kembali lg~~~ ^^
kli ini dg crita chapter...
o y, ini blog Cherry~
http://2x3b.wordpress.com/
ada crita, fanfiction buatan cherry~ yaoi n yuri 99% (no gender-switch) (yg str8 cm pemrn pembntu n vers land)
in dy~
happy reading~>w<
.
Angela
.
Ch 1-
Kata orang senyumnya bagai malaikat, membawa ketenangan hati. Aku setuju. Sifatnya juga seperti malaikat, membuatku nyaman di sisinya.
<><><>
Hari itu hari yang cukup cerah ketika aku bertemu dengannya. Sekolah mengadakan camp di hutan, di pegunungan. Saat aku terpisah dan tersesat dengan rombongan, aku berakhir terduduk sesenggukan menahan tangis di bawah sebuah pohon besar. Kecemasan melandaku saat tiba-tiba semak di depanku bergerak, menimbulkan suara yang menakutkan bagiku. Awalnya aku kira itu beruang, ternyata salah, seorang malaikat…
“Kamu Yoanar, kan?” tanyanya sembari menghampiriku.
Aku mengangguk pelan. Segera kuseka air mata yang akhirnya jatuh saat semak bergerak tadi.
“Ayo, balik! Semua mencarimu!” dia berjongkok di depanku lalu tersenyum padaku. Senyum termanis dari seorang teman bagiku. “Udah, nggak papa.” Dia meraih tanganku dan menggenggamnya. “Kamu udah nggak tersesat lagi. Aku ada di sini untukmu.”
DEG
“Aku ada di sini untukmu.”
Kalimat terakhirnya begitu menyentuhku, membuatku begitu tenang dan nyaman. Entah karena memang sebelumnya aku tak punya teman, atau karna hatiku yang terlalu polos dan tak tahan dengan kalimat seperti itu…? Entahlah. Yang pasti aku balas tersenyum manis padanya saat itu. Semanis yang pernah aku tunjukan selain pada Mama Papa.
Setelah itu kami kembali ke rombongan dan memulai segalanya saat itu. Hari yang sangat menyenangkan bagiku ketika aku mengenalnya. Kami selalu bersama hingga sekarang. Tetap berkomunikasi walau jarak terbentang luas di antara kami.
“Ran~~ gimana ini?” rengekku frustasi. Tanganku menggengam erat ponsel yang ada di hadapanku. Suara Randy yang tampak terkejut menyahut panggilanku.
+“Apanya?”+
“Aku harus nyelsaikan makalah… entar lagi dikumpulin.”
+“Ya selsaiin, dong.”+ suranya terdengar ringan, seperti biasa. Seolah tak ada beban hidup yang dialaminya.
“Aku harus penelitian langsung ke hutan. Dan…, ya begitulah. Kau mengerti, kan?” Aku memperdengarkan suara memelas, berusaha mengutarakan maksudku.
+“Iya, tahu.”+ Randy menahan tawa. +“Lalu apa yang bisa kulakukan?”+
“Temani aku. Orang-orang di sini semua sok sibuk. Dan aku… ya… cukup buta arah.”
+“Kapan?”+
“Umm…, besok aku berangkat. Kau bisa?”
+“Ah, maaf. Aku masih punya banyak pekerjaan.”+
Aku cemberut mendengarya.
+”Aku sibuk. Sorry, Yo.”+
“Hm, aku ngerti. Kalau gitu… apa bisa menjemputku?”
+“Hmm?”+
“Setelah selsai aku ingin mampir pulang dulu. Mama rindu padaku katanya. Kau bisa tolong jemput aku? Sekitar siang aku pulang. Tempat penelitianku di dekat desa kita, di hutan atas gunung, yang masih liar. Tempat kita dulu main saat panen. Ahaha, jadi ingat, kita selalu kabur dimintai mengikat padi.”
+“Oh, hutan yang waktu itu, ya. Hmm.”+ terdiam sesaat, berfikir. +”Eh, tadi, kapan?”+
“Kira-kira jam 1 siang aku selesai. Bisa?” tanyaku ulang.
