhea mendekatiku dan duduk di sebelahku, “Ada apa, Chan? Sepertinya kamu ada masalah.”

    “Nggak apa-apa kok.”

    Dhea memperhatikan wajahku dan tersadar, “Chan, kamu habis nangis ya?”

    Loh, kok Dhea bisa tau? Apakah kelihatan banget ya? Aku hanya tersenyum kecut dan berkata, “Kelihatan banget ya?”

    “Iya lah, mata kamu sampai bengkak gitu tapi nggak parah banget.”

    “Aduh bagaimana donk?” Bingung, aku nggak mau sampai ketahuan oleh teman-temanku.

    “Ayo, Chan kita ke UKS! Kita kompres mata kamu di sana.” Ajak Dhea.

    Aku dan Dhea menuju ruang UKS. Ruang UKS terletak di dekat kantin sekolah. Setelah kami masuk ke dalam ruang UKS aku berbaring d atas ranjang, Dhea membantu aku mengompreskan mata agar tidak terlalu bengkak. Walaupun Dhea sudah berusaha mengompres mataku tetap saja air mataku menetes lagi. Aku sungguh malu kepada Dhea, dia harus melihat aku menangis lagi.

    “Chan, kamu kenapa? Aku mintain izin buat nggak ikut pelajaran ya? Sebentar lagi bel masuk sekolah.” Kata Dhea.

    Aku hanya mengangguk lalu Dhea segera keluar menuju ke ruang guru untuk memberikan izin untukku. Aku malu, masa cowok cengeng gini. Tapi mau bagaimana air mataku nggak mau berhenti.

    Nggak lama kemudian, Dhea kembali ke ruang UKS. “Aku sudah meminta izin kepada guru piket buat kita berdua.”

    “Kita berdua? Kamu nggak masuk kelas? Nanti kamu ketinggalan pelajaran.”

    “Nggak apa-apa, aku tahu kamu butuh seseorang untuk menemanimu di saat sedih.” Aku tertegun seorang Dhea mau menemaniku padahal dia tidak pernah absen apalagi membolos. Sekarang demi aku, dia rela absen tidak mengikuti pelajaran hanya untuk menemaniku, cowok cengeng. Dhea termasuk murid berprestasi, juara umum di sekolah untuk kelas XI. Aku jadi tidak enak hati.

    “Topan sudah punya cewek.” Ujarku tiba-tiba.

    “Hah? Bagaimana kamu tau?”

    Aku mulai bercerita yang terjadi tadi malam.

    *****

    Aku dan Dhea kembali ke kelas ketika istirahat pertama dimulai. Aku melihat Topan sedang ngobrol dengan teman-teman cowok. Begitu Topan melihat kami, dia segera menghampiri kami berdua.

    “Chan, katanya kamu sakit? Kamu nggak apa-apa?” Tanya Topan khawatir. Aku tau dia khawatir tapi saat ini aku tidak mau melihatnya.

    “Dhea, aku duduk sama kamu ya?” kataku pada Dhea, aku mengambil tas dan pindah ke tempat Dhea.

    “Ran, boleh tukar tempat?” tanyaku pada Rani, teman sebangku Dhea. Rani mau menolak tapi dia mengerti begitu melihat wajahku. Rani pindah ke tempat aku tanpa banyak bicara. Sekarang dia harus duduk bersama Topan.

    Topan nggak mengerti apa yang terjadi, dia heran melihat tingkahku ini, “Chan, kamu kenapa sih? Kamu marah sama aku?” Kata Topan sambil memegang lenganku, menahan aku.

    Aku menepiskan tangannya dan tidak mempedulikannya.

    “Chan…!!!” Panggil Topan nggak terima. Tapi Dhea menghalangi Topan agar tidak mencegahku. Topan mengerti. Akhirnya mengalah.

    Suasana kelas jadi hening. Aku tahu bahwa seisi kelas memperhatikan kami, mereka tahu kalau sebenarnya kami bersahabat dan tidak pernah melihat kami bertengkar. Tapi yang mereka lihat hari ini membuat kaget mereka semua. Ya iyalah masa ya iya donk. Aku menepiskan tangan Topan di depan semua teman sekelas. Dan pindah tempat duduk ke tempat Dhea dan Rani. Aku nggak peduli lagi apa kata mereka.

    *****

    Sudah hampir seminggu aku tidak berbicara kepada Topan. Topan juga setiap hari berusaha berbicara kepadaku tetapi aku tidak mempedulikannya. Dia tidak mengerti kenapa aku marah padanya, dia juga tidak tahu apa yang terjadi. Dia berusaha bertanya kepada Dhea, SMS, telepon bahkan datang ke rumahku. Tetapi Dhea nggak bisa menjawabnya walau sebenarnya mengetahui masalahnya. Teman-teman sekelas juga banyak yang menasihati aku agar segera berbaikan dengan Topan tetapi tidak pernah ku hiraukan.

    “Chan, mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Apa kamu nggak kasihan sama Topan? Dia nggak tau apa-apa.” Kata Dhea.

    “Sudahlah Dhea, jangan mencoba menasihatiku.”

    “Aku kasihan sama kamu, juga sama Topan.”

    “Aku nggak apa-apa. Aku bukan orang yang butuh di kasihanin.” Aku Pergi meninggalkan Dhea.

    Dhea hanya bisa menggelengkan kepala tapi dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Dhea berpikir mungkin aku butuh waktu untuk sendiri.

    Aku berjalan menuju ke halaman belakang sekolah. Disana ada pohon beringin besar, katanya sih ada mitosnya kalau mengukir nama orang yang kamu sukai di pohon beringin cintanya akan berbalas. Haha, aku sich nggak percaya itu kan cuma mitos. Walaupun begitu pohon beringin ini cukup terkenal di sekolah, banyak murid-murid yang mengukirnya. Jadi penasaran siapa ajah deh yang percaya kayak ginian.

    Aku berkeliling melihat-lihat batang pohon beringin. Haha banyak nama Topan. Loh ini kan namaku. Ada 1, 2, 3, 4, 5, 6, … Wah sebanyak nama Topan. Aneh. Mana mungkin orang suka sama aku, apa coba yang diliat dari aku. Seketika itu aku melihat seorang cowok sedang mengukirkan nama di pohon. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Mungkin murid kelas 1 atau kelas 3.

    Aku mendekatinya untuk menyapanya, “Hai…”

    Cowok tersebut kaget tapi dia bisa ngendalikan kekagetannya, “Oh, hai…”

    “Kamu sedang apa?” pertanyaan bodoh, sudah tau dia sedang mengukir nama di situ. Malah pakai nanya segala.

    “Kau tau kan… mengukir sebuah nama. Kau tau mitos itu.” Ujar cowok itu malu. Mukanya memerah.

    “Ya, kau percaya sama mitos?” tanyaku heran. Di zaman modern sekarang masih aja ada orang yang percaya tentang mitos-mitos seperti ini.

    Dia hanya tersenyum, “Entah itu benar atau tidak tapi buktinya aku bisa berbicara dengannya untuk pertama kalinya.”

    “Oh, ya?” ujarku masih tidak percaya.

    “Ya, aku ini orangnya pemalu jadi untuk menyapanya saja tidak berani. Mengobrol dengannya saja aku sudah senang apalagi kalo bisa menjadi pacarnya.”

    “Haha, cinta kan butuh perjuangan. Kalo hanya bisa berharap bagaimana dia bakal tau kalo kamu cinta sama dia. Kamu harus berjuang demi cinta kamu.” Kataku memberi nasihat. Huff, aku bisa memberikan nasihat ke orang lain tapi percintaanku gak berjalan lancar.

    “Oia, dari tadi kita ngobrol tapi belum berkenalan. Nama kamu siapa?” Tanya cowok itu.

    “Hehe, oia kita belum berkenalan. Namaku Chandra Dwi Putra. Kalo kamu?” Tanyaku sambil mengulurkan tangan.

    “Aku Yudha Maulana Firdaus. Chandra ya? Aku banyak melihat nama kamu diukir di pohon.” Menyambut uluran tanganku.

    “Haha, bukan aku kayaknya.” Aku hanya bisa tersenyum.

    “Ya, mungkin juga sich.” Sialan memangnya aku sejelek itu.

    “Kan yang namanya Chandra banyak di sekolah.”

    “Iya, mungkin yang dimaksud itu Chandra anak XI-2. Dia kan populer.” Kata Yudha. Loh itu kan kelas aku, se-tau aku, cuma aku saja yang namanya Chandra. Memang sich di angkatan aku, ada 5 orang yang namanya Chandra, termasuk aku.

    “Iya, mungkin yang itu kali.” Aduh jangan sampai tau kalo itu aku yang dia maksud. “Kok kamu tau dia itu popular?”

    “Ada temen kelas-ku yang naksir Chandra, katanya Chandra itu cute. Wajahnya manis dengan rambut acak-acakan seperti baru bangun tidur. Badannya berisi dengan tinggi badannya memadai. Kata temenku juga, kalo melihat dia rasanya pengen memeluk dan melindunginya. Banyak kok yang suka padanya.” Yudha menjelaskan

    Glek! Loh memangnya aku seperti itu? Bahkan aku sendiri tidak tau kalau aku sepopuler itu. Tapi kok rasanya aneh mendengar itu dari mulut cowok seperti Yudha. Cute? Berwajah manis? Argh… kenapa aku dibilang cute dan berwajah manis. Aku ini cowok. Aku paling benci kalo dibilang seperti itu. Yang aneh lagi kenapa kalau melihat aku, mereka mau melindungiku?

    “Eh, Kamu bukan Chandra kelas XI-2 kan? Kamu kelas berapa?” Tanya Chandra penasaran.

    TENG…TENG… TENG…TENG…

    Huff, untung aku diselamatkan oleh bel sekolah. Tanda untuk aku dan Yudha kembali ke kelas.

    “Duluan ya, Yudh. Aku ada quiz neh. Bye!” kataku segera berlari meninggalkan Yudha.

    *****

  • Sepulang sekolah, aku ingin rasanya cepat-cepat pulang ke rumah. Sayangnya, hari ini aku nggak membawa Ninja kesanyanganku karena motorku harus dibawa ke bengkel. Biasanya kalau aku tidak membawa motor, Topan pasti mau mengantar-jemput aku. Tapi karena aku sedang berantem dengan Topan jadinya gini deh, sengsara , harus naik angkot. Mana aku tidak tau jalan kalau naik angkot. Tadi pagi sih masih bisa memaksa Mas Billy buat nganterin aku ke sekolah, kalau jam segini dia pasti sedang kuliah.

    “Chandra…”

    Dia lagi! Mau ngapain sich?

    “Chan, kita perlu bicara.” Kata Topan.

    Aku nggak peduli, aku tetap mengacuhkan Topan.

    “Chandra…”

    “Mau apa sih?” Kataku kesal.

    “Kita perlu bicara sekarang.”

    “Nggak ada yang perlu kita bicarakan.” Kataku pergi meninggalkan Topan. Tetapi Topan menarik tanganku dan membawaku kearah mobilnya.

    “Topan lepasin, nggak! Aku nggak mau!” kataku berusaha melepaskan cengkraman Topan tetapi genggaman tangannya cukup kuat.

    “Nggak pokoknya kita harus bicara sekarang! Kamu harus ikut aku!” Kata Topan sambil menyeret aku ke arah mobilnya.

    Aku nggak bisa melepaskan genggaman Topan, dia terlalu kuat mengcengkram tanganku sehingga aku bisa merasakan perih di tanganku. Pada akhirnya, aku harus ikut bersama Topan. Selama perjalanan Topan hanya diam membisu, aku nggak tau mau dibawa kemana olehnya. Dapat kulihat dari wajahnya ia sedang kesal. Untungnya dia bisa mengendalikan emosinya dan tidak mengebut. Bisa celaka dua belas kalau sampai kecelakaan gara-gara Topan mengebut.

    Akhirnya mobil Topan berhenti. Ternyata Topan membawa aku ke rumahnya. Aku sama tidak memperhatikan jalan dari tadi. Sebenarnya aku sudah sering main ke rumahnya. Topan hanya tinggal sendiri di rumah bersama pembantunya yang sudah tua. Topan adalah anak tunggal. Orang tua Topan jarang pulang ke rumah karena sibuk dengan pekerjaan mereka. Dalam sebulan hanya dua kali orang tua Topan hanya pulang ke rumah. Bisa dikatakan aku lebih beruntung daripada Topan.

    “Turun!” Perintah Topan.

    “Nggak mau! Anterin aku pulang sekarang!” kataku keukeuh.

    “Kamu mau turun sendiri atau aku gendong?”

    Aku hanya diam membisu, nggak mau keluar dari mobil. Topan keluar dari mobil dan menuju ke arah pintu penumpang lalu membuka pintu mobil. Topan hendak menggendong aku tetapi aku menolak untuk digendong.

    “Aku bisa jalan sendiri.” Kataku yang pada akhirnya keluar dari mobil Topan.

    “Ayo ikut aku!” kata Topan sambil menarik aku untuk mengikutinya.

    Topan membawa aku ke kamar tidurnya. Di dalam kamarnya, kita berdua hanya diam-diaman belum ada yang mau memulai berbicara. Kamar tidur Topan cukup luas dengan ranjang yang besar dan fasilitas yang lengkap seperti AC, TV Flat dan Komputer.

    “Chan, kamu sebenarnya kenapa sih? Tiba-tiba kamu pindah tempat duduk dan selalu menghindari aku.” Topan memulai pembicaraan.

    Aku hanya diam dan tidak menjawab pertanyaannya.

    “Chan, kalo kamu diam seperti ini bagaimana aku tau salahku apa?” Kata Topan memelas.

    Entah kenapa air mataku mengalir begitu saja. Rasanya ingin meledak. Topan terkejut saat dia melihatku menangis. Hujan pun turun, tapi Topan tidak peduli dengan hujan. Dia hanya khawatir karena tiba-tiba aku menangis.

    “Chan… jangan nangis donk! Aduh, maafin aku Chan.” Topan kelabakan.

    Aku tetap saja menangis, Topan makin bingung karena tidak tahu harus berbuat apa.

    “Udah donk nangisnya, Chan! Cup…cup…cup!” Topan mencoba menenangkan aku.

    Bukannya tangisku berhenti malah tangisanku makin keras.

    “Aduh malah tambah nangis lagi.”

    Tiba-tiba saja Topan memelukku erat, dia mengelus-ngelus punggungku dan rambutku. “Chan, maafin aku ya! Maafin aku kalo aku punya salah. Walau aku sendiri nggak tau apa salahku. Pasti karena perbuatan aku hingga kamu benci padaku, marah padaku.”

    Akhirnya aku bisa mengendalikan tangisanku,“Nggak… kamu nggak salah apapun…”

    “Terus kenapa selama ini kamu menghindari aku? Marah sama aku?” Tanya Topan masih tetap memelukku.

    Aku hanya diam membisu, karena aku tidak mau kalo Topan sampai tau kalo aku itu cemburu.

    “Hmmm… waktu terakhir kita SMS-an itu kita lagi ngomongin kamu yang nganterin Dhea.” Kata Topan. Topan terus berpikir, “Hmm,,, terus itu aku pernah bilang ya kalo aku udah punya cewek, masa kamu cemburu sich kalo aku udah punya cewek. Haha…haha…”

    Saat Topan berkata seperti itu tubuhku menegang dan sepertinya Topan sadar akan hal itu lalu melepaskan pelukannya.

    “Kamu cemburu beneran?” Tanya Topan memastikan.

    Aku hanya diam mengalihkan pandanganku dari Topan.

    “Chan, kamu cemburu kalo aku punya cewek?” Tanya Topan tidak sabaran.

    Aku tau saat ini mukaku memerah seperti kepiting rebus. Aku nggak tau apa yang dipikirkan Topan sekarang. Sekarang dia sudah tau kalau aku cemburu.

    “Chan, kenapa kamu cemburu? Emang aku yang salah nggak bilang sama kamu kalo aku udah punya cewek. Karena aku baru jadian sama dia selama tiga mingguan.”

    “Siapa…??” tanyaku tetap tidak mau memandangi Topan.

    “Hah…??”

    “Siapa cewek kamu?” aku mengulangi pertanyaan yang tadi.

    “O… Anak kelas XI-8. Namanya Mitha.” Kata Topan. “ Kamu tau kan yang namanya Mitha.”

    Aku hanya mengganggukan kepala. Ya, aku tau Mitha. Cewek paling cantik di sekolah, cukup popular di antara cowok-cowok satu sekolahan. Banyak yang mau jadi pacarnya. Berutung sekali Mitha bisa jadian sama Topan bukannya aku.

    “Terus kenapa kamu cemburu, Chan? Karena aku jadian sama Mitha?”

    Emosiku makin meledak rasanya kepalaku ingin pecah. Karena Topan menanyakan hal itu.

    “KAMU MAU TAU KAN YANG SEBENARNYA! HAH!” Teriakku marah.

    Topan kaget karena tiba-tiba saja aku berteriak marah. “Chan,,, kok jadi marah? Aku hanya…”

    “KARENA AKU SAYANG SAMA KAMU! KARENA AKU SUKA SAMA KAMU! PUAS!”

    Topan terlihat kaget dan sangat bingung, “Tapi bagaimana bisa?”

    Akhirnya aku bisa mengendalikan emosiku. “Itu karena kamu. Ya, gara-gara kamu, aku bisa jadi kayak gini. Karena perlakuan dan perhatian kamu ke aku yang buat aku kayak gini. Rasa sayang aku ke kamu bukan rasa sayang seperti ke sahabat atau saudara, rasa sayang aku ke kamu lebih dari itu.”

    Topan hanya bisa diam mendengarkan kata-kataku barusan, dia bingung harus berkata apa mungkin juga takut.

    “Tapi, Chan. Aku udah punya cewek. Lagipula kita sama-sama cowok jadi…”

    “Ya, aku ngerti kok! Kamu mau benci sama aku ngga apa-apa kok” Kataku ketus.

    “Bukan… Bukan itu maksud aku…” Topan berusaha menjelaskan.

    “Makasih buat semuanya, selamat tinggal!” Kataku segera berlari keluar.

    Yang aku pikirkan adalah untuk segera keluar dari rumah Topan. Aku berlari secepat mungkin. Aku tahu bahwa Topan berusaha mengejarku tetapi dia tidak berhasil menyusulku. Ketika berlari, aku juga sempat mendengar Topan memanggil namaku tapi aku tidak peduli. Aku hanya berlari secepat mungkin di bawah guyuran hujan.

    Setelah dirasa cukup jauh aku berhenti berlari. Aku menengok ke belakang tidak ada tanda-tanda dari Topan. Ketika aku memperhatikan sekitar, aku sama sekali tidak tau berada dimana yang aku pikirkan berlari dengan cepat. Aku hanya bisa menangis, selesai sudah semua. Aku sudah tidak mempunyai harapan lagi.

    Hujan menutupi air mataku yang mengalir. Aku hanya bisa berjalan tanpa tentu arah. Baju seragam, sepatu dan tas aku basah semua. Dada aku terasa sakit sekali, aku tau bahwa tadi aku berlari jauh sekali. Melebihi batas kemampuanku yang sebenarnya. Kepala aku terasa sangat pusing, badanku terasa sangat panas dan lemas sekali, dan mataku berkunanng-kunang.

    Tiba-tiba…

    BRUUKK!!

    *****
    Uuuhh!!

    Cahaya terang, menyilaukan mataku. Ini dimana? Kepalaku terasa sakit. Aku berbaring di ranjang tanganku di genggam oleh Mama.

    “Mah! Mama!” kataku pelan.

    “Ya Tuhan, Chandra! Mama senang kamu sudah sadar.” Kata Mama memelukku sambil menangis.

    “Mah, ini dimana?” tanyaku.

    “Di rumah sakit, sayang.”

    “Kok Chandra bisa ada di sini?” Aku bingung, apa yang terjadi padaku sebenarnya?

    “Kamu pingsan, Nak. Saat itu hujan deras dan kamu pingsan di jalan. Untungnya warga menolong kamu dan langsung membawa kamu ke rumah sakit.” Mama menjelaskan.

    Sekarang aku ingat. Saat itu aku berlari meninggalkan rumah Topan. Berlari dalam hujan kemudian jatuh pingsan.

    “Udah berapa lama Chandra di sini, Ma?” tanyaku.

    “Selama 3 hari kamu nggak sadarkan diri. Kondisi kamu sempat kritis. Untungnya kamu bisa melewatinya. Mama takut kehilangan kamu. Mama, Papa dan Mas Billy bergantian menjaga kamu disini.”

    “Mama dan Papa nggak bekerja?” tanyaku.

    “Nggak, Mama dan Papa membatalkan semua jadwal dan meeting. Mas Billy juga nggak masuk kuliah selama kamu dirawat.”

    “Maafkan Chandra, Mah. Gara-gara Chandra sakit, Mama dan Papa harus membatalkan semuanya.” Kataku merasa bersalah.

    “Kamu ngomong apa sih? Kamu tuh lebih penting daripada pekerjaan. Jadi nggak usah dipikirin. Yang penting kamu sekarang harus sembuh.” Aku melihat setitik air mata di mata Mamaku.

    Aku jadi terharu mendengarnya, aku nggak mau membuat semua orang khawatir lagi. “Mah, Chandra sudah nggak apa-apa kok. Kalo Mama dan Papa mau bekerja lagi boleh kok.”

    “Nggak, Mama dan Papa akan menunggu kamu hingga kamu sembuh dan keluar dari rumah sakit.”

    “Chandra nggak apa-apa kok. Kan ada Mas Billy yang jagain Chandra. Beneran deh Chandra nggak apa-apa.” Aku memaksa.

    “Kamu yakin?”

    “100%, Mah.”

    “Makasih ya, sayang.” Kata Mama sambil mengecup keningku. “Oia, Mama panggilkan Papa dan Mas Billy, ya? Mereka sedang makan sekalian Mama panggilkan dokter.

    Mama akhirnya keluar kamar rawatku. Aku kembali mengingat apa yang terjadi saat itu. Di meja banyak sekali buah-buahan dan karangan bunga. Aku tidak tau siapa yang mengirimkannya.

    Pintu kamarku dibuka, dokter dan suster masuk kemudian dokter memeriksa keadaan tubuhku dan menanyakan apa yang aku rasakan saat ini. Aku hanya bisa menjawab apa yang kurasakan sekarang. Setelah selasai memeriksa aku, dokter dan suster keluar dari ruanganku. Aku tau bahwa dokter tersebut sedang berbicara dengan Mama. Nggak lama kemudian Papa, Mama dan Mas Billy masuk ke dalam.

    “Gimana kabar kamu, Chan?” Tanya Papa.

    “Chandra baik-baik sajah. Masih sedikit pusing, Pa.” Kataku.

    “Kamu tau, Chan. Kamu tuh buat kami semua khawatir. Kau tau saat rumah sakit menelepon ke rumah. Dan bilang kau masuk rumah sakit. Kamu buat jantung aku hampir copot…” cerocos Mas Billy.
    Aku hanya bisa tertawa mendengarnya ternyata Mas Billy mengkhawatirkan aku biasanya dia hanya bisa menggoda aku saja.

