Kuarter keempat 2006,
Langkah kami terhenti setelah tiba di muka monumen Serangan Oemoem 1 Maret, salah satu sudut simpang empat Kantor Pos Besar, Yogyakarta. Saya masih ingat betul jarum jam Ngejaman, yang lima menit lalu kami lalui, menunjukkan angka 10 lewat 5. Saat itu bulan terlihat timbul-tenggelam di lautan awan.
"Berhenti dulu, masih sore ini. Anak-anak sepertinya juga belum pada nongol," ujar Tambun, salah seorang dari rombongan kami.
"Terus, mau apa kita di sini?" tanyaku.
"Kita duduk-duduk dulu, leyeh-leyeh sambil wedangan ronde." jawab Tambun. "O ya, saya juga mau menyiapkan alat penyuluhan," lanjutnya lagi seraya membongkar tas kulit bentuk kotak yang diselempangkan di bahunya.
"Ya sudah, aku mau pesan ronde. Kamu mau, Cat?" tanya Kenes, seorang teman dekat.
"Bolehlah," sahutku singkat.
Sambil menunggu Kenes memesan ronde, aku mencoba melihat hasil jepretan kamera saku digital ketika rombongan kami masih makan malam di Malioboro Mall, beberapa jam sebelumnya. Syukurlah restoran Mc.Donald memiliki dinding kaca bening, sehingga kami bisa bebas mengambil foto selasar teras mall itu dengan leluasa sambil mengunyah kentang goreng dan burger keju.
Akan tetapi, dahiku sontak berkerut saat melihat tampilan foto di layar datar mini itu. "Sial!" umpatku saat menyadari tidak satu pun foto itu yang tampak jelas. Semuanya kabur. Blur. Pikiranku mencoba menghibur diri. Sudah sepantasnya foto itu kabur karena ini sudah malam, cahaya teras tidak cukup terang, pun aku tidak sekalipun menggunakan lampu blitz.
"Coba lihat foto-fotonya," tiba-tiba Kenes duduk di sebelahku.
"Tidak ada yang bagus," gerutuku.
"Kenapa? Kabur?"
"Ya,"
"Malah bagus, kan?"
"Kok bagus?"
"Yang penting kita dapat suasananya saja. Lagipula, tidak mungkin bukan kita memasang foto mereka dengan jelas di dalam tulisan nanti? Ingat lho, ini soal sensitif, Cat," jelas Kenes.
Mendengar itu, jemariku berhenti memencet tombol "Delete". Untunglah baru sedikit foto yang kuhapus. Benar juga kata si Kenes. Kami memang sedang melakukan misi untuk membuat sebuah tulisan investigatif mengenai "fenomena malam" di kota pelajar ini. Memang, nantinya tulisan itu bisa jadi dipublikasikan, tapi bisa jadi tidak. Tapi, mengungkapkan fenomena ini tidak sama dengan menyajikannya secara blak-blakan kepada calon pembaca kami kelak. Ada bagian-bagian yang memang sebaiknya dibiarkan tertutup, walaupun tidak rapat, sehingga masih bisa menyisakan celah untuk memuaskan rasa penasaran.
Aku masih ingat ketika mentor kami menanyakan apa yang bisa dieksplorasi dari tema fenomena malam. Secara iseng, aku menjawab kehidupan "kucing" di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Dia sempat tertawa dan mengatakan bukannya pasar hewan itu adanya di belakang alun-alun? Aku ganti menjawab, bukan kucing hewan yang kumaksud, melainkan kucing yang merupakan sebutan bagi pria-pria penjaja seks khusus sesama pria.
Mentorku langsung berhenti bertanya.
Dengan alis yang terangkat, entah karena terkejut atau tertarik atau apa, dia menanyakan apa yang bisa ditulis mengenai kucing-kucing itu. Baru sempat otakku berpikir, tiba-tiba saja Kenes mengemukakan bahwa tulisan itu adalah jawaban dari pertanyaan sang mentor soal kucing. Dia bahkan menyanggupi untuk membantuku menulis tentang kucing-kucing alun-alun utara.
Dan di sinilah kami sekarang. Duduk di bangku semen yang dingin. Mengaku sebagai mahasiswa peneliti kepada orang-orang LSM yang akan memfasilitasi kami. Selanjutnya kami dipesankan untuk mengaku sebagai calon anggota LSM itu yang hendak pelatihan pendampingan jika kucing-kucing itu bertanya apa status kami. Bohong dua kali. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya status kami bukan lagi mahasiswa dan bukan pula anggota LSM.
Oleh Tambun, koordinator lapangan LSM, kami diminta datang ke Malioboro Mall mulai pukul 7 malam. Sambil menikmati combo Mc.Donald, Tambun menjelaskan apa itu kucing, siapa mereka, dari mana mereka berasal, apa yang mereka lakukan, dan bagaimana mereka cara mereka bekerja.