+“Mungkin siang bisa.”+
“Benar, bisa? Thanx, ya.” Aku tersenyum lebar. Randy bisa menjemputku! Senangnya!^^
Kami sudah lama kami tak bertemu secara langsung, hanya komunikasi jarak jauh. Walau aku sudah tahu bagaimana wajahnya sekarang, aku tetap ingin melihatnya langsung. Dan bertemu dengannya… adalah salah satu impianku.
+“Iya.”+ Suara itu terdengar tersenyum.
“Kalau begitu jemput aku di toko XXX, yang di seberang jalan.”
+“Baiklah.”+
“Okay , thanx!” seruku senang. “Ah, dah dulu, ya! Aku harus siap-siap untuk besok. Kamu juga siap-siap, sana!” seruku sambil mengulum tersenyum. Terdengar di seberang sana terkekeh pelan.
+“Hahaha, OK. Dagh!”+
“Bye!”
+PIP+
Segera kumasukan ponselku ke dalam saku celana dan bangkit dari rebahanku. Yosh! Saatnya bersiap-siap.
<><><>
Namanya Erandy, nama yang unik menurutku dengan panggilan Randy yang cukup umum, bagiku. Tapi aku lebih suka memanggilnya “Ran.”. Singkat, dan jarang.
Pribadinya baik. Tak berlebihan dalam menarik perhatian orang lain, tapi sudah dapat perhatian lebih. Ramah, ceria, bisa diandalkan dan pelindung. Aku betah bersamanya. Walau hanya bercakap dengannya pun membuatku senang. Yah, mau bagaimana lagi. Aku memang terpisah jarak dengannya.
<><><>
Pagi yang mendukung untuk memulai perjalananku. Menggunakan bus dari terminal aku berangkat menuju tempat yang kutuju. Lalu berjalan sedikit lebih dalam ke hutan. Di mana alam masih liar dan alami. Bebas.
Kuhirup nafas dalam-dalam. Memenuhi seluruh rongga dadaku dengan udara yang jauh dari polusi dan pengap ini. Aah, segar!!! ^0^
Tak ada hambatan hingga tiba-tiba hujan turun tanpa diundang. Awalnya sedikit kelabakan, lalu mulai bisa menyesuaikan diri. Dengan diteduhi jas hujan aku masih mengamati objek yang kuperlukan. Syukurlah tak ada barang yang basah kuyup, hanya basah sedikit. Segera kubereskan peralatanku saat sudah selesai. Sambil menunggu hujan reda, aku menyusun makalahnya agar lebih rapi.
Dan saat reda, dengan sedikit terburu aku beranjak pulang.
Kulangkahkan kakiku dengan hati-hati. Jalanan menjadi basah dan berlumpur karna air langit.
Dingin mulai menusuk tulangku. Kurapatkan jaketku, mencari kehangatan dari diriku sendiri. Benar-benar dingin di sini… aku nyaris lupa kalau di sinilah dulu aku tinggal. Dan aku tahan saja dengan suhu serendah ini. Ahh… rasanya perutku melilit minta diisi. Lapar~ Makanan yang kubawa habis semua kumakan, hanya sedikit aku membawa.
Aku berjalan malas-malasan. Ah… benar-benar tak bertenaga rasanya.
SRAAKKK
Langkahku terhenti. Eh? Semak raksasa di depanku bergerak.
SRAAKKK
SRAAKKK
Benar! Bergerak.
Seketika pikiran buruk mulai menggelayutiku. Hutan ini masih liar, walau sudah sedikit terjamah oleh manusia. Tapi alam semua keasliannya masih terjaga. Ada kemungkinan besar hewan liar yang berbahaya juga masih ada. Apalagi bagian dalam hutan seperti ini, yang masih sangat alami.
