Rencananya bakal dibikin beberapa chapter, dan chapter pertamanya udah pernah dipublish di forum tetangga, sayang baru sempet nerusin sekarang~ ini 65% kisah nyata dan kisah pribadi sih ^^;; cuman diedit nama sama peristiwa pentingnya. Enjoy~ ^^v
Summary : Kai dan Damar. Dua orang anak manusia berbeda kasta, berbeda cerita, berbeda dunia. Kai yang pendiam selalu menyembunyikan segala lelahnya dibalik tebal kacamatanya. Namun saat ia bertemu Damar yang berwajah menyeramkan namun ternyata ramah, ia kemudian merasa terikat detik itu juga. Namun perbedaan, pun jua persamaan, diantara mereka sudah cukup membuat Kai mengembalikan ikatan itu pada hatinya, dan pada setiap huruf dan kata yang ia lanang menjadi cerita. Namun Kai tak tahu, Damar pun menyembunyikan sesuatu dibalik setiap gores gambar manga yang digambarnya dari cerita Kai...
Comments
Bandung, musim kemarau.
Aku benar-benar lelah dengan semua topeng ini. Tak terasa, sudah hampir setahun sejak aku masuk sekolah ini. Tempat dimana aku berharap akan diterima apa adanya, tapi...
"Demikian presentasi saya tentang pembuatan laman web kepegawaian dengan…"
"Kai, seperti biasanya, presentasimu kali ini juga akan mendapat skor tinggi…" sang penguji sepertinya sudah terbiasa mengucapkan hal itu. "Siapkan yang lebih baik untuk presentasi selanjutnya".
Presentasi selanjutnya.
Sejak aku masuk ke sekolah ini dan tidak sengaja mendapatkan nilai tinggi di semua pelajaran, semua orang selalu menyimpan harapan tinggi kepadaku. Meskipun sebenarnya mudah mewujudkan harapan mereka, tapi aku selalu merasa tertekan. Seakan-akan aku bekerja untuk mereka, bukan untukku sendiri. Aku bahkan dianggap "android" serbabisa yang tak punya perasaan. Aku benci hal itu. Semuanya selalu sama sejak itu…
Aku tentunya tak pernah memberitahu mereka soal semua hal itu. Tentang diriku yang sebenarnya rapuh, dan sama sekali tak punya bakat di bidang ini. Yang kulakukan adalah bersembunyi, dibalik kacamata tebalku, dibalik kode-kode program yang setiap hari kutulis.
Aku memang pengecut.
Satu-satunya hiburanku adalah perpustakaan sekolah yang kumuh, sepi, dan lembab. Saat semua orang pergi, aku masuk ke sana, untuk sekedar menulis, menjadi aku yang sebenarnya. Setelah selesai, aku pulang ke rumah malam hari, kembali menulis atau mengerjakan apa yang harus kukerjakan. Semua sendirian.
Termasuk hari ini…
Selepas presentasiku, seperti biasanya kenalanku menyalami. Memberikan selamat, karena menurut mereka aku sudah terlepas dari neraka dunia bernama presentasi tengah tahun. Karena tak tertarik dengan semua itu, akhirnya aku menyalami mereka balik, dengan senyum palsu tentunya.
"Selamat ya, udah beres. Awas kalo kau nanya!"
"Ahahaha, iya, saya gak akan nanya, kok. Tenanglah"
Sembari menunggu semua orang pulang, aku tersambung sebentar ke dunia maya. Sekolah ini menyediakan sambungan gratis untuk siswanya, yang sayangnya lebih kerap dimonopoli oleh kekuasaan guru. Aku tahu juga, mereka memanfaatkan koneksi sekolah ini untuk mengunduh ratusan gigabyte barang-barang yang hanya layak dinikmati orang dewasa. Ah persetan, mereka juga toh sudah dewasa. Aku sudah muak dengan sekolah ini.
Satu demi satu siswa pulang, menerjang hujan yang memang cukup aktif di tahun ini. Meskipun aku tahu ini musim kemarau, tapi entah kenapa hujan masih aktif saja. Setelah aku memastikan siswa terakhir pulang, aku kemudian melangkahkan kaki ke perpustakaan. Kunci pinjaman sudah kusiapkan. Tapi alangkah kagetnya aku saat kucoba mengangkat gagang pintu perpustakaan ini.