"Semua dimulai dari situ," kata Tambun menunjuk selasar teras Malioboro Mall.
Aku dan Kenes mengikuti ke mana ujung jari telunjuk Tambun bergerak. Terlihat di antara selasar sejumlah orang, mayoritas laki-laki. Ada yang tukang parkir, ada yang penjaja rokok, balon anak-anak, koran, pengamen, pengemis, dan sesekali terlihat sekuriti. Yang mana yang kucing? Pikir kami.
"Lihat baik-baik," tegas Tambun seolah mendengar pertanyaan batinku dan Kenes. "Lihat laki-laki yang tampil necis atau sedikit necis. Mereka hanya berdiri atau duduk diam. Sesekali saling berbincang, namun seringkali hanya diam. Mata mereka tidak pernah fokus, melainkan selalu jelalatan..."
"Terutama melihat pengunjung mall laki-laki yang kelihatan keren lalu-lalang," potongku.
"Yuk. You got it!" ujar Tambun dengan jari melambai ke arah wajahku.
"Yang mana sih? Kok aku masih belum bisa membedakan?" protes Kenes.
"Contoh, lihat Mas yang pakai kemeja kotak-kotak itu," kata Tambun.
"Yang rambutnya spike dan pakai gelang hitam?" tanya Kenes.
"Itulah salah satu kucing yang akan kita amati,"
Kenes terdiam sesaat. "Tapi, Mas yang itu kan tidak keren, tidak necis seperti yang kamu bilang."
"...ya, itu memang relatif sih," lanjutku.
"Terus mereka ngapain?" lanjut Kenes menyeruput minuman bersoda.
Tambun yang sejak awal sudah tampak antusias dengan kehadiran kami segera berbicara panjang lebar. Katanya, para kucing akan bertahan hingga mall tutup, sekitar pukul 9.30 malam. Kalau beruntung, mereka bisa mendapat pelanggan di situ dengan kode-kode tertentu seperti siulan atau kedipan mata. Jika transaksi disepakati, kucing dan pelanggan akan pergi ngamar ke hotel terdekat atau rumah kos, atau juga kediaman si pelanggan. Dari situ akan ada dua kemungkinan: stay overnight atau short time saja. Kalau short time, dan masih ada waktu, kucing akan kembali lagi ke mall.
Lantas, bagaimana dengan kucing yang belum "laku"? Tambun mengatakan mereka secara berkelompok akan bergerak ke Alun-alun Utara. Di sepanjang jalan Malioboro mereka akan berhenti beberapa kali, mencoba peruntungan, sampai pada tempat transit terakhir yakni di depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Setelah itu mereka akan langsung menuju alun-alun.
Akhirnya aku dan Kenes membuktikan perkataan Tambun benar adanya. Setelah mall tutup, kami bergerak membuntuti gerombolan pemuda penjaja cinta sesaat itu. Beruntung, mereka tidak terlalu sering berhenti, sehingga kami tidak terlalu canggung. Hanya saja, tepat di depan Pasar Beringharjo, rombongan kucing berhenti cukup lama. Mereka makan di sebuah warung angkringan rupanya. Mau tidak mau, aku, Kenes, dan Tambun, beserta beberapa anggota LSM lain harus mendahului.
"Mas Cat, itu mereka sudah terlihat," panggil Tambun yang langsung berdiri dari duduk.
Aku pun sigap memasukkan kembali kamera digital ke dalam tas sementara Kenes mengembalikan mangkuk ronde dan membayarnya. Kami tetap diam sampai rombongan laki-laki itu melintas di hadapan kami dan menyeberang jalan. Mereka bukannya tidak mengenali kami. Beberapa orang di antaranya sempat melambaikan tangan kepada Tambun. Mungkin mereka sudah saling kenal sebelumnya. Ada juga yang sejak di mall terus-menerus menatapku. Aku bukannya tidak menyadari itu, tapi aku hanya bingung menerjemahkan tatapan itu.
Apakah dia pernah melihatku di suatu tempat? Apakah kami pernah kenal sebelumnya? Apakah dia menyadari bahwa aku sebenarnya juga seorang gay? Apa jangan-jangan dia tertarik kepadaku? Atau... Ah, pertanyaan-pertanyaan itu terpaksa kusimpan dulu ketika Kenes menggamit tanganku. Kami segera menyeberang jalan selagi lampu lalu lintas bagi kendaraan masih menyala merah.
(bersambung)
Comments
Gaya crtanya formal bahasanya. Eyd dan tidak ada typo..