    “Hei, malah tertawa lagi bukannya minta maaf karena membuat kami repot.” Gerutu Mas Billy.

    “Sudah-sudah. Oia, Chan. Kata dokter kamu masih harus dirawat beberapa hari lagi agar kondisi kamu bisa segera pulih. Kemarin lusa temen-temen sekolah kamu pada datang jengukin kamu disini.” Kata Papa.

    “Hah? Mereka datang menjenguk?”

    “Apalagi Topan dan Dhea, mereka setiap hari datang kesini. Mereka berdua sungguh baik sekali. Apalagi Topan dia selalu memaksa untuk menginap di sini menemani kamu.” Kata Mama.

    “Ia tampaknya Topan sangat khawatir sama kamu.” Kata Papa.

    Mas Billy sepertinya sadar dengan raut wajahku ketika mendengar nama Topan. Tetapi dia hanya diam.

    *****

    Esoknya aku masih belum boleh pulang dari rumah sakit. Mama dan Papa sudah kembali bekerja dan sekarang Mas Billy yang menemaniku. Karena aku sedang sakit aku bisa memanfaatkannya. Aku sering menyuruh-nyuruh Mas Billy untuk mengambilkan atau membelikan sesuatu, mengupas buah, menyuapi aku makan dan lain-lain. Dan Mas Billy nurut saja kemauan aku. Hehe. Seandainya saja Mas Billy seperti ini pasti menyenangkan.

    “Kamu ini manja sekali kalau sedang sakit.” Gerutu Mas Billy sambil keluar kamar. Meski bilang begitu tetap saja Mas Billy selalu menuruti kemauanku, contohnya saja seperti saat ini. Aku lagi pengen makan roti unyil, jadi aku minta mas Billy untuk membelikannya. Habisnya, makanan di rumah sakit tidak enak. Uek…

    Pada jam segini pasti sudah pada pulang sekolah, aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Disini aku sudah bosan karena hanya tiduran sajah di ranjang. Tapi kata dokter aku baru boleh pulang besok. Jadi aku hanya bisa bersabar. Ingin sekali aku cepat-cepat ke sekolah lagi tapi pasti aku akan bertemu Topan lagi. Apakah aku harus pindah sekolah?

    Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

    “Mas, ada yang ketinggalan bukan?” Kataku melihat ke arah pintu.

    Ternyata yang membuka pintu itu bukan Mas Billy melainkan Topan.

    “Gimana kabarmu?” kata Topan menghampiriku di ranjang.

    Aku hanya diam mengacuhkannya. Saat ini hanya Topan yang tidak ingin kutemui.

    Topan datang membawa buah-buahan dan bunga. Kemudian Topan duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangku.

    “Kemarin Mas Billy SMS aku katanya kamu sudah sadar. Aku senang sekali ketika mendengar kabar bahwa kamu sudah sadar.” Kata Topan.

    Sialan, kenapa sih Mas Billy harus SMS Topan. Tapi aku juga tidak bisa menyalahakan Mas Billy karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

    “Aku khawatir, setelah kamu dari rumah aku, esoknya kamu tidak masuk sekolah. Dhea juga nggak tau kamu ke mana. Semua kekhawatiran aku terjawab ketika guru piket memberi tahu bahwa kamu masuk rumah sakit dan koma. Semua teman-teman sekelas sangat khawatir sama kamu, Dhea menangis. Aku juga sangat sedih karena ini pasti gara-gara aku, kamu harus dirawat di rumah sakit. Sekolah juga sempat mengadakan doa bersama agar kamu lekas sembuh.” Kata Topan panjang lebar.

    Aku hanya diam mendengarkan. Aku sudah tidak peduli, lebih baik aku menghilang saja.

    “Dhea juga sudah menceritakan semuanya, Chan. Tentang perasaan kamu ke aku. Tentang bagaimana kamu bisa sayang ke aku. Semuanya sudah Dhea ceritakan.”

    Huh! Buat apa Dhea menceritakannya.

    “Tapi kamu jangan salahkan Dhea, dia sangat khawatir sama kamu.”
    Tiba-tiba aku mendengar Topan menangis, ya aku melihat Topan menangis. Baru pertama kalinya aku melihat dia begini, Topan tampak sangat terpukul karena aku sama sekali mengacuhkannya.

    “Chan…maafin aku… gara-gara aku…kamu…” Topan masih terisak-isak.

    Bodoh! Aku sungguh bodoh! Aku sama sekali nggak dewasa. Aku telah membuat orang yang aku sayang menangis. Aku telah membuatnya terluka gara-gara tingkahku.

    “Kamu boleh pukul aku. Kamu boleh ngelakuin apa ajah ke aku. Tapi tolong kamu maafin aku, jangan benci sama aku, jangan cuekin aku lagi.” Kata Topan masih menangis. “Aku… aku… rela harus putusin Mitha agar kita bisa kayak dulu lagi. Tetap bersahabat.”

    Aku tertegun lalu memegang tangan Topan, “Nggak, kamu sama sekali nggak salah kok. Aku-nya saja yang nggak dewasa yang nggak bisa nerima keadaan. Aku yang nggak bisa nerima semua kenyataan kalau kamu sudah punya pacar. Aku yang nggak bisa nerima kalo kamu nggak punya perasaan apapun ke aku.”

    “Aku juga sayang sama kamu, Chan. Tapi perasaan sayang aku ke kamu hanya rasa sayang…”

    “Iya, aku mengerti kok.” Kataku memotong omongan Topan.

    “Maafin aku, Chan. Aku mau kita kaya dulu lagi tetap bersahabat.” Kata Topan.

    “Maafin aku juga, ya?”

    Kemudian kami saling berpelukan. Aku menangis di pelukan Topan. Aku sadar bahwa aku tidak boleh egois. Aku harus lebih dewasa. Aku tidak mau melihat orang-orang yang aku sayang menangis lagi. Walaupun begitu aku akan tetap menyimpan perasaan ini sampai suatu saat aku menemukan penggantinya. Topan izikan aku untuk mencintaimu walau cintaku tidak terbalas. Izinkan aku tetep menyimpan cinta ini untukmu. Walaupun terasa pahit aku akan selalu tersenyum.

    *****

    Hari ini akhirnya aku pulang ke rumah setelah hampir seminggu aku di rumah sakit. Mas Billy dan Topan membantu aku bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Dokter juga sudah memberikan aku resep obat dan menyuruhku banyak istirahat. Walaupun aku sudah boleh pulang tetapi badanku masih lemas. Tadi aja aku harus menggunakan kursi roda untuk sampai ke mobil Mas Billy.

    Aku, Topan, dan Mas Billy akhirnya sampai di rumah. Uh, aku kangen masakan Mbak Surti. Hehe. Ketika mobil kami sampai kulihat Mbak Surti sudah ada di depan rumah sambil membawa spanduk yang terbuat dari karton dengan tulisan ‘WELKOM BAK TO HOM, MAS CHANDRA’. Aduh, Mbak Surti malu-maluin ajah. Mau tidak mau kami bertiga tertawa melihat tulisan Mbak Surti. Mbak Surti harus aku ajari Bahasa Inggris biar penulisannya benar. Masa tuannya ganteng-ganteng gini tetapi pembantunya agak oon. Nanti diketawain sama orang-orang.

    “Mas Chandra… Gimana kabarnya? Huhuhu Surti shock pas dikasih tau Mas Billy kalo Mas Chandra masuk rumah sakit. Nggak ada Mas Chandra di rumah, rumah terasa sepi banget. Kan biasanya Mas Chandra yang nemenin Surti ngobrol. Surti juga sudah buatin makanan kesukaan Mas Chandra.” Kata Mbak Surti panjang lebar. Ternyata Mbak Surti perhatian banget.

    “Iya, iya. Tapi Mbak boleh nggak aku masuk rumah dulu. Badanku masih lemes neh.” Kataku tersenyum.

    “Monggo Mas Chandra.” Kata Mbak Surti mempersilahkan aku masuk.

    Berjalan ke dalam rumah aku harus di tuntun oleh Mas Billy dan Topan. Mungkin karena Mas Billy tidak sabaran akhirnya dia menggendong aku. Aku tentu saja kaget jarang-jarang Mas Billy menggendong aku. Topan yang melihatnya hanya bisa bengong tapi akhirnya sadar dan mengikuti kami dari belakang.

    Sesampainya di kamarku, Mas Billy membaringkan aku di ranjang.

    “Mas mau nebus obat di apotik dulu, kamu harus makan dan istirahat. Nanti aku suruh Mbak Surti membawakan makanan ke sini.“ Kata Mas Billy lalu mencium keningku. “Kamu harus cepat sembuh ya, Dek.”

    Aku dibuat terbengong-bengong dengan apa yang dilakukan oleh Mas Billy. Aku tau saat ini wajahku pasti memerah. Aku belum pernah melihat Mas Billy seperti ini. Lalu aku tersadar dan akhirnya hanya menganggukan kepala.

    Mas Billy akhirnya keluar kamar. Aku lupa di kamarku juga ada Topan. Kulihat tatapan Topan yang aneh. Belum pernah kulihat tatapan itu dari Topan. Di tatapan mata Topan ada rasa cemburu dan iri. Tapi dia bisa menyembunyikannya.

    Tiba-tiba Topan berkata, “Mas Billy sangat menyayangimu, ya.”

    Aku sama sekali tidak mengerti apa maksud Topan, sebelum aku berbicara pintu kamarku sudah di buka oleh Mbak Surti yang membawakan makanan dan air putih.

    “Mas Chandra, ini makanannya kata Mas Billy, Mas harus makan sekarang biar cepet sembuh.” Kata Mbak Surti menghampiri kami.

    “Sini Mbak biar aku saja yang nyuapin Chandra.” Kata Topan sambil mengambil nampan yang di bawa Mbak Surti.

    Eh!! Disuapin Topan? Hari ini Topan sangat aneh. Seaneh dengan Mas Billy.

    “Mas Topan mau minum apa?” Kata Mbak Surti malu-malu. OMG, Mbak Surti naksir sama Topan.

    “Nggak usah, Mbak. Nanti aku ambil sendiri.” Kata Topan.

    Akhirnya Mbak Surti keluar dari kamarku. Lalu Topan segera duduk di ranjangku.

    “Kamu harus makan, Chan. Ayo buka mulut kamu. Aaa…” Kata Topan sambil menyendokan makanan kearah mulutku.

    “Nggak usah, aku bisa makan sendiri.” Aku menolak dengan halus.

    “Nggak, izinkan aku menyuapi kamu. Aku nggak mau kamu sakit lagi.”

    Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya Topan menyuapi aku sampai semua makanannya habis.

    *****

    Setelah minum obat, aku siap-siap mau tidur. Kondisi badanku sudah membaik. Aku mau segera masuk sekolah besok. Aku kangen sama teman-teman. Pasti aku banyak ketinggalan pelajaran.

    Tok…Tok…Tok…

    Kudengar pintu kamarku diketuk. Mungkin Mas Billy.

    “Masuk aja, nggak di kunci kok!” Kataku.

    Pintu kamarku dibuka, ternyata benar yang mengetuk pintu pada jam segini adalah Mas Billy. Kulihat Mass Billy membawa bantal dan guling. Mau ngapain dia?

    “Aku tidur sini yah.” Kata Mas Billy menghampiri ranjangku lalu berbaring di sebelahku. Memang ranjangku cukup besar sehingga bisa di tempati oleh 3 orang.

    Aku hanya menganggukan kepala, tumben sekali Mas Billy mau menemaniku. Aku hanya bisa tertawa.

    “Kenapa?” Kata Mas Billy malu-malu. “Eh, kalo kamu butuh apa-apa tinggal bangunin Mas jadi kamu nggak perlu repot-repot ke kamar Mas.”

    Aku cukup yakin kalo Mas Billy khawatir sekali. Mas Billy sekarang telah berubah lebih perhatian padaku. Ah, seandainya dia bukan kakakku, aku pasti sudah jatuh cinta padanya.

    “Mas…?”

    “Hmmmm…”

    “Mas besok aku mau sekolah boleh ya?” tanyaku ke Mas Billy.

    “Kamu istirahat saja di rumah, kalo sudah sembuh baru sekolah.”

    “Tapi nanti aku pingin sekolah. Aku udah bosan, Mas. Nanti aku ketinggalan banyak pelajaran.” Rengekku sambil menatap Mas Billy penuh harap.
    “Kamu nggak usah menatap aku kayak gitu.” Kata Mas Billy.

    “Boleh yah?”

    “Iya, iya. Pokoknya nanti aku antar jemput kamu sampai kamu benar-benar sembuh total.” Akhirnya Mas Billy nyerah juga. Hehehe

    “Makasih ya, Mas.” Saking senang aku memeluk Mas Billy.

    “Apaan sich kamu, lepasin nggak!” Mas Billy berusaha melepaskan pelukanku.

    “Nggak mau, ah! Kalo aku ini cewek pasti aku sudah menjadikan Mas Billy pacarku.” Kataku masih tetap bertahan memeluk Mas Billy.

    Mas Billy tidak melawan lagi ketika aku memeluknya. Tanggan Mas Billy mengelus-ngelus rambutku lalu berkata, “Ayo cepat tidur, besok kamu mau sekolahkan?”

    Akhirnya aku tertidur sambil memeluk Mas Billy. Kakakku yang satu ini sungguh baik sekali. Aku sayang sama Mas Billy.

    *****

  • Setelah beberapa hari aku tidak masuk sekolah, rasanya ada yang berbeda dengan sekolah ini. Apa cuma perasaan aku saja? Mas Billy juga sangat baik sekali setelah aku masuk rumah sakit, dia jadi banyak berubah. Hari ini saja dia mengantarku hingga ke sekolah dan berjanji menjemputku nanti.

    Cuaca hari ini sangat cerah, secerah hatiku sekarang. Soalnya aku sudah baikan dengan Topan. Hehe. Walaupun ditolak sama Topan tetapi kita masih bisa bersahabat seperti dulu. Ya meskinpun sedih, cinta kan tak harus memiliki. Aku juga sudah berusaha walau membuat orang yang aku sayang nangis. Sumpah, melihat dia nangis membuatku merasa sangat jahat.

    “Selamat Pagi semua!” Sapaku ketika sampai di depan pintu kelas.

    Kontan semua teman-teman sekelas kaget melihat aku sudah masuk sekolah. Tetapi mereka juga senang karena aku sudah bisa masuk sekolah lagi.

    “Chandra!” Dhea berteriak lalu segera berlari menghampiriki dan memelukku.

    “Halo Dhea? Apa kabarnya?” tanyaku.

    Dhea melepaskan pelukannya, dapat kulihat ada air mata di matanya Dhea, “Kamu buat aku khawatir. Teman-teman semua juga sangat khawatir kepadamu.”

    “Hehe… Maafin aku ya, Dhea.”

    Aku lihat Topan memperhatikan kami berdua. Dia tersenyum kepadaku. Aku berbisik kepada Dhea. Aku katakan kalau aku mau balik ke tempat duduk semula bersama Topan. Aku segera duduk di tempat biasanya, yakni bersama Topan.

    Teman-teman sekelas juga mengerubuni aku, mereka bertanya banyak hal. Dari yang menanyakan kabar aku, bagaimana bisa masuk rumah sakit, sampai menyinggung-nyinggung pertengkaran aku dan Topan. Aku hanya bisa menjawab sekedarnya. Untung saja bel masuk sekolah berbunyi kalau tidak mereka semua akan bertanya lebih banyak lagi. Guru-guru juga senang aku bisa masuk sekolah lagi dan mengucapkan selamat datang kembali. Haha rasanya aneh, aku seperti prajuit yang terjun ke medan perang dan setelah kembali mereka semua menyambutku.

    Aku beruntung mempunyai sahabat seperti Dhea, dia membuat copy-an catatan pelajaran selama aku tidak masuk sekolah. Dhea juga berjanji akan mengajariku agar tidak terlalu ketinggalan. Aku dan Topan juga sudah seperti biasanya, tapi sekarang Topan lebih banyak diam, kadang-kadang melamun. Dia jadi sedikit aneh ketika ditanya dia bilang tidak apa-apa. Aku tau kalo ada yang sedang dipikirkan oleh Topan tetapi dia tidak mau mengatakannya. Dan kembali seperti Topan yang biasanya selalu ceria.

    Jam istirahat, Aku, Topan dan Dhea menuju kantin sekolah, untungnya kantin belum terlalu ramai. Kalo ramai bisa tidak kebagian tempat duduk. Sebenarnya sih aku tidak terlalu lapar, hanya saja aku harus menemani Topan dan Dhea yang belum sarapan.

    Ketika sedang asik mengobrol dengan Topan dan Dhea. Kudengar ada seseorang yang memanggil namaku, setelah kulihat ternyata Yudha. Lalu Yudha menghampiri tempat kami duduk.

    “Chandra, ternyata kamu anak kelas XI-2.” Kata Yudha.

    “Hehe.” Aku hanya bisa tersenyum.

    “Kenapa kamu tidak bilang saat itu, aku sangat malu sekali.”

    “Gimana aku mau jujur kalo kamu mengatakan hal seperti itu tentangku.”

    “Iya sich, kalau aku jadi kamu pasti aku bakal diam saja.” Kata Yudha, “Oia kok aku baru lihat kamu sekarang di sekolah? Kamu kemana saja?”

    “Hehe, aku sempat sakit jadinya aku nggak masuk sekolah tapi sekarang sudah sembuh kok.”

    “O… begitu. Ya udah aku ke sana dulu.” Kata Yudha sambil menunjuk arah teman-temannya.

    “Oke.” Aku hanya bisa tersenyum.

    “Chan, kamu kenal sama dia?” Tanya Topan penasaran.

    “Ya begitulah, secara kebetulan kok.” Kataku.

    “Dia kan anak kelas XII IPA-1, murid paling pintar di angkatannya.” Kata Dhea.

    “Kamu kenal sama dia?” tanyaku.

    “Nggak terlalu kenal sich, cukup tau saja. Dia pernah mengikuti Olimpiade Matematika Tingkat Dunia, membawa nama Indonesia dan sekolah kita.” Dhea menjelaskan.

    Wow! Tidak aku sangka kalau aku bisa mengenal orang seperti Yudha.

    “Bagaimana kamu bisa mengenalnya, Chan?” Tanya Topan masih penasaran.

    Aku akhirnya menceritakan pertemuan pertama kami di bawah pohon beringin.

    “HAHA…HAHA…” Topan tertawa sangat keras.

    Dan Dhea juga tersenyum mendengar ceritaku.

    “Topan ketawanya nggak usah ngakak kayak gitu donk.” Kataku cemberut.

    “Haha… maaf, abisnya kamu lucu sich masa kamu sendiri nggak sadar kalo kamu tuh popular sih?” Topan masih berusaha menahan tawanya.

    “Mana aku tau! Aku kan nggak pernah merhatiin sekitar.” Kataku. “Dhea kamu juga sudah tau, ya?”

    Dhea mengangguk dan berkata, “Ya, tentu saja. Kan pernah aku bilang kalau aku memperhatikan kalian berdua.”

    “Maka-nya kamu jangan terlalu cuek sama keadaan sekitar. Tapi tetap saja aku lebih popular dari kamu.” Kata Topan sambil menyentil keningku.

    Aku hanya bisa diam. Cemberut. Merasa seperti orang yang tidak tau apa-apa. Topan dan Dhea masih tetap tertawa.

    *****

    “Kok masih di sini, Chan? Belum pulang?” Tanya Topan.

    “Iya, masih nungguin Mas Billy neh, kayaknya telat deh dia datangnya.”

    “Mau aku anterin sampe rumah?” Tawar Topan.

    “Eh… Nggak usah, aku juga sudah SMS dia kok. Lagi pula kamu masih ada latihan paskibra kan?”

    “Nggak apa-apa kok, aku bisa izin sebentar.”

    “Nggak usah, Pan. Palingan bentar lagi dia datang. Sana gih latihan dulu. Nanti dimarahin lagi.”

    Karena kondisi aku belum terlalu pulih, aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler paskibra. Untung saja guru pembimbing dan pembina paskibra mengerti sehingga aku diizikan untuk istirahat sementara waktu.

    “Yeee…ngusir.” Kata Topan sambil menjitak kepalaku.

    “Auw… hus…hus…hus…Weeeek…” Kataku sambil menjulurkan lidah.

    “Beneran neh nggak apa-apa?” Tanya Topan Khawatir.

    Aku hanya bisa mengangguk dan mengedipkan mata.

    “Ih, genit! Ya udah kalo ada apa-apa kasih tau aku, ya?”

    “Iya Topan sayang. Udah sana latihan dulu. Aku nggak apa-apa kok.” Kataku menggoda Topan.

    Tampaknya Topan masih ragu meninggalkan aku sendirian. “Iya udah, aku latihan dulu ya. Kamu hati-hati yah.”

    Akhir aku harus menunggu Mas Billy sendirian. Aku duduk di kursi taman sambil memainkan games di handphone-ku.

    “Chan, kok belum pulang?”

    O… ternyata Yudha sedang duduk di atas motornya bersiap mau pulang.

    “Iya, aku masih nunggu kakakku menjemput.”

    “O gitu, aku temenin yah?” Yudha menawarkan diri.

    “Eh, nggak usah. Ntar ngerepotin.” Aku menolak dengan halus.

    “Nggak ngerepotin kok cuma duduk nemenin kamu.” Kata Yudha sambil memarkirkan motornya lalu duduk menemaniku.

    “Aduh, aku jadi nggak enak sama kamu…Kak.”

    “Kak?? Jangan pake embel-embel ‘Kak’ donk. Panggil Yudha saja.”

    “Aku kan baru tau kalo kamu tuh kakak kelasku. Nggak sopan lah kalo panggil nama doank.”
    “Haha, nggak apa-apa kok. Panggil Yudha aja. Kesannya tua banget kalo pake embel-embel ‘Kak’… Haha…” Kata Yudha tersenyum.

    “Oke deh kalo begitu. Kalau itu mau nya kamu, Yudha.”

    “Nah gitu donk.”

    Kami berdua akhirnya sama-sama diam, tidak tau harus ngomong apalagi.

    “Kamu…” Kataku dan Yudha bersamaan.

    Akhirnya kami berdua tertawa, kok bisa kompakan gini.

    “Ya udah kamu duluan, Chan.” Kata Yudha.

    “By the way, gimana perkembangan kamu dengan orang yang kamu sukain?” tanyaku.

    Yudha sedikit berpikir lalu berkata, “Sudah ada sedikit kemajuan. Sudah bisa banyak mengobrol dengannya.”

    “Kenapa nggak menyatakan perasaan kamu ke dia?”

    “Aku nggak yakin dia juga suka sama aku.” Kata Yudha sambil menatapku.