Kuambil langkah perlahan ke belakang, bersiap lari. Walau ingin lari, aku penasaran dengan sebab semak itu bergerak. Kuraih sebatang kayu yang tergeletak di tanah, mengacungkannya pada semak tersebut. Dan berdo’a dalam hati semoga selamat…
Yosh!(?) Aku takkan takut menghadapi apapun itu. Aku tahu cara penanganan hampir semua jenis hewan liar.
Err… mungkin.
Tanganku sedikit gemetar memegang tongkat.
SRAAKKK SRAAKKK SRAAKKK
Semak itu semakin sering menimbulkan suara gesekan di rantingnya, membuatku kembali mengambil beberapa langkah mundur.
Gawat! Aku sudah terpojok. Di belakangku jurang.
SRRRAAKKK
Hening sesaat.
“…”
Semak itu berhenti bersuara.
Aku mulai menurunkan tongkatku sedikit.
Tiba-tiba muncul sesosok makhluk, yang berteriak padaku.
“RRRAAWWRR!!!”
Entah makhluk apa itu. yang jelas mengerikan di mataku. Aku terpenjarat. Dan akupun…
oleng.
Tubuhku menggelinding ke bawah dan terbentur batu berkali-kali. Sakit!! Ditambah tanah yang licin semakin membuatku sulit berhenti. Terus meluncur mulus. Berkali-kali aku berusaha meraih ranting pohon atau sesuatu untuk pegangan, tapi gagal. Karna melaju terlalu cepat justru tanganku tergesek dan mengeluarkan darah dari lukanya.
Akh, perih!
Hey! Kenapa jalurku jarang pohon begini?! Aku jadi sulit berhenti.
Dengan cepat kutancapkan jariku ke tanah, tapi kembali gagal. Tanahnya becek.
Jaketku terus tergesek tanah, sehingga beberapa bagian sobek dan menggores kulitku. Perih semakin terasa.
Tuhan…, jangan Kau ambil nyawaku di tempat seperti ini! ><
Aku masih ingin bertemu dengannya…
GUSRRAAKKK
BRAKKK
“Argh!!!” pekikku ketika tubuhku menabrak sebuah batu besar. Yang seketika itu juga tubuhku terhenti. Bagian kiri tubuhku terasa remuk, tertimpa oleh badan dan ranselku. Bagian kiri yang menabrak duluan batu besar ini.
Sakit mulai menjalar di sekujur tubuhku yang penuh lumur. Mulai terasa. Darah keluar dari lengan dan kakiku, aku bisa merasakannya. Dan kurasa ada beberapa bagian yang lebam.
Sakit. Nyeri luar biasa.
Dalam setengah sadarku aku berusaha mengatur nafasku. Gawat! Aku tak boleh mati di sini. Aku harus bangkit.
Ditambah udara yang semakin dingin, membuat seolah semua pakaian yang melapisiku ini sia-sia saja. Justru menambah dingin karna basah.
Ah… bagaimana ini?! Aku tak bisa bergerak.
Kupejamkan mata rapat-rapat, seolah itu dapat mengurangi rasa sakit yang kuderita.
“YOANAR!!!”
Huh? Aku mendengar suara Randy…
apakah…?
Kubuka mataku perlahan dengan sedikit susah payah.
Terlihat! Sekelebat bayangan di sana.
Sosoknya muncul. Berdiri di sana dengan nafas tak beraturan. Tersirat kelegaan dalam ketika dirinya menemukan sosokku. Dengan berlari dia menghampiriku.
Benarkah dia…?
Sosok tegap itu…?
“Yo! Yoan!” Dia memanggilku dalam suara berat dan paraunya.
Sosok Randy semakin dekat.
Ini bukan ilusi, kan?
“Ran…” aku memanggilnya lirih. Entah kenapa aku seolah kehilangan suara. Suaraku tertelan oleh sakit di tubuhku. Denyutan keras di kepalaku semakin bertambah seiring langkah Randy mendekat padaku.
“Bertahanlah!”
Dan semuanya menjadi gelap…
<><><>
Tuhan…, biarkan aku kembali ke sisinya
Berikan aku kesempatan lagi bersamanya
Melindunginya
Kenapa Kau cabut nyawaku ketika aku bersamanya…?
