Aku dan kamu : Lingkaran Tanpa Ujung
Rasa eufora itu muncul ketika kamu memarahiku, memanggilku bocah tengil, dan dan mengusiliku dengan gangmu. Entalah. Harusnya aku marah. Tapi yang kulakukan hanya diam... menyerahkan tubuhku demi seringaianmu... lalu tawamu!
***
Kulihat hujan turun membasahi pelataran rumahku yang begitu luas. Jam segini biasanya ibu dan ayahku sibuk sekali dengan urusan kerja. Ibu bekerja sebagai pedagang bakso, sedangkan ayah bekerja sebagai petugas outbone di Cikole. Aku, anak tunggal dari ibu dan ayah yang saat ini berstatus pelajar di SMA favorit di kota Lembang hanya bisa diam jika hari minggu sudah tiba. Wajar saja. Aku termasuk orang yang menutup diri dengan alasan klasik yang kebanyakan orang-orang sebutkan. Pertama aku merasa gak pantas karena siswa maupun siswi di sekolahku kebanyakan dari keluarga berada dan yang kedua aku perpenampilan beda dari orang lain. Yakni memakai kacamata tebal atau berpenampilan cupu seperti kebanyakan orang katakan. Entahlah kenapa mereka menyebutku seperti itu. Aku hanya mencoba menaati peraturan. Itu saja...
Alasan lain yang membuatku menjadi seorang pendiam adalah aku suka cowok. Entahlah apakah hal itu termasuk dalam daftar. Yang kuyakini, aku nyaman dengan semua ini. Terjebak dalam dunia khayalku, menikmati kehampaanku, dan menikmati momen ini sebagai relaksi gak tau refleksi. Apalagi jika hujan sudah turun. Pikiranku selalu jernih kala hujan telah tiba. Jiwaku merasa segar tanpa ada rasa gusar yang tertanam dalam hatiku, hingga aku memanfaatkan momen ini untuk sekedar menulis diary dibuku harianku. Walaupun hanya 1 lembar yang telah kuisi, tapi sepertinya buku harianku itu akan menjadi teman terbaikku saat ini.
Tanganku kini bergerak membuka selembaran kertas yang kutulis kemarin malam. Tentang cinta yang tertanam dalam ranah hati yang paling dalam, tentang emosi yang menyeruak memaksa untuk keluar, tentang angan-angan yang menggebu untuk memiliki, serta tentang sosok yang membuat jiwa ini terbang menuju galaksi andromeda. Aku tidak menyebautkan galaksi bima sakti karena menurutku itu terlalu dekat walaupun kenyataannya jauh. Yah, mungkin hanya ini yang bisa kami lakukan sebagai insan yang berbeda untuk memuaskan hasratnya. Berkhayal dan berharap bahwa di kehidupan moksa, kami bisa mengukir senyum timpang tanpa beban. Bebas seperti burung...
Tapi, angan-angan itu mencacau di pikiranku tanpa sedikit pun kutemukan jawabannya. Karena Realitanya burung tidak selamanya bebas. Dari sekian banyaknya burung, ada yang mau tak mau menghabiskan waktu dan hidupnya dalam sebuah sangkar. Terjebak... dan tidak bisa berbuat apa-apa! Jikalau nanti dikehidupan berikutnya tidak seperti yang aku harapkan, maka akan kunikmati hidup yang sekarang dengan sungguh-sungguh. Pasti akan aku nikmati!
Kini mataku melihat rantaian kalimat yang telah kutulis oleh pena berwarna merah. Bibir dan mataku tersenggih, lalu perlahan kubaca kalimat itu lirih nyaris tak terdengar.
Sabtu, 23 Juni 2009
Diary, kala itu aku sedang membaca buku di perpustakaan. Aku tidak menyangka bahwa di perpustakaan sekolahku banyak sekali novel yang sangat amat kusuka. Tanpa menunggu waktu lama, aku mengambil novel berjudul Harry Potter volume 1. Namun nahas gerakanku lambat. Ada seorang cowok berambut hitam legam mengambil buku itu dengan senyum licik. Setelah kulihat baik-baik orang itu, ternyata dia : dia yang telah menjatuhkan makananku di kantin dengan sengaja, dia yang telah membuat kacamatu pecah, dia yang telah memalakku hingga aku terpaksa jalan kaki untuk pulang.
