BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Bintang Jatuh

-d'Rythem24 present-

Seseorang pernah berkata begini padaku;

"Saat kau melihat bintang jatuh, maka segera buatlah permohonan. Karena mungkin saja, permohonanmu itu akan terkabul."

Awalnya, aku tak terlalu mempercayai hal semacam itu meskipun yang mengatakannya adalah orang yang paling aku percayai. Tapi sekarang, di sinilah aku.

Aku berada di tempat di mana biasanya aku dan dia berbaring berdua. Untuk melihat bintang, dan menanti bintang jatuh yang ingin ia ajukan permohonan.

***

"Eh, apa?" tanyaku padanya ketika tiba-tiba ia meletakan telapak tanganku di atas dadanya, sedangkan tangannya sendiri berada di atas dadaku.

Dia tersenyum, menatap langit dengan pandangan lembut seperti biasanya.

"Hira adalah kebahagiaanku. Aku mencintaimu." Dan selesai berucap begitu, ia mengecup jari jemariku dengan perlahan. Setelahnya, dia menatapku.

"Nah, nah,... Jantungmu berdebar kencang begini." tangannya menepuk-nepuk dadaku. Merasa kesal, aku pun memukul dadanya yang justru membuat kami berdua sama-sama terkejut.

"Hoshi...maaf!" seruku panik. Aku segera membangunkan diri dari pembaringanku, menumpukan kepalanya di atas pahaku dan mengusap-ngusap dadanya secara perlahan. Hoshi tersenyum dengan nafas tak beraturan.

"Aku tidak apa-apa." Hoshi mengusap pipiku yang telah basah oleh air mata penyesalanku. Menarik wajahku mendekatinya, dan mata kami berdua terpejam bersamaan.

Ciumannya selalu hangat. Lidahnya pun terasa memabukkan.

"Ngghh, Hoshi!"

Aku melenguh, mengerang, dan mengejang di bawah kendalinya. Mencengkram erat bahunya sembari menggigit bibirku sendiri menahan perih. Hoshi menghembuskan nafasnya yang terasa dingin ke wajahku, memindahkan posisi tanganku ke arah dadanya, dan debaran-debaran kencang darinya sedikit menenangkanku.

"Kalau jantung ini berhenti berdetak, kau harus tetap percaya,..." Lalu ia bergerak.

"A-ah... Hos...Hoshi!" Aku mendesahkan namanya.

"Kau tetap berada di sini, bahkan kalaupun aku sudah tiada nanti." Bisiknya lirih.

Aku menggeleng. Paling tak suka jika dia sudah mulai membicarakan hal semacam ini.

"Hoshi... Jangan pernah tinggalkan aku." Aku memeluknya erat. Hoshi tak menjawabku dan hanya memberikan belaian lembut di antara helai-helai rambutku.

Rasanya hangat. Mengetahui kami bisa menyatu seperti ini.

"Ah, Hoshi... Aku mencintaimu." ucapku lemah, masih tetap berada di bawahnya. Hoshi menghela nafas.

"Aku ingin melihat bintang jatuh malam ini," bisiknya lagi, mendekapku.

"Ha-hah? Untuk apa?"

"Aku mau membuat permohonan,"

"Apa itu?"

Hening...

"Hoshi? Apa kau—"

"Aku baik-baik saja. Jangan khawatir." ujarnya menyelaku. Aku dengar dia mendengus. "Hira, seharusnya kau lebih memikirkan dirimu sendiri daripada aku,"

Aku makin bergetar dalam dekapannya, terisak, kian mengeratkannya padaku.

"Bodoh!" bentakku. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu padaku jika kau pun tak ada bedanya denganku?!" Tekanku. Hoshi tertawa pelan.

"Hira adalah hidupku,..."

Kumohon, jangan...

"...Kalau ada bintang jatuh, aku mau memohon,..." dia merenggangkan tubuhnya untuk menatapku. "Aku ingin hidup bersama Hira. Selamanya."

***

Tapi kenyataannya, permohonannya tak pernah terkabul 'kan?

Kenapa dia selalu seperti itu? Kenapa dia selalu memikirkanku? Padahal dirinya jauh lebih patut dikhawatirkan daripada aku.

Sekarang kau sudah pergi, segala apa yang kau ucapkan itu sia-sia, bukan? Kalau mau memohon, seharusnya kau minta agar penyakit jantungmu disembuhkan.

Pipiku terasa basah.

Selalu seperti ini setiap kali aku memikirkannya.

Meski dia memintaku untuk lebih memikirkan diriku sendiri. Tapi tanpanya, aku bisa apa?

Aku menengadah. Menatap banyaknya gemerlap bintang dari atas sini. Dari atas atap panti asuhan, tempat di mana aku selalu merasa dekat dengan Hoshi. Walau dia sudah pergi.

"Hoshi, apa kau masih mencintaiku?"

Aku menengok jam tanganku, dan waktunya telah menunjukan pukul 01.15 malam.

"Sudah 6 jam, ya?"

Apakah biasanya Hoshi juga menunggu selama ini hanya untuk meminta pada bintang?

Aku memejamkan mataku perlahan. Dan terbersitlah wajah Hoshi yang tengah tersenyum ke arahku.

Itu dia! Aku akhirnya melihatnya.

Aku segera bangun dari pembaringanku, berdiri dan mulai berlari mengejarnya.

Aku mohon! Jangan pergi terlalu jauh, bintang jatuh. Aku mau memohon padamu...

Aku terus berlari, sampai akhirnya aku tak dapat lagi merasakan pijakanku karena gravitasi telah terlanjur menarikku secara cepat ke bawah.

Sakit.

Rasanya tadi aku bisa mendengar suara remukan dari tulang-tulangku sendiri. Dan aku masih menatap langit meskipun dari bawah sini.

"Hoshi, ternyata kau benar."

Dan di atas sana, Hoshi tersenyum.

"Bintang jatuh ini telah mengabulkan pemohonanku." Lirihku. Hoshi mengangguk sembari mengulurkan tangannya.

Mataku terpejam, pipiku terasa kian basah dan dingin. Tetapi aku tersenyum untuknya. Mengangkat tanganku, berusaha untuk meraihnya.

Sekarang, permohonanku telah di kabulkan.

"Hoshi, aku ingin ikut denganmu."

=THE END=

Comments

Sign In or Register to comment.