<><><>
DEG
“!!” Aku langsung membuka mataku. Denyutan di dadaku terasa sangat kuat menekan, membuatku tersadar. Kuatur nafasku yang memburu, berusaha mengambil seluruh nyawaku.
Detik kemudian aku baru sadar. Aku dalam gendongan seseorang. Di balik punggung seseorang…
Kulongokan kepalaku ke depan, melihat wajah yang sangat familiar denganku.
Yang tersenyum menatapku…
Aku menahan nafasku.
Dia… dia!!
“Ran!!” pekikku senang hingga tanpa sadar memeluknya. Seketika itu juga sekujur tubuhku kembali terasa nyeri. “Awwww!!”
Ah, aku lupa kalau baru saja terluka.
“Ups!” Randy nyaris terjatuh ketika aku memeluknya. Dia segera menoleh padaku ketika aku berteriak. “Nggak papa?” wajahnya cemas dan penuh penyesalan. Mungkin dia mengiraku berteriak karna dirinya hampir oleng.
“Sa-sakit…” rintihku pelan.
Dengan sigap Randy menurunkanku ke tanah dengan hati-hati, bersandar pada sebuah pohon.
“Mana yang sakit?” tanyanya sambil memeriksa tubuhku. Tanganku diangkat perlahan, mencari luka atau sesuatu di sana. Dan yang pasti, banyak luka dan lebam di tubuhku.
“Semua… awww!!” aku kembali memekik ketika tangannya menyentuh pipiku. Tapi saat menatap matanya yang menatapku cemas, mulutku langsung bungkam. Seolah terhipnotis. Tatapannya begitu teduh dan penuh perhatian, membuatku lebih nyaman ketika jarinya mulai bergerak di pipiku.
“Sssshh… luka juga.” Dia mengelus pipiku lembut. Hangat menjalar dari kulitnya, meresap ke kulitku. Dan aku merasa, sesuatu juga terhantar di sana…
Debaran jantungku…
Entah ini masuk akal atau tidak, aku merasakan rasa sakitku berangsur-angsur menghilang. Lenyap. Seiring dengan gerakan ibu jarinya. Benar-benar perlahan dan hati-hati. Kasih sayang terpancar dari sentuhan itu. Kembali membuat pipiku menghangat…
Dan tubuhku kembali pulih seperti semua. Seolah tak pernah ada luka apapun pada diriku…
Aneh.
Aku menerjap-nerjap mataku, menatap Randy yang masih menatap cemas diriku.
“A-apa tadi?” tanyaku gugup. Tangannya masih di wajahku. Dan wajahnya… semakin dekat.
“Apanya?” tanyanya dengan tatapan bingung.
“Lukaku… seperti sembuh. Lihat!” aku menggerakan kakiku, menendang ke sembarang arah. Dan tanganku, menggapai pipi Randy. Membuat…
DEG
wajah kami semakin dekat.
Nafasnya menerpaku. Hangat.
Randy terseyum lembut padaku. Tatapannya teduh.
“Kekuatan batin… penyembuh segalanya.” Jawabnya pelan.
“Kamu punya gituan?”
Randy hanya tersenyum sambil mengendikan bahu.
“Yang penting kamu sembuh, kan? Ayo, jalan!” dia bangkit setelah mencubit pipiku lembut. Diulurkannya tangannya padaku. Dengan senang hati kusambut tangannya.
Aku bangkit dari dudukku. Perlahan…
Ah! Benar! Benar-benar menghilang sakit di tubuhku, walau ada beberapa luka terbuka yang sudah mengering, tapi tak terasa sakit atau apapun lagi.
“Eh, Ran, ranselku…” ucapku menggantung ketika melihatnya memindahkan ransel yang tadinya berada di depan tubuhnya ke punggungnya.
“Nggak papa. Kamu baru sembuh. Aku masih kuat.” Dia mengacak rambutku lembut dan tersenyum lembut seperti dulu… ah… senyum malaikatnya benar-benar tak erubah dimakan waktu. Justru semakin mempesona dengan tubuh dan wajahnya sekarang.