    Aku merasakan ada yang aneh dengan tatapan Yudha ke aku. Mungkin cuma perasaan aku saja. Tapi kalau diperhatikan cowok berkacamata ini ternyata ganteng juga. Dheg, kok dadaku jadi berdebar-debar seperti ini. Ah, nggak mungkin aku suka padanya. Mungkin cuma sesaat saja kan yang aku suka adalah Topan bukan Yudha.

    “Kamu kenapa? Mukamu merah. Apakah kamu sakit?” Tanya Yudha khawatir.

    “Eh, nggak kok. Nggak apa-apa.” Kataku gugup.

    Tin… Tin…Tin

    Ah, itu dia Mas Billy sudah datang menjemputku. Aku lihat Ford hitam milik kakakku sudah berada di depan sekolah.

    “Eh, Kakakku sudah datang, Yudh.” Kataku. “Aku pulang duluan, ya!”

    “Oh, oke. Hati-hati di jalan ya. Senang bisa ngobrol dengan kamu.”

    Kalau Mas Billy nggak datang, aku nggak tau harus ngapain. Jujur tadi sesaat aku merasa berdebar berdekatan dengan Yudha. Mas Billy kau penyelamatku.

    *****

    Di dalam mobil menuju perjalanan pulang ke rumah. Aku kesal sama Mas Billy karena dia datangnya telat kalau saja tidak telat aku kan tidak perlu bertemu dengan Yudha.

    “Mas, kok telat datangnya. Aku nungguin hampir 30 menit tadi.” Kataku cemberut.

    “Maaf tadi di Jalan Baru macet banget, lagi pula tadi aku lihat kamu ditemenin oleh cowok. Yang tadi bukan Topan kan?”

    “Itu Yudha, temenku juga. Topan lagi latihan paskibra.” Aku masih tetap cemberut.

    “Maaf, ya.” Kata Mas Billy sambil mengelus rambutku.

    Kenapa sih dengan Mas Billy? Aneh nggak seperti biasanya. Mas Billy, Topan dan Yudha juga aneh. Aku merasakan sesuatu yang ganjil.

    “Gimana kalau kita ke Botani Square dulu?” Usul Mas Billy.

    “Mau ngapain?”

    “Sebagai permintaan maaf, Mas mau mengajak kamu nonton di XXI . Mas lagi mau nonton Real Steel. Katanya film itu bagus loh!”

    “Terserah Mas saja deh! Tapi bayarin ya?”

    “Iya, Adekku yang manis. Hehe…”

    “Jangan panggil aku manis!” Kataku kesal.

    *****

    Setelah selesai nonton di bioskop, Mas Billy juga membelikan aku roti di Bread Talk dan donat di Jco. Kami juga bermain di Timezone. Pokoknya hari ini aku sangat senang. Semua ini berkat Mas Billy, jadi makin sayang aku sama Mas Billy.

    Kami berdua akhirnya tiba di rumah pukul 7 malam. Sampai di rumah Mbak Surti juga sudah menyuguhkan makan malam. Menu yang dibuat Mbak Surti adalah semur daging dan cah kangkung. Keduanya adalah makanan kesukaanku. Rutinitas makan malam bersama Papa dan Mama harus ditunda karena mereka sudah menjagaku sewaktu aku masih berada di rumah sakit. Tetapi aku senang karena sekarang ada Mas Billy biasanya aku harus makan malam sendirian.

    Setelah makan malam bersama Mas Billy, aku kembali ke kamarku dan bersiap untuk mandi. Aku membuka baju seragamku dan memasukkan ke dalam tempat cucian kotor. Saat ini aku hanya menggunakan boxer dan bertelanjang dada. Aku mengamati badanku di cermin. Ternyata aku cukup seksi juga pikirku. Hahaha.
    Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka. Aku kaget kukira Mbak Surti ternyata Mas Billy.

    “Ah, maaf.” Kata Mas Billy kemudian menutup pintu kamarku dan pergi menuju kamarnya.

    Kenapa sich Mas Billy? Kalo mau masuk ke kamarku masuk saja. Eh, tapi kok kalau aku lihat tadi muka Mas Billy memerah. Kenapa ya? Apa dia malu lihat aku seperti ini? Kita kan sama-sama cowok lagipula dia itu kakakku, dulu ajah kita masih suka mandi bareng. Ah, daripada mikirin hal yang tidak jelas mendingan aku mandi saja.

    *****

    Ah,,, sudah jam 12 malam tapi aku nggak bisa tidur. Lebih baik aku ke kamarnya Mas Billy deh. Aku membawa bantal dan gulingku lalu menuju ke kamar Mas Billy. Aku membuka pintu kamarnya, aku lihat ternyata Mas Billy sudah tidur pulas. Aku menghampiri ranjang Mas Billy dan berbaring di sebelahnya.

    “Mas…Mas Billy…” Aku memanggil Mas Billy sambil mengguncangkan tubuhnya.

    Ih! Dasar kebo dibangunin nggak bangun-bangun. Gimana kalo gempa ato kebakaran, nggak bakal sadar kali. Tiba-tiba Mas Billy memelukku. Waduh… dikiranya aku guling, tangan dan kakinya Mas Billy langsung saja memelukku sehingga aku agak kesulitan bergerak.

    *****

    Esok paginya, Mas Billy terkejut ketika menemukanku tidur bersamanya. Aku bilang kalau aku tidak bisa tidur dan pindah ke kamarnya. Karena sekarang hari Minggu, aku ingin tidur lebih lama lagi. Tetapi aku jadi tidak bisa tidur lagi karena Mas Billy menggangguku.

    “Ayo bangun, Chan. Kita lari pagi yuk di Sempur?” Kata Mas Billy.

    “Males Mas. Aku masih pingin tidur. Udah ah jangan ganggu.”

    Tiba-tiba Mas Billy menarik selimutku. “Ayo temenin aku lari di Sempur. Kalo nggak aku…”

    Karena aku tidak segera bangun maka Mas Billy mengelitik aku. Mau tidak mau aku segera bangun. Mas Billy segera mendorong aku untuk berganti pakaian dan bergosok gigi.

    Akhirnya Mas Billy berhasil memaksaku untuk ikut dengannya. Di Sempur juga sudah sangat ramai dengan orang-orang yang ingin berolahraga atau hanya sekedar nongkrong. Aku dan Mas Billy juga sudah mengelilingi beberapa lap. Setelah berlari, cacing-cacing di perutku berteriak minta perutku diisi makanan. Oleh karena itu aku memesan bubur ayam yang terkenal kelezatannya. Aku harus mengantri karena yang memesan bubur ayam sangat banyak sekali. Tapi Mas Billy pergi meninggalkan aku sendirian karena dia bertemu pacarnya. Menyebalkan kalau seperti ini aku harusnya melanjutkan tidurku saja tadi.

    “Chandra…” Aku mendengar suara cowok yang memanggil namaku.

    Ketika aku menoleh, aku melihat Yudha sedang berdiri di belakangku. Entah kenapa aku selalu bertemu dengannya secara tidak sengaja.

    “Sedang ngapain kamu di sini?” Tanya Yudha.

    “Lagi mesen bubur ayam tapi masih ngantri.”

    “Sendirian saja?”

    “Nggak tadi bareng sama Kakakku tapi ketika ketemu sama pacarnya, dia meninggalkan aku sendirian.” Aku menjelaskan.

    “O...”

    “Kalo kamu?”

    “Biasanya sama teman-teman tetapi hari ini aku sendirian. Setiap hari Minggu aku dan teman-teman selalu berolahraga di sini.” Kata Yudha lalu duduk di sebelah aku.

    “Kamu sudah pesan bubur ayam?”

    “Tadi aku sudah makan.” Kata Yudha sambil tersenyum.

    “Maaf, Mas. Kelamaan ini buburnya.” Kata tukang bubur ayam sambil menyerahkan bubur ayam pesananku.

    “Aku makan dulu ea? Apa kamu mau makan lagi?”

    “Haha… masih kenyang. Ya udah kamu makan saja aku tungguin kok.”

    Akhirnya aku memakan bubur ayam pesananku. Setelah habis Yudha mengajak aku untuk berkeliling. Kami berdua ngobrol banyak. Yang baru aku ketahui ternyata aku dan Yudha mempunyai banyak kesamaan, dari penyanyi favorite hingga sifat-sifat. Ternyata Yudha berbintang Scorpio sama seperti aku. Aku lahir pada tanggal 1 November sedangkan Yudha lahir pada tanggal 31 Oktober. Hanya berbeda 1 hari denganku.

    Hachi

    Handphone aku berbunyi tanda ada sms masuk. Aku mengambil handphone yang aku kantongi di saku celana. Ternyata dari Mas Billy.

    -Mas Billy-
    Maaf ya Chan, aku harus nganterin Rere pulang ke rumah. Kamu bisa kan pulang sendiri. Nanti aku turuti deh semua kemauan kamu. Maaf ya.


    Ah, Mas Billy menyebalkan! Sudah ngajak aku ke Sempur malah sekarang ditinggalin. Kalau tau begini aku tidak usah ikut. Oia Rere itu nama pacar Mas Billy.

    “Kenapa Chan?” Tanya Yudha melihat raut wajahku yang kesal.

    “Lagi kesel sama kakakku, dia ngajakin lari malah sekarang ngaterin ceweknya pulang dan ninggalin aku di sini.” Kataku kesal.

    “Ya udah, nanti aku anterin sampai rumah deh. Aku bawa motor kok.” Yudha menawarkan diri untuk mengantarku.

    “Yang bener nih? Aduh jadi ngerepotin.”

    “Nggak apa-apa kok, santai sajah.”

    Akhirnya Yudha mengantar aku pulang, aku lihat mobil Mas Billy juga tidak ada. Itu berarti dia belum pulang. Aku dan Yudha sempat bertukar nomor handphone. Aku menawarkan Yudha untuk mampir ke rumah tapi dia menolak katanya lain kali saja mainnya.

    Aku segera masuk kamar dan tiduran di ranjang. Aku segera mengeluarkan handphone di saku dan mengetik sms untuk Mas Billy.

    MAS BILLY JAHAT!!! UDAH GITU JELEK LAGI. WEEEEKK.

    *****

    Aku masih kesal sama Mas Billy, ketika dia sampai di rumah dia langsung membujuk aku untuk memaafkannya. Tetapi aku tidak mau, aku sungguh kesal kalau saja tidak ada Yudha aku harus ngapain coba di sana. Demi menerima maafku, Mas Billy melakukan segalanya agar aku tidak marah lagi dari memijatku, membelikan aku coklat dan es krim. Memang sih harus aku akui kalau pijatan Mas Billy itu enak banget. Hehe…

    Tapi tetap saja aku tidak bisa lama-lama marah sama Mas Billy. Akhirnya aku memaafkannya. Eh sudah dimaafkan malah dia mengacak-ngacak rambutku.

    “Mas, pijetan Mas enak loh. Kayaknya cocok jadi tukang pijet keliling.” Ledekku.

    “Sialan kamu.” Kata Mas Billy lalu melemparkan bantal sofa ke arah aku.

    Pada akhirnya kami berdua malah jadi main perang-perangan bantal. Dan tertawa sesudahnya. Dia sekarang jadi jarang menggoda aku, kalau sajah Mas Billy seperti ini sejak dulu. Perhatian sama adiknya yang ganteng ini. Hehehe…

    Minggu siang ini, cuaca sangat panas ingin sekali aku berenang. Karena Mas Billy sedang ada di rumah dan tidak pergi ke mana-mana. Aku mengajaknya berenang. Untungnya di rumahku ada kolam renang jadi aku tidak perlu repot-repot untuk pergi ke Jungle.

    “Mas, berenang yuk? Gerah neh.” Kataku mengajak Mas Billy.

    “Males ah, siang-siang gini nanti kulit jadi item.”

    Idih rese, masa cowok takut jadi item kulitnya. Aku keluarin jurus maut biar Mas Billy tidak menolak ajakku. Jurus aku itu yaitu cemberut.

    Melihat aku cemberut kayak gini aku yakin Mas Billy bakal nurutin kemauan aku. Ternyata jurusku sangat ampuh, Mas Billy langsung menurutiku. Hehe.

    Akhirnya kami berdua berenang di kolam renang yang berada di halaman belakang. Aku menggunakan speedo berwarna biru dengan garis warna putih. Sedangkan Mas Billy mengunakan boxer

    Ketika sedang asik bermain air, aku lihat Mas Billy sedang memperhatikanku.

    “Kenapa Mas ngeliatin aku kayak gitu?” Tanyaku.

    “Nggak kok. Badan kamu kok kurus banget ya?” Kata Mas Billy gugup.

    Sialan! Mentang-mentang perutnya six pack dan bentuk badannya bagus. Bisa-bisanya meledek aku seperti itu.

    Ting Tong

    Suara bel rumahku berbunyi segera aku panggil Mbak Surti.

    “MBAK SURTI! MBAK SURTI! ADA TAMU TUH!” Teriak aku.

    Aku teruskan saja berenang, Mas Billy juga hanya duduk-duduk sajah di pinggir kolam.

    “Mas Chandra, ada Mas Topan di depan.” Kata Mbak Surti.

    “Suruh ke sini aja. Sekalian buatkan minuman buat kita bertiga ya, Mbak!”

    “Baik, Mas.”

    Tidak lama kemudian, Topan datang ke kolam renang. Kemudian dia segera duduk di kursi malas yang berada di pinggir kolam.

    “Pan, ayo berenang bareng kita. Seger loh airnya.” Kataku.

    Topan hanya mengangguk kemudian melepaskan kaos dan celana jeansnya. Aku hanya bisa bengong melihatnya. Dadaku berdebar sangat kencang.

    “Ini Mas, Minumannya. Surti taruh di meja, ya?” Kata Mbak Surti malu-malu sambil melirik-lirik ke arah kami.

    Dasar Mbak Surti ganjen, “Mbak Surti masuk ajah ke dalam rumah. Awas bintitan ngeliat 3 cowok ganteng setengah telanjang.” Ledekku.

    Kami bertiga hanya tertawa melihat tingkah Mbak Surti yang salah tingkah. Kami bertiga akhirnya melanjutkan berenang. Karena aku sudah kecapaian berenang dari tadi, aku pun menepi dan duduk di pinggir kolam.

    Aku sadar kalau dari tadi aku sedang diperhatikan oleh Topan dan Mas Billy. Aku jadi agak risih diliatin seperti itu.

    “Kenapa sih kalian berdua ngeliatin aku seperti itu?” tanyaku risih.

    Ditanya seperti itu, mereka berdua jadi salah tingkah. Lalu mereka melanjutkan berenang. Aku berpikir mereka jadi sangat aneh. Ngapain sih ngeliatin aku dari tadi. Sebenarnya seneng sih diliatin sama Topan tapi kenapa Mas Billy juga ngeliatin aku.

    Dasar aneh!!

    Hachi

    Handphone aku berbunyi, ternyata ada SMS dari Yudha.

    -Yudha-
    Hei, Chan! Lagi ngapain?


    Ya ampun. Baru saja ketemu tadi pagi, siangnya sudah SMS aku. Segera kuketik dengan cepat SMS balesannya.

    Lagi berenang neh bareng sama Topan dan Mas Billy. Hehe

    Aku lihat Topan dan Mas Billy juga sudah menepi. Mereka segera bergabung dengan aku, duduk di kursi malas.

    Hachi

    Yudha ternyata membalas SMS dengan cepat.

    -Yudha-
    O… Asik donk panas-panas gini. Ntar item loh. Btw siapa itu Topan dan Mas Billy?


    Aduh Yudha ternyata sama saja seperti Mas Billy pada takut item.

    Mas Billy itu kakakku, kalau Topan itu sahabat aku. Ternyata kamu tuh sama kayak Mas Billy takut item. Haha.

    “Dari siapa, Chan?” Tanya Mas Billy penasaran.

    “Dari Yudha, Mas.”

    “Yudha?” Tanya Mas Billy. Ada nada yang aneh di suaranya Mas Billy.

    “Itu yang kemarin nemenin aku nungguin Mas Billy. Yang tadi pagi juga anterin aku pulang ke rumah.” Aku menjelaskan.

    Aku liat Mas Billy menatap aku dengan aneh.

    Tiba-tiba Topan bertanya, “Yudha, yang anak XII IPA 1 itu?”

    Aku hanya menganggukan kepala.

    Sejak kapan kamu SMS-an sama dia?” Kata Topan.

    Kok di nada suara ada sedikit rasa cemburu, ya? Apa cuma perasaan aku saja?

    “Baru kali ini kok.”

    Kenapa hari ini sangat aneh. Mas Billy dan Topan bertingkah aneh sekali. Membuat aku bingung seperti ini.

    *****

  • Sejak ngobrol banyak dengan Yudha di Sempur, kami jadi semakin dekat. Yudha sering menyapaku kalau bertemu di sekolah. Entah kenapa Topan terlihat tidak menyukai kedekatan aku dengan Yudha. Ketika aku bertanya ke Dhea, Dhea juga tidak mengerti dengan sifat Topan. Apa Topan cemburu kalau aku dekat sama Yudha. Tapi itu tidak mungkin karena dia sudah mempunyai Mitha. Kadang-kadang aku juga berharap Topan cemburu. Sering kali Topan dengan sengaja bermesraan di depanku. Sudah tentu aku kesal karena memang aku masih menyukai Topan.

    Suatu kali aku bertanya ke Topan, “Kenapa sich aku nggak boleh dekat sama Yudha?”

    “Aku nggak suka aja dengan Yudha. Lebih baik kamu nggak usah dekat-dekat dengannya.” Kata Topan.

    “Tapi kenapa?”

    “Pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat dengannya?” Topan mulai kesal.

    “Apa hak kamu melarang-larang aku?” Aku mulai kesal karena Topan bersikap posesif.

    “Aku ini sahabat kamu, aku…”

    “Ya, memang kamu sahabat aku. Tapi kamu itu bukan pacar aku! Kayaknya kamu itu cemburu kalau aku dekat sama dia. Inget kan kamu itu nolak aku. Jadi buat apa kamu ngelarang-larang aku?” Kataku kesal.

    “Aku nggak… Terserah kamu deh!” Kata Topan lalu pergi meninggalkanku.

    Argh!!! Aku kesal kenapa dengan Topan sih. Kalo cemburu kenapa nggak jujur saja.

    Kalo sedang kesal seperti ini aku pasti akan ke belakang sekolah duduk di bawah pohon beringin. Ya, di situlah aku sekarang. Duduk di bawah pohon beringin, menangis. Entah kenapa aku gampang sekali menangis belakangan ini. Cuaca juga mendung, ini pasti gara-gara aku. Karena saat ini suasana hatiku juga sedang mendung.

    “Hey, Chan! Sedang apa kamu di sini sendirian?” Kata Yudha yang tiba-tiba saja sudah duduk di samping aku.

    Aku segera menghapus air mataku, aku tidak mau terlihat cengeng di depan orang lain.

    “Kamu abis nangis ya?”

    “Ah, nggak kok cuma kelilipan.” Kataku berbohong.

    “Kamu nggak usah bohong, Chan.” Kata Yudha tidak percaya. “Kamu kenapa? Kamu boleh cerita ke aku mungkin aku bisa bantu.”

    Yudha sangat baik, kenapa Topan sangat tidak menyukainya. “Aku habis berantem dengan orang yang aku suka.”

    “Kamu sudah punya pacar?” Tanya Yudha.

    Aku menggelengkan kepala, “Dia sebenarnya sudah punya pacar. Tetapi dia tau kalau aku suka sama dia. Dia nggak suka aku dekat dengan seseorang terus dia melarang aku. Aku bertanya dia punya hak apa melarang aku. Abis itu kami bertengkar.”

    “Mungkin dia sebenarnya suka sama kamu.”

    “Itu nggak mungkin… dia… jelas-jelas dia sudah menolakku.”

    Aku berpikir apa mungkin Topan menyukaiku? Tapi rasanya tidak mungkin, dia sama Mitha juga terlihat mesra. Ah mengingat hal itu membuat aku kesal saja.

    “Sudahlah nggak usah dibahas lagi. Memikirkannya saja sudah membuatku kesal.”

    “Hehe.” Yudha tersenyum, “Dulu kita pertama kali bertemu di sini kan?”

    “Iya, aku ingat kok. Hehe… Di sini adalah tempat favorite aku kalo aku sedang sedih, kesal atau marah. Pasti aku selalu ke sini. Entah mengapa kalau berada di sini membuat perasaanku jadi tenang.”

    “O… begitu. Aku jadi gangguin kamu dong berarti?”

    “Haha… nggak kok.”

    *****

    Entah sampai kapan aku dan Topan berhenti dari perang dingin ini, saling tidak berbicara satu sama lain. Dhea yang melihat tingkah kami berdua juga ikutan kesal, katanya kami seperti anak kecil. Tidak ada yang mau saling mengalah untuk meminta maaf lebih dulu.

    Karena itu aku dan Yudha jadi semakin dekat, Topan juga jadi semakin sering memamerkan kemesraan di depan aku. Aku tau kalo itu sebenarnya disengaja. Hanya ingin membuatku cemburu.

    Ketika sedang ngobrol dengan Yudha, Topan menghampiri kami dan menarikku pergi meninggalkan Yudha. Aku ini sepertinya gampang sekali diseret-seret orang. Aku marah-marah ke Topan karena memaksa aku untuk ikut dengannya. Aku tau kalo kami diliatin oleh murid-murid lain. Tapi sepertinya Topan tidak mempedulikannya. Topan membawaku ke dalam gedung olahraga yang saat itu sedang kosong.

    “Sekarang kamu mau apa?” Kataku ketus.

    “Chan, aku mau kamu jauhin dia sekarang!” Nada suara Topan penuh dengan emosi.

    “Memangnya kamu ini siapa aku?”

    “Aku ini sahabat kamu, aku cuma mau yang terbaik untuk kamu. Aku tau Yudha itu sama sekali tidak baik untuk kamu. Dia mempunyai maksud tertentu ke kamu!”

    “Yudha nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku tau dia orang baik.”

    “Pokoknya kamu jangan dekat-dekat sama dia.”

    “Aku mau dekat dengan siapa, kamu nggak berhak untuk melarang aku! Kamu ini bukan pacar aku!”

    “Ya udah! Kalo itu masalahnya ayo kita pacaran supaya kamu nggak usah dekat-dekat sama dia!” Emosi Topan meledak-ledak.

    “Bukan itu masalahnya…” Topan mendorongku ke arah tembok dan kemudian menciumku tepat di bibir.

    Cup

    “Itu yang kamu mau sejak dulu!” kata Topan.

    PLAK!!!

    Aku menampar Topan cukup keras. Air mataku mengalir begitu saja. Kenapa Topan melakukan hal itu? Menciumku! Dia kan sudah mempunyai pacar. Dia juga sudah menolakku. Aku memang menyukai Topan tapi bukan dengan cara seperti ini. Aku tahu saat ini Topan sedang emosi sehingga tidak bisa berpikir jernih. Kami berdua sama-sama sedang emosi.

