*First Mack
Entah hal apa yang membuatku pergi meninggalakan kota kecil Jogja, tempat kelahiranku. Tempat di mana aku dan ibuku tinggal bersama, membangun suatu kehidupan keluarga yang layak untuk di tinggali. Namun kurasa semua itu hanya kebodohan dan kelaknatan, setelah ibuku pergi bersama seorang lelaki pengusaha, yang sangat kaya raya. Perlu ku tegaskan, aku tak pernah suka jika ada lelaki yang mendekati ibuku, semenjak ayahku meninggal. Semenjak itu pula ibu memberiku kasih sayang lebih, sangat lebih untukku.
Sayangnya, Sekarang Ibu bahkan tak pernah pulang kerumah lagi, sesekali dia hanya pulang. Paling uang yang dia kirim untuk mencukupi hidupku, mencukupi makan pangan keseharianku. Namun tidak untuk mencukupi rasa haus akan kasih sayang, rasa kehangatan selimut keluarga.
Sangat lama kehangatan itu hilang, yang tersisa hanya uang-uang dan uang yang terus bertumpuk. Aku tak pernah mengerti apa gunanya kertas itu, di mataku benda itu sangatlah tidak berharga, tidak lebih dari cinta yang selama ini hilang.
Hingga tiba saatnya aku sudah lulus bersekolah, sekolah menengah atas. Di mana saat itu pikiranku sudah mulai beranjak dewasa, di mana bosanku sudah mulai bertumpuk, dan di mana saat rasa benciku terhadap wanita yang selama ini menjaga dan menghidupiku, mucul. Dan perlu kutambahkan lagi, di mana saat aku memutuskan akan menjauhinya, pergi sangat-sangat jauh. Lebih tepatnya mengasingkan diri. Pikiran ini muncul saat Mack menawariku untuk ikut dengannya ke Jerman, bersekolah di sana. Perlu di tambahkan, Mack bahkan hampir menjadi pengganti ayah bagiku. Dia yang selalu menemani, bercanda bahkan membuat aku bersemangat lagi. Dia sangat baik....
"Kau masih memikirkannya?"
"Aku sudah melupakannya," aku memang tak pernah pandai menyembunyikan kebohongan, tapi inilah yang terjadi. Berbohong mungkin membuatku menjadi lebih baik.
"Ayolahh, kita akan membuat lembaran dunia baru untukmu," Dia menyipitkan matanya, seolah ingin membuat aku tertawa. Dan benar, aku tertawa kecil.
"Kau menyebalkan!" Kembali lagi aku berbohong.
"Kau sukakan dengan orang menyebalkan seperti ku?"
"Rasanya kau terlalu percaya diri, coba kau pikir lagi," aku memberi penjelasan akan kebohongan ku, yang sebenarnya aku memang sangat menyayanginya.
"Ayolahh nak, buat aku sedikit senang," dia tertawa kecil, tanganya masih sibuk menyetir mobil."Berbohong lah untuku," lanjutnya.
"Aku menyayangimu Mack, kau ayah bagiku!" Sekarang aku berkata jujur, walau sebenarnya di pikiran Mack ini hanya kebohongan, namun inilah kenyataannya.
to be countinue...
Comments
@lulu_75
@faisalrayhan
@tarry
4 jam perjalanan menggunakan pesawat ternyata membuat perutku mual, menyedihkan. Ini kali pertamanya aku menaiki pesawat, pengalaman pertama yang sangat menyiksa dan menakutkan. Hal yang kupikirkan sepanjang perjalanan hanyalah 'Jatuh', puluhan bahkan ratusan kali kata itu terlintas, inilah sebabnya aku tidak suka mencoba, karna ini akan sangat menyiksa.
"Welcome to sydney," ujar Mack tersenyum lebar kepadaku.
"Semoga saja aku bisa nyaman!" Aku melihat sekeliling bandara yang sangat berbeda dengan bandara indonesia, terlihat lebih keren. Orang-orang yang berlalu-lalang pasti memiliki kekayaan yang berlimpah, terbukti dengan pakain mahal dan modis yang mereka kenakan. Perhiasan yang bahkan akan membuat mataku terus heran, apa gunanya benda itu di pakai? Menjijikan.
"Hey," Mack pasti tau aku merasa tidak nyaman dengan lingkungan baruku ini, makanya dia menepuk pundakku."Kau akan nyaman, aku berani bertaruh." Lanjutnya membuyarkan lamunanku. Semoga saja.
"Kau terlalu yakin," Bantahku."So siapa yang menjemput kita?"