“Yuk!” dia menggamit tanganku. Huwaa!! >///<
Sepanjang perjalanan kami terus berpegangan tangan. Berkali-kali aku nyaris jatuh saat lengah mengebrol, jika saja Randy tak memgangiku… aku pasti jatuh seperti tadi lagi. Lereng di sini mengerikan. Landai penuh bebatuan dan rumput tapi agak jarang pohon atau tumpuan lain untuk pegangan.
“Gimana kabar di sana?” tanyaku mulai menanyakan keadaan yang lain setelah membicarakan diri kami sendiri.
“Baik. Adikku akhir-akhir ini ribut terus.” Ucapnya dengan nada tak suka.
“Kenapa?” tanyaku antusias.
“Berat badannya nggak mau turun dan menyalahkanku yang memasak makanannya.”
“Hahaha! Tentu saja.”
“Kok? Belain adikku, nih?”
“Bukan~” Aku mengelak sambil tersenyum. “Masakanmu terlalu enak hingga sayang dilewatkan. Pantesan kamu juga endutan.”
“Nyindir, hm?” Dia menatapu dengan senyum kecut, ta[I masih terlihat bercada. Masih seperti Randy yang dulu…
Aku membuat tanda peace dari tanganku melihat tatapannya yang seolah mau memakanku hidup-hidup itu.
“Hehehe. Enggak, kok! Maksudku, berisi aja. Daripada dulu, kaya tengkorak berjalan.” Tawaku kembali meledak mengingat betapa kurusnya dia dulu. Randy menekuk wajahnya, membuat tawaku semakin menjadi-jadi. Wajahnya lucu kalau ngambek.
Aku masih terus tertawa saat tiba-tiba…
GUSRRAAKKK
Aku kembali oleng.
“WAAAAAAAAAAA!!” dengan cepat aku berpegangan pada Randy. Kakiku yang sudah terperosok menarikku ke bawah. Jatuh ke tanah. Dengan sigap Randy berpegangan pada pohon.
Ahh… syukurlah ada pohon itu. Jika tidak, kami akan jatuh berdua. TT____TT
Fuuh… nyaris saja.
“Hati-hati! Buruan naik!” seru Randy.
Ah, ya. Posisinya terkunci saat ini. Jika mau membantuku itu artinya dia harus melepas pegangannya pada pohon yang sama saja artinya menjatuhkan kami berdua.
Segera aku naik ke atas. Randy mengulurkan tangannya padaku, meminta bantuanku. Kutarik tubuhnya dengan sedikit susah payah, karna memang tenagaku tak terlalu besar.
BRUKKK
“Ukkhh!!”
“Kau tak apa?” segera kuburu dirinya yang terjatuh terlungkup di sampingku. Randy memegang jidatnya yang terbentur tanah.
Ah, sial. Berdarah.
Ada batu tepat di daerah jidat Randy mencium tanah.
Kenapa aku merasa Tuhan sedang menjahili kami…? Kenapa batunya pas sekali di tengah-tengah kening Randy?! Walau begitu-pun tak mengurangi ketampanannya, tapi tetap saja pasti sakit.
“Maaf!” ucapku menyesal sambil membersihkan darahnya dengan air mineral. Kuseka darahnya dengan bajuku yang masih bersih hingga tak ada darah lagi keluar. “Sorry, Ran!!”
“Nggak papa.” Dia tersenyum, meyakinkanku dirinya baik-baik saja. “Aku pejagamu sejak dulu, kan? Hehe.” Dia tertawa pelan lalu tersenyum lembut padaku. Ah… senyum itu lagi…
Hm. Kau benar, Ran. Kamu yang selalu di sisiku yang kesepian ini. Dan kau yang selalu melindungiku… dengan senyum malaikatmu.
Aku menatapnya cemas, bersalah.
“Sorry…” ucapku lirih.
“Kamu bawa obat merah, gak?” tanya Randy.