    Aku segera berlari meninggalkan Topan, air mataku juga tidak bisa berhenti. Ketika aku keluar aku melihat Yudha sedang berdiri di depan pintu gedung olahraga. Aku kaget tapi aku tidak peduli. Sepertinya Yudha melihat semua yang terjadi antara aku dan Topan. Aku juga mendengar Yudha memanggilku ketika aku berlari. Aku terlalu marah dan sedih sehingga aku tidak mempedulikannya. Aku juga bertemu Dhea, dia melihatku menangis tapi aku tidak peduli yang aku pikirkan sekarang adalah harus pergi dari sini.

    *****

    Aku segera mengunci diriku di kamar. Menangis. Tadi aku langsung pulang ke rumah tanpa ingat segalanya. Sampai-sampai tas sekolahku tidak aku bawa pulang. Aku terus saja menangis, suara Mbak Surti yang mengkhawatirkan aku tidak aku gubris setelah dia melihat aku menangis. Aku juga mendengar suara Mas Billy nggak lama kemudian, aku tau kalo Mbak Surti menghubungi Mas Billy. Tapi aku juga tidak menggubrisnya. Aku tetap saja menangis.

    Entah sampai jam berapa aku menangis begitu aku lihat jam dinding ternyata sudah hampir jam 9 malam. Air mataku sudah kering. Perutku juga sudah sangat lapar. Aku segera membuka pintu kamarku, lalu menuju ke ruang tengah. Di situ aku melihat Mas Billy sedang nonton TV, aku segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Dia terlihat sangat cemas.

    “Ya ampun, Chan. Mata kamu bengkak banget itu.” Kata Mas Billy.

    Memang aku belum lihat sebengkak apa mataku tetapi memang mataku terasa perih.

    “Mata kamu harus di kompres. Sebentar aku ambil obatnya dolo.” Kata Mas Billy lalu pergi untuk mengambil obat.

    Tidak lama kemudian Mas Billy membawa mangkuk dan kain.

    “Obatnya nggak ada. Kamu kompres pakai ini ajah dulu. Nanti aku belikan obatnya.” Kata Mas Billy.
    Aku menganggukan kepala. Mas Billy sungguh kakak yang baik.

    “Sini rebahan di pahaku. Biar Mas yang kompresin.”

    Aku menuruti perintahnya Mas Billy, lalu ia segera mengompres mataku dengan kain yang dibasahi oleh air. Mas Billy sangat pengertian sekali.

    Tiba-tiba Mas Billy berkata, “Tadi ada Dhea sama Yudha ke sini, mereka ngantarin tas kamu. Mereka sangat khawatir.”

    Memang tadi di sekolah aku tidak mempedulikan mereka, pasti mereka sangat khawatir. Aku juga memeriksa handphone-ku ternyata banyak sms dan missed calls dari Dhea dan Yudha. Yang menanyakan keadaanku. Dari semua sms Dhea dan Yudha ada satu SMS dari Topan. Dia Cuma menuliskan satu kata yaitu ‘MAAF’.

    “Mas boleh tau? Kamu kenapa?” Tanya Mas Billy.

    Aku hanya bisa diam karena aku nggak mau Mas Billy tahu apa yang terjadi.

    “Ya udah nggak apa-apa kalo kamu nggak mau cerita.” Kata Mas Billy. “Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kamu jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Mas khawatir sama kamu.”

    Mas Billy sangat mencemaskan aku. Maafin aku Mas sudah membuat kamu cemas.

    “Liat kamu masih pakai seragam sekolah. Pasti kamu sekarang lapar?”

    Aku hanya mengangguk. Aku baru sadar kalau aku belum berganti pakaian sejak tadi.

    “Ya udah, Mas ambilin makanan setelah makan kamu langsung mandi ya? Badan kamu udah bau. Hehe…”

    Aku hanya tersenyum. “Suapin ya, Mas.”

    “Dasar manja. Nggak inget umur apa udah 17 tahun masih minta suapin. Jangan-jangan nanti minta dimandiin lagi.” Mas Billy ngedumel.

    “Hehe… boleh juga tuh.” Kataku bercanda.

    “Huh! Mau-nya” Kata Mas Billy sambil ngeloyor ke dapur mengambil makanan buatku.

    Walaupun jahil tapi tetap saja Mas Billy selalu baik terhadap aku. Sekarang dia juga lagi menyuapi aku.

    Setelah selesai menyuapi aku Mas Billy menyuruh aku mandi. “Ayo mandi. Katanya mau dimandiin sama Mas.”

    Nah loh! Mas Billy beneran mau mandiin aku? Kan tadi aku cuma bercanda masa dianggap serius sih. Lebih baik aku kabur saja.

    “Chan mau kemana? Katanya mau dimandiin?” Kata Mas Billy ketika melihat aku kabur.

    “Ogah, nanti Mas Billy nafsu lagi liat aku telanjang. Weeekk.” Kataku sambil menjulurkan lidah.

    “HAHA…HAHA…HAHA… Enak ajah. Kamu tuh yang kepingin dimandiin.” Mas Billy tertawa terbahak-bahak.

    Sialan ternyata dia cuma ngegodain aku! Aku kira beneran hahaha. Ngarep!

    *****

    Setelah mandi aku merasa lebih baikan. Mas Billy juga lagi di kamarku sedang bermain game di komputer. Katanya sih mau nemenin aku, takut aku melakukan yang tidak-tidak. Dasar, aku kan tidak berpikiran pendek seperti itu.

    “Mas, besok aku bolos ya?” kataku.

    “Hmmm.” Mas Billy masih asik bermain game di computer.

    Ide iseng muncul di otakku. Aku langsung saja me-restart komputer yang sedang digunakan oleh Mas Billy.

    “Chandra!!! Iseng banget sich!” Kata Mas Billy kesal.

    Aku hanya bisa cengengesan, “Hehe…”

    Mas Billy akhirnya mengunci kepalaku di bawah lengannya lalu menjitakku. Aku tentu saja tidak mau kalah sehingga akhirnya kami berdua jadi bergulat. Pertarungan kami seimbang karena kami berdua tidak mau mengalah. Keringat mengucur dari wajah kami berdua. Pada akhirnya kami berdua tertawa.

    “Haha…Mas hebat. Nggak mau ngalah sama aku lagi.”

    “Hahah kamu juga. Kalo soal gulat aku jagonya.” Kata Mas Billy memuji dirinya sendiri.

    “Dasar! Tau deh kan aku pernah liat waktu itu Mas Billy sama Mbak Rere.” Kataku jahil.

    Mas Billy menjitak kepalaku, “Waktu itu kami berdua kaget kepergok sama kamu. Nggak aku sangka kamu pulang secepat itu.”

    “Haha… salah sendiri pintu kamar nggak dikunci. Lagi pula kan aku udah manggil-manggil Mas Billy tapi Mas nggak nyaut juga. Ya udah aku masuk ajah ke kamar Mas Billy.”

    “Aku nggak denger ah kamu manggil-manggil.”

    “Mas sih terlalu sibuk jadinya nggak denger deh.”

    “Udah ah! Tidur yuk!” Ajak Mas Billy.

    Kami berdua pindah ke ranjangku. “Mas…”

    “Hmmm…?”

    “Temenin aku bolos ya besok?” kataku memohon.

    “Iya, udah sana tidur.”

    “Mas…”

    “Apaan sih?”

    “Kelonin, hehehe…” Candaku.

    Mas Billy beneran memelukku dari belakang. “Udah tidur sana.”
    Kalau orang lihat pasti merasa aneh. Melihat kami seperti ini. Sejak dulu memang aku selalu seperti ini ke Mas Billy. Bermain bareng, mandi bareng bahkan tidur juga bareng sampai-sampai setiap aku tidur selalu dikelonin oleh Mas Billy. Walaupun kami berdua mempunyai kamar sendiri-sendiri. Tetapi semenjak Mas Billy duduk di bangku SMA itu semua sudah jarang terjadi. Mas Billy selalu sibuk dengan teman-teman sekolahnya. Semenjak aku masuk rumah sakit, Mas Billy juga mulai berubah seperti dulu lagi. Tapi kalau mandi bareng itu tidak pernah, karena sudah besar jadinya aku malu.

    “Mas…” Aku memanggil Mas Billy lagi.

    “Apa lagi sih?”

    “Mas, kok burungnya ‘ngaceng’ sih?” ejekku.

    Mas Billy segera melepas pelukkannya dan wajahnya memerah, “Apaan sich kamu? Nggak ngaceng kok.”

    “Hehe bercanda.”

    “Udah tidur sana, jangan bercanda mulu.” Membelakangiku.

    “Kelonin lagi Mas. Beneran deh sekarang tidur. Janji.”

    Mas Billy berbalik dan memelukku lagi.

    *****

    Hari ini Mas Billy nemenin aku bolos sekolah, Mas Billy ngajak aku jalan-jalan ke Puncak. Walau sekedar ngopi dan makan jagung bakar, aku cukup senang karena ada Mas Billy. Mas Billy benar-benar kakak yang baik dan pengertian. Mas Billy juga masih tetap berusaha mengetahui penyebab aku menangis tetapi dia tidak mendapat jawabannya. Karena aku memang tidak mau membahas hal tersebut.

    Selama dengan Mas Billy, handphone aku matikan dan aku juga tidak lupa berpesan ke Mbak Surti jika ada yang mencari aku bilang saja aku tidak ada. Karena saat ini aku memang sedang mau menikmati momen bersama antara kakak dan adik.

    Mas Billy mengajak aku bermain Gantole, awalnya aku takut tapi ternyata seru juga. Bisa melihat pemandangan di Puncak. Setelah bermain Gantole, Mas Billy bahkan mengajak aku ke Taman Safari. Aku memang sudah lama sekali tidak ke Taman Safari. Terakhir kali ke Taman Safari waktu kami sekeluarga pergi berempat. Sekarang hanya bersama Mas Billy. Seperti sedang berkencan saja. Hahaha.

    Hari ini aku merasa senang sekali, Mas Billy sungguh baik sekali dia benar-benar bisa membuat aku bahagia. Seandainya saja Mas Billy itu Topan. Argh aku ini kenapa bisa berpikir seperti itu.

    “Mas, hari ini aku senang sekali.” Kataku setelah kamu sampai di rumah.

    “Maka nya jangan nangis terus.”

    Aku memeluk Mas Billy, “Makasih ya, Mas. Kau itu benar-benar kakak yang baik.”

    “Iya, sama-sama itu kan gunanya kakak.”

    “Mas…”

    “Ya?”

    “Apa perlu aku cium juga? Hehe…” Candaku.

    “Argh… Ogah, lepasin aku, Chan.” Kata Mas Billy berusaha melepaskan pelukkanku tetapi pelukkanku terlalu kuat.

    “Mau dicium dimana? Pipi? Kening? Apa Bibir?” aku tertawa jahat.

    “Argh… Tolong…” Akhirnya Mas Billy berhasil melepaskan pelukkanku dan kabur ke kamarnya.

    Aku mengejar Mas Billy ke kamarnya. Haha.

    *****

    Setelah kemarin membolos, sekarang aku memutuskan untuk masuk sekolah. Kulihat keadaan kelas sudah cukup ramai, ternyata Topan dan Dhea juga sudah datang. Aku lihat mereka sedang mengobrol, dan begitu mereka berdua melihatku, mereka berhenti mengobrol. Aku berjalan menuju kursiku dan menyapa mereka.

    “Pagi Dhea! Topan!” Kataku memberika senyuman termanisku.

    “Eh… Pagi juga Chan!” Kata Dhea kikuk. Aku lihat Topan juga terlihat kaget dan kikuk.

    Aku tau kalo Topan tadi sedang bercerita tentang apa yang terjadi kemarin. Aku tau betul sifat Dhea, Dhea orangnya selalu peduli terhadap orang lain.

    Dhea datang menghampiriku, “Bagaimana kabar kamu? Aku sangat khawatir. Kemarin melihat kamu…”

    “Baik. Nggak pernah sebaik seperti ini sebelumnya.” Kataku memotong omongan Dhea.

    “O… Begitu.” Dhea terlihat bingung. Aku tahu kalo Topan sedang mengamati kami.

    “Oia, aku harus ke ruang guru. Harus menyerahkan surat karena kemarin nggak masuk.” Kataku meninggalkan Dhea dan Topan.

    Aku tahu mereka kaget melihatku sudah sedikit berubah. Tapi tadi malam aku berjanji pada diriku sendiri. Aku harus terlihat kuat! Aku harus selalu kuat terutama di depan Dhea dan Topan. Aku nggak mau mereka melihatku sebagai orang yang lemah. Aku hanya bisa tersenyum kepada mereka walau hatiku sedih.

    Sebenarnya aku berbohong, aku hanya menghindari mereka. Aku takut ketahuan tentang perasaan aku yang sebenarnya. Yang tidak bisa melupakan kejadian aku bersama Topan kemarin. Tapi aku sadar aku harus menyelesaikan masalah ini. Kalau seperti ini terus tidak ada jalan keluarnya. Karena saat itu kami sama-sama emosi.

    Aku berjalan menuju belakang sekolah ke tempat favorit aku. Aku duduk di bawah pohon beringin. Aku menangis kembali karena perlakuan Topan kemarin. Sekarang aku tahu bahwa aku ini tidak sekuat apa yang aku pikirkan. Aku tidak baik-baik saja. Aku tahu aku mengharapkan lebih dari Topan.

    “Aku selalu melihat kamu menangis!”

    Ah, itu suara Yudha. Muncul di saat yang tidak tepat.

    “Bagaimana kabar kamu?” Tanya Yudha.

    Aku tersenyum, “ I am fine.”

    “Kamu bohong, aku tahu kamu tidak baik-baik saja.” Kata Yudha lalu duduk di sebelahku.

    Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa ke Yudha. Jujur aku malu sekali karena dia harus melihatku menangis lagi. Dan juga kejadian kemarin.

    Kami berdua sama-sama diam yang terdengar hanya suara angin dan kicauan burung kemudian Yudha memecahkan keheningan yang terjadi diantara kami.

    “Gimana ya ngomongnya…”

    Dari tadi Yudha mau ngomong terus tidak jadi. Begitu terus berulang-ulang.

    “Chan, kemarin aku nggak sengaja ikutin kamu dan Topan. Dan mendengar semuanya.” Kata Yudha berhati-hati agar aku tidak tersinggung.

    “Kamu pasti jijik sama aku, ya?” Seperti yang aku duga dia memang mendengarnya.

    “Ah…nggak kok. Kamu kan yang memilih jalan ini, aku tahu itu tidak mudah dan sulit. Karena tidak semua orang bisa menerima hal seperti ini, terutama di Indonesia. Itu semua tergantung kamu bagaimana menyikapinya. Aku tidak berhak menghakimi kamu atas pilihan kamu itu.”

    Tidak aku sangka kalo Yudha bisa bersikap bijaksana. Dia sungguh dewasa dalam berpikir. Aku sangat kagum padanya.

    “Thanks ya, Yudh!” Kataku tulus.

    “No problem.” Yudha tersenyum.

    “Sepertinya dari tadi masalahku terus yang dibicarakan. Bagaimana dengan kamu? Orang yang kamu suka itu! Ada perkembangan nggak?” Tanyaku.

    Aku lihat wajah Yudha memerah ketika aku bertanya tentang orang yang dia suka.

    “Chan, aku boleh jujur nggak sama kamu?” Kata Yudha masih memerah mukanya.

    “Yah, kita kan temen. Kita kan harus saling terbuka, harus jujur sama lain.” Kataku sambil tersenyum.
    Kalo dipikir-pikir, aku masih belum tau siapa yang disukai sama Yudha. Yudha selalu mendengarkan ceritaku. Dia sudah mengetahui semua tentang aku tetapi aku belum tahu apa-apa tentang Yudha.

    “Hmmm…Chan, orang yang aku suka itu……kamu.”

    “Hah?” Apa aku salah dengar, tadi dia ngomong apa.

    “Aku suka sama kamu.”

    *****

  • edited December 2011
    Aku terkejut dengan pernyataan Yudha, tidak pernah aku sangka akan seperti ini.

    “Aku tahu kalo kamu kaget? Aku tahu kamu nggak nyangka kalau aku akan menyatakan perasaanku ke kamu.”

    “A…aku…aku nggak tahu harus jawab apa Yudh.” Kataku masih terkejut.

    “Aku ngerti. Aku tau bahwa hati kamu hanya untuk Topan. Walau dia udah buat kamu sedih. Tetapi hatimu hanya untuk Topan.” Kata Yudha.

    “Aku…”

    “Aku nggak akan memaksa kamu untuk menyukaiku tapi aku mau kamu memberikan kesempatan untukku. Aku mau kamu membuka sedikit hatimu untukku.”

    “Tapi…”

    “Kamu nggak perlu menjawabnya sekarang.” Kata Yudha memotong omongan aku lagi.

    “Yudha, aku hargai kamu suka sama aku tapi aku benar-benar nggak bisa membalas perasaan kamu.” Kataku.

    “Aku cuma mau kamu beri aku kesempatan, Chan. Satu kesempatan untukku.” Kata Yudha memohon.

    Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin sekali memberinya kesempatan tapi hati ini hanya untuk Topan. Tapi…

    Dan aku hanya menganggukkan kepala.

    “Terima kasih, Chan. Oia ikut aku…” Yudha menarik tanganku untuk mengikutinya.

    Yudha ingin menunjukkan sesuatu kepadaku. Dia membawaku ke belakang pohon beringin. Tempat pertama kali aku menyapanya. Dia menunjuk ke arah batang pohon. Aku melihat ke arah yang ditunjuk oleh Yudha. Di situ terukir namaku. Aku ingat pertama kali bertemu dengannya, dia sedang mengukir sebuah nama.

    “Waktu itu kamu sedang mengukir namaku?” Tanyaku tidak percaya.

    Yudha hanya menganggukkan kepala.

    “Jadi waktu itu kamu sudah tahu aku ini siapa saat kita pertama kali bertemu?”

    “Maafkan aku saat itu sudah berbohong. Karena saat itu aku sangat senang bisa ngobrol dan berkenalan dengan kamu. Kamu tahu aku sudah memperhatikan kamu sejak kamu masih di kelas X.”

    “Aku nggak percaya!”

    “Aku hanya berusaha untuk dekat dengan kamu.” Kata Yudha tersenyum.

    *****

    Aku masih memikirkan ucapan Yudha tadi pagi. Sungguh di luar dugaanku. Senang sih ada yang naksir sama aku, apa lagi yang naksir aku itu orang seperti Yudha. Tapi aku tidak boleh senang dulu karena masalahku dengan Topan belum selesai. Aku harus bicara dengan Topan sekarang, kalau tidak sekarang kapan lagi.

    “Topan… kita harus bicara!” Kataku. Saat itu Topan sedang bersama Mitha, sepertinya dia ingin mengantar Mitha pulang ke rumah.

    “Penting. Aku akan tunggu di sana.” Kataku menunjuk pos Satpam yang berada di gerbang sekolah.
    Aku lihat Topan sedang berbicara dengan Mitha sepertinya Mitha mengerti dan akhirnya pulang sendiri. Topan menghampiriku yang sedang menunggunya.

    “Kamu bilang apa ke Mitha?” tanyaku.

    “Bukan urusanmu. Yang penting sekarang aku di sini. Apa yang mau kamu bicarakan?”

    “Bukan di sini. Ikut ke rumahku saja.”

    “Oke.”

    Akhirnya kami berdua menuju ke rumahku menggunakan motor Topan. Karena saat ini aku masih di antar oleh Mas Billy. Mas Billy belum mengijinkanku pergi ke sekolah sendiri. Padahal ini sudah lebih dari sebulan sejak aku keluar dari rumah sakit.

    Setelah sampai di rumahku, aku langsung mengajak Topan ke dalam kamarku. Pintu kamarku segera aku kunci.

    “Kenapa dikunci?” Tanya Topan.

    “Biar nggak ada yang ganggu.” Kataku.

    Topan segera duduk di ranjangku.

    “Topan, aku mau tanya soal kemarin.” Kataku duduk di sebelah Topan.

    Topan seperti salah tingkah, dia tidak mau menatap aku.

    “Topan tatap mata aku!” Kataku sambil memegang tangan Topan.

    Akhirnya Topan menatapku tapi dia masih terlihat salah tingkah.

    “Yang kamu katakan mau jadi pacarku itu serius atau hanya main-main?” Tanyaku.

    Topan jadi semakin salah tingkah dan terlihat ragu-ragu, “A…Aku…Tentu saja serius!”

    “Kamu yakin?”

    “I…iya aku yakin.” Topan masih terlihat ragu-ragu.

    “Kalau begitu kamu mau menuruti keinginanku? Aku akan menjauhi Yudha seperti keinginan kamu jika kamu mengabulkan permintaanku.”

    “Iya, apa saja yang kamu mau.” Kata Topan tidak yakin.

    Aku segera menidurkan Topan di ranjang.

    “Apa yang mau kamu lakukan?” Tanya Topan, disuara Topan ada nada ketakutan.

    “Kamu pasti tahu maksudku, aku mau tubuh kamu!” Kataku nakal. Tanganku bergeriliya ke badan Topan. Aku menyentuh wajahnya, dada bidangnya, perutnya dan bahkan kemaluannya. Aku buka kancing demi kancing seragam sekolahnya.

    Topan mengeluarkan keringat dingin dan tubuhnya gemetar ketakutan. Wajahnya hampir saja menangis. Aku segera menghentikannya karena Topan terlihat sangat ketakutan.

    “Maafin aku, aku hanya mau mengetes kamu. Apakah kamu serius dengan ucapan kamu kemarin atau hanya main-main. Ketika aku lihat kamu sekarang aku sudah tau jawabannya.”

    Topan masih terlihat sangat shock, aku segera memeluknya. Aku sedikit merasa bersalah.

    Setelah berapa lama, Topan merasa lebih baik.

    “Kamu nggak apa-apa? Maafin aku, ya?” Kataku khawatir.

    Topan hanya mengangguk lalu berkata, “Harusnya aku yang minta maaf. Aku hanya cemburu. Sedikit. Aku sudah bersikap kasar ke kamu. Aku juga nggak seharusnya melarang-larang kamu untuk dekat dengan siapa saja.”

    “Ya aku tahu saat itu kamu sedang emosi dan nggak bisa berpikir jernih.” Kataku.

    “Iya emang saat itu aku sedang emosi.”

    “Lagipula kamu juga yang mendapatkan ciuman pertamaku” kataku malu-malu.

    “Eh…Yang benar?” Kata Topan tidak percaya.

    Aku hanya mengangguk tersipu malu.

    “Wah, aku orang yang beruntung donk dapat ciuman pertamamu. Tapi nggak aku sangka kamu berani melakukan hal seperti tadi!”

    “Ah! Aku hanya mengetes doank. Aku jadi nggak tega ngeliat kamu gemetaran kayak gitu. Padahal tadinya mau aku terusin aja.”

