Siapa sih menurut rekan boyzforum yang pantas menjadi presiden Republik Drakula eh... Republik Indonesia ini ?
kl gw, frankly speaking dah MR (mati rasa) (masyaamplop, masa nulis m.a.t.i aja kena sensor jadi meninggal tuh) dengan percaturan politik di negeri ini, kaya'nya koq susah mencari orang sekaliber Mahathir Muhammad dari lebih 200juta manusia di Indonesia ini ya ? Apakah memang sudah tidak ada lagi orang yang benar benar sepenuh jiwa raga mencurahkan perhatian membangun negeri, berpihak pada kebenaran dan kejujuran bukan pada kepentingan pribadi maupun golongan.
Mohon dengan tanggapan, siapa dan mengapa dia menurut anda layak menjadi presiden ( please, don't touch and speak on the name of SARA, it is'nt worthy to discuss, OK?), atas perkenan dan budi baik rekan2 saya haturkan terima kasih yang segede gedenya
NB:
Seneng yg gede gede, ampe terima kasih aja pake segede gedenya. Tapi masih lebih manis khan drpd terima kasih sengaceng ngacengnya... he... he... he... mesum ah, ntar disensor ama Suparlap (Superlove) baru nyaho
Comments
karena gak ada programnya, aku usul kriteria-kriteria kayak gini gimana:
1. bot-nya: mesti oval, sekel ada lekukannya dikit di samping kiri kanan.. gak nggelambir.. warnanya segar.. coklat rada-rada pink gitu. trus rectumnya mesti pink dan tight banget gitu.
2. ktl-nya: mesti proporsional dengan tinggi dan berat tubuhnya. gak boleh terlalu kecil.. karena kl gitu lebih cocok jadi presiden direktur pabrik tusuk gigi. agak kegedean sih gpp. tapi jangan terlalu gede... kasian ajudan ajudannya.
3. karena mesti mengayomi semua jenis komunitas kita, maka kalo siang mesti macho abis. tapi kl malem mesti sissy abis... soal ini bisa dimusyawarahkan jadwalnya. dia mesti cool tapi juga harus fasih bahasa binan. harus cut sekaligus uncut. harus vers. harus wangi sekaligus musky.
4. anaknya yang brondong mesti rajin chat di gim, gimsex dan melayani semua keinginan untuk ketemuan. gak boleh gtg sembarangan. kl dimintai pic gak boleh bilang u 1st. punya cam is a plus.
untuk bisa menilai, dia mesti kampanye di boyzforum... masang pic wajib... gak boleh pake facelink/facepic palsu. harus ada close-up bot dn ktlnya. gak boleh pura-pura punya pic, janji ngirim lewat e-mail tapi gak ditepati. asl & stat nggak boleh ada yang disembunyikan.
cv-nya harus berisi detail cerita-cerita pengalaman esek-eseknya dan harus lebih hot dari "essay-essay" nya ktlganas.
ada yang mau nambahin?
nb: gak boleh ngomong soal SARA berbahaaaaayaaaaaaa :):):):):).
Satria !, ngga' boleh omong jorok lo[/b]
Ini mah syarat calon presiden Republik Gaya Nusantara
NB:
Loe Ada Udang Dibalik Kwetiaw ya Heart2 ? Pura2 pilih babenya untuk jadi presiden, tapi sebenar yang diincer itu tuh,... anaknya yang masih brondong itu ya ?