Pintunya tak dikunci. Masih ada orang disini.
Aku bimbang. Antara masuk dan membiarkan setidaknya satu orang mengetahui siapa aku sebenarnya, atau keluar dan merasa sangat tertekan sampai besok. Akhirnya, aku memilih opsi pertama. Masuk. Meskipun aku tahu aku akan dipecundangi. Meskipun aku tahu bahwa aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri didepan siapapun orang di dalam sana..
Tak apa. Mungkin hanya beres-beres saja. Yang pasti aku akan ber-acting sementara.
"Loh, bang, kok masih di sini?" ujarku dengan senyum dipaksakan.
"Lagi gambar" ujarnya pendek. "Masuk mah, masuk aja"
Aku salah tingkah, namun tetap melangkahkan kakiku kedalam perpustakaan. Kuambil terminal, kucolokkan adapter untuk laptopku yang sudah menua ini. Laptop orang di sebelahku menyala, dengan baterai. Ia sibuk menyalin gambar dari internet dengan tangannya. Wow, ternyata kemampuan gambarnya superficial.
Aku sebenarnya tak begitu kenal orang ini. Yang jelas, ia satu jurusan denganku. Rekayasa Perangkat Lunak. Ia tak menonjol sama sekali di kelas, dan yang aku tahu, ia kadang sering dianggap gangster karena ekspresi wajahnya yang sedikit menakutkan. Dan dia pun sepertinya menyimpan satu layer kepribadian lain dibawah kepribadiannya yang sering terlihat, menurut pengamatanku.
Aku kemudian mulai mengetik, menulis. Mencurahkan apa yang ada di otakku menjadi gumpalan fiksi. Yang pada akhirnya hanya melempem, tersimpan dalam hard disk. Aku tak cukup berani mengirimkannya kemanapun, karena semua isinya adalah kesedihan dan ketakutan, juga sedikit tentang bunuh diri. Suicide complex? Mungkin.
Ia pun tak beranjak dari kursinya. Terus menggambar, sesekali membuka mesin pencari untuk menemukan gambar yang akan ia contoh. Tanpa sadar, tanganku yang semula fokus pada laptop, mengambil gambarnya yang sudah selesai. Gambar itu menarik perhatianku. Dua orang, laki-laki, tengah bergandengan. Sederhana, tapi untukku yang mungkin kesepian, maknanya cukup dalam.
"Gambarnya bagus" ujarku dengan suara sedikit antusias. "Belajar darimana?"
"Ah, biasa aja" ujarnya mencoba merendah. "Ini mah cuma iseng…" jawabnya sembari tertawa.
Tidak, dia tidak menyembunyikan apa-apa. Aku iri padanya.
"Eh iya, Kai, ngapain kamu?" tanyanya. "Ngenet? Kan hotspot sekolah udah ditutup jam segini"
Entah kenapa, di sebelahnya, aku merasa sangat nyaman dan bisa melepaskan apapun kekhawatiran yang ada di benakku. Kujawab seadanya saja, karena aku masih merasa takut dipecundangi jika aku membongkar siapa diriku yang sebenarnya.
"Nulis. Mau lihat?" Kutunjukkan layar laptopku, menunjukkan tulisan yang belum kuselesaikan. Cerita ini masih panjang, dan aku pun sudah memperkirakan tak akan menyelesaikannya segera.
"Haduh, bahasa Inggris… Gak ngerti si gue…" ia sepertinya kebingungan. Kutarik kembali laptopku, dan kubukakan berkas ceritaku yang berbahasa Indonesia. Cerita ini kutulis tahun lalu, saat euforiaku akan kelulusan masih sangat segar.
"Ini?" kubiarkan ia membacanya. Cerita itu memang ringan, menceritakan tentang kehidupan anak SMA biasa yang penuh hal trivial dan canda tawa. Kehidupan SMA yang memang kuimpikan sejak dulu. Ia nampak terkesan, padahal cerita itu kupikir adalah ceritaku yang bisa dibilang paling jelek.
"Wah, keren. Kalo di-manga-in kayaknya bagus" ujarnya dengan mata berbinar. Wajah jerawatannya yang terlihat sangar spontan tak lagi menakutkan. Aku pun tertawa ringan, tanpa beban topeng. "Ahahaha. Silakan aja, kalo emang mau". Ia menyodorkan flashdisk-nya, kemudian menyalin cerita itu.