    “Dasar mesum! Haha.” Ejek Topan.

    Aku hanya bisa tertawa. Topan pun ikut tertawa.

    “Oia, tadi pagi aku ketemu Yudha.” Kataku tiba-tiba.

    Topan terdiam lalu bertanya, “Terus dia mau ngapain?”

    “Dia bilang suka sama aku.”

    “Apa?” Kata Topan kaget, “Dia…dia…dia juga…”

    Aku hanya menganggukkan kepala.

    “Terus kamu jawab apa?”

    Aku hanya mengankat bahu dan berkata, “Aku bilang kalo di hatiku saat ini hanya ada kamu, Pan.”

    Topan terlihat gelisah, aku tidak tahu ada apa dengannya.

    “Dia terus minta aku membuka sedikit hatiku untukknya dan meminta untuk diberi kesempatan untuknya.”

    “Terus kamu jawab apa?” Topan semakin gelisah.

    “Aku iyakan. Tidak ada salahnya, kan?”

    “O…”

    “Kamu kenapa sich, Pan?”

    “Kok aku rasanya nggak tega ya kalo ada yang suka sama kamu. Rasanya nggak rela kalo kamu suka sama orang lain, aku maunya kamu suka sama aku terus.”

    “Kamu naksir sama aku kali. Cemburu kalo ada yang suka sama aku.” Godaku ke Topan.

    “Mungkin kali ya? Hahaha…”

    “Hahaha… Maka nya jangan buat aku sedih terus. Nanti kalo aku berpaling ke Yudha gimana?”

    “Wah, aku harus kerja keras kalau begitu. Haha…”

    Jujur, aku sama sekali tidak mengerti dengan sifat Topan. Dia membuatku bimbang untuk memutuskan segalanya. Kadang dia membuatku berharap lebih dan memperlakukanku sangat baik. Kadang juga dia membuatku sedih. Seperti menarik ulur aku. Sebenarnya aku capek hati menghadapinya, tapi aku tidak bisa lepas darinya. Seandainya saja dia tidak seperti ini, aku tidak akan capek hati. Seandainya saja dia bilang tidak waktu itu. Eh, setelah aku pikir saat itu dia hanya bilang… Dia belum menolakku, dia tidak mengatakan ‘Tidak’. Tapi apakah mungkin? Itu lah yang menjadi pertanyaanku sekarang.

    *****

    Aku, Topan dan Dhea duduk-duduk di kantin sekolah karena sudah lama kami tidak berkumpul bertiga seperti ini. Kangen sich sama mereka karena masalah aku dan Topan, Dhea jadi repot mendamaikan kami berdua.

    “Kalian udah baikkan ceritanya neh?” Tanya Dhea.

    Aku dan Topan menganggukkan kepala bersamaan.

    “Kamu nggak bareng sama Mitha?” Tanya Dhea.

    “Nggak dulu deh lagi pula kita dah lama nggak kumpul-kumpul kayak gini.”

    “Nanti dia marah lagi!” kataku.

    “Nggak bakalan marah. Memang kamu nangis mulu, Chan!” Ejek Topan.

    “Yee yang buat aku nangis siapa coba? Kamu kan!”

    “Oia emang kenapa waktu itu kamu nangis, Chan?” Tanya Dhea penasaran. Memang Dhea belum sempat aku ceritakan.

    “Lah emang kamu belum tahu? Aku kira kamu udah tahu dari Topan!”

    “Belum waktu itu aku tanya ke Topan tapi nggak dikasih tahu sama dia!” Kata Dhea kesal.

    “Ya, maaf.” Kata Topan menyesal.

    “Terus kenapa, Chan?” Kata Dhea penasaran.

    Aku menceritakan apa yang terjadi saat itu, kadang Dhea melihat Topan minta kejelasan.

    “Jadi itu ciuman pertama kamu, Chan?” Tanya Dhea tersenyum.

    Aku mengangguk malu. “Tapi waktu itu aku tampar Topan sekeras-kerasnya.”

    “Huhu tamparannya sakit banget. Sampe sekarang ajah masih sakit.” Kata Topan memelas sambil memegang pipinya.

    “Oh, masih sakit ya?” Kataku sambil memegang pipi Topan.

    “Iya, di sini neh masih sakit.”

    Karena gemas, aku cubit saja.

    “AUW!!!” Topan meringis kesakitan.

    Aku dan Dhea hanya tertawa terbahak-bahak.

    “Sakit tau!”

    “Biarin. Weeek!” kataku sambil menjulurkan lidah.

    “Eh tau nggak Dhea. Kemarin tuh Chandra menggerayangiku di kamarnya.” Kata Topan.

    “Hah? Yang benar?!” Kata Dhea tidak percaya.

    “Iya, Chandra tuh mesum. Masa aku…”

    “Apaan? Waktu kamu aku gerayangin kayak gitu ajah udah gemetaran ketakutan. Pas dipegang burungnya ajah udah ‘ngaceng’. Mana tampang kamu itu pengen nangis. Sampe bilang gini ‘Jangan, Chan. Aku nggak mau… Aku takut…’ untung saja kamu nggak ngompol di ranjangku.”

    Aku dan Dhea tertawa terbahak-bahak. Topan hanya bisa cemberut dan diam seribu bahasa karena tidak bisa meledekku lagi. Tapi akhirnya Topan ikut tertawa. Saat kami sedang tertawa, Yudha datang menghampiri kami.

    “Hai!” sapa Yudha.

    “Oh, Hai Yudh!” Kataku

    “Boleh aku gabung?” Tanya Yudha.

    “Oh… Boleh kok.” Kataku. Dhea segera bergeser agar Yudha dapat duduk di sebelahnya

    Aku lihat Topan sepertinya tidak suka kalau Yudha bergabung.

    “Oia, kita belum kenalan secara resmi.” Kata Yudha menjulurkan tangan ke arah Dhea mengajak kenalan. “Yudha.”

    “Dhea” Kata Dhea menyambut uluran tangan Yudha.

    Setelah berkenalan dengan Dhea, Yudha menjulurkan tangan ke arah Topan tetapi Topan tidak membalas uluran tangan Yudha. Malah dia menunjukan rasa ketidaksukaanya terhadap Yudha. Aku melotot ke arah Topan.

    Yudha segera menarik kembali uluran tangannya. “Oh, nggak apa-apa kok.”

    Kami akhirnya mengobrol bersama tetapi Topan hanya diam saja. Tapi yang paling banyak mengobrol dengan Yudha adalah Dhea. Mungkin karena sama-sama anak pintar jadi mereka nyambung. Sepertinya Dhea sangat tertarik dengan Yudha. Tetapi Dhea belum aku ceritakan soal Yudha menyatakan perasaannya ke aku. Lebih baik tidak aku ceritakan karena aku tidak mau merusak kebahagiaan Dhea.

    *****

    Malam ini rembulan tengah terang purnama. Oh, malam ini sungguh indah, aku duduk santai di pinggir kolam renang menikmati indahnya malam. Suara jangkri berderik menemani malamku ini.

    Hachi.

    Suara handphone-ku berbunyi. Sial, saat aku sedang menikmati indahnya malam malah ada SMS masuk. Aku raih handphone-ku yang kuletakkan tidak jauh dariku. SMS dari Yudha.

    -Yudha-
    Hei, sedang apa dan dimana?


    Aku segera mengetik SMS balesan dengan cepat.

    Hei juga. Sedang menikmati indahnya malam di pinggir kolam renang rumahku.

    Aku lihat jam di handphone-ku ternyata sudah hampir pukul 10, tumben Yudha SMS malam-malam begini biasanya dia tidak pernah SMS aku selarut ini.

    Hachi

    -Yudha-
    Ia bulan purnamanya sangat terang malam ini. Btw boleh tanya sesuatu?


    Segera kuketik balesan SMS dengan cepat.

    Tanya apa???

    Setelah aku ketik balesan SMS untuk Yudha, handphone-ku bordering ada telepon yang masuk. Kulihat layar handphone-ku ternyata Topan yang menelepon. Segera aku angkat telepon darinya.

    Halo, ada apa Topan telepon malam-malam?

    Chan, bisa tolong jemput aku?


    Aku dengar nada suara Topan seperti sedang kesakitan. Aku panik takut terjadi sesuatu terhadap Topan.

    Topan kamu kenapa?! Sekarang kamu ada dimana?!

    Nanti saja ceritanya. Aku ada di Taman Kencana.

    Ya udah kamu tunggu di sana. Jangan beranjak dari tempat kamu.

    Iya, tolong jemput aku, Chan. Sekalian ajak Mas Billy.

    Tunggu ya, aku segera ke sana.



    Setelah telepon terputus, aku segera memanggil Mas Billy untuk mengantarku menjemput Topan. Mas Billy bingung kenapa aku terlihat panik lalu aku menjelaskan kalau Topan butuh bantuan. Akhirnya kami beranjak menjemput Topan di Taman Kencana.

    Saat itu ada SMS dari Yudha, tapi aku tidak mempedulikannya. Karena saat itu aku lebih mengkhawatirkan Topan.

    Taman Kencana terlihat cukup terang karena penerangan lampu, aku bisa melihat mobil Topan tetapi aku tidak bisa melihat keberadaan pemilik mobil tersebut. Aku dan Mas Billy terus mencari. Kami berpencar agar lebih cepat menemukannya. Setelah kutelusuri semua tempat, aku lihat Topan sedang terduduk di bawah pohon.

    “Mas Billy! Mas Billy! Aku menemukan Topan!” teriak aku memanggil Mas Billy.

    Aku segera menghampiri Topan lalu Mas Billy segera datang menyusul. Astaga! Aku tidak percaya. Topan babak belur sepertinya dia habis berkelahi. Wajahnya memar dari dahi dan ujung mulutnya mengeluarkan darah. Begitu melihat kami, dia tersenyum.

    “Ayo kita bawa ke rumah sakit!” Kata Mas Billy.

    “Jangan, aku nggak mau ke rumah sakit!” Kata Topan merintih kesakitan.

    Aku dan Mas Billy akhirnya memutuskan untuk membawa ke rumah. Aku dan Topan menggunakan mobilnya Mas Billy sedangkan mobil Topan dikendaraain oleh Mas Billy. Setelah sampai rumah, aku dan Mas Billy menggotong Topan ke kamarku dan membaringkannya di ranjang.

    “Aku akan mengambilkan obat!” Kata Mas Billy lalu segera keluar kamarku untuk mengambilkan obat.

    “Aku terlihat sangat memalukan, ya?” Kata Topan.

    “Kamu jangan terlalu banyak bicara dulu. Mas Billy akan segera datang membawa obat.” Kataku.

    Beberapa saat kemudian Mas Billy datang membawa obat merah dan kapas.

    “Mas, tolong ambilkan air dan kain! Lukannya harus dibersihkan. Oia sekalian bawakan baju ganti, ambil saja di lemariku.” Kataku.

    Mas Billy segera mengambil semua yang aku perintahkan. Aku membuka seluruh pakaian Topan karena di bajunya ada bercak darah. Sekarang Topan telanjang hanya ada boxer yang melekat di tubuhnya. Aku segera membersihkan luka-luka Topan dengan air.

    “Auw…” Kata Topan kesakitan ketika aku mengolesi obat merah di lukanya.

    “Jangan cengeng, masa cuma luka seperti ini kamu sudah kesakitan.” Kataku.

    “Perih, Chan!”

    “Tahan, kamu kan cowok!” Kataku sambil mengolesi obat merah di lukanya Topan.

    “Makasih yah, Chan!” Kata Topan sambil menggenggam tanganku. Sepertinya Topan tidak sadar kalau Mas Billy masih ada di kamarku.

    Mas Billy menatap kami curiga. Tapi tidak berkata apa-apa kepada aku maupun Topan. Mas Billy hanya diam dan terus memperhatikan kami.

    Setelah selesai mengobati Topan, aku segera membersihkan kotoran dan darah yang ada di tubuh Topan. Lalu segera membantu Topan mengenakan pakaian. Tidak lupa Topan mengucapkan terima kasih kepada aku dan Mas Billy.

    “Chandra, Mas Billy. Makasih banyak, sudah membantuku. Maaf telah merepotkan kalian.”

    “Nggak apa-apa kok. Kamu kan sudah seperti saudara kami sendiri.” Kata Mas Billy.

    “Iya, Pan. Nggak ngerepotin sama sekali.” Kataku

    Topan terlihat sangat terharu, aku dan Mas Billy memeluk Topan.

    “Coba kamu liat deh wajahmu! Sangat lucu penuh plester dimana-mana.” Kataku mencoba melucu.

    “Ia neh muka gantengku jadi terlihat jelek. Penuh plester dan lebam dimana-mana.” Kata Topan.

    “Dari sananya udah jelek kali.” Ejekku.

    Aku dan Mas Billy tertawa. Topan juga hanya bisa cemberut. Aku bersyukur karena Topan tidak apa-apa, hanya luka dan memar. Di wajahnya penuh dengan lebam akibat pukulan. Topan juga belum mau menceritakan apa yang terjadi. Aku dan Mas Billy juga tidak mau memaksa Topan bercerita sampai Topan menceritakannya sendiri. Tapi jujur aku sangat khawatir dengan apa yang terjadi.
    Malam ini Topan menginap di rumahku. Karena aku dan Mas Billy masih khawatir tentang kondisi Topan. Walau Topan sudah bisa tersenyum tapi aku tahu itu bukannya senyuman yang tulus. Aku ingin kembali melihat senyum tulus Topan. Aku harus bersabar sampai Topan ingin bercerita.

    *****

  • Esoknya, hari Minggu yang cerah. Aku lihat di sebelahku Topan masih tidur dengan nyenyak. Saat tidur wajah Topan seperti anak kecil tapi sekarang wajahnya penuh luka dan memar. Ingin rasanya menciumnya. Berani nggak ya aku menciumnya?

    Cium
    Jangan
    Cium
    Jangan
    Cium
    Jangan

    Argh, cium saja deh. Selagi Topan masih tidur. Aku dekatkan bibirku ke bibirnya.

    15 cm dari bibir Topan.
    10 cm dari bibir Topan.
    5 cm dari bibir Topan.
    1 cm dari bibir Topan.

    “Chandra, kau ingin menyerangku saat pertahananku sedang lemah, ya? Kamu nakal.”

    Eh! Topan ternyata sudah bangun ketika bibir kami sudah hampir bersentuhan. Ketika aku lihat ternyata Topan sedang mengedipkan matanya. Aku kaget lalu aku segera menjauh darinya. Sumpah aku sungguh malu sekali ketika ketahuan oleh Topan. Mukaku pasti sangat merah saking malunya karena ketahuan mau mencium Topan di saat Tidur.

    “Hahaha… Coba kamu lihat wajah kamu sendiri. Sungguh lucu. Merah banget.” Kata Topan tertawa senang karena mergokin aku.

    Aku hanya diam, karena malu. Rasanya ingin sekali bisa menghilang.

    “Atau jangan-jangan ketika aku menginap di sini dan saat aku sedang tidur kamu selalu menyerangku di saat pertahananku sedang lemah, ya?” Goda Topan.

    “A…Apa!? Enak saja…Nggak kok!” Kataku gugup.

    “Ah…bohong ya?Hehe.” Topan masih menggodaku.

    “Apaan sih? Nggak!”

    “Nggak salah lagi kan?”

    “Tau ah! Kamu menyebalkan!” kataku segera berlari keluar kamar.

    Aku mendengar Topan tertawa terbahak-bahak ketika aku keluar kamar. Huh Topan menyebalkan. Kenapa dia mesti bangun di saat yang tidak tepat. Topan pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku. Mencoba menyerangnya di saat tidur. Kenapa aku bisa berpikir seperti itu sih. Ah, Chandra kamu bodoh!

    Oh, ya! Aku harus segera sms Dhea memintanya datang kemari. Aku segera mengambil handphone yang aku letakkan di saku celana. Ketika aku lihat layar handphone ternyata ada 1 SMS dari Yudha yang belum aku baca. Aku ingat kalau semalam aku sedang SMS-an dengan Yudha sebelum Topan meneleponku.

    -Yudha-
    Sepertinya Topan tidak begitu menyukaiku ya? Dia menunjukan rasa permusuhan ke aku? Kamu tau kenapa?


    Yudha menyadarinya, aku tidak tau harus berkata apa ke Yudha. Sebenarnya aku tau tapi aku tidak mau memberitahukan kalau sebenarnya Topan cemburu. Aku segera mengetik SMS balesan untuk Yudha.

    Maaf baru bales. Semalam ada musibah. Topan dipukulin sampai babak belur jadi aku harus nolong dia. Gak sempet bales sms dari kamu. Wah aku tidak tau mungkin saat itu suasana hati Topan sedang buruk jadi jangan terlalu dipikirkan.

    Tidak lupa aku SMS Dhea.

    Dhea, kamu bisa ke rumah aku nggak? Topan kena musibah. Sekarang dia ada di rumahku.

    Akhirnya sudah kuberitahukan ke Dhea. Aku segera menuju dapur untuk membuatkan susu coklat panas untuk aku dan Topan.

    Hachi

    Ada dua sms masuk pasti dari Dhea dan Yudha. Benar dugaanku.

    -Yudha-
    Oia? Gimana kabarnya Topan? Dia nggak apa-apa kan?


    Aku ketik balesan untuk Yudha dengan cepat.

    Ia, Topan tidak apa-apa hanya luka dan memar saja.

    Aku buka SMS dari Dhea.

    -Dhea-
    Ia, aku segera ke sana tunggu ya.


    Hachi

    -Yudha-
    Salam buat Topan semoga lekas sembuh.


    Ketika aku mau kembali ke dalam kamar ternyata Topan sudah duduk di sofa ruang tengah. Dia sedang asik menonton kartun Sinchan di TV. Aku segera membawakan secangkir susu coklat untuk Topan dan untukku sendiri.

    “Nih, susu coklat!” kataku menyodorkan susu coklat ke arah Topan.

    “Thanks, siapa yang buat neh?”

    “Aku lah. Siapa lagi!”

    “Enak…” Puji Topan.

    “Chandra gitu loh.”

    “Dasar dipuji dikit udah sombong.”

    “Oia, ada salam tuh buat kamu.” Kataku.

    “Dari siapa?” Kata Topan penasaran.

    “Dari Yudha, semoga lekas sembuh katanya.”

    “Kamu cerita-cerita ke dia?”

    “Iya, dia kan nanya kenapa kamu nggak suka sama dia!”

    “Terus kamu jawab apa?” Tanya Topan.

    “Aku bilang kalo kamu lagi sensi waktu itu jadi nggak usah di masukin hati.”

    Topan hanya diam, aku tau kalo dia tidak menyukai Yudha.

    “Yudha orangnya baik kok. Karena kamu belum kenal jadinya kamu nggak suka.”

    TING TONG

    Bel rumahku berbunyi, mungkin Dhea yang datang. Aku lihat Mbak Surti bergegas ke arah pintu depan.

    “Mas ini ada temennya datang.” Kata Mbak Surti.

    Aku lihat ternyata Dhea yang datang. Dhea datang menghampiri kami berdua yang sedang duduk di sofa. Begitu melihat wajah Topan yang babak belur, Dhea memekik kaget.

    “Ya ampun! Topan apa yang terjadi sama kamu?” Kata Dhea.

    “Hehe… Walau seperti ini aku masih gantengkan?” Walau keadaan Topan babak belur, dia tetap saja narsis.

    “Bukan waktunya bercanda, Topan! Kamu terlihat berantakan tau!” Kata Dhea kesal karena Topan masih bisa bercanda.

    “Haha, maaf.”

    “Sebenarnya apa yang terjadi, Pan?” Tanya Dhea.

    “Iya, aku juga pingin tau.” Kataku.

    “Eh, kamu belum tau, Chan?” Kata Dhea.

    “Belum tau. Hehehe.”

    Topan diam sesaat, “Kemarin... di sekolah aku nggak sengaja buka inbox HP-nya Mitha. Aku lihat ada sms dari cowok, cowok itu ngajak Mitha jalan. Padahal kata Mitha ada pengajian bareng Mama jadi nggak bisa kemana-mana. Akhirnya aku memutuskan untuk membuntuti Mitha sampai akhirnya mereka ke Taman Kencana.”

    “Terus bagaimana kamu bisa babak belur seperti ini?” Tanya Dhea.

    “Saat di Taman Kencana, aku sudah nggak bisa nahan emosiku. Aku samperin mereka berdua. Mitha sangat terkejut saat aku mergokin mereka berdua. Akhirnya aku dan cowok itu ribut. Mitha hanya diam dan mencoba menjelaskan kepadaku. Tapi aku tidak peduli. Saat itu aku tidak sadar kalau di sana ada teman-teman cowok itu. Mereka akhirnya datang menghampiri kami dan mengeroyokku. Mitha terlihat histeris, cowok itu membawa Mitha pergi entah kemana. Dan mereka semua pergi. Saat itu aku tidak tahu harus ngapain dan akhirnya aku menelepon Chandra untuk menjemputku.” Topan menceritkan apa yang terjadi malam itu.

    “Kamu harus melapor ke polisi, Pan!” Kataku.

    “Aku nggak mau masalahnya jadi panjang.” Kata Topan.

    “Tapi itu udah termasuk tindakan criminal, Pan!” kata Dhea.

    “Iya aku tau tapi aku tidak mau masalah ini jadi panjang. Biar saja aku yang selesaikan semuanya.” Kata Topan.

    Aku dan Dhea tidak tahu harus berkata apa. Kami khawatir kalau Topan berbuat yang tidak-tidak. Aku harap masalah ini cepat selesai dan Topan cepat sembuh.

    *****

    Esok harinya di sekolah, aku dan Dhea melihat Topan sedang berbicara dengan Mitha. Sepertinya kami tahu apa yang dibicarakan oleh mereka, terlihat Topan sangat dewasa menyelesaikan masalah dengan Mitha. Walau sebenarnya Topan marah tapi dia bisa mengendalikan emosinya. Mitha terlihat sedang menangis.

    Kabar putusnya Topan dan Mitha menyebar ke penjuru sekolah dengan cepatnya. Banyak yang menggunakan kesempatan ini untuk mendekati Topan maupun Mitha. Tapi sepertinya Topan masih belum tertarik untuk berhubungan dengan orang lain. Teman-teman sekelas juga bertanya apa yang terjadi tetapi Topan menanggapi dengan bercandaan. Berbeda sekali saat dia mempunyai masalah denganku. Di obrolan mereka kadang terdengar namaku disebut-sebut. Saat mendengar namaku disebut aku melihat ke arah Topan dan Topan membalas menatapku, mengedipkan matanya nakal. Ketika melakukan itu, mereka semua jadi ramai ada yang tertawa, bersiul, dan mengejek. Aku sendiri tidak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka.

    “Apa sih yang kalian obrolin? Dari tadi aku dengar kalian menyebut namaku?” Kataku menghampiri mereka.

    “Bukan apa-apa kok.” Kata Topan.

