It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tapi nanti kesannya terlalu eksklusif kalo dibuat dua thread.
Dengan sigap, tangan Igo mengambil bukuku yang terjatuh dan menyodorkan buku itu kepadaku.
“Thanks Kak.” Sahutku, sambil mulai mencari-cari halaman terakhir yang aku baca. Aku lupa menandai bukuku dengan sebuah bookmark sehingga agak kesulitan mencari letak bab yang sedang aku baca. Aku membolak-balikkan halaman demi halaman novel tersebut dengan perasaan gelisah. Perasaan yang sama saat memasuki kafe. Dan perasaan yang sama pula saat tiba-tiba Igo SMS mengajakku ke kafe ini.
Igo tampak sedikit cemberut melihat tingkah lakuku yang sangat book-a-holic itu. Kemana-mana di dalam tasku terdapat minimal sebuah novel. Sebenarnya tak masalah bagi Igo kalau aku ini senang membaca, tapi kalau situasinya seperti begini kan….
“Tasya, gue ajak lu buat ke kafe ini bukan buat baca buku, Say.”Tangan Igo yang besar itu menutup buku yang sedang dipegang olehku. Ia pun mulai menyeruput cappucinonya sambil memandangiku.
“Ih Kak, kok gitu sih. Gue lagi asyik baca nih.” Aku kembali membuka novelku itu dan Igo kembali memelototiku dengan tatapannya yang tajam. Untungnya telepon genggam Igo berbunyi sebelum Igo sempat menutup bukuku kembali. Mataku sibuk menelusuri isi novelku itu, namun telingaku tetap tajam menangkap tiap kata yang diucapkan oleh Igo saat menerima telepon.
“Iya, Natasha….. Nanti aku jemput kamu, Sayang….. Di butik kamu? Okey….. Iya….. Aku lagi bareng Tasya nih…... Iya……. Ntar aku salamin…… Sebagai…..” tiba-tiba Igo tersenyum nakal kepadaku tanpa melanjutkan perkataannya yang terputus. Igo mengakhiri percakapan di telepon dengan derai tawa.
“Mbak Natasha ya, Kak?” tebakku. Pertanyaanku itu sebenarnya merupakan sebuah pertanyaan ambigu. Tak usah dijawab pun sebenarnya fakta sudah berbicara demikian. Igo mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Salam tuh katanya dari Natasha.”
Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Igo, sambil terus memaksakan diri untuk tersenyum balik meski hatiku merintih perih.
“Salam balik ya Kak, buat Mbak Natasha. Sekarang lagi di butik ya?” mataku kupaksakan agar tidak bertemu pandang dengan mata Igo. Aku tak ingin ia menerawang perasaanku. Segala gerak-gerikku selama ini telah kupoles sedemikian rupa, agar Igo tak bisa mengetahui perasaanku. Perasaan terdalamku.
“Iya, katanya lagi banyak pelanggan. Lagi seneng tuh dia. Hehehe.”
Tasya tertawa kecil dan ikut senang mendengar kabar tersebut. “Waah, seneng dong Mbak Natasha. Enak deh bisa punya butik sendiri. Apalagi Mbak Natasha sendiri kan, yang mendesain seluruh baju-baju di butiknya?”
“Yup. 100 buat lu. Haha. Sya, sebenernya gue mau cerita nih sama lu.” Mataku langsung kualihkan dari buku kepada wajah Igo. Rasa penasaranlah yang menyebabkan aku bertindak seperti itu. Sepertinya Igo akan mengatakan sesuatu. Sesuai dengan feelingku dari awal.
“Iya, Kak. Mau cerita apa?”
(to be continued)
“I’m gonna marry Natasha.”
Glek. Seluruh peredaran darahku seolah-olah mendadak rehat sejenak dari aktifitas memompa darah dari jantung. Aku merasakan mati rasa. Otakku telah pamit pergi sedetik yang lalu, meninggalkan hatiku yang tercabik rasa perih, sedih, dan kecewa. Aku tak bisa berpikir jernih saat itu, dan ucapan pertama yang keluar secara spontan dari mulutku ialah, “Kok bisa?”
Igo tertawa kecil menanggapi pertanyaanku itu. Tampak dalam sekali lesung pipit yang berada di pipinya saat ia tertawa. Aku hanya menunduk malu, merutuki diri sendiri atas ketololanku dalam berbicara. Bodoh! Kenapa musti kata-kata itu yang terucap olehku di saat genting begini. Tasya, kali ini, kamu tolol sekali!