Sejak itu, aku sering menemukan dia di perpustakaan. Meskipun aku sedikit kesal karena monopoliku atas tempat itu jelas berakhir, tapi aku sedikit banyak merasa lega saat dia ada di sana. Dan aku pun tak menyadari bahwa tulisanku yang kebanyakan berat dan ber-genre angst perlahan sudah mulai menjadi lebih ringan.
Tapi ada satu hal yang belum berubah. Meskipun perlahan aku melepaskan topeng itu, aku tetaplah aku yang dulu, seekor android tanpa ekspresi yang tetap dianggap makhluk paling aneh di sekolah. Ia pun sama, masih menjadi keamanan di kelasnya. Meskipun kami saling mencuri pandang, tidak ada yang tahu bahwa kami sebenarnya berteman.
Topeng itu sudah cukup untuk menutupi semuanya dari semua orang, kecuali darinya.
Sore itu, gagang pintu perpustakaan masih bisa dibuka. Itu berarti, ia masih ada di sana. Aku memutuskan untuk ke kantin, membelikan sedikit makanan. Yang tersisa hanya coklat murah, jadi hanya itu yang kubeli. Aku kemudian masuk ke perpustakaan, membawa coklat itu, meskipun aku tahu membawa makanan ke perpustakaan sangat dilarang.
Nanti juga kubersihkan.
Ia masih di sana, menggambar. Ceritaku yang kuberikan padanya sore itu selepas presentasi masih ia kerjakan menjadi lembaran manga. Ceritanya memang pendek, namun karena aku sadar bahwa aku punya kelemahan dalam pemaparan emosi dalam cerita, ia jadi bekerja keras membayangkan emosi apa yang terlihat dari tokoh-tokoh dalam cerita itu. Namun ia terlihat sangat menikmatinya.
"Nih, buatmu" ujarku padanya sambil menyodorkan coklat jatahnya. Ia yang semula sangat serius melihat layar, melirik kepadaku, dan mengambil coklatnya. "Wah, coklat!"
Sambil makan coklat, kami ngobrol soal banyak hal. Ternyata ia juga merasakan perasaanku yang sering disalahpahami. Ia pun nampaknya seperti itu, karena penampilannya yang terlihat sedikit sangar dan badannya yang tinggi besar, ia dijauhi karena "menakutkan" tapi tetap dijadikan keamanan oleh ketua kelasnya.
"Gak enak, tau" ujarnya. "Padahal kan aslinya si gue gak tegaan. Gak suka gue ngehukum orang. Tapi emang sih, kadang-kadang punya muka sangar ngebantu juga" ujarnya sambil tertawa. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, sekarang sedikit serius. "Tapi mau gimana juga, kalo kitanya gak berusaha buat ngerubah image, kita bakal terus-terusan disangka kayak gitu, bener gak?". Ia masih sempat tertawa saat mengatakan hal itu.
Aku hanya bisa mengangguk dan membenarkan. Akhirnya, ia menyodorkan lembaran kertas berisi gambarnya. Tujuh lembar cerita singkatku telah berubah menjadi dua puluh lembar manga. Aku terkejut saat melihatnya, artwork dan teknik menggambarnya sudah mirip Nakamura Shungiku-sensei, mangaka favoritku. Ekspresi karakter yang menjadi kekuranganku saat menulis cerita, dengan sangat mudah ditutupinya.
"Edan, keren" ujarku tanpa sadar. "Udah kayak mangaka professional nih".
Ia tertawa mendengar ucapanku. "Cuma sayangnya ini kan bukan sekolah manga. Kalo sekolah manga sih, udah aja, si gue jadi lulusan terbaik disini, hehehe. Cerita elu bagus juga, tuh… Kenapa gak diterbitin?"
Aku tertawa. "Ah, nggak. Tulisan amatir gitu diterbitin, malu-maluin… Saya nulis cuma buat hobi, kok…"
Kami akhirnya pulang bersama, setelah mengunci ruang perpustakaan. Keesokan harinya, SMK Teknomedia geger.
"Telah terjadi kehilangan 8 keping RAM tipe DDR2 dan 2 keping prosesor tipe Sempron LE1150 dari laboratorium Rekayasa Perangkat Lunak…"
Aku dan Damar pun terpaksa ikut-ikutan kasus ini, karena kami ada di sekolah selepas jam pelajaran, sampai pukul 8 malam. Untung, hanya saksi.