"Kukira dia sudah datang." Jawab Mack, matanya tertuju pada seorang pria di seberang sana, sedang melambaikan tangan dan menyombongkan senyum manisnya. Yah..dia memang manis, walau pada dasarnya dia pria.
"Kalian baru sampai?" Tanya pria itu setelah sampai berlari menghampiri kami, dia tersengal-sengal.
"Sepertinya," Jawab Mack."Kau sendiri?"
"Dua jam yang lalu." Jawabnya, nafasnya masih tersengal-sengal.
"Ohh...Aku minta maaf John, semoga aku bisa membalas jasa mu," Mack langsung memeluk pria itu, yang akhir-akhir ini ku ketahui namanya John, keren.
"Tak apa, ayah kan sahabat mu," mereka berpelukan, ayolah ini bukan acara tulitabies bukan?
"Oyaa, Ini anderson!" Mack melepas pelukannya.
"John Houten," dia mengulurkan tangan padaku, aku menyambutnya dan membalas senyum manisnya. Dia terlalu manis, aku berani bertaruh.
"Muhammad Mike!"
"Nama yang keren, pasti muslim." Ujarnya menerka.
"Yeah, ciri khasnya."
Dia tertawa kecil mendengar perkataanku, apakah di sini itu disebut sebagai lelucon. Well semoga saja aku bisa terbiasa dengan ini.
*Welcome Home
Beruntungnya aku dalam satu hal di sini, aku sangat fasih berbahasa inggris, jadi tak sulit untukku berkomunikasi. Walau pada dasarnya aku memang tak pernah pandai mencari teman, but hanya membantu sedikit mungkin.
"Kau menyukainya?" Tanya John, dia di sampingku. Mengacungkan senyum yang manis.
Aku mengangguk, tak lepas mataku memandang halaman rumah baru dan lingkungan baru yang akan aku jalani. Apakah akan lebih buruk, atau akan menjadi lebih baik. Entahlah, sekarang sebaiknya aku membawa tas punggungku -hanya tas ini yang ku bawa, karna ini sydney, jadi kurasa pakaian tropis tidak akan cocok di sini.-
"Kau perlu bantuan?" John menawarkan diri, saat aku hampir melangkahkan kakiku. Dia terlalu baik, ini hanya tas punggung, tak masalah bagiku.
"Ku rasa tidak,"
"Emm...kita bertetangga, ku rasa jika kau kesusahan. Jangan sungkan," Dia menambahkan.
"Ohh..okey, itu bagus." Kurasa responku yang datar kurang membuatnya senang, tidak seperti yang di harapkan.
"Kau perlu bantuan menemukan kamarmu?" Sekali lagi dia menawarkan diri, dari kesekian ratusnya.
Aku menatap dia aneh, tapi senyumku menutupi itu. Aku memang orang yang pandai berkamuplase, teman-temanku sering menyebutku sebagai bunglon, orang yang jarang bisa di tebak. Misterius.
"Aku ikut mendekor kamar mu," Tambahnya lagi, kali ini dengan nada gugup.
"Boleh, kurasa itu menyenangkan."
"Okey, itu menyenangkan!"
John menuntunku menuju kamar, maksudku kamar baruku. Aku sangat terpesona saat pertama kali melihat designnya, yang betul-betul sangat rapi, namun berirama elegant. Bentuknya memang seperti kamar pada umumnya, namun dominasi warna dan motifnyalah yang membuat kamar ini terasa sangat hebat. Catnya berwarna hijau-ada beberapa lukisan pohon juga di dinding, mirip dengan lukisan pohon di film dark circle-, atapnya di hiasi dengan ukiran daun, lantainya terpampang karpet setapak -bagus, berbulu dengan motif hijau agak tua-, dan seperti kamar pada umunnya -tempat tidur, meja kecil, meja belajar, lemari pakaian dan rak buku- semua terlihat 'Perfect'.
"Kau menyukainya?" Tanya John hati-hati, di sampingku.
"Kau bercanda? Ini sangat mempesona!"
"Oh ya," John terlihat canggung, tersipu malu akan responku. "Kurasa bukan apa-apa." Sambungnya.
"Yeah, thanks John."
"Sama-sama," balasnya."emm..boleh ku tinggal?"
"Aku bukan pacar mu John," Jawabku agak melelucon, entah, sepertinya tidak berhasil.
"See you Mike!"
"Okey, see you!" Ujarku membalas, saat dia sudah keluar dari kamarku.
Yeah...saatnya berbenah -menyusun pakaian dan semua keperluanku- Ini pasti melelahkan.