Kami tetap melangkah pelan tanpa sekalipun mengalihkan pandangan dari sekelompok pria penjaja seks, atau disebut "kucing", yang ada di hadapan kami. Dalam naungan bayang-bayang samar gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta, mereka mulai berjalan berjingkrakan. Terdengar pula sorak dan lengkingan canda dari kumpulan itu. Entah apa yang mereka bicarakan, namun cukup membuatku dan Kenes berprasangka. Mungkin mereka merasa bebas karena sudah hampir memasuki "dunianya". Tanah lapangan alun-alun yang luas memang seolah menjanjikan kebebasan tak berbatas bagi mereka.
Sekali lagi kami menyeberang jalan. Lapisan aspal yang menikung itu sudah hampir sepi dari laluan motor dan mobil. Malam memang terus melarut, namun alun-alun justru mulai bergeliat selincah hewan-hewan nokturnal semacam kelelawar dan kecoak yang hilir mudik di udara dan trotoar. Tidak seperti sebelum millenium, kini alun-alun utara sudah benderang karena tiang-tiang lampu terpancang di setiap tepinya. Cahaya lampu itu bahkan begitu kuat hingga menyamarkan kerlip lampu minyak di warung-warung angkringan. Dari jauh, nyala lampu-lampu yang disebut senthir itu tak ubahnya nur yang dipancarkan lilin.
"Satu, dua, tiga..."
"Ngapain kamu, Nes?" tanyaku.
"Menghitung. Aku sedang menghitung jumlah mereka. Kalau tidak salah di mall tadi ada sekitar sembilan orang, tapi sekarang sudah tinggal tujuh,"
"Karena Yanuar dan Febri sudah laku," potong Tambun.
"Kapan lakunya?"
"Sesaat setelah kita meninggalkan mall. Aku tadi melihat ada bapak-bapak atau om-om, semacam itulah, yang menggandeng keduanya sekaligus. Kita biasa menyebut pria-pria berumur, berduit, dan bersyahwat besar itu sebagai gadun," lanjutnya.
"Beruntung mereka," sela Tirus, teman Tambun.
Aku dan Kenes gantian menatap aktivis LSM bertubuh cungkring itu.
"Ya, aku bilang beruntung karena sudah beberapa malam terakhir mereka sepi order. Lusa kemarin, Yanuar bahkan sampai meminjam uangku. Katanya sih akan dipakai untuk bayar kos dan sekolah adiknya. Aku sih percaya saja..."
"Memang ada kemungkinan lain?" Kenes meragu.
"Selalu ada," tegas Tambun. "Setahuku Yanuar itu penghisap ganja, jadi bisa jadi uang itu dipakai untuk mengatasi sakaw. Atau, bisa juga dia pakai untuk bayar hutangnya di tempat lain. Ibarat kata, gali lobang tutup lobang. Atau, digunakan untuk yang lain lagi, aku tidak tahu," jawabnya ringan.
"Dan, apa dengan pelanggan malam ini, Yanuar bisa membayar utangnya ke Mas Tirus?" lanjutku.
"Bisa ya, bisa tidak. Kita tidak pernah tahu berapa harga yang disepakati antara kucing dan pelanggannya. Kadang bisa jadi harganya sekian ratus ribu untuk short time, alias dua sampai tiga jam, tapi kenyataannya pelanggan membayar lebih rendah karena pelayanan kucing buruk..."
"Kenti kena gigi biasanya bayarannya langsung kena potong tuh," celetuk Tirus diikuti derai tawa Tambun.
"Ha, ha, ha, ya, ya, itu salah satu contohnya. Tapi, bisa jadi pelanggan puas dan kucing mendapatkan lebih banyak dalam bentuk tips. Jadi, ya, pintar-pintarnya si kucing melakukan servis,"
Mendengar itu, aku dan Kenes hanya bisa manggut-manggut. Sebenarnya buatku, contoh yang disebutkan Tirus tadi bukan sesuatu yang baru. Setiap laki-laki, baik hetero maupun homo, pasti sering mendengar kelakar itu. Entah kalau Kenes.
Kami baru sampai di sepertiga diameter alun-alun, namun Tambun meminta kami berhenti sebentar. Sambil duduk bersila di tepi jalan tengah alun-alun, ia meminta kami melihat baik-baik apa yang terjadi di sekitar. Aku dan Kenes segera menyiagakan indra. Berkali-kali kami mengedarkan pandangan dan menoleh jika mendengar suara-suara aneh. Kendati demikian, kami belum mampu berkata-kata kepada Tambun. Kami hanya melihat orang-orang berkumpul, entah itu di trotoar seberang alun-alun, atau di dalam alun-alun, atau di dalam tenda-tenda warung angkringan yang berada tepat di tengah alun-alun. Semua tampak sama saja.
"Kelihatan bedanya?" tanya Tambun.
"Kalau aku melihat lebih banyak perempuan di tengah alun-alun. Kalau di seberang jalan, aku hanya melihat beberapa laki-laki yang suka menyendiri," jawab Kenes.