Saat pulang sekolah, aku bermaksud mengunjungi perpustakaan lagi, tempat aku dan ia bisa bertemu. Aku akhirnya menyadari satu hal…
Perasaan yang tulus takkan tertutupi oleh topeng apapun.
Namun, saat aku tiba di sana, perpustakaan dikunci. Pak Hasan, penjaga sekolah, menolak meminjamkannya padaku. Ia bilang, kepala sekolah tak lagi mengizinkan siswa ada di lingkungan sekolah selepas kegiatan belajar mengajar sampai batas waktu yang tak ditentukan.
Tak lama setelah aku meninggalkan perpustakaan, Damar melewatiku. "Oi!"
Aku berpaling. Tak biasanya ia tak membawa motor kesayangannya. "Yo? Tumben gak pake motor"
"Males. Eh, perpus dikunci yah?" tanyanya datar.
"Iya. Kuncinya belum boleh dipinjam" jawabku, sedikit salah tingkah. Belum waktunya, Kai.
"Biasa tuh, si…" Damar mulai mengeluarkan sumpah serapahnya pada ibu kepala sekolah. Sumpah serapah yang mungkin tak layak untuk kutulis ulang.
"Ah, udah, gak apa-apa…" ujarku menenangkannya. Kukumpulkan keberanian, kemudian aku mengatakan hal itu. "Eh iya…"
"Apa?" tanyanya kebingungan.
"Saya suka kamu…." Perlahan aku mengatakan itu, tapi aku yakin ia tak akan mengampuniku jika aku mengatakan itu.
"Kai?" tanyanya. "Masih hidup?"
Dalam saat-saat begini ia masih sanggup bercanda. Segera kumantapkan lidahku untuk mengatakannya. "Saya suka manga kamu. Kapan-kapan kita join-an bikin manga lagi ya?" ujarku seadanya.
Ya, kapan-kapan. Selama aku bisa menemuinya, tak apa-apa.
"Oke" jawabnya sambil tertawa. Kami berjalan kaki sambil menatap langit, dan mengobrol tentang hal tak penting.
Tak apa. Aku lebih senang semuanya berjalan seperti ini….
Bandung, awal tahun.
Aku pulang.
Seperti biasa, ruangan perpustakaan sekolah yang lembab ini menjadi saksi proses kreatifku yang mungkin kadang kelewat batas. Awalnya, aku tak diperkenankan meminjam ruangan ini, karena ada insiden di ruangan sebelah yang membuat sekolah rugi. Setelah negosiasi cukup panjang, bulan lalu akhirnya aku diizinkan juga meminjam kunci ruangan yang menjadi tempat persembunyianku ini. Kadang kuundang juga Damar, kawanku, seorang mangaka brilian yang kadang sama tak warasnya denganku, untuk bertukar ide cerita.
Namun sudah beberapa hari ini sengaja ia tak kuundang. Aku sedang sibuk menyelesaikan sebuah novel, yang sebenarnya bukanlah sebuah novel. Yang sedang kutulis ini adalah bongkahan perasaanku padanya, yang tak pernah bisa kusampaikan. Perbedaan, lebih tepatnya persamaan, diantara kita sudah cukup mengatakan mengapa kita tak mungkin bersatu, sebagai pasangan. Sebuah tembok besar bernama moral sudah cukup menghalau semua mimpi itu kembali ke layar monitor dan imajinasiku saja.
Kami bertemu beberapa bulan lalu, di perpustakaan ini. Sejak aku bertemu dengannya, aku sudah terkesan dengan gambar-gambarnya yang sungguh bagus. Setelah beberapa lama, kami akhirnya makin akrab dan aku menyadari apa perasaanku sebenarnya kepada Damar. Ya, aku jatuh cinta. Tapi Damar tak pernah tahu soal hal ini, dan ia selalu menganggapku sebagai adiknya yang sering bisa lebih dewasa darinya. Damar lebih tua dariku hampir dua tahun, aku masuk sekolah terlalu cepat dulu.
Saat kutekan kombinasi tombol untuk menyimpan hasil tulisanku, tiba-tiba kudengar ketukan pintu. Ah, mungkin aku sudah harus mengembalikan kunci pada pak Hasan, penjaga sekolah.