*With John
Semuanya berjalan dengan lancar dan nyaman, selesai mandi aku mulai duduk di sofa sambil menoton beberapa acara Tv. Kurasa ini bisa membuat kebosananku sedikit berkurang, walau sebenarnya aku memang tidak terbiasa dengan channel luar negri seperti ini.
Beberapa acara yang ku tonton memang kurang bermutu, so kuputuskan untuk menonton film animasi saja, itu lebih bermanfaat dari pada harus menonton acara berita, yang sebenarnya aku kurang mengerti artinya. Dan benar saja, aku lebih menyukai menonton film seperti ini. Meski pada dasarnya malah membuat aku sedikit mengantuk,
Baru saja mataku hampir terlelap, tiba-tiba suara seseorang mengetuk pintu berbunyi, Oh god. Bisakah aku istirahat sebentar?
Terpaksa aku mengangkat tubuhku, mencoba beranjak dari sofa empuk yang dari tadi aku duduki. Ini sangat menyebalkan.
aku menghela nafas sebelum membuka pintu, ternyata John..Ada apa lagi dia ke sini?
"Halo," ujarnya, nada suaranya seperti sangat senang."Kau sedang sibuk?" Lanjutnya.
"No," ia berpakaian sangat rapi, terkesan seperti orang yang akan jalan-jalan atau pergi kencan."Masuk?" Tambahku setengah hati, setelah memperhatikan karisama cute pria muda di hadapanku ini, ia benar-benar tampan. Dan aku benar-benar terkesan idiot, melihatnya seperti itu.
"Tidak..," Jawabnya, wajahnya memerah tomat. "Sebenarnya aku mau mangajakmu keliling kota,"
Aku sedikit heran dengan kelakuannya, terkesan seperti ingin mengajak wanita kencan. Padahal kalau jalan-jalan tak masalah bagiku, malah sepertinya menyenangkan. Mungkin bisa membuatku lebih mengenal tantang kota baru ku,
"O..okey," agak bertahap aku menjawabnya, perubahan ekspresinya sangat jelas. Maksudku sangat jelas lega,
Tak lama untukku mengganti pakaian, hanya butuh waktu beberapa menit. Setelah itu aku kembali menemui John -dia tetap bersikeras tak mau masuk, tetap menunggu di luar-
"Ayo," tegurku, dia mendongak memberikan senyum, lagi.
Kami berjalan menyusuri jalanan, sangat teratur. Semua mobil berjalan dengan rapi, seolah orang-orang di sini saling memahami. Aku yakin tanpa rambu lalu lintaspun kota ini bisa tetap tertib, berbeda dengan indonesia.
"Jadi bagai mana perasaan mu?" Tanyanya, aku sedikit terperanjat.
"Perasaan?" Aku kembali mengulang pertanyaanya, seolah aku ini idiot.
"Perasaan mu di sini?"
"Menyenangkan," Aku menjawab dengan ragu, kurasa aku memang kurang pandai berbohong. Wajahnya seperti tidak percaya.
"Kalau boleh tau," ia meneguk air liur."Jadi alasannya kau pindah ke sini kenapa?"
"Aku memang ingin ke sini, melanjutkan kuliah yang lebih baik." Aku menjelaskan tanpa menoleh ke arahnya, aku setengah yakin memeperhatikan jalanan.
"Umur mu berapa?" Tanyaku basa-basi.
"16 tahun," ia tersenyum, jelas terlihat."Kau sendiri?"
"18," jawabku pendek, pantas saja dia terlihat cute. Ternyata masih di bawah umur, walau sebenarnya tubuhnya yang besar tidak menunjang hal itu.
"Kita mau kemana?" Tanyaku, aku masih penasaran dengan tempat ini. Walau rasa penasaran itu masih kalah dengan rasa, Bosanku.
"Bagaimana kalau ke toko kaset?" Ia memberi senyum."Kau suka movie?"
"Sangat!"
Kami terus berjalan mengobrol beberap topik yang agak pribadi, tapi aku tak enggan menceritakannya, seolah dia itu tempat sampahku untuk berbagi cerita. Ia orang yang sangat terbuka, sangat enak di ajak mengobrol... Maksudku sangat klop denganku, padahal baru beberapa jam kami kenal.
Terima kasih..
Oh iya bahasanya mudah aku mengerti dan so john ini bisa bahasa indo? Atau gimana? :-bd 8-> =D>
@Fours
Achso.. kalau begitu aku ngerti sekarang hahah ) oh iya mack itu siapa nya muhammed mike?