pler-heboh lo tu udah aku anggap guru gw tau .. jangan discourage aku dong.. aku terinpirasi abis sama tulisan lo ini.. and i quote:
"What's wrong with you man... jadi orang jangan pesimis amat dong, usahe... usahe... "
saking terinspirasinya ama tulisan lo ... aku aim high... usahe.. usahe men.. kl gak dapet anak presiden.. siapa tau dapet ponakannya... paundra misalnya :)
Yezz... Heart2 dikau emang bermata sangat jeli, Paundra emang tipe yang cool abis dijadikan BF, tapi ati ati itu pamannya yg ditinggal lari oleh bininya itu... brrrhh... kl gw risih banget dideketin org tipe spt itu
NB:
i'm sorry, i didn't meant to discourage you... but just think 'n guess it, is there any udang dibalik kwetiaw aja. If it yes... it's OK, and if it no... it's OK too, no problemo laaah
gak usah sorry man ... orang lo gak bikin salah... kl lo bikin salah ama gw ... atau lo gw tuntut nyediain 5 mahasiswa atlet basket buat merkosa gw he..he..he
aku "kekinya" ama lo tuh :):) orang udah jelas-jelas gamblang dan benderang ada udang dibalik kwetiaw gitu koq masih dipertanyakan :):) ini nih udang-udang lain yang gw incer: ajudan-ajudan presiden, paspampres, dan petugas protokol istana... tapi yang masih yunior dan kurus gitu... lo bisa bantuin gak :):)
sekarang jawaban serius:
kl gw asal jangan militer. minus malum... cari drakula yang rada baek dari drakula-drakula yang buruk. dengan sangat-sangat-sangat terpaksa aku milih megawati. alasan menyusul kl ada yang pengen tau (soalnya panjang banget, takut mbosenin)
gw setuju banget asal jangan militer, tapi untuk kembali memilih megawati koq rasanya gw ogah ya... kaya'nya kaga punya visi apapun untuk membangun bangsa yg sedang terpuruk ini, ngga' pedulian, kaya orang bisu tuli aja (memang indonesia unik, abis dipimpin orang buta kemudian giliran orang bisu tuli). so may be gw boleh berharap pada pasangan Amin Rais dan Siswono
NB:
Siswono tipe sangat manly tuh, Heart2 bolehlah elo cari tau apakah dia punya anak brondong kaga'?
tapi gw gak berani memperkenalkan teman yang lain
gw sangat jaga privasi BF gw itu
bukan gw mau menikmati sendiri
tapi takut kesaingan...
untuk sementara ini
gw ada banyak teman uniform dari 2 kesatuan yang berbeda
gw bisa bantu begini:
lu main kedaerah yang ada markas suatu uniform
disanakan mereka berkeliaran maksudnya jalan-jalan diluar
di mall atau di tempat apa aja yang terlihat mereka suka nongkrong
mungkin kalau beruntung salah satunya bisa kamu dapetin
cari yang muda dan masih bujang yang kira-kira gak garang.
coba untuk kenalan baik-baik, yach ngobrol dulu
jangan punya pikiran mereka semua bisa dan mau untuk itu
berteman aja dulu nanti kalau sudah akrab bagai sahabat
baru lu punya chanel mana yang bisa dan mana yang kagak
awas ati-ati mereka punya peraturan disiplin
yang dilarang berbuat hal semacam ini
oke selamat cari sendiri
mau militer takut balik kayak dulu lagi... tapi gw ada sekilas terpikir apa mungkin masih perlu... militer yang berkuasa lagi...?!
tersu terang gw masih bingung.... :roll: :roll: :roll:
hik's... hik's... hik's... (Heart2 dan gw sesenggukan sedih), disuruh cari ndiri ama si bendigo
ben, kita bukan mo sabet elo punya bf... suerrr! tapi itu tuh teman uniform elo yg banyak dari 2 kesatuan yg berbeda itu yg bikin menetes air liur kita... glek!
Hi guys,
Gw juga kagak setuju kalau presiden mendatang dari kalangan militer atau purnawirawan. Alasannya??? Dari sejarah di seluruh dunia, belum pernah ada pemimpin negara dari kalangan militer yang benar-benar demokratis.
Gw cenderung pilih Amin Rais. Dialah satu-satunya calon Presiden yg dulu secara aktif ikut berjuang bersama mahasiswa menumbangkan rezim Soeharto, bahkan sempat mau ditangkap oleh Soeharto beberapa hari sebelum dia lengser.Di bawah ini ada artikel dari seorang pengamat politik yg mungkin berguna buat you all. Sorry kalo agak kepanjangan.
===============================================
Kursi RI-1 untuk Apa, Jenderal?
* Catatan Kritis untuk Wiranto dan SBY
Oleh Indra J Piliang
Analis Politik CSIS, Jakarta
KEMUNCULAN sejumlah tokoh yang berkiprah selama Orde Baru dalam kancah pertarungan politik menjelang pemilu presiden dan wakil presiden 5 Juli 2004 nanti mengkhawatirkan banyak pihak. Bagaimana tidak, angin perubahan yang diharapkan datang seiring dengan liberalisasi politik selama lima tahun ini ternyata membawa aroma tak sedap.
Jembatan demokrasi yang disiapkan berbagai elemen bangsa, terutama kalangan sipil, ternyata digunakan untuk jalan pulang kekuatan lama. Tokoh-tokoh yang menghadang gerak laju demokratisasi selama puluhan tahun justru berbalik menjadi pihak yang diuntungkan.