"Sebenarnya aku juga melihat hal yang sama, tapi aku merasa laki-laki yang di seberang jalan lebih pendiam dan tampilannya kurang modis jika dibandingkan kelompok kucing yang tadi kita ikuti. Hmm... kalau soal perempuan di tengah alun-alun, jujur aku nggak yakin kalau itu benar-benar perempuan. Apa mungkin mereka waria?" tambahku.
Tambun menghisap rokoknya dalam-dalam lalu tergelak dalam tawa sesaat. Aku sempat melihat pipi gembulnya berguncang saat tertawa. "Ya, apa yang kalian lihat benar semua, tapi sebenarnya apa yang sedang kita lihat adalah segmentasi," ujar Tambun.
Dalam kepulan asap rokok, Tambun menjelaskan bahwa pria-pria yang berdiri di tepi trotoar seberang jalan alun-alun adalah gigolo. Mereka adalah pelacur pria heteroseksual. Sasaran mereka jelas adalah perempuan dewasa dan berpunya. Mereka menghindari alun-alun agar tidak disamakan dengan kucing.
Sementara tengah alun-alun lebih dikenal sebagai kawasan "pembauran". Kucing, gigolo, dan waria berkumpul bersama di situ. Penyebabnya sederhana, di sana ada warung angkringan dan makanan. Tidak ada salahnya bagi mereka untuk sarapan sebelum kerja sekalian bersosialisasi. Tidak menutup kemungkinan terjadi tukar-menukar informasi pelanggan di antara mereka atau mungkin juga informasi lain, misalnya kabar razia atau penyuluhan dari LSM. Itulah jantung bagi komunitas malam alun-alun utara. Ada denyut semangat yang selalu dipompa di sana. Sedih, senang, semuanya bisa dirasakan bersama.
Komunitas waria sendiri sebenarnya tidak mengambil kavling di alun-alun. Mereka lebih suka berkumpul di depan patung batu Bank Indonesia. Alasannya tidak diketahui pasti, tapi selain karena nyaman, ada yang bilang kalau di situ ada toilet umum tempat waria bisa memeriksa kostum dan dandanan mereka. Apakah masih pantas atau perlu dibenahi. Kalau di alun-alun, hal itu lebih sulit dilakukan, dan akan tampak aneh bagi publik saat melihat waria membetulkan posisi beha mereka yang melorot di tempat terbuka.
Saat kami mendengarkan penjelasan Tambun, satu-dua motor mulai melintas di tengah alun-alun. Beberapa pengendara motor tampak berhenti di tepi warung angkringan yang kemudian disambut meriah oleh para pelanggan yang sedang menikmati sedapnya menu sego kucing, sate usus, dan teh panas. Mereka langsung merubung pengendara motor itu dan segera menciptakan keriuhan bak koloni lebah.
"Mereka itu pelanggan tetap," seloroh Tambun.
"Ooh.." lagi-lagi aku dan Kenes manggut-manggut.
Sungguh pengalaman yang luar biasa. Hal-hal semacam ini sebelumnya hanya kami lihat di tayangan investigasi televisi, tapi sekarang terjadi di depan mata kami sendiri. Ini nyata, ini ada, dan ini masih di Yogyakarta.
"Kita bahkan belum mengamati kucing, tapi informasi yang kita dapat sudah sebanyak ini. Bagaimana cara menulisnya nanti?" tanya Kenes sambil memegang kepala.
Aku tersenyum. "Hebat ya kita? Bisa tahu sampai sebegini dalam. Masalah menulis urusan nanti. Kita ikuti saja aktivitas mereka. Aku yakin masih banyak kejutan menanti di sana," jawabku sambil menunjuk gerbang depan Keraton Yogyakarta.
Di depan gerbang besi yang berjarak kurang lebih 100 meter dari tempat kami berdiri saat ini itulah lokasi sasaran kami yang sesungguhnya. Gerombolan kucing sudah terlihat di sana. Lagi-lagi aku bisa melihat satu di antara mereka yang berdiri lurus menghadapku. Aku tidak yakin apakah dia laki-laki yang sama seperti yang kujumpai di depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret tadi, tapi menatapnya aku merasa seperti tengah diincar.
Ah, perasaanku saja sepertinya.
"Ayo kita jalan lagi," ajak Tambun.
Aku dan Kenes mengikuti ajakan Tambun. Sambil berjalan, aku membuka jaket yang sejak tadi kupakai. Udara dingin langsung menyambar kulit lenganku yang terbuka hingga dekat bahu. Kaos yang kupakai malam itu memang kecil dan ketat, sehingga memperlihatkan otot-otot lengan, dada, dan perutku yang sebenarnya tidak seberapa terbentuk ini. Melihat itu Kenes hanya bisa tersenyum.
"Yakin lo mau melakukan itu?"
"Yakin dong," jawabku mantap.