    “Tadi Topan bilang kapok pacaran sama cewek lebih baik sama cowok saja.” Kata Ryan.

    “Terus kita tanya kalo disuruh milih. Dia milih siapa?” Kata Ari

    “Kamu tau, Chan! Dia milih siapa?” Kata Danu.

    Aku bisa menebak jawabannya.

    “Topan bilang dia milih kamu!!” Kata Ery. Mereka semua tertawa dan menyoraki kami berdua.

    Seperti dugaanku dan kulihat Topan cuma tersenyum, “Haha…sangat lucu!”

    Aku pergi meninggalkan mereka. Sepertinya mereka bersenang-senang mengolok-ngolok aku. Aku tidak terlalu yakin dengan perkataan mereka tapi aku sedikit senang mendengarnya.

    “Apa sih yang mereka lakukan?” Tanya Dhea penasaran.

    “Mengolok-ngolokku.” Kataku.

    “Mengolok-ngolok kamu? Tapi kamu kok malah tersenyum?”

    “Ada deh!”

    *****

    Tik tok. Tik tok. Tik tok.

    Eummmnh… Bunyi apaan sih neh?

    Tik tok. Tik tok. Tik tok.

    Ah, ternyata bunyi jarum jam. Sudah mau jam 6 sore. Tidak terasa aku tertidur tanpa mengganti seragam sekolah. Aku terduduk di ranjang mengingat mimpiku yang barusan. Aku ingat di dalam mimpi aku seperti sedang duduk di bawah pohon beringin. Angin bertiup menggugurkan daun-daun pohon beringin. Tiba-tiba saja ada seorang cowok yang datang menghampiriku, wajahnya tidak terlihat jelas. Sepertinya aku mengenalnya tapi aku tidak bisa melihat wajahnya. Dia mengenakan sebuah kalung yang terbuat dari koin yang lubang tengahnya diikat oleh tali hitam. Dia menarikku ke dalam pelukannya lalu dia mengangkat daguku kemudian menciumku. Ciuman itu terasa nyata sekali. Siapa yang menciumku di dalam mimpi, ya? Bukankah itu pohon beringin di belakang sekolah?

    “Chandra… bangun sudah mau magrib!” Kata Mas Billy yang tiba-tiba saja muncul di depan pintu kamarku.

    “Eh, iya Mas.” Kataku.

    Aku segera menuju kamar mandi yang berada di kamarku dan bergegas segera mandi. Setelah mandi, aku segera menghampiri Mas Billy yang sedang duduk menonton TV. Kemudian aku segera duduk di sebelahnya.

    “Mas, tadi aku mimpi aneh deh.” Kataku memecahkan keheningan diantara kami.

    “Mimpi aneh gimana?” Tanya Mas Billy.

    Lalu aku menceritakan mimpiku tadi. Tapi aku tidak menceritakan tentang kalung yang dikenakan oleh cowok tersebut di dalam mimpiku.

    “Tapi mimpiku terasa nyata sekali, Mas!”

    “Ah, cuma mimpi.” Kata Mas Billy salah tingkah.

    “Kenapa, Mas? Kok jadi aneh gitu.”

    “Nggak apa-apa kok. Oia, yang mencium kamu itu cewek apa cowok?” Tanya Mas Billy.

    “Nggak tau. Kan dah aku bilang aku nggak bisa melihat wajahnya.” Kataku. “Hei mana mungkin itu cowok!”

    “Kali saja yang mencium kamu itu cowok.”

    “Enak saja!”

    Mas Billy selalu saja bisa menggodaku. Tapi entah aku selalu senang jika digoda olehnya. Mas Billy benar-benar seorang kakak idaman, dia berhati lembut, sabar dan dia menggantikan peran Papa dan Mama selama mereka tidak ada. Walaupun dia sangat jahil tetapi dia selalu berusaha sebaiknya. Aku sangat senang mempunyai kakak seperti dia selalu bisa diandalkan olehku.

    “Mas, kok Mbak Rere nggak pernah ke sini lagi?” Tanyaku.

    “Oh, kami sudah putus!” kata Mas Billy datar.

    “APA!? Bagaimana bisa?” Kataku terkejut mendengar mereka sudah putus. Mereka sudah berpacaran selama 3 tahun. Dan aku cukup dekat dengan Mbak Rere.

    “Aku menyukai orang lain.” Kata Mas Billy masih tetap datar.

    “Siapa? Kok bisa semudah itu kakak berpaling?”

    “Kamu nggak perlu tau. Udah nggak usah dibahas lagi.”

    Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mas Billy dan Mbak Rere bisa putus. Karena menurutku mereka pasangan serasi. Aku mengira mereka bakal naik ke pelaminan. Tapi siapa yang disukai oleh Mas Billy, ya?

    *****

    Siang ini kelasku benar-benar ketiban rezeki, kami semua bisa pulang lebih awal karena guru-guru ada rapat. Aku mengajak Topan dan Dhea ke belakang sekolah, ke tempat pohon beringin berada. Mereka bingung kenapa aku mengajak mereka ke situ. Karena mereka tidak pernah tau tempat favorit aku yaitu di situ. Mereka tau tentang mitos di pohon beringin tapi sama seperti aku tidak mempercayainya.

    “Di sini tempat favorit aku.” Kataku.

    “Pantesan kalau kamu dicari sama kita nggak pernah ketemu.” Kata Dhea.

    “Hehe…” Aku hanya bisa tersenyum.

    “Kok aku nggak tau? Padahal aku sudah kenal kamu dari kelas 1!” Kota Topan.

    “Coba kalian lihat batang pohon beringin!” Kataku.

    Mereka menuju pohon beringin tersebut dan melihat ukiran-ukiran nama yang dibuat oleh murid-murid sekolah kami.

    “Hei ada namaku di sini! Ada banyak loh!” Kata Topan terlihat senang.

    “Iya namaku juga ada, nggak banyak sih.” Kata Dhea.

    “Eh, Chan! Nama kamu juga ada neh. Lebih banyak nama kamu daripada namaku.” Kata Topan tidak percaya.

    “Hehe. Kan aku lebih populer dari kamu, Pan!”

    “Sial, aku kalah dari Chandra!” Kata Topan.

    Aku dan Dhea hanya tertawa mendengarnya.

    “Kamu sudah tau kalo nama kita diukir di sini, Chan?” Tanya Dhea.

    Aku hanya menganggukan kepala. Aku senang bisa berbagi tempat favorit aku dengan mereka.

    “Kalian tau, semalam aku bermimpi bertemu seseorang di sini.” Kataku.

    “Bertemu dengan siapa, Chan?” Tanya Dhea.

    “Aku nggak tau, aku nggak bisa melihat wajahnya. Hanya saja dia mengenakan sebuah kalung.” Kataku, aku tidak menjelaskan tentang rincian kalung tersebut.

    “Yang dimimpi kamu itu aku kali. Neh aku juga pakai kalung.” Kata Topan sambil menunjukkan kalungnya.

    “Mungkin saja. Hahaha.” Aku tertawa mendengarnya.

    Akhirnya kami melewati hari itu bersama. Kami jalan-jalan dan mengobrol sampai lupa waktu, tidak sadar bahwa hari telah menjelang malam.

    *****

  • SPECIAL EDITION : ABOUT TOPAN

    TOPAN

    Hari ini cuaca sangat panas, aku tadi berencana untuk main ke rumah Chandra karena aku sudah lama tidak pernah main lagi ke rumahnya. Saat ini aku sudah berada di depan pintu rumah Chandra, aku segera memencet bel.

    TING TONG

    Ternyata yang membuka pintu adalah Mbak Surti. Mbak Surti mempersilahkan aku masuk. Lalu menyuruhku duduk di kursi kemudian dia kembali ke dalam sepertinya dia mau memanggil Chandra.

    Tidak lama kemudian Mbak Surti datang. “Kata Mas Chandra, Mas disuruh ke halaman belakang.”

    Berarti Chandra sedang berenang karena di halaman belakang rumah Chandra ada kolam renang. Benar dugaanku Chandra dan Mas Billy sedang berenang. Aku segera duduk di kursi yang berada di samping kolam renang.

    “Pan, ayo berenang bareng kita. Seger loh airnya.” Kata Chandra.

    Aku mengangguk karena memang cuaca sedang panas-panasnya. Aku segera membuka membuka baju dan celana jeansku. Aku bisa melihat kalau Chandra memperhatikanku, mukanya juga memerah. Aku tertawa dalam hati. Aku memang ganteng dan badanku berisi pantas saja banyak cewek yang naksir aku. Tapi aku belum pernah ditaksir oleh cowok. Rada aneh sih rasanya karena yang naksir aku itu Chandra, sahabat aku sendiri. Kalau bukan Chandra mungkin aku akan menjauhinya. Aku juga sempat khawatir ketika dia masuk rumah sakit dan tidak sadarkan diri selama 3 hari. Itu semua karena aku, kalau saja aku tidak memaksanya mungkin kejadian itu tidak pernah terjadi. Aku juga sempat menangis, padahal aku belum pernah menangis untuk orang lain.

    Selama berenang aku terus saja memperhatikan Chandra. Aku berpikir kenapa cowok seperti Chandra bisa naksir sama aku. Padahal dia ganteng pasti dia bisa mendapatkan cewek manapun yang dia suka. Apalagi dia sangat populer di sekolah sama sepertiku.

    “Kenapa sih kalian berdua ngeliatin aku seperti itu?” Tanya Chandra merasa risih diliatin.

    Aku jadi salah tingkah karena kepergok memperhatikan Chandra.

    Eh? Kalian berdua? Aku melihat ternyata Mas Billy juga memperhatikan Chandra juga. Kenapa Mas Billy melihat Chandra terus? Ah, bodo amat! Bukan urusan aku ini.

    Aku mendengar suara handphone Chandra berbunyi. Aku lihat dia menepi dan keluar kolam renang kemudian dia sudah asik membalas sms dari seseorang. Aku juga sudah capek berenang aku putuskan untuk segera menepi dan keluar dari kolam renang. Sepertinya Mas Billy juga berpikiran sama denganku.

    Aku lihat Chandra masih asik dengan handphone-nya. Kadang aku liat dia tertawa sendiri.

    “Dari siapa, Chan?” Tanya Mas Billy penasaran. Padahal aku juga ingin menanyakannya tapi keburu Mas Billy yang bertanya.

    “Dari Yudha, Mas.” Kata Chandra.

    “Yudha?” Tanya Mas Billy.

    “Itu yang kemarin nemenin aku nungguin Mas Billy. Yang tadi pagi juga anterin aku pulang ke rumah.” Kata Chandra menjelaskan.

    Sepertinya aku pernah mendengar nama Yudha tapi dimana ya? Aku terus berpikir. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu apakah Yudha yang waktu itu bertemu di kantin. “Yudha, yang anak XII IPA 1 itu?”

    Chandra hanya menganggukan kepala.

    Sejak kapan kamu SMS-an sama dia?” Tanyaku. Entah kenapa aku tidak suka kalau Chandra sms-an dengan Yudha. Apakah aku cemburu? Itu tidak mungkin aku tidak mungkin cemburu, aku ini cowok normal.

    “Baru kali ini kok.” Kata Chandra.

    Aku bingung kenapa aku bisa cemburu jika Chandra sms-an sama Yudha. Entah mengapa aku tidak suka sama Yudha. Aku tidak suka kalau Chandra dekat-dekat dengan cowok lain. Ah! Apa yang aku pikirkan?! Tidak! Aku tidak boleh seperti ini.

    *****
    Di sekolah, aku melihat Chandra sangat akrab dengan Yudha. Aku tidak suka melihatnya. Huff, aku merasa aneh kenapa aku bersikap seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu agar Chandra tidak dekat-dekat dengan Yudha. Ah, lebih baik aku menemui Mitha, pacarku. Mungkin Mitha bisa membantu walau tidak secara langsung aku memberitahunya.

    Nah itu dia Chandra dan Yudha, aku harus terlihat lebih mesra dengan Mitha. Aku segera mendekatkan diri ke arah Mitha, aku merangkulkan tangan ke pinggangnya dan berbisik mesra di telinganya saat aku dan Mitha berada di depan Chandra. Aku tau kalau Chandra akan cemburu melihat kemesraanku dengan Mitha.

    Suatu kali Chandra datang menghampiriku dan bertanya kepadaku, “Kenapa sich aku nggak boleh dekat sama Yudha?”

    Aku bingung harus jawab apa, akhirnya aku jawab, “Aku nggak suka aja dengan Yudha. Lebih baik kamu nggak usah dekat-dekat dengannya.”

    “Tapi kenapa?” Chandra tidak mengerti.

    “Pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat dengannya?” Kataku mulai kesal.

    “Apa hak kamu melarang-larang aku?” Chandra mulai kesal karena aku melarangnya.

    “Aku ini sahabat kamu, aku…”

    “Ya, memang kamu sahabat aku. Tapi kamu itu bukan pacar aku! Kayaknya kamu itu cemburu kalau aku dekat sama dia. Inget kan kamu itu nolak aku. Jadi buat apa kamu ngelarang-larang aku?” Katak Chandra kesal.

    “Aku nggak… Terserah kamu deh!” Kataku. Lebih baik aku pergi saja, capek kalau harus berdebat dengan Chandra. Aku ini kenapa? Apa benar aku cemburu kalau Chandra dekat dengan Yudha? Aku harusnya tidak mempunyai hak untuk mengatur Chandra dekat dengan siapa saja. Aku hanya mau Chandra selalu memperhatikanku. Argh… apa yang aku pikirkan.

    *****

    Beberapa hari ini, aku dan Chandra tidak saling menegur sama sekali. Dhea juga terlihat kesal karena dia capek harus mendamaikan kami tetapi kami sama sekali tidak mau. Kami tetap kukuh tidak mau minta maaf lebih dulu. Aku melampiaskan kekesalanku dengan Mitha. Aku harus segera melupakan perasaan aneh ini.

    Chandra sepertinya berpikiran sama denganku, dia terlihat sangat akrab dengan Yudha. Mungkin emosiku sudah mencapai batasnya akhirnya aku menghampiri Chandra yang saat itu sedang mengobrol bersama Yudha. Aku segera menarik tangan Chandra. Chandra berontak tidak mau ikut denganku tapi aku menguatkan genggaman tanganku. Aku tahu bahwa kami diperhatikan tapi aku nggak peduli.

    “Sekarang kamu mau apa?” Kata Chandra ketus ketika aku membawanya ke dalam gedung olahraga.

    “Chan, aku mau kamu jauhin dia sekarang!” Kataku penuh emosi.

    “Memangnya kamu ini siapa aku?” Kata Chandra emosi juga.

    Ya betul aku ini siapanya Chandra, aku hanya sahabatnya. Tapi perasaanku tidak mau Chandra dekat-dekat dengan Yudha. “Aku ini sahabat kamu, aku cuma mau yang terbaik untuk kamu. Aku tau Yudha itu sama sekali tidak baik untuk kamu. Dia mempunyai maksud tertentu ke kamu!”

    “Yudha nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku tahu dia orang baik.” Kata Chandra berusaha membela Yudha.

    “Pokoknya kamu jangan dekat-dekat sama dia.” Kataku masih emosi.

    “Aku mau dekat dengan siapa, kamu nggak berhak untuk melarang aku! Kamu ini bukan pacar aku!” Chandra berteriak kepadaku.

    Aku jadi semakin emosi karena Chandra selalu ngomong itu-itu saja, aku tidak bisa berpikir jernih lagi. “Ya udah! Kalo itu masalahnya ayo kita pacaran supaya kamu nggak usah dekat-dekat sama dia!”

    “Bukan itu masalahnya…”

    Aku tidak bisa berpikir apa-apa, aku mendorong Chandra ke arah tembok. Aku segera mendaratkan bibirku di bibirnya.

    Cup

    “Itu kan yang kamu mau sejak dulu!” kataku.

    PLAK!!!

    Chandra menamparku cukup keras, aku rasakan perih di pipiku. Aku melihat air mata mengalir dari mata Chadra. Aku terkejut melihat Chandra menangis, aku merasa bahwa aku melakukan kesalahan besar. Aku hanya bisa diam melihat kepergian Chandra, aku tidak berusaha untuk mengejarnya karena aku tahu sekarang Chandra sudah membenciku. Aku merasa sangat jahat sekali.

    Aku memutuskan untuk keluar dari gedung olahraga ternyata di depan pintu aku melihat Yudha. Apakah Yudha melihat dan mendengarkan semua yang terjadi? Aku tidak peduli.

    “Apa yang terjadi dengan Chandra?” Tanya Yudha.

    “Bukan urusan kamu!” kataku ketus.

    Aku segera meninggalkan Yudha dan berjalan kembali ke arah kelas. Dari jauh aku melihat Dhea berlari menuju ke arahku.

    “Pan, kenapa Chandra menangis? Aku melihat dia menangis tadi!” Tanya Dhea.

    Saat ini aku sedang tidak mau membicarakannya, aku hanya bisa mengakat bahu. Tapi sepertinya Dhea tahu itu pasti ada hubungannya denganku. Dhea terus saja menanyaiku bahkan terkesan memaksa. Aku tahu dia sangat khawatir dengan Chandra setelah melihat Chandra menangis.

    Selama jam pelajaran sekolah, aku tidak melihat kehadiran Chandra hanya ada tas sekolahnya. Chandra tetap tidak kelihatan sampai jam pelajaran sekolah berakhir. Kata Dhea, dia sudah berkali sms Chandra tapi tidak ada jawaban dari Chandra. Dhea mengajak aku untuk mengantar tas Chandra ke rumahnya tapi aku tidak mau karena aku tau pasti Chandra tidak mau menemuiku.

    Ketika Dhea pergi untuk mengantar tas sekolah Chandra, aku segera mengeluarkan handphone-ku. Aku segera mengetik sms untuk Chandra.

    Maaf.

    *****

    Setelah pulang sekolah, aku segera masuk ke dalam kamar. Aku masih kepikiran tentang Chandra yang menangis. Aku merasa sangat bersalah membuat Chandra menangis lagi. Wajah Chandra saat menangis sungguh menggemaskan, rasanya aku ingin melindungi agar dia tidak menangis lagi. Bibir Chandra begitu lembut saat aku menyentuhnya. Jantungku berdebar sangat kencang saat aku membayangkannya. Argh! Apa yang aku pikirkan.

    Bayangan Chandra terus saja menghantuiku. Detik demi detik bayangan saat aku menciumnya selalu teringat jelas. Makan pun aku tidak berselera, apa yang harus kulakukan untuk melupakannya. Akhirnya aku lari ke rokok, sebatang demi batang rokok habis aku hisap. Aku memang bukan perokok aktif, tapi jika ada masalah yang tidak bisa kuhadapi aku pasti selalu lari ke rokok. Sejak bertemu Chandra aku sudah bisa berhenti merokok karena dia tidak suka dengan bau asap rokok. Kata Chandra merokok bisa merusak kesehatan. Entah kenapa saat dia menyuruhku berhenti merokok aku menuruti perintahnya. Argh! Apa yang aku lakukan selalu ada bayangan Chandra.

    Aku menangis, menangis di bawah guyuran air dari shower. Aku tidak bisa menghapus bayangan Chandra dari pikiranku dan aku juga merasa aku sudah jahat membuat Chandra menangis karena aku. Aku sunggu tidak tahu apa yang terjadi denganku. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

    ****

    Hari ini Chandra tidak masuk sekolah, Dhea tetap memaksa aku untuk menceritakannya. Tetapi aku tetap tidak mau menceritakannya. Selama jam pelajaran aku tidak bisa konsentrasi, aku terus saja memikirkan keadaan Chandra.

    Aku terus saja memikirkan Chandra, latihan paskibra saja aku tidak konsentrasi sehingga aku sering mendapat teguran dari pelatih. Tetapi karena aku terlalu banyak melakukan kesalahan pelatih menyuruhku untuk pulang.

    Arg kenapa di dalam kepalaku hanya ada Chandra? Bayangan Chandra tidak mau hilang dari pikiranku. Apakah aku harus menerima cinta Chandra? Tapi aku tidak bisa, aku mencintai Mitha. Perasaan aku untuk Chandra hanya perasaan sayang sebagai sahabat. Aku ini lelaki normal. Tetapi kenapa hal ini harus terjadi kepadaku?

    Aku mengendarai mobil tanpa tentu arah. Aku sama sekali tidak mau pulang ke rumah. Karena jika pulang ke rumah hanya mendapati rumah yang kosong. Papa dan Mama terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sampai lupa bahwa anak satu-satunya butuh kasih sayang dari mereka. Tanpa sadar aku berhenti di depan rumah Chandra, aku lihat sepertinya Chandra habis jalan-jalan dengan Mas Billy. Aku lihat dia sudah bisa tertawa lepas. Sepertinya dia gampang sekali melupakan kejadian yang kemarin. Aku agak kesal dan memutuskan untuk segera pergi dari situ sebelum ketahuan oleh Chandra.

    Aku terus saja memikirkan Chandra. Aku merasa sudah sangat aneh karena hal itu. Aku harus menghapus bayangan Chandra dalam pikiranku tapi bagaimana caranya. Aku dapat ide lalu aku segera membuka phone book di handphone-ku. Ketika menemukan nama yang kucari, aku segera meneleponnya.

    Halo Intan.

    Hai, Pan! Tumben nelepon, ada apa nih?

    Bisa nggak kita bertemu? Aku butuh kamu malam ini!

    Wow, Kamu to the point ya? Kamu mau jemput aku jam berapa?

    Kamu dimana? Aku langsung ke sana jemput kamu.

    Lagi di Ekalos nih. Lagi belanja.

    Ya udah, aku ke sana sekarang. Tungguin aku, ya!

    Oke, Ganteng.

    Wait for me, Babe. Bye.

    Bye.


    Aku segera meluncur ke Ekalokasari Plaza untuk menjemput Intan. Paling nanti dia minta aku membayarkan belanjaannya. Sudah kuliah masih saja morotin anak SMA sepertiku. Dasar cewek matre! Tapi tidak apa-apa asalkan aku bisa membuktikan kalau aku ini cowok normal.

    Aku segera mengajak Intan ke rumahku, ini merupakan suatu keuntungan jika orang tua terlalu sibuk dan jarang pulang ke rumah. Aku segera membawa Intan ke dalam kamarku.

    “Makasih ya sudah membayarkan semua belanjaanku.” Kata Intan setelah kami berdua berada di dalam kamarku. Aku tidak lupa mengunci pintu kamarku.

    “Bukan masalah besar!” Aku mendekat ke arah Intan yang sedang duduk di ranjangku.

    Aku membelai rambutnya panjangnya, lalu segera mendekatkan bibirku ke bibirnya. Aku dan Intan berciuman penuh nafsu.

    “Birahi kamu sedang tinggi ya?” kata Intan.

    Aku hanya tersenyum, aku segera melanjutkan pekerjaanku bersama Intan di atas ranjang.