“Haha, tentu saja bisa. Kok pertanyaan lu aneh banget ya Sya? Hahaha.” Tawa Igo semakin menjadi-jadi, sungguh membuatku merasa seperti orang bodoh beneran. Aku yakin sekali mukaku sewarna dengan warna merah baju yang sedang kupakai sekarang. Jika ada orang yang lewat melihatku, pasti ia mengira wajahku merupakan satu paket dengan bajuku membentuk sebuah model baju baru.
“Ya habis.. Haha.. Mendadak banget sih Kak. Gue kan kaget.” Aku membela diri di depan Igo. Padahal dalam hatiku, ada sebaris kata yang tak bisa terucap keluar dari mulutku. Aku membiarkan kata-kata itu tenggelam saja, terkubur di dasar hatiku yang paling dalam. Tolong, jangan nikah dengan Natasha.
Igo akhirnya berhenti tertawa dan mulai memasang muka serius sekaligus geli. Mungkin sisa tawanya akan ia simpan untuk menghabisiku jika aku salah ucap lagi. Ia menyadari gesture tubuhku yang mulai tak nyaman dengan situasi ini. Situasi dimana aku ditertawakan lama sekali dan aku hanya memasang wajah merajuk, meminta agar Igo menghentikan tawanya.
“Okey okey, sorry.” Igo membenarkan dasi baju kantornya itu sementara aku ikut-ikutan merapikan rok yang sedang kupakai. “Gue hanya gak nyangka ucapan pertama kali yang keluar dari bibir lu itu ‘Kok bisa’. Hahaha. Itu aneh sekali, Tasya. Hahahaha.”
Sebelum aku sempat berbicara menanggapi ucapan nyebelin Igo, ia mendahuluiku berbicara. “Gue ini cowok, Tasya Sayang. Jadi wajar dong gue nikah sama cewek. Apa lu meragukan kelakian gue? Mau gue tunjukin?” Igo tiba-tiba menaruh tangannya di celananya, seperti hendak membuka resletingnya. Aku langsung menjerit pelan sambil menutup mataku degan tangan kananku. Igo tertawa lama sekali sambil memegang tanganku agar lepas dari mataku.
“Hahaha, ya enggaklah, Tasya. Gue becanda doang. Lu percaya gue bakal buka resleting disini? Haha.” Igo tertawa lagi dan mulai terdengar menyebalkan.
“Heh. Gak lucu tauk!” ujarku sambil manyun. Aku kesel pada diriku. Telah melakukan tindakan bodoh dua kali di kafe ini. Dengan gugup aku mulai mencari telepon genggamku untuk sekedar mengalihkan perhatianku. Aku ingin agar mukaku tidak lagi sewarna dengan warna bajuku. Hal yang terpikir pertama kali di benakku ialah mengirim SMS kepada Citra, sahabat terdekatku yang selama ini menjadi tempat curhatku.
Semoga bisa dipertahankan untuk kelanjutan kisahnya..
Untuk kritik, sementara belum ada kecuali.. kelamaan postingannya alias penulis harus bisa mempertimbangkan perasaan pembaca sbg batas waktu (deadline) spt komen dr max sebelumnya..
Good Job!!
lagian.. apa yg mau dikomen, klo ceritanya hanya sepenggal2.. biasanya neh.. komen akan bermunculan klo ceritanya udah panjangan dikit..
ini keknya terlalu lama nerusin cerita, n bisa2 pembaca jadi lupa..
menurut gw c, tulis aja dulu.. ibarat kata berjuang dulu, hasilnya bagus ato ga, yg penting dah berusaha nulis.. tenang aja, dgn sendirinya, pasti nanti banyak yg akan kasih saran/pendapat/pujian.. tapi itu jgn jadi penghalang loe buat nulis..
ayo, dilanjutin.. jgn buat pembaca menunggu terlalu lama
peace..
Tokohh utama cong nyah khaan damar hihihiiih
Awaaas mamzelle gag nulis ttg hepen..huh...sebeeeeeeel...gag maw jd tokoh tukang becak!!!!!
To : Citra (+889897654xx)
Citraaaaaa. Hua.
“Oh iya, Sya. Ok, back to the topic. About my marriage plan, ntar lu bantu-bantu Natasha cari gaun pengantin ya, Say.” Igo menatapku penuh harap, seolah aku satu-satunya tumpuan harapannya untuk membantu Natasha. Padahal aku sangat yakin, tanpa bantuanku pun, Natasha bisa dengan sangat gampang memilih-milih baju pengantin. Bukan hanya memilih, Natasha jago mendesain baju, she’s a genius fashion designer.