Kami berdua terkikik bersama. Yang tidak kusadari adalah perubahan mimik wajah Tirus saat melihatku melepas jaket. Mulutnya yang nyaris ternganga dan alisnya yang menukik seakan membentuk kalimat tanya: Apa yang akan aku perbuat di depan pagar keraton kelak?
(bersambung)
pengn baca lanjutannya.
tandain ah~
Jaket itu kemudian aku selempangkan di pundak kanan. Kubiarkan Kenes yang masih tertawa-tawa tertahan ketika melihat tampilanku kini. Kami berdua terus berjalan. Sesekali tubuhku menggigil saat angin malam menyapa Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Sial. Baju ketat ini sama sekali tidak mempan menangkal dingin.
"Tahan, Cat. Itu mas-masnya saja pada betah dingin-dingin pakai baju seksi. Masak kamu tidak kuat?" sindir Kenes.
"Asem kowe, Nes," umpatku.
Lagi-lagi Kenes tergelak.
Aku memang sengaja memakai baju ketat yang panjangnya hanya sebatas pinggang pada malam investigasi kami menyusuri kehidupan "kucing-kucing" Yogyakarta. Dalam misi mengumpulkan bahan guna pembuatan tulisan bertema "fenomena malam" ini, aku memang berniat untuk total. Aku juga ingin tampil sebagai kucing. Aku juga ingin tahu apa rasanya jadi kucing. Beberapa hari sebelumnya, aku sempat mencari tahu apa dan bagaimana "kucing", alias pria penjaja seks bagi sesama pria, itu.
Melalui milis gay yang kuikuti dan website forum sosial antargay, aku mendapatkan sedikit gambaran bahwa rata-rata kucing memang berani tampil beda, seksi, dan terbuka. Kalau tidak mau disebut binal. Namanya juga berjualan. Tubuh lagi yang dijual. Jadi, ya, memang harus berani ekspos diri.
Kemudian aku mengobrak-abrik seisi lemari pakaian di kamar kos. Walau aku seorang gay - setidaknya aku sadar telah mengambil orientasi seksual itu - tapi aku tetap menjaga tingkah dan perilaku selayaknya laki-laki pada umumnya. Aku tidak punya baju atau celana ketat, berwarna cerah, dan aksesoris meriah. Katakan aku undercover, katakan aku pengecut, katakan aku naif, terserah. Hanya saja, inilah caraku hidup. Walau aku sudah mengakui orientasi seksualku kepada sejumlah orang, salah satunya Kenes, tapi aku tidak harus tampil telanjang kan?
Sampai akhirnya aku menemukan satu pakaian yang sudah kekecilan tergeletak di dasar lemari. T-shirt ukuran S. Warnanya kelabu polos dan ada logo kelinci playboy di dada kiri. Aku lupa, di mana pernah membeli kaos semacam itu. Atau, jangan-jangan itu salah satu pemberian orang yang sempat kucampakkan? Ah, siapa pun pemberinya, kini aku sangat berterima kasih karena kaos itu akhirnya benar-benar berguna.
Seekor kelelawar terbang rendah dan bercicit parau saat aku dan Kenes menemukan tempat duduk di muka pagar Keraton Yogyakarta. Masih dalam balutan baju ketat merk "Playboy", aku duduk sambil bersedekap tangan. Malam di penghujung tahun memang selalu dingin. Siang tadi hujan bahkan sempat mengguyur kota gudeg ini dan menyisakan sejumlah kubangan air di permukaan tanah alun-alun. Saat permukaannya tenang, air kubangan laksana cermin bagi pesona kecantikan langit malam.
Beberapa menit aku dan Kenes terbengong. Kami masih takjub dengan pencapaian kami sejauh ini. Saat ini, ketika waktu hampir mencapai tengah malam, kami sudah berada di tengah-tengah komunitas kucing. Awalnya kami berpikir mustahil mendekati kelompok ini. Bahkan, aku dan Kenes sempat merencanakan taktik lain: aku berpura-pura menjadi pelanggan dan bertransaksi dengan salah seorang kucing. Transaksi tadi akan kami jadikan kedok untuk mengorek informasi mengenai kehidupan kucing itu.
Kemudian kami sadari cara itu tidak mungkin efektif.
Pertama, jelas berisiko membuang uang. Setidaknya kami harus merogoh kocek beberapa puluh ribu untuk membayar waktu dan informasi dari si kucing. Padahal, itu baru satu orang, sementara kami butuh narasumber lebih dari tiga orang. Bisa bangkrut dong. Kemudian, metode itu tidak memungkinkan kami melakukan observasi secara menyeluruh. Kami tidak akan tahu apa yang dilakukan kucing sebelum dan sesudah transaksi berlangsung. Berikutnya lagi, waktu kami juga terbuang karena tidak mungkin mewawancara beberapa kucing sekaligus dalam satu malam. Jadi dengan sangat terpaksa, niat itu kami urungkan.