Pesimisme menggelembung. Optimisme mengempis. Masa depan kian buram. Fase-fase kedewasaan politik rakyat digantikan oleh kegetolan kalangan elite politik untuk membusungkan dada sendiri. Potret politik pascapemilu legislatif 5 April 2004 menunjukkan bahwa yang siap dengan demokrasi adalah rakyat, sementara elite politik gagap. Sejumlah tokoh terkubur tanpa dukungan, selebihnya nanar menggelepar seperti ikan kehilangan air.
Kembalinya pelaku-pelaku politik lama dengan muka tengadah dan mata cemerlang menunjukkan kepercayaan diri tinggi. Tidak sedikit pun muncul rasa bersalah atas penderitaan rakyat selama ini akibat tindak tanduk mereka mengendalikan pemerintahan. Bahkan krisis multidimensional sekarang dijadikan sebagai ajang eksploitasi murahan dengan membandingkan dengan masa lalu yang gemilang.
Sedikit sekali empati diberikan kepada korban krisis yang notabene adalah rakyat, bukan elite. Jutaan rakyat jelata yang hidup dengan uang segobang, sebagian mati sia-sia terinjak ketika antre makanan, adalah potret dari kenestapaan sejati. Elite terus berpikir tentang kekuasaan sekalipun kekuasaan itu harus memakan korban manusia dan kemanusiaan.
DARI nama-nama yang beredar, Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menempati posisi utama. Dua wakil generasi terakhir multifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini Tentara Nasional Indonesia) ini memberikan sinyal betapa gagahnya perawakan politiknya. Keduanya menjadi simbol betapa kepemimpinan Soeharto telah mampu melakukan kaderisasi maksimal atas kepemimpinan nasional.
Wiranto, sebagai mantan ajudan Soeharto, tentu terpengaruh dengan pola pikir, pola tindak, dan pola juang Soeharto. Sedangkan SBY, yang menempuh karier militer di bawah Soeharto, tentu juga mendapatkan pelajaran kepemimpinan dari mantan Presiden RI yang kini sakit-sakitan itu. Sulit untuk tidak melepaskan keduanya dari bayang-bayang politik Soeharto.
Persoalannya, apakah keduanya mampu melakukan desoehartoisasi dalam mengambil kebijakan pemerintah kelak? Bukankah Wiranto pernah berjanji melindungi keluarga Soeharto, pasca-lengser keprabon 21 Mei 1998? Wiranto memang tidak berada di panggung kekuasaan sejak keluar dari Kabinet Abdurrahman Wahid pada awal tahun 2001. Sementara SBY tetap mengendalikan jajaran menteri-menteri bidang politik dan pertahanan sampai 11 Maret 2004. Selama duduk di pemerintahan, keduanya terlihat dominan dalam mengatasi soal-soal pertahanan dan keamanan, tetapi tidak piawai mengatasi situasi politik. Era politik yang dinamis sulit dihadapkan secara diametral dengan sikap rust en orde yang mementingkan stabilitas.
Secara intelektual, keduanya juga jarang mengeluarkan gagasan-gagasan alternatif yang bersifat genuine, puritan, dan visioner guna mengatasi persoalan kebangsaan. Wiranto dengan lembaga IDE-nya telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi, baik untuk MPR, maupun untuk DPR. Namun, sifatnya hanyalah pengulangan ide-ide lama dalam payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bersifat nasional.
Wiranto juga muncul sebagai sosok apologetis guna menghadapi berbagai persoalan hak asasi manusia di masa lalu ketika dia menjadi panglima ABRI. Bukan tidak mungkin, keseluruhan fase pemerintahannya kelak, apabila terpilih, digunakan untuk melakukan pembelaan diri terus-menerus, sama halnya dengan penggunaan jargon "korban Orde Baru" oleh Megawati Soekarno putri dan pendukung-pendukungnya. Tak lupa, Wiranto juga mengeluarkan buku dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris guna menjelaskan posisinya atas berbagai proses transisi sepanjang 1998-1999 yang melibatkan dirinya.