Bukankah siswa yang baik harus menaati peraturan, meskipun itu berarti merusak kesenangannya?
"Loh? Damar?" aku kaget saat mendapati wajah penuh jerawatnya di pintu perpustakaan. Entah mengapa, aku jadi salah tingkah dibuatnya "Ada apa?"
Damar tersenyum, kemudian menyodorkan selembar kertas kepadaku. "Nih. Lo ikutan ini gih, Kai. Lumayan tuh, bakat nulis lo mungkin ada pelampiasannya" ujarnya lepas. Aku mengambil kertas itu dengan penuh tanda tanya.
"Lomba menulis novel untuk pelajar SMA dan sederajat…" aku membaca lembaran itu dengan seksama. Hm, menarik. Penerbit Gradasi Media sedang mencari bakat segar rupanya. Kumasukkan kertas itu ke saku, lalu tak lupa kuucapkan terima kasih pada Damar.
"Oh, iya, mungkin saya ikut. Makasih ya"
"Oke! Ditunggu loh, karyanya. Eh, lo lagi nulis novel kan, denger-denger?" jawabnya. Sepertinya ia senang mendengarku akan ikut perlombaan ini.
Ya, aku menulis novel. Bukan sekedar novel, ini adalah perasaanku untukmu, kau tahu?
Aku tersenyum, menutupi perasaanku yang sedikit tak karuan karena berada di dekatnya. "Ahahaha, iya. Saya lagi nulis novel tentang cinta. Gak biasanya sih, cuma lagi pengen aja" jawabku seadanya.
"Cie, biasanya kalo nulis tentang sesuatu itu pasti ada maksudnya. Kai, lo naksir Angel, anak kelas gue kan?" Damar menggodaku. Aku memang sering digosipkan berpacaran dengan beberapa wanita di sekolah ini, tapi tak satupun yang benar. Aku gay, dan aku bangga dengan hal itu. Tapi tentu saja, seisi sekolah tak ada yang tahu.
"Angel yang mana?" aku tertawa. "Saya kan gak terkenal, gak gaul, gak kaya, gak ada apa-apanya. Mana mau lah Angel sama saya. Lagipula kan Angel deket juga sama kamu" aku berusaha menangkis.
"Enggak! Gue sama Angel cuma kakak-adek doang. Sama kayak gue nganggap ke elu adek. Gue masi pengen sendiri dulu kok, ato ga nyari TTM gitu…" Damar segera menutup pembicaraan tentang itu.
"TTM apaan?" godaku.
"Teman Tapi Mengganggu, kayak elo gini… Kan enak, temenan…. Ga ada beban apapun, bebaaas… Santai, kayak di pantai…" jawabnya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa.
"Eh iya, ngomong-ngomong, dapet brosur ini dari mana? Sekali lagi, thanks banget ya"
"Itu dari kakak gue, dia kerja di Gradasi. Gue kan cerita soal elo ke dia. Oh iya, deadlinenya seminggu lagi, loh. Jadi kalo bisa, lo kirim karya yang udah beres aja, kata dia…" jawabnya.
"Oke deh, yang lagi ditulis ini juga mau selesai kok. Sekarang kamu mau kemana?" aku menutup pembicaraan, masuk ke perpustakaan dan mematikan laptopku. Sudah sore, dan nampaknya pak Hasan bakal marah jika aku tak mengembalikan kunci perpustakaan ini pada tempatnya
"Pulang. Ikut? Gue bawa Supra" Damar menawariku tumpangan dengan motor kesayangannya. Sebuah Supra tua yang kerap ia banggakan. Kadang, ia menjadi objek hinaan karena kecintaannya pada motor uzur itu, tapi ia hanya tertawa lepas seakan tak memperhatikan.
"Gini-gini juga, jalan dari Surabaya ke Bandung tahan! Tahan ngedorongnya, maksudnya…" Lelucon itu sering kudengar saat ia bersama kelompoknya, dan aku kebetulan ada di kantin. Aku tak banyak mengenal makhluk penghuni SMK Teknomedia ini, dan sejauh ini baru dialah temanku yang kupercaya di sekolah ini.
"Eh, nggak deh, makasih…" aku mengelak. Jika aku pulang bersamanya, fantasi liarku padanya akan tumbuh lebih cepat dari jamur di musim hujan. Lagipula, rumahku berlawanan arah cukup jauh dengannya, jadi aku tak mau merepotkannya. Aku segera masuk perpustakaan, mengambil laptopku dan menguncinya.