Tapi apakah kamu tau, diary? Aku membalasnya dengan senyum terbaik yang kumiliki. Dia nampak terkejut walau pada akhirnya dia meninggalkanku dengan rasa jengkel. Ahhh... mungkin cinta sudah membuatku gila. Tanpa sadar atau tidak, malamnya aku memimpikan dia dalam lelap tidurku. Andai aku bisa meminta kepada Tuhan untuk tidak membangunkanku, pasti akan kulakukan. Pasti! Hingga di pagi hari itu pun aku berucap lirih, Kang Budil...
Tbc
Nb. Maaf jika kalian tidak suka. Saya hanya ingin belajar bagaimana membentuk sebuah cerita yang baik. Mohon bimbingannya ya... Salam... Fajar.
Oh iya, akan ada dua vol. Sudut pandangnya Caka-diatas belum diperkenalkan namanya- dan sudut pandang Budil...
Makasih jika akang-akang yang ganteng dan teteh-teteh yang gelis mau membaca
Comments
ini cerbung kan?? jangan lups mention
lanjuuuttt^^/
@TigerGirlz ada kak. Kalau gak 2 kali sehari, maka dua minggu sekali. Haha
Terlihat sang mentari terbit di ufuk Timur. Cahayanya membias ketika menembus jendela kamarku yang kecil. Aku menyambar tas selempang lalu berjalan langsam menuju ruang tamu dimana ibu dan ayah sedang menungguku untuk sarapan pagi. Kuberi senyum tipis sebelum akhirnya aku mengaduk nasi dengan porsi cukup banyak karena takutnya uangku akan diambil oleh Kang Budil. Tak lupa juga aku membawa bekal makan untuk menghemat. Setelah selesai makan aku menyalami ibu dan ayah, lalu pergi menuju sekolah dengan naik angkot.
Hari ini adalah hari rabu. Itu berarti, hari ini adalah kesempatanku untuk melihat Kang Budil lebih lama dari biasanya. Di sekolah dia mengikuti eskul hand ball. Sedangkan aku hanya mengikuti PMR karena tidak ada pilihan lain. Eskul PMR dan hand ball dilaksanakan pada hari yang sama, jam yang sama, dan tempat yang sama. Itu mengapa hari ini adalah hari yang paling kutunggu. Walaupun tidak satu tempat, tapi di sekolahku setiap eskul diberi lapak masing-masing.
Dari kejauhan aku melihat angkot berhenti di pertigaan. Dengan cepat aku berjalan kesana dan menaiki angkot itu dengan nafas menderu. Tidak biasanya jam segini angkot menuju sekolahku sudah datang. Haha, keberuntungan yang pertama. Semoga saja keberuntunganku yang kedua, aku bisa memegang kaki kang Budil seperti minggu kemarin. Tapi rasanya picik jika aku berpikir demikian. Secara tidak langsung aku mendoakan kang Budil untuk terjatuh dikegiatan eskul hand ball-nya. Maka pikiran itu ku hempaskan menuju galaksi andromeda.
Setelah sampai di gerbang sekolah, aku melihat kumpulan siswa yang berkeriapan menuju mading sekolah. Karena penasaran, aku pun berjalan menuju kumpulan siswa itu untuk melihat apa yang mereka ributkan. Setelah kulihat, ternyata OSIS sedang mengadakan lomba musikalisasi puisi yang akan dilaksanakan pada hari sabtu. Itu berarti, perlu waktu 2 hari bagi siswa yang mengikuti lomba berlatih. "Hey, apakah kamu mau mengikuti lomba itu?" aku menengadahkan kepalaku ke samping. Mataku membelalak karena ternyata, ada siswa yang berkacamata tebal selain aku. Aku menggelengkan kepala dengan senyum sumringan membalas pertanyaannya.