Aku menggeleng. “Sorry, lupa. Tau kan aku nggak suka obat pabrik.”
“Aku tahu. Kamu lebih suka pakai obat alam, kan? Selalu begitu sejak kecil.” Kembali tersenyum.
Aku hanya menggaruk tengkukku sambil terkekeh.
“Kalau gitu, sembuhkan aku dengan obat alami.” Ucapnya.
“Eh? Baiklah.” Aku beranjak dari dudukku tapi langsung ditahan Randy. Aku berbalik dan melempar tatapan tanda tanya padanya. Aku ‘kan mau mengambil tumbuhan obat untuknya…
“Kita tak punya banyak waktu. Netralisirkan saja dulu.”
“Berarti… dengan air ludah?” tanyaku ragu. Masa…?
Randy mengangguk. Dalam gerakan cepat dia menarikku jatuh hingga menimpa tubuhnya. Dan ketika aku berusaha bangkit, dia menahanku dengan kedua tangannya meraih pipiku.
“?” Aku menatap kedua bola matanya dengan tatapan tak mengerti. Apa maunya?
“Netralisirkan.” Ucapnya sebelum sedetik kemudian menuntun wajahku lebih ke atas. Dan bibirku berhenti tepat di lukanya.
DEG
Aku membatu. A-apa maksudnya…?
“Netralisirkan, Yo…” ucapnya pelan, masih dengan tangan di pipiku.
Entah terhipnotis atau apa. Aku menurut. Aku mendekatkan bibirku pada lukanya. Kujulurkan lidahku keluar dan menempelkannya di tepat pada luka. Saat itu juga ada sensasi aneh yang kurasakan. Dadaku berdesir tapi juga berdegup kencang. Apa ini…?
“Akh…” erang Randy menahan perih. Yang detik itu juga menyadarkanku.
A-apa yang kulakukan?!
Segera aku bangkit dari posisiku. Aku menatap Randy horror yang menatapku sambil tersenyum manis. Ada apa dengannya?!
Aku membalikan tubuhku. Wajahku memanas mengingat kejadian beberpa detik lalu. Randy bangkit dari posisinya lalu berjalan ringan menghampiriku.
“Yuk!” tanpa menggubris tatapanku dia menarik-menyeret-ku kembali berjalan. Mengait tanganku ke dalam hangat tangannya.
Ah… ada apa dengan orang ini?! Dan ada apa juga denganku?! Jantungku kembali berdetak cepat. Hingga terasa sedikit sesak. Mungkin karna tadi…?
<><><>
“Nah, sudah sampai!” Randy melepas tanganku. Tangannya menyibak semak raksasa dihadapan kami. Terlihatlah jalanan aspal dengan beberapa rumah mungil di seberang.
Aku tersenyum lebar. Akhirnya!!! Aku berlari ke pinggir jalan, mencari hawa keberadaan kehidupan manusia. Aku tertawa kemenangan. “Hahaha! Sudah kubilang, tak ada yang tak bisa dilakukan seorang Yoanar!!!” Tapi buru-buru kututup mulutku dan berbalik malu saat seorang anak kecil menunjuk-nunjukku dan bertanya pada ibunya.
Randy menahan tawa melihat tingkah geliku. Arghhh! Menyebalkan! Dia melihatnya!
“A-apa?!” bentakku sok galak.
Tawa Randy mereda. Lalu dia tersenyum padaku. “Sudah, ayo! Tugasmu harus dikumpulkan lusa, kan?” Dia membalikan tubuhku dan mendorongku pelan. Seketika kurasakan sebuah kehangatan di punggungku.
Eh? Ah, ya. Aku nyaris lupa dengan makalahku karna terus berdua dengan Randy.
DEG
Tangan Randy masih menempel di punggungku, mengelus perlahan di sana. Terasa hangat. Wajahku ikut menghangat mengingat tangan itulah yang terus menggenggamku tadi.
Aku… aku sangat senang. Aku sangat senang bisa bertemunya lagi dan menjalani perjalanan tadi berdua.