"Oh…" hanya itu jawaban Damar. Tapi sebuah kejutan untukku, ia menangkapku dari belakang. Hangat suaranya melewati telingaku yang sebenarnya sudah tak terlalu tajam lagi. "Hati-hati"
Kenyataan seringkali lebih tak terduga dari fiksi ilmiah sekalipun, dan menyediakan kejutan yang menyenangkan, kadang-kadang.
Sebenarnya tak ingin kulepas pelukan itu, dan aku sadar bahwa aku menginginkan bisikan hangat itu terulang lagi. Aku akan merindukan itu semua. Namun, karena aku takut bahwa ini akan menjadi yang pertama pun yang terakhir, aku melepasnya, pelan-pelan.
"Hus, ntar disangka pasangan maho*). Iya, saya bakal hati-hati. Ketemu lagi besok, ya!" jawabku, salah tingkah. Damar hanya tersenyum, berjalan seperti biasa, bersiul dan memainkan kunci motornya. Aku pun menyalakan iPod-ku dan memutar beberapa lagu, sambil berjalan keluar gerbang.
Setelah kejadian itu, aku semakin bersemangat menulis kelanjutan novel ini. Semua perasaanku padanya kutuangkan dalam bentuk prosa dan majas yang mungkin bagi sebagian orang terlalu berlebihan, atau bahkan terlihat kekurangan emosinya. Jemariku lincah menari di tuts keyboard laptop, membentuk sukukata, kata, kalimat, paragraf, dan akhirnya lembaran-lembaran cerita cinta yang sangat sempurna jika ternyata terjadi di dunia nyata.
Semuanya selesai, dan kini saatnya dimana aku siap mengirimkan semua naskah itu pada penerbit, sebagai tanda keikutsertaan. Aku tak berharap menang, namun aku hanya berharap naskah ini tak menumpuk sia-sia di cakram keras laptopku dan menjadikan perasaanku tak pernah tersampaikan…
Biarkanlah semua itu tersampaikan lewat kata-kata, yang menaikturunkan emosi para pembaca…
Kelas 11A Rekayasa Perangkat Lunak ramai bak pasar seperti biasa. Damar sekarang ada di kelas yang sama denganku, sejak pergantian tahun ajaran lalu. Seperti biasa, setiap pagi aku menyapanya, membiarkannya tahu bahwa aku ada. Namun pagi ini Damar terlihat berbeda, dan aku tak dapat menyimpulkan apa yang ada dalam benaknya. Ia seperti menyembunyikan sesuatu.
"Heh, Damar, maneh naksir ka si Tira?"**) Fauzi, sang ketua OSIS yang hobinya menjodohkan orang, mulai menggoda Damar. Aku terhenyak. Tira? Tira yang mana? Aku memang lemah dalam soal ingatan interpersonal, aku bahkan tak hafal nama semua makhluk yang seangkatan denganku. Aku hanya kenal beberapa saja.
"Tira nu mana?"***) aku mencoba ikut dalam pembicaraan. Bambang, sobat kental Damar, menimpaliku. "Eta Kai, nu rambutna panjang, tapi karek sabaraha poe ka tukang dijilbab, anak Multimedia 2. Barudakna si Angel"****)
"Ih, apa sih, aku dibawa-bawa!" Angel kemudian masuk kedalam forum, tanpa diundang. Kemudian riuh rendah kelas seperti biasanya pun terus berlangsung, mumpung tak ada guru yang masuk. Aku yang hanya sekali-kali masuk pun segera tahu diri untuk keluar dari forum tak jelas ini, setelah perasaanku tiba-tiba dihancurkan, bak gelas yang dipecahkan dari lantai tertinggi sebuah pencakar langit.
Tak apa, Kai. Selama janur kuning belum berkibar, ia tetap "kakak"mu, kan? Cinta tak harus memiliki, toh dia straight.
Bel istirahat siang berbunyi, dan aku segera keluar dari 11A, menuju ruang piket. Aku minta izin keluar, ke kantor pos, mengirimkan naskah ini. Tak jadi soal apakah Damar akan membacanya atau tidak kemudian, apakah ia masih akan menganggapku adiknya atau malah membenciku setelah namanya kupakai tanpa izin, yang jelas ini adalah perasaanku, dan tulisanku. Aku punya hak penuh atas itu, dan aku memutuskan mengirimnya.