"Aku bisa bermain biola. Aku ingin sekali mengikuti lomba itu. Aku ingin membuktikan bahwa aku ada dan aku bisa melakukan hal yang biasa mereka lakukan. Maukah kamu bergabung denganku?" aku sedikit tertampar mendengar kalimatnya barusan. Orang ini tidak sepertiku yang berusaha menutup diri akan hal telah terjadi padaku. Tapi orang ini berusaha bangkit, mencoba membuktikan bahwa setiap orang itu sama.
"A-aku... me-memang bisa bermain gitar fingerstyle. Tapi, kayaknya aku gak bisa... Maaf, Sis...," balasku setelah aku melihat nama di name tag-nya. Siska Tri Ananda.
Detik itu pun, wajah siska berubah menjadi murung. Aku tau, aku telah mematahkan semangatnya. "Baiklah... mungkin aku harus bekerja sendiri," sahutnya seraya melempar senyum. "Aku pergi dulu ya," imbuhnya lalu berjalan menuju koridor cinta-tempat untuk wi-fi-dengan langkah cepat. Nuraniku menyuruh untuk pergi menyusul Siska dan berkata YA, tapi kaki ini rasanya enggan untuk melangkah. Arrrghh! Memang aku adalah seorang pecundang.
Akhirnya aku berjalan menuju kelasku dengan perasaan bersalah, lalu pergi ke tempat dudukku dipaling ujung, sendiri tanpa teman yang menemati. Haha, lucu sekali jika aku mengingat insiden ketika teman sebangku menjauhiku. Hanya karena aku tidak menatap muka ketika bicara, menjawab singkat jika sedang mengobrol, hingga terpaksa temanku itu-namanya dafan-memegang kepalaku dan memaksa untuk melihatnya. Namun ketika mataku dan matanya beradu aku malahan bersin, membuat aku adalah orang yang paling dibenci oleh Dafan. Namun sudah kukatakan bahwa aku tidak peduli.
Jika ditanya apakah tidak ada yang mendekatiku, mungkin juga akan kujawab tidak. Aku bukan termasuk orang munafik yang selalu memutar balikan fakta. Di kelas ada Reni yang suka mengajakku untuk mengerjakan PR bersama, Arya yang dengan semangat 45 mengajakku untuk mengikuti eskul tarinya, Fares yang suka curhat tentang pacar egoisnya, dan semua itu hanya terjadi di sekolah saja. Mereka jarang menemuiku jika pulang sudah tiba.
"Kamu udah mengerjakan PR, Cak?" tanya Willy, anak nakal yang ikut gangnya kang Budil. Yah, namaku adalah Sancaka yang biasa dipanggil Caka. Walaupun mereka sering memanggilku ular sanca karena mungkin mataku mirip sekali dengan ular itu.
Aku mengangguk lalu menyerahkan buku PR fisikaku dengan pandangan menunduk. Aku juga sebenarnya tidak ingin seperti ini : menunduk jika orang lain berbicara, atau berjalan bungkuk. Tapi susah sekali untuk menghilangkan kebiasaan itu. "Oke... makasih." Wow! Kesambet apa Willy bilang makasih me arahku?
"Eh, Cak. Nanti akan ada lomba tari di daerah Cikole, ayolah kamu ikut ya? Kamu kan temen aku?" sudah pasti itu adalah suara Arya. Aku menggeleng absolut. Kali ini aku menatap matanya untuk memberi penegasan.
"Yah... oke deh, lain kali kamu pasti mau." Ah dasar Arya menyebalkan. Aku kan benci sekali dengan seni tari. Yang aku suka hanyalah seni bikin puisi tentang kang Budil. Eh?
"Baiklah anak-anak silahlan kumpulkan PR kalian!" seru Bu Onah, membuat semua siswa sibuk mengeluarkan buku PR.