Beruntung, aku punya kenalan Tambun, seorang aktivis LSM yang peduli dengan komunitas gay, lesbian, dan transgender di Yogyakarta. Melalui Tambun inilah akhirnya kami bisa mendapat akses untuk masuk dan merasakan semalam di lingkungan kerja para kucing.
"Hai," sapa sebuah suara.
Aku menoleh ke kiri dan kulihat sesosok laki-laki berdiri. Wajahnya agak samar karena terkena terpaan sinar lampu malam alun-alun dari arah belakang. "Eh, hai," jawabku balik.
Laki-laki itu kemudian beringsut duduk di sebelahku, membuatku harus menggeser pantat beberapa sentimeter. Ketika ia duduk, barulah aku bisa melihat jelas wajah laki-laki itu. Rautnya ramah.
"Jaka," ujarnya sambil mengulurkan telapak tangan.
"Cat," balasku menjabat tangannya.
"Aku tadi lihat kamu sama Mbaknya, eh, siapa namanya, Mbak?"
"Kenes," jawab Kenes. Mereka juga berjabat tangan.
"Oh Mbak Kenes. Iya, tadi aku sudah lihat Mbak dan Mas Cat ini sejak dari Malioboro Mall. Kalian berjalan bareng Mas Tambun kan?" tanya Jaka.
"Iya, kami anggota baru, calon anak buahnya Mas Tambun," jelas Kenes.
Aku hanya meringis mendengar jawaban Kenes yang seratus persen tipu itu. Kulihat Jaka percaya. Buktinya, dia langsung menganggukkan wajah.
"Oo... pantas baru kelihatan sekarang. Sebelumnya pernah melakukan pendampingan juga, Mbak, Mas?"
"Belum," jawabku. "Kami baru lulus kuliah,"
"Kuliah di mana dulu?" Jaka penasaran.
"E... anu, di Jogja juga. Kita satu fakultas dulu," lanjut Kenes.
"Fakultas apa?"
"Emm... psikologi," jawab Kenes pelan.
"Oh, wau, psikologi. Keren banget tuh. Aku dulu juga ingin kuliah psikologi. Kayaknya kalau sudah lulus bisa jadi psikolog, terus bisa membantu masalah orang. Keren banget,,,"
"Kamu kuliah, nggak?" tanyaku.
Jaka menggeleng pelan. "Aku cuma lulusan SMK, Mas," ujarnya.
"Oh, SMK mana?"
"Bukan di Jogja. Aku asli Purworejo. Sejak kecil sampai SMK aku tinggal di Purworejo. Baru kira-kira dua tahun terakhir aku ikut Pak Lek ke Jogja," jawabnya sambil menatap lurus ke tengah alun-alun.
"Kenapa nggak kuliah?" pancing Kenes.
Jaka tersenyum sinis. "Nggak punya uang, Mbak. Namanya juga orang miskin. Cuma anak petani. Ya, kemarin coba sih ikut tes perguruan tinggi, tapi ya nggak lolos. Kasihan orangtua sudah mengeluarkan biaya untuk beli formulir, jadi saya tidak mau ambil universitas swasta, takut mahal," papar Jaka.
Jaka menatap wajah kami dan mulai bercerita. Dulu, ia sama sekali tidak tahu akan dunia "kucing-kucingan" semacam ini. Seorang Jaka yang masih 18 tahun pindah ke Yogyakarta demi mengais rezeki bersama pamannya berjualan batik di pasar malam Beringharjo. Tiga bulan berjualan, pamannya kena tipu dan bangkrut. Setelah gulung tikar, pamannya kembali ke Purworejo, sementara Jaka dititipkan ke salah satu rekan pamannya, sesama penjual batik dan masih satu kampung.
"Dasarnya memang saya yang mbeling, Mas. Saya malas pulang. Malu sih. Belum punya uang buat biayain orang tua. Jadi, saya menetap saja dulu di Jogja. Hitung-hitung cari pengalaman," ungkap Jaka.
Kenes menyenggolku pelan. Aku meliriknya tajam. "Tenang, sudah aku nyalakan," jawabku setengah berbisik sambil menepuk tas tangan. Di dalam tas itu ada sebuah alat perekam suara yang sudah kunyalakan sejak aku, Kenes, dan Jaka mulai berbincang.
"Ternyata pilihan saya itu keliru..." lanjutnya.
Seminggu tinggal bersama teman pamannya, Jaka mulai merasakan keanehan. Orang itu, sebutlah namanya Paklek Jigur, gemar memeluk Jaka kala mereka tidur bersama. Sekali dua kali Jaka masih tidak keberatan, namun lama-lama ia pun risih ketika Jigur mulai menggerilyakan tangannya menjelajah tubuh Jaka.