    Setelah hampir 2 jam lamanya aku memuaskan birahi bersama Intan. Aku mengantar Intan pulang ke rumah, padahal Intan masih ingin lebih lama lagi bersamaku tapi aku menolaknya. Setelah mengantar Intan pulang, aku berpikir ketika aku sedang menjelajah tubuh indah Intan bayangan Chandra masih ada dalam pikiranku tapi Intan masih bisa memuaskanku. Melihat Intan telanjang tanpa sehelai benang pun, penisku masih bisa ereksi. Itu berarti aku masih normal tapi kenapa bayangan Chandra selalu ada.

    *****

    Esoknya Dhea tetap mencecarku untuk menceritakan apa yang terjadi. Tapi aku bersikukuh belum mau menceritakannya, jika aku menceritakannya Dhea pati akan memarahiku. Ketika Dhea sedang memaksa aku untuk bercerita aku melihat Chandra datang.

    “Pagi Dhea! Topan!” Kata Chandra sambil tersenyum, aku sedikit terkejut melihat Chandra sudah bisa tersenyum lagi tapi aku tau kalo Chandra tidak memberikan senyuman yang tulus. Dia hanya berusaha bahwa semuanya tidak pernah terjadi.

    “Eh… Pagi juga Chan!” Kata Dhea kikuk.

    Dhea mengajakku untuk menghampiri Chandra, sebenarnya aku tidak mau tetapi Dhea menyeretku untuk ikut bersamanya.

    “Bagaimana kabar kamu? Aku sangat khawatir. Kemarin melihat kamu…” Kata Dhea.

    Chandra memotong perkataan Dhea dan berkata seolah tidak pernah terjadi apa-apa, “Baik. Nggak pernah sebaik seperti ini sebelumnya.”

    “O… Begitu.” Kata Dhea. Aku tahu sebenarnya Chandra tidak dalam keadaan yang baik.

    “Oia, aku harus ke ruang guru. Harus menyerahkan surat karena kemarin nggak masuk.” Kata Chandra lalu pergi meninggalkan kami berdua. Aku tahu Chandra menghindariku.

    Kenapa aku bisa jadi frustasi begini gara-gara Chandra. Dhea juga sedikit terkejut dengan perubahan sikap Chandra. Dhea menatapku penuh curiga tapi aku hanya bisa mengangkat bahu karena aku memang tidak tahu apa-apa.

    Di kelas, Chandra juga seolah bersikap biasa saja. Dia berusaha untuk tidak menatapku. Saat jam istirhat dia juga menghindariku. Dhea jadi sering mengomeliku karena dia tidak tahu apa-apa. Dia bertanya kepada Chandra tapi tidak mendapat jawaban, bertanya kepadaku juga tidak mendapatkan jawaban. Sehingga dia terlihat uring-uringan.

    Pulang sekolah, Mitha minta diantar ke Botani Square katanya dia ingin berbelanja. Ketika hendak menuju parkir motor bersama Mitha, tiba-tiba pundakku disentuh oleh seseorang. Ketika aku melihat ternyata Chandra yang menyentuh pundakku.

    “Topan… kita harus bicara!” Kata Chandra. Aku terlihat agak bingung karena tiba-tiba Chandra mengajakku berbicara.

    “Penting. Aku akan tunggu di sana.” Kata Chandra sambil menunjuk pos Satpam. Sepertinya ini mengenai masalah kemarin mungkin Chandra ingin menyelesaikan masalah yang terjadi denganku. Sebenarnya aku juga ingin menyelesaikannya juga tapi kalau tiba-tiba seperti ini aku sendiri belum siap. Tapi mau bagaimana lagi kalau Chandra ingin berbicara sekarang apa boleh buat.

    Mitha memperhatikan kami, dia tau kalau aku dan Chandra bersahabat tapi aku tidak pernah membicarakan masalah yang terjadi kepada Mitha. Aku harus berbicara kepada Mitha bahwa aku tidak bisa mengantar dia ke Botani Square.

    Aku lihat Chandra segera menuju ke pos Satpam.

    “Say, sepertinya aku nggak bisa mengantar kamu belanja!” Kataku.

    “Kok gitu sich!” Kata Mitha cemberut.

    “Maaf ya. Tapi aku benar-benar nggak bisa ngantar kamu! Aku harus menyesaikan masalahku dengan Chandra.” Kataku.

    “Emang kamu kenapa dengan Chandra, Say?” Tanya Mitha.

    “Sudah beberapa hari ini aku bertengkar dengannya. Aku ingin masalahku cepat selesai dengannya.”

    “Oh, begitu. Mudah-mudahan kamu segera baikan dengan Chandra. Kalian kan bersahabat masa kalian bertengkar, nggak baik loh!” Kata Mitha.

    “Kamu nggak marah kan?”

    “Iya, aku nggak apa-apa. Aku bisa sendiri kok belanjanya.”

    “Maaf yah. Aku janji kalau masalahku dengan Chandra udah beres, aku ajak kamu jalan-jalan.”

    “Iya, ya udah sana. Chandra udah nungguin kamu tuh!” Kata Mitha sambil tersenyum.

    “Ya udah, kamu hati-hati di jalan ya?”

    “Ya, say!”

    “Be careful babe, Love you.”

    “Love you too, bye!” Kata Mitha pergi sambil melambaikan tangan.

    “Bye!” kataku balas melambaikan tangan.

    Setelah Mitha naik angkot, aku menuju pos Satpam tempat Chandra menungguku.

    “Kamu bilang apa ke Mitha?” Tanya Chandra.

    “Bukan urusanmu. Yang penting sekarang aku di sini. Apa yang mau kamu bicarakan?”

    “Bukan di sini. Ikut ke rumahku saja.”

    “Oke.”

    Aku dan Chandra akhirnya menuju ke rumah Chandra menggunakan motorku. Aku membonceng Chandra biasanya kalau Chandra dibonceng olehku dia pasti selalu memeluk pinggangku. Tetapi sekarang dia tidak memeluk pinggangku, aku agak sedikit kecewa tapi aku tahu dia masih marah sama aku.

    Setelah sampai di rumah Chandra, Chandra langsung mengajakku ke dalam kamarnya.

    “Kenapa dikunci?” Tanyaku melihat pintu kamar Chandra dikunci olehnya.

    “Biar nggak ada yang ganggu.” Kata Chandra. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Aku segera duduk di ranjang Chandra.

    “Topan, aku mau tanya soal kemarin.” Kata Chandra lalu duduk di sebelahku. Aduh, kenapa harus dibahas. Aku jadi salah tingkah karena tiba-tiba saja aku membayangkan saat mencium Chandra waktu itu. Aku sungguh malu dan tidak berani untuk menatap Chandra.

    “Topan tatap mata aku!” Kata Chandra sambil memegang tanganku. Mau tidak mau aku harus menatapnya.

    “Yang kamu katakan mau jadi pacarku itu serius atau hanya main-main?” Tanya Chandra.

    Aku begitu terkejut ketika Chadnra bertanya hal itu, aku sama sekali tidak tahu harus jawab apa. Aku bingung dan ragu-ragu, aku tidak mau dia dekat dengan Yudha, “A…Aku…Tentu saja serius!”

    “Kamu yakin?”

    “I…iya aku yakin.” Kataku masih ragu-ragu. Karena aku sama sekali tidak yakin.

    “Kalau begitu kamu mau menuruti keinginanku? Aku akan menjauhi Yudha seperti keinginan kamu jika kamu mengabulkan permintaanku.” Kata Chandra

    Apa yang diinginkan oleh Chandra? Tapi apapun itu akan aku kabulkan jika Chandra akan menjauhi Yudha. Tapi aku agak ragu dengan permintaan Chandra, “Iya, apa saja yang kamu mau.”

    Tiba-tiba saja Chandra membaringkan aku ke ranjang. Apa yang hendak Chandra lakukan? Tapi aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Aku tidak siap dengan apa yang akan terjadi. Aku tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi kepadaku. Aku takut apa yang akan dilakukan Chandra. “Apa yang mau kamu lakukan?”

    “Kamu pasti tahu maksudku, aku mau tubuh kamu!” Kata Chandra nakal. Tangan Chandra sudah bergeriliya ke badanku. Aku sama sekali tidak bisa bergerak, rasanya seperti tubuhku membeku. Chandra menyentuh wajah, dada, perut dan bahkan penisku. Tapi reaksi tubuhku tidak sesuai dengan keinginanku. Penisku menegang dan Chandra tahu hal itu lalu dia tersenyum. Kemudian Chandra membuka baju seragam sekolahku. Aku benar-benar sudah telanjang bulat. Aku gemetar ketakutakan apa yang akan terjadi selanjutnya bahkan aku hampir menangis. Aku tidak mau ini terjadi kepadaku, aku terlalu takut membayangkannya. Tapi badanku tidak bisa bergerak dan suaraku tidak bisa keluar.

    Saat Chandra melihat apa yang terjadi padaku, dia segera menghentikan tindakannya. Chandra terlihat sangat bersalah dengan tindakannya lalu berkata, “Maafin aku, aku hanya mau mengetes kamu. Apakah kamu serius dengan ucapan kamu kemarin atau hanya main-main. Ketika aku lihat kamu sekarang aku sudah tau jawabannya.”

    Aku masih shock apa yang aku alami tadi, aku sama sekali tidak menyangka bahwa Chandra berani melakukan hal tersebut kepadaku. Aku memang pernah melakukan hubungan seks tetapi dengan perempuan. Tetapi yang dilakukan Chandra membuat aku takut. Chandra terkejut melihatku begitu shock lalu dia memelukku. Ketika Chandra memelukku rasanya sungguh nyaman, ada kehangatan dalam pelukkannya. Entah kenapa pelukkan seperti ini yang aku rindukan.

    “Kamu nggak apa-apa? Maafin aku, ya?” Kata Chandra khawatir.

    Akhirnya tubuhku sudah bisa digerakkan kembali aku hanya mengangguk ketika Chandra bertanya lalu aku berkata, “Harusnya aku yang minta maaf. Aku hanya cemburu. Sedikit. Aku sudah bersikap kasar ke kamu. Aku juga nggak seharusnya melarang-larang kamu untuk dekat dengan siapa saja.”

    “Ya aku tahu saat itu kamu sedang emosi dan nggak bisa berpikir jernih.” Kata Chandra.

    “Iya emang saat itu aku sedang emosi.”

    “Lagipula kamu juga yang mendapatkan ciuman pertamaku.” Kata Chandra malu-malu.

    Hah? Apa aku tidak salah dengar? Ciuman pertama Chandra aku yang pertama kali mendapatkannya. Aku tidak peracaya. “Eh…Yang benar?”

    Chandra hanya mengangguk tersipu malu. Aku lihat mukanya memerah.

    “Wah, aku orang yang beruntung donk dapat ciuman pertamamu. Tapi nggak aku sangka kamu berani melakukan hal seperti tadi!” Kataku jadi sedikit bangga bisa mendapatkan ciuman pertama Chandra.

    “Ah! Aku hanya mengetes doank. Aku jadi nggak tega ngeliat kamu gemetaran kayak gitu. Padahal tadinya mau aku terusin aja.”

    “Dasar mesum! Haha.” Ejekku lalu aku tertawa bersama Chandra.

    “Oia, tadi pagi aku ketemu Yudha.” Kata Chandra tiba-tiba.

    Aku terkejut mendengarnya, mau apa Yudha bertemu dengan Chandra. “Terus dia mau ngapain?”

    “Dia bilang suka sama aku.”

    “Apa?” Kataku terkejut, “Dia…dia…dia juga…”

    Aku tidak menyangka kalau Yudha suka sama Chandra. Berarti dia juga gay sama seperti Chandra.

    Chandra hanya menganggukkan kepala.

    “Terus kamu jawab apa?” Tanyaku.

    Chandra hanya mengangkat bahu dan berkata, “Aku bilang kalo di hatiku saat ini hanya ada kamu, Pan.”

    Aku sedikit senang juga gelisah, aku takut kalau Chandra berpaling dariku. Aku tidak rela kalau Chandra suka sama orang lain.

    “Dia terus minta aku membuka sedikit hatiku untuknya dan meminta untuk diberi kesempatan untuknya.” Kata Chandra.

    “Terus kamu jawab apa?” Tanyaku gelisah. Takut Chandra berpaling ke Yudha suatu saat nanti.

    “Aku iyakan. Tidak ada salahnya, kan?”

    “O…” Aku berpikir itu berarti Chandra bisa berpaling ke Yudha suatu saat nanti.

    “Kamu kenapa sich, Pan?” Tanya Chandra melihatku agak gelisah.

    “Kok aku rasanya nggak tega ya kalo ada yang suka sama kamu. Rasanya nggak rela kalo kamu suka sama orang lain, aku maunya kamu suka sama aku terus.” Kataku jujur. Memang seperti itu yang aku rasakan sekarang.

    “Kamu naksir sama aku kali. Cemburu kalo ada yang suka sama aku.” Chandra menggodaku.

    “Mungkin kali ya? Hahaha…”

    “Hahaha… Maka nya jangan buat aku sedih terus. Nanti kalo aku berpaling ke Yudha gimana?”

    “Wah, aku harus kerja keras kalau begitu. Haha…”

    Aku masih bingung dengan perasaanku. Aku mencintai Mitha tetapi aku juga tidak ingin Chandra berpaling dariku. Perasaan saat bersama Chandra belum pernah aku rasakan sebelumnya bahkan saat bersama Mitha atau mantanku yang lainnya aku tidak pernah merasakan hal ini. Aku merasa sangat nyaman, teduh, bahkan setiap bersama Chandra aku selalu berdebar-debar. Apakah sekarang aku menyukai Chandra? Tapi aku tahu ini tidak boleh terjadi, saat ini aku sudah mempunyai Mitha. Aku jadi ragu dengan perasaanku. Siapa sebenarnya orang yang aku cinta?

    *****

    Hari ini, aku sangat kesal saat sedang kumpul bersama Chandra dan Dhea. Tiba-tiba saja datang Yudha dan bergabung dengan kami. Chandra tahu kalau aku tidak suka dengan Yudha, Chandra juga sempat melotot kepadaku ketika aku tidak mau menyalami Yudha. Saat mereka mengobrol, aku jadi ingat tentang janjiku ke Mitha. Lebih baik nanti aku menepati janjiku dengan Mitha karena kemarin aku sudah membatalkan janjiku untuk mengantar Mitha.

    Saat pulang sekolah, aku mendatangi Mitha di kelasnya, aku merencanakan untuk mengajak dia candle light dinner, pasti Mitha akan senang.

    “Hai, Babe.” Sapaku ketika melihat Mitha.

    “Halo, Babe. Sudah menunggu lama, ya?”

    “Baru sebentar kok. Sudah siap pulang?”

    “Yuk, tapi aku mau ke kamar mandi dulu.”

    “Oia, nanti malam aku mau ngajak kamu keluar. Kamu bisa kan?”

    “Eh, aku…aku nggak bisa…aku ada…aku ada pengajian, ya ada pengajian bareng sama Mama.” Kata Mitha gugup.

    “O…” aku lihat tingkah Mitha sedikit aneh. Apa dia berbohong? Aku jadi semakin curiga.

    Sebelum pulang aku mengantar Mitha ke kamar mandi.

    “Babe, tolong pegangin tas aku ya? Aku mau pipis dulu.” Kata Mitha sambil menyerahkan tasnya.

    Aku hanya menganggukkan kepala. Kemudian Mitha masuk ke dalam kamar mandi. Aku segera membuka tas Mitha dan mencari handphone-nya. Aku memang tidak pernah mengijinkan orang lain mengotak-ngatik handphoneku bahkan membaca inbox-ku karena itu merupakan privasiku bahkan Mitha tidak aku izinkan. Mitha juga mengerti hal tersebut karena aku juga tidak pernah mengotak-ngatik handphonenya. Baru kali ini aku membuka inbox dari handphone Mitha karena tadi aku curiga dia sudah berbohong kepadaku. Ternyata kecurigaanku terbukti, di inbox handphone Mitha aku menemukan SMS dari CayankkuAngga. Segera aku buka dan membaca sms darinya.

    -CayankkuAngga-
    Say, nanti malam kita jadi jalankan? Aku jemput jam 7an di rumah, ya? Oia kapan kamu putusin cowokmu itu? Aku nggak mau kita sembunyi-sembunyi seperti ini terus.


    Aku tidak bisa membaca sms yang lainnya karena Mitha keburu keluar dari kamar mandi. Untungnya aku bisa mengembalikan handphone Mitha tanpa ketahuan aku sudah membuka inboxnya. Akhirnya aku mengantar Mitha pulang ke rumah.

    Aku merencanakan untuk membuntuti Mitha dan Angga. Aku menunggu di dekat rumah Mitha supaya tidak ketahuan oleh mereka. Tidak lama setelah menunggu, aku lihat ada mobil yang berhenti di depan rumah Mitha. Aku lihat Mitha segera keluar dari rumah beberapa menit kemudian. Akhirnya mereka pergi, aku segera mengikuti mereka sampai akhirnya mereka tiba di Taman Kencana. Di dalam mobil aku melihat mereka sangat mesra sekali. Padahal di depan umum tapi mereka berani berciuman. Aku sudah tidak tahan lagi melihat tingkah mereka. Aku segera menghampiri mereka berdua.

    “Topan…Kok kamu ada di sini?” Kata Mitha kaget saat melihatku, dia mencoba menjauh dari cowok itu. Yang aku yakin dia adalah Angga.

    “Katanya kamu ada pengajian dengan Mama kamu!” Bentakku.

    “Bukan gitu… biar aku jelaskan!” Kata Mitha gugup.

    “Itu tidak perlu!”

    “Hei jangan kasar-kasar sama cewek!” Kata Angga membela Mitha.

    Akhirnya aku dan Angga ribut, Mitha mencoba melerai dan menengahi kami. Tapi aku tidak peduli. Pertengkaran aku dan Angga menarik perhatian orang-orang yang berada di sana. Tapi aku tidak tahu kalau mereka adalah teman-teman Angga yang kemudian aku di keroyok oleh mereka. Saat dikeroyok aku lihat Mitha menangis mencoba menghentikannya tapi sepertinya mereka tidak peduli. Setelah puas mengeroyokku akhirnya mereka meninggalkanku, Mitha mau menolongku tapi Angga menarik Mitha agar mengikutinya.

    Aku mencoba mengambil handphoneku dan menelepon nama yang terlintas di pikiranku, yaitu Chandra.

    Halo, ada apa Topan telepon malam-malam?

    Aku mendengar suara Chandra mengangkat teleponku. Aku lega karena Chandra belum tidur.

    Chan, bisa tolong jemput aku?

    Topan kamu kenapa?! Sekarang kamu ada dimana?!

    Chandra terdengar khawatir ketika mendengar suaraku. Aku memang sedang kesakitan sesudah di keroyok.

    Nanti saja ceritanya. Aku ada di Taman Kencana.

    Ya udah kamu tunggu di sana. Jangan beranjak dari tempat kamu.

    Iya, tolong jemput aku, Chan. Sekalian ajak Mas Billy.

    Tunggu ya, aku segera ke sana.


    Aku hanya bisa diam di tempat karena sekujur tubuhku sangat sakit. Wajahku memar dan luka. Sekarang aku hanya bisa menunggu kedatangan Chandra dan Mas Billy.

    Saat menunggu, aku merasa waktu berjalan sangat lambat. Bajuku sudah penuh dengan darah dan kotoran. Saat menunggu mereka, sayup-sayup kudengar namaku dipanggil. Tapi suaraku tidak bisa keluar, aku hanya berharap mereka menemukanku sebelum aku jatuh pingsan.

    Akhirnya keajaiban terjadi Chandra menemukanku lalu dia berteriak memanggil Mas Billy. Tidak lama kemudian Mas Billy datang mengahampiri kami.

    “Ayo kita bawa ke rumah sakit!” Kata Mas Billy.

    “Jangan, aku nggak mau ke rumah sakit!” Kataku sambil merintih kesakitan.

    Mereka akhirnya membawaku ke rumahnya. Mereka membawaku ke kamar Chandra lalu membaringkan aku di ranjang. Aku sunggu berterima kasih kepada mereka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka.

    “Aku akan mengambilkan obat!” Kata Mas Billy meninggalkan kami berdua.

    “Aku terlihat sangat memalukan, ya?” Kataku.

    “Kamu jangan terlalu banyak bicara dulu. Mas Billy akan segera datang membawa obat.” Kata Chandra terlihat jelas bahwa dia sangat khawatir.

    Beberapa saat kemudian Mas Billy datang membawa obat merah dan kapas.

    “Mas, tolong ambilkan air dan kain! Lukannya harus dibersihkan. Oia sekalian bawakan baju ganti, ambil saja di lemariku.” Kata Chandra sambil membuka seluruh pakaianku. Aku sungguh malu karena Chandra melihatku dalam keadaan seperti ini.

    “Auw…” Kataku merasakan perih saat Chandra mengoleskan obat merah di lukaku.

    “Jangan cengeng, masa cuma luka seperti ini kamu sudah kesakitan!” Kata Chandra memarahiku.

    “Perih, Chan!”

    “Tahan, kamu kan cowok!” Kata Chandra sambil terus mengolesi obat merah di lukaku.

    “Makasih yah, Chan!” Kataku sambil menggenggam tangan Chandra. Aku tidak sadar bahwa Mas Billy memperhatikan kami.

    Aku tersadar bahwa Mas Billy memperhatikan kami berdua. Dia menatap kami curiga, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Mas Billy.

    Setelah Chandra mengobatiku dan membantuku mengenakan pakaian bersih milik Chandra. Aku tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua. Chandra sangat pengertian padahal aku sering membuat dia marah dan menangis. Kenapa dia begitu baik sekali. Aku seharusnya tidak layak mendapatkan perhatian seperti ini. Saat Chandra mengobatiku jantungku berdebar kencang, saat kuperhatikan Chandra ternyata dia sungguh tampan, dan manis. Ah kenapa aku bisa berpikir seperti itu. Aku tidak boleh seperti ini bukan perasaan yang diperbolehkan. Tapi aku sayang Chandra. Aku bingung harus gimana? Aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri.

    *****

    Saat aku tidur, aku terbangun karena aku merasakan ada hembusan nafas di wajahku. Setelah aku lihat ternyata Chandra sedang mencoba menciumku sambil menutup matanya. Jantungku berdebar kencang, tapi aku pingin tertawa.

    “Chandra, kau ingin menyerangku saat pertahananku sedang lemah, ya? Kamu nakal.”

    Benar dugaanku, Chandra sangat kaget ketika melihatku sudah bangun. Dia terlihat sangat salah tingkah. Aku senang sekali menggodanya lalu mengedipkan mataku. Chandra segera menjauh mukanya sangat merah karena aku pergok mau menciumku.

    “Hahaha… Coba kamu lihat wajah kamu sendiri. Sungguh lucu. Merah banget.” Kataku tertawa senang karena mergokin Chandra.

    Chandra sangat malu sekali, aku bisa lihat dari wajahnya yang memerah. Dia hanya menunduk terus.