Kali ini bu Onah menjelaskan tentang partikel zat yang ada dimuka bumi. Andai saja ada partikel zat untuk menghilang bayang-bayang kang Budil, pasti akan kucari partikel itu. Ahh! Apakah seperti ini ya kehidupan seorang pendiam? Aku tau bahwa orang sepertilu pasti ada di dunia ini. Sudah hukum alam bahwa segala hal pasti ada kebalikannya. Ada siang maka ada malam, ada langit maka ada bumi, ada air maka ada api, dan ada orang yang ceria maka ada orang yang pendiam! Pasti jika menilik dari sudut pandang orang yang periang, apa serunya menjadi orang pendiam? Pasti hodupnya hanya gitu-gitu aja. Gak ada yang menarik! Tapi jika menilik dari sudut pandang orang pendiam, tentu kami mempunyai alasan.
"Seperti kutub utara dan kutub selatan yang esensinya tak akan pernah terpisah. Pasti akan bersatu. Sedangkan kutub utara dan kutub utara, itu tidak akan bersatu..." Loh? Kok jadi membicarakan kutub utara sih? Arrgh... mungkin karena angan-anganku melayang dari tadi. Tapi sepertinya apa yang dikatakan bu Onah benar. Penjabarannya sama dengan laki-lali dengan laki-laki. Gak akan pernah bersatu mau sekuat apapun aku berusaha. Kang Budil pasti akan tetap memilih insan yang bisa membuat keturunan baginya.
Pelajaran pun akhirnya kulewati dengan menulis diary yang panjangnya hampir 1 kaca. Sampai jam istirahat telah berdenting... aku pun keluar. Melangkah menuju perpustakaan sekedar untuk mencari buku yang enak dibaca.
Setelah sampai aku memilah-milah buku mulai dari sejarah, novel, sampai kumpulan puisi. Dari sudut kacamataku, aku melihat buku berjudul Nirmana dan ternyata buku itu memuat kumpulan puisi yang telah dibuat oleh alumni sekolah ini. Nama orang itu adalah Fahri yang tinggal di daerah Cikole. Aku mundur beberapa langkah untuk mencari kursi, setelah kutemukan aku membuka lembar pertama puisi itu.
"Dalam jiwa yang kosong, hanya diisi oleh hitam dan putih, oleh hitam, dan... gak akan pernah diisi oleh putih." Itulah rangkaian kata di lembar pertama. Sontak aku menaikan alisku karena tidak paham.
Lalu kubuka lembaran berikutnya. Aku menemukan sebuah puisi berjudul Oasis.
Oasis
Berkeriapan angan-angan itu muncul..
Tanpa celah untukku bisa membuka
Aku... hanya bisa melihat ke bawah
Nampak jelas bayangnya di sudut mataku
Aku seperti menemukan kesegaran oasis di padang pasir
Hingga bayang itu kian mendekat...
Mehempaskan tubuhku, hatiku, jiwaku, lalu pikiranku pun...
Berkeriapan angan-angan itu muncul..
Tanpa celah untukku bisa membuka
Aku... hanya bisa melihat ke bawah
Nampak jelas bayangnya di sudut mataku
Aku seperti menemukan kesegaran oasis di padang pasir
Hingga bayang itu kian mendekat...
Mehempaskan tubuhku, hatiku, jiwaku, lalu pikiranku pun... mati.
***
Aku hanya bisa membaca puisi ini dengan tangan gemetar. Entah kenapa aku bisa merasakan suasana penulis ketika membuat puisi ini. Meskipun aku tidak bisa mengetahui artinya, tapi aku tau... aku tau bahwa puisi ini adalah keadaan dimana kita sudah lelah dan tak ada satu pun jalan keluar.
***
Akhirnya bel pulang sudah berdenting. Aku berjalan menuju ruang PMR setelah semua orang sibuk keluar kelas. Orang pertama yang kulihat adalah Riko. Dia adalah ketua PMR yang sukses membuat sekolah ini makin naik akreditasnya. Perawakannya tinggi, berbadan tegap, dan cukup tampan. Harusnya jika kaum gay hanya memandang sex dalam hidupnya, pasti aku sudah dari awal tertarik kepada Riko. Namun nyatanya aku bukanlah oramg seperti itu. Aku lebih mencintai orang yang sering nge-bully anak-anak tak punya salah di sekolah. Lagian Riko sudah mempunyai pacar yang sangat cantik di MS 4.
