Hai Kawan! aku hadir lagi tapi dengan sebuah cerpen tak jelas yang dulu ku pakai waktu smp, oh- berarti baru setahun lalu. Jangan kaget kalau judul dan cerita nanti tidak connect. Ini nggak ada sangkut pautnya sama dunia gay. Cerpen singkat yang semoga saja padat ini, ku dedikasikan untuk bulan ramadhan-
meski itu sudah berlalu sih.
Yak! Happy Reading, eh?
-
-
Aku mulai gerakan cepat menghitung berlembar-lembar uang yang kini ada di tanganku. Uang ini adalah hasil tabungan selama dua bulan sebelum hari raya Idul Fitri. Dan... Yes! Hasil tabunganku itu ternyata mencapai kurang lebih lima ratus ribu rupiah.
Haha. Dengan uang ini aku pasti bisa membeli kado untuk ulang tahun Ibu yang tinggal dua minggu lagi. Kira-kira lebih baik aku mengado apa, ya? Um, perhiasan? Kurasa tidak. Jam tangan? Oh, itu lebih buruk daripada perhiasan tadi. Argh! Sudahlah. Lebih baik sekarang aku pergi ke pasar saja. Mumpung belum waktu Ashar. Siapa tahu di sana nanti aku menemukan kado yang cocok~
-
Aku berdendang pelan di sepanjang jalan menuju ke rumah.
Persaanku saat ini... Ah! Aku tak bisa mengekspresikannya. Ku pandingan bungkusan plastik hitam di tanganku. “Semoga Ibu suka akan mukena yang ku beli ini,” gumamku tanpa sadar.
Tak terasa aku tinggal menyeberang untuk sampai ke rumah. Di kejauhan, ku lihat Ibu tengah asik berbincang dengan tetangga kami. Ketika kedua mata Ibuku menoleh ke arahku berdiri, tanpa sadar aku tersenyum. Ya... Wanita tua yang nampak kelelahan akibat kerja keras itu masih tampak cantik dimataku.
Ku lambaikan tangan kananku yang bebas. Ibuku balas melambai dan masih tetap tersenyum. Dengan tidak sabar aku segera berlari ke rumahku. Saking tergesanya, aku sampai tersandung dan hampir saja terjatuh. Beruntung aku bisa menahan berat tubuhku dengan kedua tanganku. Dengan segera aku bangjit berdiri dan lanjut berlari. Aku tertawa pelan saat membayangkan betapa konyolnya diriku saat ini.
Aku bahkan tidak sadar bahwa saat ini ada truk yang tengah melaju cepat ke arahku.
TIN TIN
“AWAS!”
BRAK
Ku rasakan tubuhku terhempas dengan keras ke aspal. Cairan berwarna merah pekat mengalir deras dari kepala dan tanganku. Menyelimuti diriku yang terbujur kaku. Tidak ada rasa nyeri atau perih. Tubuhku bagaikan mati rasa akan semua yang terjadi. Ketika pandanganku mulai meredup, hal yang terakhir ku lihat adalah orang-orang berlari ke arahku, dan Ibu yang juga menangis... serta meneriakkan namaku.
-
Hari ini aku mendapatkan banyak bunga. Bunga yang sama ketika Ayahku dimakamkan.
Dari tempat yang gelap ini, aku merasakan satu demi satu hingga ribuan tetes air hujan membahasi tempatku bernaung.
Di sana, tepat di atas pembaringanku Ibu terlihat menangis. Menangisi aku yang kini tak berdaya. Menangisi aku yang kini sudah tak ada. Aku senang, sangat senang malahan. Ibuku adalah orang yang sungguh menyayangiku. Sebetapa bandelnya aku, Sebegitu egoisnya aku dulu.
Ibu, hapus air matamu. Jangan buat perpisahan ini menurunkan semangatmu. Karena suatu saat nanti, kita akan bertemu. Kembali jadi keluarga yang lengkap seperti dahulu. Aku dan Ayah akan selalu menanti Ibu.
Sampai jumpa Ibu...
Terima kasih.
Comments
lanjutkan yang lain ya
*antusias*
bukan om tapi tante