    “Atau jangan-jangan ketika aku menginap di sini dan saat aku sedang tidur kamu selalu menyerangku di saat pertahananku sedang lemah, ya?” Aku menggoda Chandra.

    “A…Apa!? Enak saja…Nggak kok!” Kata Chandra gugup.

    “Ah…bohong ya?Hehe.” .

    “Apaan sih? Nggak!”

    “Nggak salah lagi kan?”

    “Tau ah! Kamu menyebalkan!” kata Chandra segera berlari keluar kamar.

    Aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Chandra yang aku pergokin mau menciumku. Wajahnya sangat lucu sekali. Tapi saat Chandra hendak menciumku, jantungku berdebar-debar. Aku menyesal harusnya aku biarkan saja Chandra menciumku baru memergokinya. Tapi melihat tingkah Chandra sudah membuat aku senang. Aku bisa melupakan apa yang terjadi semalam gara-gara Chandra.

    Tapi saat ini aku masih bingung bagaimana perasaanku sesungguhnya terhadap Chandra. Aku sayang dia, aku suka dia tapi aku tahu bahwa ini tidak boleh terjadi. Aku juga tidak mau mengecewakan orang tuaku karena aku adalah anak satu-satunya. Aku tidak mau melihat orang tuaku sedih jika mereka tahu bahwa anaknya adalah penyuka sesama jenis. Aku masih bingung dengan jalan apa yang aku pilih. Seandainya aku bisa memilih yang terbaik untuk kebahagianku, kebahagianku adalah bersama Chandra. Aku tidak mau kehilangan Chandra. Aku tidak bisa hidup jika tidak bersama Chandra. Suatu saat nanti aku pasti bisa memilih bersama Chandra sebagai seorang kekasih atau sebagai seorang sahabat. Walau sulit mengambil keputusan tapi aku yakin keputusan itu adalah yang terbaik. Karena saat ini aku masih ragu dan bimbang dengan perasaanku, aku tidak mau membuat Chandra sedih karenaku.

    *****
  • edited December 2011
    Sorry must delete this foto. ^^
  • Aku memandang langit yang penuh bintang berkilauan dari balik jendela kamar, alunan music menemaniku menikmati indahnya malam.

    Tok Tok Tok.

    “Masuk aja!” Kataku.

    Pintu kamarku terbuka ternyata Mas Billy yang mengetuk pintu kamarku.

    “Ada apa, Mas?” Tanyaku.

    “Boleh aku menanyakan sesuatu ke kamu?” Kata Mas Billy sambil menghampiriku.

    “Kenapa sih, Mas? Kalo mau tanya ya tanya saja. Kok jadi sungkan seperti itu.” Kataku. Mas Billy terlihat aneh.

    “Gini loh, Chan. Tapi kamu janji dulu jangan marah ya?” Kata Mas Billy terlihat ragu-ragu.

    “Apaan sih? Tergantung, Mas nanya-nya apa dulu.”

    “Janji dulu?”

    “Iya, janji nggak akan marah.” Kataku akhirnya berjanji.

    “Hmmm… Kamu…” Mas Billy terlihat ragu-ragu.

    Apa sih yang mau ditanyakan Mas Billy. Buat aku penasaran saja.

    “Kamu mempunyai hubungan apa dengan Topan?” Kata Mas Billy akhirnya bertanya.

    “Maksud Mas apaan? Chandra nggak ngerti!” Aku terkejut dengan pertanyaan Mas Billy.

    “Hubungan kamu dengan Topan! Mas melihat tatapan mata kalian berduan berbeda!”

    Aku terkejut Mas Billy bisa menyadari hal itu. Tapi memang benar kalau aku tidak mempunyai hubungan apa-apa hanya sebatas sahabat. Karena hanya aku yang menyukai Topan, sedangkan Topan hanya menganggap aku sahabatnya.

    “Ah, biasa saja. Topan dan aku kan bersahabat.” Kataku gugup. Aku memang tidak berbohong kalau kami bersahabat.

    “Kamu jangan bohong sama Mas. Mas nggak akan marah kalau memang kamu mempunyai hubungan dengan Topan.”

    Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sepertinya memang saatnya aku harus jujur ke Mas Billy sekarang.

    “Mas, aku dan Topan memang tidak mempunyai hubungan apa-apa kami hanya sahabat. Aku memang menyukai Topan tetapi dia sudah menolakku.” Kataku.

    Lalu aku menceritakan semua yang terjadi dari awal sampai sekarang. Bahkan tentang Yudha. Mas Billy mendengarkanku dengan seksama. Dapat kulihat ekspresi Mas Billy berubah-ubah ketika aku bercerita dari kesal, sedih, bahkan tertawa ketika mendengar hal-hal yang lucu di ceritaku.

    “Apakah kamu pernah melakukan hal itu?” Tanya Mas Billy.

    “Itu apa?” Tanyaku tidak mengerti.

    “Itu…Hubungan seks?”

    “Tidak Mas!! Tidak pernah, Topan, cowok pertama yang aku suka.”

    “Kirain udah pernah! Hehe.” Mas Billy menggodaku.

    Wajahku memerah saat Mas Billy membicarakan tentang seks.

    “Terus kamu nggak mempertimbangkan Yudha? Jelas-jelas dia menyukaimu, sedangkan Topan hanya menganggap kamu sahabat.”

    Aku jadi berpikir setelah mendengarkan ucapan Mas Billy. Perasaanku mulai ragu, apakah aku lebih baik memlih Yudha atau hanya memedam perasaan ini untuk Topan. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan dengan ini semua. Yudha juga perlu jawaban dariku. Aku dilemma.

    *****

    Mungkin ini sebuah kebodohan, aku mengharapakan yang tidak pernah pasti dari Topan. Aku selalu menunggu hari di mana permohonanku akan terkabul. Apakah permohonanku akan terkabul?

    Langit biru mengintip di antara kumpulan awan. Waktu mengalir dalam kesunyian, angin bertiup lembut aku duduk di bawah rindangnya pohon beringin.

    “Hei Chandra, sudah menunggu lama?”

    Aku lihat ternyata cowok itu sudah duduk di sebelahku.

    “Ah, nggak kok baru 5 menit.” Kataku.

    “Mau ngapain di sini, Chan?” Tanya cowok itu.

    “Aku hanya perlu berbicara denganmu, Pan!” Kataku kepada Topan.
    Cowok yang kutunggu adalah Topan. Aku perlu waktu berdua dengannya memastikan perasaanku juga perasaannya terhadapku.

    “Ada apa nih?” Tanya Topan penasaran lalu tersenyum.

    Semalam aku tidak bisa memejamkan mata, aku terus memikirkan apakah ini terlalu cepat menanyakan kelanjutan hubungan ini. Tapi aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi.

    “Topan, kamu tahu kalau aku menyukaimu kan?”

    “Ya…Aku juga menyukaimu, kamu sahabat terbaikku.”

    “Bukan itu, Pan. Maksud aku apa kamu menyukaiku lebih dari sekedar sahabat?”

    “Aku…aku nggak bisa menjawabnya.”

    “Semalam aku berpikir, tentang perasaan aku ke kamu. Tentang perasaan kamu ke aku. Kadang kamu bisa membuatku berharap banyak. Kadang kamu biasa-biasa saja. Sikap kamu membuat aku bimbang, membuat aku nggak yakin dengan perasaan aku sendiri tentang kamu.”

    “Maafkan aku…”

    “Aku hanya perlu kepastian dari kamu. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. Kalau kamu memang tidak bisa tolaklah aku.”

    “Maafin aku, Chan. Aku benar-benar nggak bisa.”

    Aku hampir saja menangis. Berakhir sudah, aku tidak bisa mengharapkannya lagi.

    Tangan Topan membelai punggungku, “Pergi! Pergi dari sini!”

    “Tapi, Chan…”

    “Aku bilang pergi! Aku butuh waktu untuk sendiri!”

    Topan akhirnya pergi meninggalkanku sendiri. Bagi Topan aku hanya jadi sahabatnya. Aku menangis, hujan pun turun ikut menangis bersamaku. Kata siapa tidak ada jeleknya menjadi cowok hujan tapi aku merasa hujan ini menertawakanku sekarang. Sekarang aku seorang diri, dadaku terasa sesak ketika Topan menolakku. Pasti aku akan baik-baik saja tapi ini semua tidak ada artinya bila aku tidak bisa bersama dengannya.

    *****

    Hari demi hari hujan tetap turun setelah peristiwa itu, aku hanya bisa berpura-pura tersenyum di depan semua orang. Aku tahu Topan dan Dhea sadar bahwa senyuman yang aku berikan tidak tulus. Aku memang berusaha tegar dan melupakan semua yang terjadi kemarin. Topan seperti merasa bersalah. Dia selalu bertanya apakah aku baik-baik saja.

    Perasaanku terluka karena penolakan Topan, tapi ternyata Topan lebih terluka lagi karena sudah menyakitiku. Aku mengetahuinya ketika melihat dia menangis. Tapi aku tidak bisa datang menghampirinya karena sedang ada Dhea di sampingnya. Mereka terlihat sangat cocok bersama. Aku merasa sangat jahat karena telah melupakan janjiku dulu. Janji tidak ingin membuat orang yang aku sayang menangis.

    Aku merogoh kantung celana untuk mengambil handphone-ku. Segera aku ketik sms untuk Topan.

    Topan, maafin aku. Aku udah egois, aku nggak memikirkan perasaan kamu juga. Kamu jangan menangis lagi, aku nggak mau melihat orang yang aku sayang nangis gara-gara aku. Aku udah nggak apa-apa.

    Setelah mengirimkan pesan ke Topan, aku segera pergi meninggalkan mereka berdua di kelas. Tidak lupa aku mengirimkan pesan untuk Yudha, aku harus menjawab perasaan Yudha. Aku tidak ingin Yudha menunggu terlalu lama.

    Yudha, kita harus bicara. Pulang sekolah aku akan menunggumu di tempat biasa.

    Aku harus menyiapakan diri dan juga hati untuk menjawab perasaan Yudha. Aku harap ini keputusan yang terbaik buat semua.

    *****

    Matahari tampak sudah bersinar lagi dari balik awan, Yudha ternyata sudah berada di bawah pohon beringin ketika aku tiba di sana. Dia tersenyum ketika melihat aku datang. Aku segera menghampiri dan duduk di sebelah Yudha.

    “Hai, Chan!” Sapa Yudha.

    “Hai juga!”

    “Ada apa neh tiba-tiba kamu nyuruh aku ke sini. Emangnya apa yang mau kamu bicarakan?” Tanya Yudha sambil tersenyum.

    “Soal itu…” Kataku gugup.

    “Yah?”

    “Aku…aku mau memberikan jawaban yang tempo hari.” Kataku.

    “Kamu sudah memikirkannya?”

    Aku mengangguk yakin. “Yudha, sepertinya aku nggak bisa nerima perasaan kamu. Maafkan aku.”

    Yudha terlihat sangat sedih setelah mendengar jawabanku.

    “Maaf. Aku merasa nggak adil buat kamu jika kamu terus menungguku. Padahal kamu mengharapkan aku. Tapi aku nggak bisa membalas perasaan kamu. Aku sayang kamu, kamu sahabat yang baik juga pengertian.” Mataku mulai berkaca-kaca.

    “Aku mengerti, walaupun aku sedih dan kecewa karena kamu sudah menolakku. Tapi aku senang kamu menganggap aku sebagai sahabat kamu.” Kata Yudha, ia terlihat sedih tapi bisa menerima dengan lapang dada.

    “Aku kagum sama kamu. Kamu dewasa dalam menghadapai masalah tidak seperti aku yang hanya bisa menghindar dan menangis. Kamu juga bijaksana, pintar dan ganteng. Menurutku kamu itu cowok yang sempurna. Siapa pun yang menjadi pasangan kamu, dia orang yang beruntung. ”

    “Aku tidak sehebat itu, Chan!” Kata Yudha tersipu malu. “Kamu terlalu memujiku.”

    “Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Kamu memang sempurna, Yudh. Aku rasa aku tidak pantas bersamamu.”

    “Tapi kesempurnaanku akan lebih lengkap jika bisa bersamamu, Chan!”

    Aku tertegun mendengar perkataan Yudha. “Sekali lagi maafkan aku. Aku saat ini tidak pantas berada di sisimu.”

    “Ya, aku tahu! Orang yang kamu suka itu Topan bukan aku.”

    “Bukan seperti itu Yudh. Saat ini aku bimbang dengan perasaanku.”

    “Maksud kamu?” Tanya Yudha tidak mengerti.

    “Aku…” Aku ragu apakah aku harus menceritakan apa yang terjadi bersama Topan kemarin. Tapi aku memutuskan untuk tidak memberitahu Yudha.

    “Aku hanya ingin kita bersahabat saja, Yudh! Aku tidak mau merusak persahabatan kita yang sudah terjalin.” Kataku.

    “Aku mengerti maksud kamu. Aku bisa terima keputusan kamu. Sahabat!” Kata Yudha sambil mengulurkan tangan.

    “Sahabat!” kataku menyambut uluran tangannya. Kami berdua berjabat tangan.

    “Kamu tadi mengatakan aku hebat tapi sebenarnya kamu yang hebat, Chan!” Kata Yudha memujiku.

    “Kamu jangan meledek aku, Yudh!”

    “Aku tidak meledek kamu kok. Kamu tau kenapa aku bisa menyukai kamu?”

    Aku sama sekali tidak mengetahui kenapa Yudha bisa suka padaku.

    “Mungkin kamu tidak mengingatnya tapi aku masih ingat betul. Waktu itu aku masih kelas XI berarti kamu masih kelas X. Ketika itu kamu membantu aku memungut buku-buku yang aku jatuhkan ke lantai. Setelah membantuku lalu kamu tersenyum sambil mengatakan hati-hati kepadaku. Mungkin bagi kamu itu hanya sekilas tapi aku tidak pernah melupakannya.” Kata Yudha.

    Eh! Benarkah? Aku sama sekali tidak mengingatnya karena itu sudah lama.

    “Setelah kamu menolong aku, aku selalu memperhatikan kamu. Kamu selalu tersenyum kepada semua orang, senyum yang tulus dari hatimu. Kamu seperti mempunyai feromon yang bisa menarik perhatian semua orang sehingga bisa membuat semua orang menyukaimu. Kamu mempunyai aura yang berbeda yang bisa membuat orang nyaman bersama kamu.”

    Aku terkejut mendengarnya. Apakah benar aku seperti itu? Padahal aku hanya berusaha ramah kepada semua orang, aku tidak tahu kalau orang menyalahartikan senyumanku. Pantas saja aku tidak tahu bahwa aku ini populer di sekolah mungkin jika tidak ada yang memberitahuku aku tidak akan tahu sama sekali.

    *****
    Setelah cukup lama aku dan Yudha mengobrol, akhirnya kami memutuskan untuk pulang karena hari sudah menjelang sore. Yudha sudah bisa menerima penolakkanku dengan lapang dada. Mudah-mudahan keputusan yang aku ambil tepat. Tapi aku sedikit menyesal karena harus menolak Yudha.

    Sepulang sekolah, Mas Billy mengajak aku ke Celebrity Fitness sekaligus makan malam di luar. Katanya dia sudah lama tidak nge-gym. Memang Mas Billy sangat menjaga bentuk badannya. Dia bisa saja mengikuti kontes L-Men mungkin bisa mejuarai kontes tersebut. Tapi Mas Billy tidak pernah berminat mengikuti kontes-kontes macam gitu. Kalau diperhatikan Mas Billy sangat cocok menjadi model. Sudah banyak pencari bakat yang menawari Mas Billy untuk menjadi model, bintang iklan atau aktor. Tapi mereka hanya mendapatkan jawaban yang sia-sia.

    Di Celebrity Fitness banyak sekali mata-mata nakal yang melirik ke arah Mas Billy baik laki-laki maupun perempuan. Kadang mereka berusaha menggodanya tetapi Mas Billy tidak mempedulikan mereka. Sebenarnya apa menariknya Mas Billy di mata mereka. Setelah kuperhatikan, Mas Billy memang ganteng dan juga memiliki badan yang bagus. Aku jadi sedikit bangga mempunyai kakak seperti Mas Billy.

    Setelah selesai nge-gym kami memutuskan untuk makam malam di Solaria. Aku memesan Chicken Mozarella dan Ice Capucinno, Mas Billy juga memesan makanan yang sama denganku.

    “Chandra!”

    Ketika sedang makan bersama Mas Billy, ada seseorang yang memanggil namaku.

    “Randy!” Aku sangat terkejut ketika melihatnya.

    Cowok yang tadi memanggil namaku adalah Randy Nasution. Dia adalah teman baikku sejak SD hingga kelas 2 SMP. Tapi karena pekerjaan orang tuanya dia harus ikut pindah ke Amerika Serikat. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Aku sangat senang sekali bisa bertemu dengannya.

    “Boleh aku duduk di sini?” Kata Randy.

    “Iya, silahkan.” Kataku.

    Randy menarik kursi dan duduk di sebelahku.

    “Bagaimana kabarmu, Ran?” Tanya Mas Billy. Mas Billy juga mengenal Randy sejak dulu karena dia tahu bahwa Randy adalah teman terdekatku. Dulu aku dan Randy selalu bersama-sama tidak terpisahkan seperti perangko.

    “I’m fine. How about you guys?” Tanya Randy.

    “Kelamaan di Amerika kamu, Ran! Jadi lupa sama Bahasa Indonesia.” Candaku. Kami bertiga tertawa mendengar ocehanku.

    “Nggaklah. Aku kan orang Indonesia masa aku lupa sama bahasa sendiri.” Kata Randy. “Bagaimana kabar kalian?”

    “Kami berdua baik-baik saja. Tapi si Chandra lebih banyak menangis akhir-akhir ini.” Kata Mas Billy.

    “Mas Billy!” kataku protes. Mas Billy membuka aib adiknya sendiri. Menyebalkan!

    “Kamu jadi lebih cengeng, Chan! Memangnya mengapa kamu menangis?” Tanya Randy.

    “Biasa ditolak cinta!” Kata Mas Billy.

    Aku hanya diam, tidak bisa berkata apa-apa. Karena memang itu kenyataannya.

    “Haha… begitu saja kamu sudah menangis.” Ledek Randy.

    “Kapan kamu pulang dari Amerika?” Tanyaku.

    “Dua hari yang lalu. Pekerjaan Papa di Amerika sudah beres. Sekarang kami akan menetap di sini lagi.” Kata Randy.
    “Yang benar? Kamu sudah mencari SMA untuk sekolahmu di sini?” Tanyaku.

    “Belum neh. Kamu sekolah di mana? Aku mau satu sekolah denganmu sajah, Chan!” Kata Randy.

    “Aku di SMA Pelita Bangsa. Kalau kamu mau aku akan membantumu.” Kataku.

    “Oke nanti aku bicarakan dengan Papa dan Mama. Kapan-kapan mampir ke rumahku, mereka pasti senang bertemu denganmu.” Kata Randy.

    “Rumah kamu masih yang dulu kan?” Tanyaku.

    “Iya, kami masih sibuk membersihkan rumah. Rumah kami masih sangat berantakan.” Kata Randy.

    Rumahku dan rumah Randy hanya berbeda beberapa blok. Jadi tidak begitu jauh dari rumahku.

    “Besok aku pasti mampir sepulang sekolah, Ran!” kataku.

    “Oke, nanti aku jemput kamu di sekolah yah?” Kata Randy.

    “Nggak usah, aku bawa motor kok.” Kataku.

    “Kamu besok aku yang ngantar kan?” Kata Mas Billy tiba-tiba.

    “Tuh, jadi aku bisa menjemputmu!” Kata Randy lalu tersenyum.

    Dasar Mas Billy! Mas Billy tersenyum mengejek dan mengedipkan matanya nakal. Padahal aku sudah diperbolehkan membawa motor lagi, tetapi Mas Billy tetap maksa untuk mengantar dan menjemputku jika dia sedang tidak ada mata kuliah.

    *****

    Sepulang sekolah, Aku, Topan dan Dhea sedang duduk-duduk di taman sekolah. Aku dan Topan sudah seperti biasa lagi. Aku memang sempat sedih tapi aku bisa menghadapi kenyataan bahwa cinta itu nggak bisa aku paksakan. Aku juga sudah menceritakan bahwa aku menolak Yudha kepada mereka. Bahkan dapat kulihat dari raut wajah Topan sepertinya dia senang mendengar itu. Ketika kami melihat Yudha hendak pulang ke rumah dan berhenti sebentar untuk pamit kepada kami. Aku lihat Topan tidak menunjukkan rasa permusuhan kepada Yudha malah dia tersenyum kepada Yudha. Aku dan Dhea bingung melihat Topan bisa berubah sikapnya terhadap Yudha.

    “Kita pulang sekarang, yuk!” Kata Dhea.

    “Aku lagi menunggu di jemput.” Kataku.

    “Kamu menunggu Mas Billy? Biar aku mengantar kamu dan Dhea pulang ke rumah. Lebih baik kamu memberitahu Mas Billy untuk tidak menjemputmu.” Topan menawarkan kami untuk diantar pulang olehnya.

    “Bukan…” Kataku.

    “Jadi kamu menunggu siapa?” Kata Topan.

    Tin… Tin… Tin…

    Sebelum aku menjawab pertanyaan Topan, kami mendengar bunyi klakson dari mobil sporty warna merah. Ketika pemilik mobil sporty itu keluar dari mobilnya, aku terkejut ternyata mobil itu punya Randy.

    “Chandra!” Panggil Randy sambil melambaikan tangannya.

    Aku balas melambaikan tangan. Dapat aku lihat Topan dan Dhea bingung sekaligus kaget karena mereka tidak mengenal Randy yang tiba-tiba datang menjemputku.

    “Siapa itu?” Tanya Topan, aku dengar dari nada suaranya ada rasa ketidaksukaan terhadap Randy.

    “Itu Randy. Teman baikku sejak SD, dia baru saja pulang dari Amerika.” Kataku.

    “O…” Kata Topan dan Dhea bersamaan.

    “Eh, aku pulang duluan ya? Aku sudah dijemput. Topan, kamu anterin Dhea sampe rumah ya?” Kataku. “Topan, Dhea. Aku duluan, ya!” Lalu melambaikan tangan ke arah Topan dan Dhea.

    Topan dan Dhea mengangguk. Aku tidak tahu kalau Topan terus memperhatikanku ketika aku menghampiri Randy.

    *****
  • wah ada tokoh baru ni

    makin seru ni cerita dan intriknya
  • wah..
    kayaknya makin seru nie...
    jadi gak sabar baca lanjutannya....

    ditunggu lanjutannya y ^^
  • semoga chandra bisa bahagia. Ceritanya makin seru. Btw, foto yudha ganteng bgt ya.
  • woohoo...akhirnya... :p
    aku baca steiap kalimat itu kok hatiku eneg ya...rasanya kepenuhan beban gitu... O.o
  • gw mau mas billyyy :p
Sign In or Register to comment.