Sejak aku mengirim paket berisi salinan naskahku beserta keping CD berisi dokumen Word-nya ke Gradasi untuk mengikuti lomba, setiap malam aku tak bisa tidur. Aku tak mengharapkan kemenangan, aku hanya mengharapkan semua penantianku tak sia-sia…
Sebulan sudah sejak aku mengirim naskah itu. Tak ada kabar. Gosip Damar dan Tira semakin kencang, namun Damar masih menutupinya, dan masih memperlakukanku sebagai adiknya, yang sering ia ajak curhat tentang banyak hal. Namun saat kubawa nama Tira, Damar selalu mengalihkan pembicaraan. Ah, sudahlah.
Hari ini membosankan, seperti biasa. 4 jam pelajaran Server-Side Programming terlewatkan, karena gurunya tak pernah masuk. Kelas 11 RPL A sangat ribut, dan aku memilih keluar kelas, mendengar lagu. Dalam keadaan perasaan yang tak menentu seperti inilah, musik bisa menenangkan jiwa dan membantuku melupakan hal-hal yang kuanggap mengecewakan.
Sono te hanasanai de, hanasanai de…*****)
Tiba-tiba, suara musik di headset-ku berhenti, berganti dengan alunan lagu penanda telepon masuk dari nomor tak dikenal. Aku bingung,siapa yang akan menghubungi ponselku pagi-pagi begini? Namun demikian, masih kuangkat telepon itu.
"Pagi?"
"Selamat pagi, kami dari Gradasi Media. Dengan Kai Matari?"
Aku mengiyakan. Ada apa sebenarnya Gradasi Media menghubungiku?
"Begini, naskah yang anda kirim memang tidak memenangkan perlombaan, namun kami menilai naskah anda sangat layak untuk diterbitkan. Bisakah anda datang ke Gradasi Media untuk mendapat penjelasan mengenai penerbitan naskah ini?"
Tanganku gemetaran. Aku tidak menyangka naskah yang sebenarnya hanya ungkapan perasaanku yang tak sempat kukatakan bisa dikatakan layak diterbitkan oleh penerbit sekaliber Gradasi.
"Bisa. Jam berapa?" tanyaku pada sang penelpon.
"Besok, pukul 10 pagi"
Dan setelah dua minggu bolak-balik ke Gradasi, dan mengorbankan absensiku yang sempurna dengan tiga buah huruf I yang artinya izin, mulai hari ini novelku resmi diterbitkan. "Baby Romantica" judul novel itu, bahkan sudah mendapat review dari beberapa pihak sebelum akhirnya dicetak. Tentunya aku lega. Tapi aku khawatir jika novel itu dibaca oleh Damar…
Dan setelah penerbitan itu, hari-hariku di sekolah tak berubah. Karena aku tak menggunakan nama asli, mereka tak tahu kalau aku sebenarnya seorang penulis. Damar pun sepertinya tak pernah mengungkit-ungkit soal itu. Ia masih dijodohkan dengan Tira, dan ia semakin tak peduli. Aku pun begitu.
Hingga pada suatu sore, aku duduk di perpustakaan, seperti biasa, menulis. Ketukan pintu dengan nada khas itu terdengar, pasti Damar. Aku membukakan pintu untuknya, dan disambut senyum khasnya. Sebuah plastik kecil ada di tangannya, nampak jelas sebuah buku dengan sampul putih bercorak merah muda dalam plastik itu. Aku kenal sampul buku ini, sampul "Baby Romantica"
Aku pun salah tingkah. "A… Ah, udah beli ya novel baru itu?" tanyaku seadanya.
"Iya, katanya romance-nya kena banget…"
Entah kenapa, seluruh keinginanku untuk menyatakan perasaanku kepadanya hilang seketika. Dan tentu saja, aku akan melarangnya membaca buku ini.
"Em, gak juga sih. Review-nya sebagian bagus, tapi sebagian besar lainnya bilang ceritanya terlalu dramatis, apalagi kalo dibaca cowok…" aku mulai mencoba mengalihkan interest-nya.
"Gak apa-apa… Iseng aja beli… Eh, numpang baca disini ya" tanpa permisi, Damar masuk perpustakaan. Hatiku berdebar tak karuan, menunggu apa reaksinya saat mengetahui namanya dipakai dalam novel itu.