“Ya ampun. Mbak Natasha kan bisa ngedesain baju sendiri kali, Kak.”
“Ya lu tau sendiri Sya, tingkat kepedean Natasha itu segimana. Setinggi pohon tauge. Minderan banget dia tuh orangnya. Makanya, dia butuh seseorang sebagai second opinion. Lu mau yah?”
Aku merenung. Memang benar sih apa yang diucapkan oleh Igo. Natasha itu orangnya minderan tingkat tinggi terutama jika dikaitkan dengan karyanya sendiri. Membuka butik sendiri aja udah membutuhkan bujukan dan rayuan maut dari Igo. Untunglah butik Natasha benar-benar diresmikan dua bulan yang lalu.
“Okeh. Sip. Kapan? Eh ngomong-ngomong kalian mau nikah kapan?” Ayo, Tasya. Pasanglah tampang seceria mungkin, sesantai mungkin. Jangan tunjukkan kerutan-kerutan sedih di wajahmu. Aku mulai menyemangati diri sendiri, meski itu makin membuat luka di hatiku makin mendalam.
Igo meneguk cappuccino-nya yang ternyata belum habis itu. "Secepatnya.”
“Wow. Tepatnya kapankah ‘secepatnya’ itu?” ujarku penasaran.
“Mungkin minggu depan.” Igo dengan kalem mengucapkan kata-kata itu sembari menaruh cangkir kopinya di atas meja. Tak tampak asap mengepul dari cangkir tersebut. Kopinya tak lagi panas, tidak sepanas telingaku yang mendengar ucapan spontan nan kilat dari mulut Igo.
“Hah?!!”
“Haha. Kidding, Honey.” Igo membuat jantungku selalu berdetak cepat dan bahkan hampir mendadak berhenti. Mungkin ada yang tidak beres pada jantungku. Aku harus berguru pada Papa, barangkali obat Papa ada yang sesuai untukku. Obat mengendalikan jantung agar berfungsi seperti sedia kala.
“Dasar. Jadinya kapan, Kak? “
“Tergantung Papa.” Ujar Igo dengan santai. Mulutku melongo. Entah berapa senti. Aku jadi heran sendiri.
Tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ada sebuah pesan masuk. Aha. Citra membalas pesanku.
From : Citra (+889897654xx)
Kenapa lu, Sya? Kecopetan?
Sebelum sempat menanggapi kata-kata Igo, aku terlebih dahulu membalas SMS Citra.
To : Citra (+889897654xx)
Igo mode : on
Is gonna be
Igo mode : off.
Cit, ada waktu?
Aku mulai masuk ke dalam dunia nyata lagi, meninggalkan dunia SMS dengan Citra.
“Tergantung Om Hasan?”
“Yeah. And I’m not kidding you, this time.”
“How come? Bukannya Om Hasan sekarang….” Ucapanku terputus sebab Igo langsung melanjutkan kata-kataku.
“Telah tiada? Iya, Sya, gue tau banget itu.” Om Hasan memang telah meninggal dunia, kira-kira sebulan yang lalu.
Aku mulai tertarik dengan pembicaraan Igo. “Lantas?”
“Almarhum Papa ingin agar gue cepet-cepet menikah dengan Natasha. Lagian kan gue ama Natasha udah lama berpacaran.”
“Dan lu setuju, Kak?”
“Tasya, jangan mulai aneh deh. Iya, gue setuju. Gue sayang Natasha. Dan Natasha sayang gue. Sesimpel lagu Barney, Honey. I love you, you love me. We’re a happy family, with a great big hug and a kiss from me to you. Won’t you say you love me too.”
Aku tertawa mendengar ucapan Igo, mm, lebih tepatnya tertawa mendengar suara sumbang Igo menyanyikan sebait lagu Barney, tayangan kesayangan kami berdua sewaktu kami masih kecil. Untuk sejenak, rasa sedihku meluap pergi meninggalkanku ketawa disini.
“Seneng banget lu yee liat gue nyanyi.”
“I adore your voice. I really do.” Tentunya, aku berbohong. Haha.
“Dan permintaan Papa itu tercantum dalam surat wasiat.”Igo tiba-tiba berbicara seperti itu, membuatku kaget.
“Surat wasiat?”
“Iya. Isi suratnya salah satunya adalah mengenai pernikahan gue dan Natasha. Mengenai tanggal segala macam, Mama yang nentuin. Gue Cuma bisa ngikut.”