"Bayangkan, Mas, Mbak, badanku digerayangi. Dadaku, perutku, pahaku, sampai maaf, daerah ini," kata Jaka sambil menunjukkan selangkangan. "Tidak cuma dipegang-pegang, dia juga menciumi leherku dan punggungku,"
"Kamu diam saja?" tanyaku.
"Lha, bagaimana? Mau melawan, saya tidak enak. Saya kan menumpang di kosnya dia. Saya juga ikut kerja sama dia. Saya malah takut dia marah dan memulangkan saya ke kampung. Lagipula, dia mengaku sering kangen sama anaknya di kampung. Anaknya memang seumuran saya sih, jadi masih saya anggap wajar. Mungkin cuma pelampiasan kangen,"
Makin hari, perlakuan Paklek Jigur makin menjadi. Tidak puas meraba dan mencumbu, lelaki nyaris paruh baya itu juga meminta cium bibir Jaka, dan kemudian meminta Jaka melakukan oral seks. Hampir setiap hari perbuatan itu dilakukan Jigur, terutama saat tengah malam menjelang subuh, saat mereka pulang berdagang. Beberapa minggu kemudian, menurut Jaka, Paklek Jigur juga mulai berani melakukan anal seks kepada Jaka. Sekali lagi, karena alasan tidak enak, pemuda itu tidak bisa menolak.
"Awalnya saya stres. Hampir tiap malam tidak bisa tidur. Rasanya kok kesal, marah, sebal, jijik, semua jadi satu. Sementara dia enak-enak saja tidur setelah berbuat itu kepada saya. Tapi, entah bagaimana, lama-lama saya menikmatinya," ujar Jaka.
"Kok tahu kamu menikmatinya?" tanyaku.
"Ha, ha, ha," tiba-tiba Jaka tertawa keras. "Alah, Mas, koyo sampeyan ora ngerti wae... Ya, tanda laki-laki menikmati seks itu kan kalau dia sampai keluar juga," lanjutnya.
"Keluar..."
"Sperma," jawabku memotong pembicaraan Kenes.
"Oo.." Kenes manggut-manggut.
"Terus, bagaimana?" tanya Kenes lagi.
Jaka melanjutkan kisahnya. Diawali dengan paksaan, kemudian bermuara suka sama suka, Jaka mulai menikmati hubungan sejenis semacam itu. Bahkan, kadang Jaka yang meminta duluan kepada Paklek Jigur. Laki-laki itu, kata Jaka, senang-senang saja melayani Jaka.
Tidak cukup sampai di situ, perubahan lain berlangsung tiba-tiba. Tanpa memberi tahu Jaka, Paklek Jigur mengajak seorang kenalannya main bertiga di kos.Masih terkaget-kaget, Jaka tidak sempat melayangkan protes. Ia bahkan tidak menolak permintaan Paklek Jigur yang ingin melihat Jaka disodomi temannya itu.
"Sinting," kata Kenes singkat.
"Iya, Mbak. Betul. Memang sinting kalau saya pikir-pikir. Tapi anehnya, saya itu kok ya mau-maunya melayani temannya paklek. Asshh... mboh lah Mbak, pokok-e trimo merem wae," balas Jaka.
Hampir setengah tahun kemudian, Paklek Jigur terpaksa berhenti berjualan. Istrinya diterima kerja sebagai TKI di Taiwan dan Paklek Jigur harus kembali pulang ke Purworejo untuk gantian menjaga anak-anaknya di rumah. Jaka, yang ketika itu sudah jatuh hati dengan laki-laki itu, ingin ikut serta, tapi ditolak Paklek Jigur. Ia justru diminta melanjutkan usaha dagang batik di Yogyakarta.
Sepeninggal Paklek Jigur, Jaka berjualan batik seorang diri. Namun, dia kerap merasa kesepian di kala malam, setelah pulang berjualan. Tidak ada lagi orang yang bisa diajak berpelukkan, bercumbu, bahkan beradu syahwat di ranjang. Kocokan tangan ternyata tidak cukup memuaskan nafsu Jaka yang telanjur dibuat meledak-ledak oleh sang paklek.
Melalui teman-teman sesama penjual batik, Jaka mendengar ada kelompok laki-laki yang suka menjajakan diri di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Dia sempat terpikir untuk membeli jasa pelacur pria itu, tapi masih takut. Akhirnya, pada suatu malam ia memberanikan diri berjalan-jalan di alun-alun untuk sekadar mengamati.
"Lucunya, pas waktu saya jalan-jalan sendirian, ada orang berhenti di samping saya. Awalnya dia mau tanya jalan, tapi ternyata dia bertanya harga saya berapa. Wah... saya kan kaget, Mas, Mbak. Dia pikir saya ini pelacur alun-alun," ujar Jaka dengan semangat.