“Kalau gitu, ayo pulang!” seruku sembari meraih tangannya. Hahaha, aku nekat juga.
SREETT
Eh?
Aku tak dapat meraih tangannya, walau tangannya masih terasa menempel di punggungku.
Kubalikan badanku menghadap Randy.
DEG
“Ran…?”
Tak ada sosok Randy di sana. Hanya ada ranselku yang tergeletak di tanah.
Kembali kubalikan badan, berharap Randy ada di sana dan dia tertawa karena berhasil membuatku cemas. Tapi tak ada. Kulihat bayanganku di jalan. Tak ada bayangan lain selain diriku. Randy benar-benar tak ada di sekitarku.
Gawat. Aku punya perasaan tak enak tentang ini.
“Ran! Randy!!” panggilku. Dengan sedikit berlari aku meraih ranselku kembali dan mencarinya di pinggir hutan. Aku takkan tersesat di sini. “Erandy!”
Setelah beberapa menit tak menemukannya aku meraih ponselku. Aku lupa jika sudah di daerah pemukiman. Pasti ada sinyal di sini.
Kutekan nomor 1 di panggilan cepat.
+TUUUUUTT TUUTTT+
“Ayolah!” gumamku tak sabar. Selama beberapa nada panggilan tak diangkat hingga operator yang menjawab.
+Nomor yang anda tuju tidak menja—+
“Ish!” Kembali kuulang panggilan. Kali ini dalam tiga nada panggilan telefon diangkat.
+“Halo?”+
Suara parau seorang ibu yang menjawab diseberang. Sesaat aku ragu. Kupandangi layar ponsel. Benar nomor Rady yang kutuju.
+“Halo?”+
“Ah, maaf. Bisa bicara dengan Erandy?”
+“Maaf…”+ terdiam sesaat. +“Dia tak bisa dihubungi sekarang.+”
Terdengar isak pelan diantara suara itu, membuatku menegang. Ada apa dengannya?
Perasaanku semakin sesak. Keringat dingin mulai mengucur. Benar-benar perasaan menekan yang tak enak.
“Ran, Erandy kenapa?”
+“Dia sedang menjalani operasi.”+
“O-operasi apa?” tanyaku hati-hati. A-apa maksudnya? Randy yang itu? Operasi?
Jelas-jelas dia terus bersamaku tadi… selalu menggenggam tanganku.
Aku tak pernah diberitahu kalau dia sakit. Ya Tuhan…, perasaan tak enak apa ini?
Begitu menekanku.
Air mata mulai merebak keluar saat orang di seberang tak kunjung menjawab. Hanya memperdengarkan isak tangisnya.
Kututup mulutku dengan telapak tanganku sendiri, menahan emosi dan kecemasan yang tiba-tiba menerpaku.
“M-maaf, bisa anda beritahu di mana Randy sekarang?”
<><><>
Aku meremas jariku sendiri hingga buku-buku kuku memutih. Kugigit bibir bawahku menahan genangan krital yang menggantung di pelupuk mataku, yang siap turun kapan saja. Dadaku terasa sesak tiap mengingat yang ibu Randy katakan. Randy pergi menjemputku ketika dua buah truk menabraknya secara bergantian. Operasi besar harus dilakukan untuk menyelamatkannya.
Lalu… siapa yang bersamaku tadi?
PIIPP
PIIPP
PIIPP
Bunyi alat-alat medis itu sangat mengangguku. Aku harap aku dapat menarik Randy keluar dari ruang yang penuh dengan bebunyian memuakan itu, andai itu tak menghentikan nafasnya. Jantungku berdebar kencang setiap alat-alat itu mengeluarkan suara. Antara harapan dan kecemasan terus menarikku dari dua arah.
Kupejamkan mataku dan menumupukan kepalaku pada genggaman tangan.
Tuhan…, kumohon, jangan ambil dia! Aku belum siap kehilangan seorang Erandy. Aku belum mengatakan perasaanku yang sesungguhnya padanya.
