MAULID
Bulan merangkak
perlahan meninggalkan lengkungannya di tengah persimpangan jalan. Tabur bintang kemilau indah membayangi senyum seorang anak manusia yang sedang dilanda kekeringan kata. Sujud mukanya mengharap ke satu arah tujuan melintang di semua sisi bayangan kehidupan, yang kadangkala berembun dan kadangkala berabu kering melayang di tengah-tengah kekosongan udara beratap angkasa.
Ayam berkokok lambat-lambat, berarti pagi telah menjemput. Dari jauh terdengar suara adzan melambung syahdu membangunkan semua penghuni bumi yang sedang bermain dengan bunga tidurnya, gelap mata dan juga gelap akal pikiran. Pagi telah datang menjemput dengan senyuman penuh kemunafikan.
Aku menggeliat, berusaha mengumpulkan kembali ruh-ruhku yang semalaman berkelana, membebaskan diri dari himpitan raga yang sempit. Aku teringat cerita guruku dulu ketika aku masih kecil, beliau bercerita tatkala subuh tiba, maka setan cepat-cepat memberi tubuh manusia selimut dari bulu domba agar malas beranjak bangun, mengencingi telinga agar tidak mendengar suara adzan, serta menyirami mata dengan abu agar terasa berat. Aku tak tahu apakah benar kata guruku itu, tapi yang jelas ketika subuh tiba, aku sering merasa malas beranjak dari tempat tidur.
Aku membolak-balikkan badanku yang terasa pegal. Lalu beranjak pergi membasuh anggota tubuh dengan air pancuran yang serasa dingin menggigit. Suara gemericik air terdengar melenakan seluruh isi jagad raya.
Dari kejauhan terdengar suara muazin melafalkan iqomah. Dengan tergesa-gesa aku memakai sarung dan kopyah lalu berlari kecil menuju mushala yang tak jauh dari tempat kos. Sepi. Tak penuh 1 shaf manusia di kota Metropolis ini yang datang ke rumah Allah untuk menunaikan kewajiban shalat secara berjama'ah. Mungkin gemerlap dunia telah membuat mata mereka terjaga semalaman hingga giliran subuh menjelang banyak yang baru saja terlelap. Ah, entah kenapa kini hatiku terasa teriris melihat mushola yang sepi. Padahal dulu aku tak pernah peduli.
Jika diingat sejak aku berpisah dengan Raka, aku seperti semakin dekat dengan Tuhan. Atau apakah Tuhan yang menjadi dekat denganku? Bukankah ada yang mengatakan jika kau datang kepada Tuhan dengan berjalan maka Tuhan menyambutmu dengan berlari. Jadi siapa yang dekat dan mendekati? Apakah itu penting? Ah, lagi-lagi aku hanya dapat mendesah.
hari rasanya begitu cepat berlalu. Hari ini, bulan ini kesejukan dan kedamaian kembali datang menyapa kesibukan para pembela kebenaran. Bulan dilahirkannya insan utama sebagai lelaki pilihan. Alam pun bershalawat, memuji, menyanjung dan mengagung-agungkan sang pujaan hati.
Thala'al badru alaina
Min tsani ya thil wada'
Wajabasy syukuru alaina
Mada'a lilahi da.
Nanti, aku bermaksud pulang ke rumah orang tuaku yang berada di suatu desa kecil di kawasan provinsi Jawa barat. Seminggu yang lalu Ayah dan Ibuku telah berpesan agar aku melewatkan hari istimewa peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW bersama keluarga di desa.
***
itrok, adik bungsuku yang berumur sembilan tahun terlihat berlarian kecil menyambut kedatanganku.
"Aa' Pulaaaang" teriaknya sumringah. Itrok langsung menabrak dan memeluk erat tubuhku hingga tak dapat berjalan.
"A', lebaran haji kemarin kenapa nggak pulang?" tanya itrok cemberut.
"Aa' betah di Jakarta, Dek" kataku bergurau.
"Betah!" suara itrok sedikit melengking. Matanya yang jernih terlihat membulat.
"abi udah capek-capek beresin kamar Aa tapi Aa nggak pulang!"
kali ini itrok benar-benar marah. Aku dapat menangkap dari tatapan matanya. Aku akui, toh sekarang mau bilang apa? Semua telah terjadi. Aku benar-benar tidak bisa pulang Lebaran Haji kemarin karena sebenarnya aku masih berada di Negeri orang. Tapi tak perlu lah adik ku tahu.
"Benar adek beresin kamar Aa'? Kalo sekarang udah diberesin belum?"
"Beneran! Sekarang juga udah atuh A'!" seru Itrok semakin mempertahankan pendapatnya. kami berjalan bergandengan tangan menuju depan rumah.
"Anak pintar! Ya udah, kalo gitu nanti Aa' kasih oleh-oleh, terus Aa' ajak adek jalan-jalan lihat pasar malam. Gimana mau nggak?"
"beneran A'?!" itrok kembali sumringah. Aku menganggukkan kepala dan mengacak-acak rambut adik bungsuku itu.
"Hore. . .Hore. . .Hore... Nanti itrok lihat pasar malam". Teriaknya keras dan langsung berlari ke dalam rumah. Aku masih mendengarnya berteriak-teriak memanggil Ibu. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
***
Comments
Berkarya lagi, semangat !