Jaka mengatakan dia bukan pelacur. Ia pun menolak ajakan laki-laki yang tidak dikenalnya itu untuk pergi ke sebuah hotel. Tapi, setelah dia mendengar jumlah rupiah yang hendak diberikan, Jaka pun tergiur. Jumlah itu, menurutnya, sama seperti penghasilan bersihnya dari berjualan batik selama satu minggu penuh.
Akhirnya kedua insan baru kenal itu sepakat dan langsung bergelut di peraduan komersial, tak jauh dari Malioboro. Jaka mengaku puas. Nafsunya tersalurkan, dompetnya pun menebal.
Beberapa hari berselang, keinginan bertemu laki-laki serupa kembali muncul. Jaka pun putar-putar alun-alun lagi. Hanya saja di kali kedua ini, ia butuh waktu agak lama sebelum bertemu seorang pria haus belaian.
"Waktu itu hampir subuh," kenangnya.
Ia pun mencoba untuk ketiga kali, keempat kali, hingga kini sudah tidak terhitung lagi. Karena sering terlihat di alun-alun, Jaka jadi akrab dengan "penghuni" senior. Karena Jaka juga anak yang ramah, ia pun mudah berbaur dan diterima dalam komunitas kucing itu. Akhirnya jadilah Jaka seperti yang sekarang ini.
"Ctek!"
Terdengar bunyi tombol perekam suara yang otomatis berhenti saat pita kaset sudah habis. Aku sempat terdiam kaku dan membodoh-bodohi diri sendiri. Kenapa aku tidak menghitung durasi kaset sejak awal kami berbincang? Mati aku.
"Bunyi apa itu tadi, Mas?" tanya Jaka.
"Oh, eh, itu... nggak tahu, mungkin walkman saya kepencet. Di tas ada walkman, tapi tidak ada kasetnya. Biasanya kalau tombol putarnya kepencet akan mental lagi," jelasku.
"Ooh, ya begitulah, Mas, Mbak, cerita saya. Aneh ya? Cuma butuh dua tahun dari saya yang tidak suka laki-laki jadi tergila-gila dengan yang namanya penis. Ajaib banget dunia ini," kata Jaka.
"Lha terus, kalau kamu..."
"Jaka, Jaka, rene o, ke sini, ada yang cari kamu nih," tiba-tiba tampak seorang pria melambaikan tangan kepada Jaka, mengajaknya untuk mendekat.
"Kosek. Aku agek ngobrol karo Mas-e, karo Mbak-e, ki lho," jawab Jaka.
"E, arep dikek-i rezeki ora gelem. Tak pek lho mengko, buat akika ajah! Lumeyong, bok! Lekong luncang, lucu nan tampan!" balas pria itu centil.
"E, e, e... Jangan lancang yey. Sini, kalau cakep kasih eike," kata Jaka. "Mas, Mbak, maaf, saya tinggal dulu. Itu dipanggil teman," lanjut Jaka sungkan kepada aku dan Kenes.
Walau belum sempat melanjutkan pertanyaan, aku tidak keberatan. Kubiarkan Jaka berlalu cepat-cepat demi mengejar rezeki, atau mengejar nafsu, entahlah itu bukan urusan kami. Aku dan Kenes kemudian sibuk kasak-kusuk sendiri.
"Nyaris ketahuan," kata Kenes.
"Iya, sorry, sorry," timpalku.
"Nggak apa-apa kok. Eh, aku barusan di sms Mas Tambun, katanya dia mau penyuluhan di warung angkringan dekat beringin. Sepertinya aku ikut bergabung sama dia saja ya? Kamu tidak apa-apa kan kalau ditinggal sendiri?" tanya Kenes.
"Santai saja, nggak apa-apa kok. Lagipula, aku mau eksplorasi lagi di sekitar sini. Lihat-lihat," jawabku.
"Oke deh, kalau begitu. Aku pergi dulu ya. Hati-hati loh,"
"Oke, see you. Kalau ada apa-apa, sms saja,"
"Yo'ih," kata Kenes berlalu.
Aku masih tergeli-geli sendiri membayangkan cerita Jaka. Tidak tahu bagaimana jika itu terjadi padaku. Bergidik tubuhku merasakannya. Kulirik angka di ujung layar telepon seluler. Masih pukul 23.17, belum terlalu malam. Suasana di alun-alun juga masih riuh.
"Punya api, Mas?" tanya seseorang yang duduk di dekatku.
"Maaf Mas, aku nggak ngerokok..." jawabku terhenti setelah melihat tampang laki-laki itu. Senyumannya mengingatkanku akan kejadian di depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret dan jalan tengah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta barusan.
Tidak salah lagi, dia lah orang yang melemparkan senyuman padaku. Kini, dia ada di sebelahku, dan aku tidak tahu harus berbuat apa.
(bersambung)
jangan memaksakan diri kalau emang gak mood
ditunggu lanjutannya