Aku sangat membutuhkannya…
Setetes air jatuh melalui ujung mataku. Turun melintasi pipiku yang dingin dalam kecemasan, memberikan sedikit kehangatan dari air mata itu sendiri.
Randy… kau masih bisa bersamaku, kan?
Masih bisa menggenggam tanganku seperti tadi, kan?
Kumohon jawab aku…
Katakan sosok tak beradaya di dalam sana bukan dirimu! Tertawalah karna berhasil membuatku menangis cemas! Tunjukan padaku sosokmu yang berada di sisiku… yang menyelamatkanku dari maut…
Kali ini, biarkan aku yang menolongmu.
Kumohon, Ran…
Jangan tinggalkan aku.
SRETT
Sesuatu yang halus jatuh menyentuh genggaman tanganku. Kubuka mataku dan kudapati sehelai bulu angsa tergeletak di lantai. Kupungut bulu tersebut dan menatapnya bingung.
Aku mendongak ke atas setelah beberapa saat mengamati bulu angsa tersebut. Tak ada siapa-siapa atau apapun. Mungkin terbawa angin?
Tapi…, sedetik kemudian aku teringat sesuatu.
Mataku semakin basah ketika menerawang langit-langit rumah sakit. Seolah aku dapat melihat siluet Randy terbang di atas sana, melambai dan tersenyum padaku. Dengan sepasang sayap putih di punggungnya.
I’m your guardian angel
Kalimat itu… seolah terucap dari bibirnya dan membelai telingaku lembut. Begitu pelan dan halus.
Perlahan senyum tipis mengembang di pipiku. Setetes air hangat kembali mengalir dari ujung mata. Ku pejamkan mataku tepat saat peralatan medis di dalam sana berteriak nyaring,
PIIIIIIIIIIPPPP
Comments
.
*Erandy pov*
Kupandangi sosok Yoan yang terbaring di atas ranjang. Beberapa selang melilit tubuhnya. Layar di samping ranjang terus mengeluarkan bunyi, menandakan masih ada harapan untuk dia hidup.
Aku membuang nafas berat. Mataku yang menatap nanar Yoan mulai basah mengingat kejadian itu. Sejak kejadian itu dia tak sadarkan diri. Ya, sejak aku menemukannya terbaring lemah di hutan beberapa waktu lalu. Aku saat itu panic mendapati tubuhnya penuh luka dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Tapi hari itu juga aku juga harus di rawat di rumah sakit bersama Yoan. Kami mengalami kecelakaan dalam perjalanan. Aku hanya luka ringan, sementara Yoan…
Kembali kutatap wajah itu. Tanganku mengelus pipinya pelan, berharap itu dapat mengantarkan perasaanku padanya. Aku sangat ingin melihatmu tersenyum lagi, Yo…
Yoan yang memang sedang tak sadarkan diri saat itu menerima luka paling berat di kecelakaan itu hingga dia semakin berat terluka. Aku nyaris kehilangan dirinya jika saja orang-orang di sekitar kami terlambat mencari pertolongan. Syukurlah hanya mobilku korban terbesarnya. Hanya saja… Yoan tetap menjadi korban manusia. Dia koma… hingga saat ini belum menunjukan ada harapan lebih.
Kuseret sebuah kursi mendekat ke sisi ranjang dan mendudukinya. Kuraih tangannya yang terbalut kasa dan menggenggamnya hati-hati.
Yoan… aku terus menunggumu. Tak tahukah kau betapa sakitnya melihatmu terus seperti ini? Aku nyaris bertindak bodoh jika saja para mereka tak mengatakan kebohongan putih padaku. Aku gila karnamu.
Aku sangat menginginkanmu kembali.
Ku tenggelamkan wajahku di lipatan lenganku. Aku tak bisa menangis lagi. Stok air mataku terkuras habis olehmu, Yo.
Aku terisak pelan dalam dingin ruangan ini ketika kurasakan tangan dalam genggamanku bergerak pelan.
Dan suara lembutmu berbisik pelan, “Ran…”