Adapun SBY terlihat mengemas dirinya secara sangat elitis. SBY menghadiri banyak sekali forum di dalam negeri yang dikendalikan oleh berbagai organisasi sosial kemasyarakatan yang dibentuk selama Orde Baru. Ajang terbuka yang dihadiri massa hanyalah panggung kampanye Partai Demokrat. SBY lebih banyak dikelilingi oleh benteng-benteng pengawalan, ketimbang tampil sebagai sosok yang merakyat. Tentu, elitisme seperti ini akan menyulitkan untuk menyentuh hati nurani rakyat. Sejumlah buku yang dia keluarkan lebih bersifat paparan atas sosok dan pribadinya, bukan pikiran yang dia rumuskan. Dengan buku-buku itu, SBY tampil kuat sebagai seorang priayi Jawa ketimbang seorang negarawan yang melintas batas.
SBY, dalam banyak hal, tampil sebagai sosok sipil ketimbang militer. Namun, kultur militer tetap melingkupi dirinya juga lingkungan yang mengelilinginya. Kelebihan SBY adalah pengalamannya menghadapi berbagai kekuatan politik sipil selama hampir lima tahun duduk di pemerintahan. Kelemahannya adalah menyangkut sejumlah kebijakan kontroversial yang menyangkut nasib rakyat di daerah konflik, terutama Aceh dan Papua.
SENIOR saya di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, menyebut kemenangan Wiranto dalam Konvensi Nasional Partai Golkar sebagai kemenangan hati nurani (Kompas, 22 April 2004). Persoalannya, bagaimana bisa berharap pada politisi untuk menggunakan hati nuraninya? Bagaimanapun, organisasi politik Partai Golkar belum mengalami pembaruan. Dominasi elite lama terlalu kuat. Kecuali lembaga-lembaga baru semacam Angkatan Muda Partai Golkar yang hanya mendapatkan satu suara dalam konvensi, hampir seluruh jajaran Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar dikuasai lapisan politisi lama yang berkiprah di lembaga legislatif dan eksekutif pusat dan daerah.
Simbol regenerasi politik sebetulnya berada di kalangan pendukung Akbar Tandjung, misalnya, dengan adanya anggota parlemen yang kualitasnya jempolan seperti Ferry Mursidan Baldan dan Yahya Zaini. Di luar itu, jajaran politisi Partai Golkar di daerah terlihat selama ini hanya memainkan kartu kekuasaan untuk memenangkan kepentingan terbatas, bukan rakyat.
Dengan gambaran di atas, sebetulnya tugas semua pihak untuk saling mengingatkan, kalau perlu dengan cara keras, agar pertarungan politik sekarang tidak sekadar demi politik. Politik hanyalah sasaran antara untuk mencapai tujuan-tujuan nasional, berbangsa dan bernegara yang tertoreh dalam naskah pembukaan UUD 1945. Tujuan-tujuan nasional itu juga berada di atas kanvas besar revolusi nasional yang berdarah-darah. Sebagian termuat dalam ratusan buku yang ditulis oleh pelaku sejarah nasional kita, yakni pikiran-pikiran besar humanisme, sosialisme, Islamisme, bahkan juga marxisme. Kegagalan Soeharto adalah melanjutkan penggalian atas pikiran-pikiran besar itu, dengan cara memunculkan rezim militer yang sulit menerima perbedaan pendapat. Cerita kegagalan Soeharto itu juga yang mestinya menjadi cermin bagi Wiranto dan SBY untuk memaknai kursi RI-1 yang mungkin akan mereka duduki.
Harus ada rumusan yang detail, berdasarkan raison d? etre yang jelas, serta program yang terukur untuk menunjukkan arah perubahan pikiran mereka. Akrobatik politik yang ditunjukkan dalam tiga minggu ini menegaskan tumpulnya akal sehat. Politik sekadar mitos angka juga ajang kumpul-kumpul. Rakyat juga dideretkan dalam antrean panjang pendukung loyal pada elite, sekalipun sudah banyak bukti yang menunjukkan betapa rakyat tak kenal elitenya secara sangat sempurna.
Padahal, perubahan dimulai dari pikiran. Tanpa perubahan pikiran, bagaimana kita bisa berharap atas berbagai janji kampanye yang selama ini memang hanya berisi nyanyian usang, kidung kelabu, dan tarian erotis libidonal? Kegagalan elite politik sekarang, baik yang berasal dari masa lalu atau yang muncul dari masa kini, adalah menunjukkan bahwa mereka bisa berpikir, bukan hanya berkumpul tanpa kejelasan.
Kalau Wiranto dan SBY gagal mengungkapkan pikiran-pikiran terbaik mereka, lantas, kursi RI-1 yang ada di depan mata untuk apa, Jenderal?
Sumber: KOMPAS, Kamis, 29 April 2004