Selama beberapa saat, kami terdiam. Aku mencoba menulis, tapi gagal, imajinasiku sudah hilang sepenuhnya. Damar masih asyik dengan salinan "Baby Romantica"-nya. Perlahan tapi pasti, wajahnya semakin serius. Aku paham perubahan wajah itu, itu artinya kemungkinan ia akan marah. Dan aku pasrah.
Sudah seharusnya seorang yang mengambil nama orang tanpa izin untuk keuntungannya sendiri mendapat karma…
"A… nu…" aku membuka suara.
"Yo?" Damar tak mengalihkan pandangannya dari novel itu.
"Sa… Saya minta maaf pinjem nama kamu tanpa izin. No… Novel itu, saya yang nulis, dan i… isinya…" aku tak berani melanjutkan. Wajahku panas. Entah karena malu, atau apalah. Yang jelas, aku tak berani lagi menghadapi wajah Damar, terutama matanya.
"Bagus kok" Damar mengacak rambutku sambil berdiri dari kursinya. "Tapi kenapa pake nama gue coba?"
"I… Itu sebenernya… Sa… Saya suka sama kamu" akhirnya, aku mengatakannya. "Saya sadar sepenuhnya kamu straight, jadi saya gak pernah ngomong itu secara langsung, dan a… akhirnya, jadilah novel ini… Tapi jangan khawatir, semuanya udah saya tulis 'hanya fiksi' kok..."
Damar menghela nafas, dan nampak agak sedikit marah. "Kalo gitu kenapa lo ga bilang langsung ke gue? Kai, gini ya… Satu-satunya hal yang gue tau adalah kita gak mungkin bisa pacaran, tapi karena itu juga, kita gak akan bisa berpisah, dan gue malah bangga lo bisa nulis kayak gini…"
Aku tertunduk, skakmat. Eh, nampaknya aku tahu darimana perkataan itu berasal…
"Ah, iya… Maaf… Saya janji gak akan ngulang lagi, tapi eh, kata-kata yang tadi kayak kenal, Antique Bakery ya?" jawabku, menahan malu.
"Iya. Gue suka tuh anime, shonen-ai******) nya berasa. Gue suka yaoi*******) juga, tapi jangan yang terlalu hardcore…" ia tertawa. Seketika itu, topik berat tadi terangkat begitu saja. Hanya satu hal yang mengganjal, ia straight, tapi mengapa ia mau menonton hubungan antara dua orang pria?
"Tapi kan kau straight. Kenapa suka nonton yang begitu?" tanyaku penasaran.
"Abis biasanya gambarnya keren. Ya udah, gue contoh. Tapi seru juga sih ceritanya… Oi, jangan mikir kemana-mana!" Damar mulai menampakkan sifat khasnya, dan tawa lebarnya.
Aku pun ikut tertawa. Ya, walaupun semua tak berjalan sesuai apa yang kutulis, tapi setidaknya, ikatan antara kita berdua sudah semakin kuat…
Dan terkadang, kenyataan lebih aneh daripada fiksi.
Note :
*) – Manusia Homo, panggilan pejoratif untuk kaum gay
**) – "Heh, Damar, kamu suka sama Tira, ya?"
***) – "Tira yang mana?'
****) – "Itu Kai, yang rambutnya panjang, tapi beberapa hari ini baru pakai jilbab, anak Multimedia 2. Temannya si Angel"
*****) – Jangan lepaskan tangan ini, jangan lepaskan… (Pigstar, Kimi=Hana, Junjou Romantica OST, 2008)
******) – cerita anime/manga tentang hubungan dua orang pria, yang berfokus pada hubungan interpersonalnya, dan tanpa adegan hubungan intim
*******) – mirip dengan shonen-ai, hanya saja ditambahkan adegan hubungan intim homoseksual
salam kenal kakak..
kalo ide (dan moodnya) lancar, beberapa hari lagi beres~
aduh, nulis ini bikin nangis deh, suer... inget abang seme terus TAT
Mana tuh dai linknya? Ahahah
Eh ente tau aku kagak?
Boku wa dare kai?
Ngapaen kamu disini???
Mwahahahaw
Ah, ga bosen dech aku bacanya
Hohoh...
Update!
#Plak
XP
-Shirayuki-