"Halo, kak," ucapku agak kikuk. Terpaksa aku harus menyapa kak Riko karena peraturannya memang begitu.
"Eh, Caka. Udah pulang ya?" balasnya dengan kalimat minor. "Oh iya, tolong ambilin air dong ke akua botol ini," lanjutnya. Aku mengangguk lalu berjalan menuju WC SOS 5 karena jarak dari ruang PMR cukup dekat.
Ketika aku masuk ke dalam WC, aku mendengar seseorang telah berteriak di WC sebelah. Kudengarkan percakapannya sambil mengisi air kedalam botol yang tinggal separuh. Walaupun sedikit samar, untungnya aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Jangan sok jago deh lo! Berani-benarinya nantangin kita? Haha, lagian siapa yang mau gabung sama lo? Gak ada!"
"Iya bener. Lo tau? Group musikalisasi kita lebih sempurna karena adanya Niko. Harusnya lo sadar bahwa anak cupu kayak lo jangan sok pengen ikutan lomba deh!"
"Kalian tau? Saya memang memiliki keterbatasan. Tapi tak ada larangannya bukan untuk seseorang mengapresiasikan apa yang ada dalam dirinya? Tak ada yang sempurna jika kita masih hidup di dunia ini!' Siska. Yah, aku kenal suara ini. Pasti Siska! Di-dia sedang menangis!? "Ahhhhh...," jeritnya kemudian.
"Sudah saya katakan jangan sok kamu!"
Bruss!!
Aku mendengar suara air disertai jeritan Siska. Lama kejadian itu berlangsung hingga suara pintu pun perlahan terdengar. "Ingat ya, Cupu. Turutin aja apa yang kami katakan. Kami bisa saja mengeluarkan kamu dari sekolah ini. Kami akan buktikan bahwa kamu itu memang seorang pecundang! Kami tunggu hari sabtu dipertandingan!" dengan segera aku berlari menuju WC sebelah. Disana aku melihat Siska sedang mencari kacamatanya. Hatiku rasanya perih. Ini sangatlah tidak adil! Benar apa kata Siska, seharusnya aku dan dia bisa membuktikan bahwa setiap manusia itu mempunyai hak. Tapi, apakah aku bisa membantah apa yang Kang Budil katakan? Apakah aku bisa!?
"Sis...," lirihku seraya mencari kacamatanya. Setelah kutemukan kupasangkan ke wajah Siska lalu kubantu dia untuk berdiri.
"Makasih ya, Cak..."
"Iya sama-sama. Oh iya, kapan mau latihan musikalisasi puisinya? Besok aja gimana? Sekarang tugas kita masing-masing adalah mencari puisinya." Aku bisa merasakan perubahan mimik wajah Siska yang tadinya putus asa, menjadi penuh harapan walaupun masih ada kesedihan yang terselip di matanya. "Aku pergi dulu ya. Takutnya Kak Riko marah..."
"Baiklah..."
Aku mengangguk lalu berjalan pergi. "Cak!" seru Siska. "Makasih ya." Lagi, aku mengangguk lalu memberikan senyum terbaikku. Setelah sampai di ruang PMR, ternyata tidak ada orang disana. Mungkin sudah pergi melakukan pelatihan di lapangan. Ya Tuhan... sebentar lagi aku akan melihat kang Budil. Semoga saja pelatihan PMR dan hand ball berlangsung lama.
Nb. MS adalah singkatan MatematikaSains atau sering disebut anak ipa. Sedangkan SOS adalah Sosialbudaya atau sering disebut anak IPS. Semoga suka )
Maaf kalau banyak typo. Nulis langsung publis soalnya. Kritik dan sarannya perlu banget loh.