Aku melihat purnama bersolek malu-malu malam ini. Seperti perawan yang malu malu dibalik cadar suteranya, kulihat awan tipis menyelimuti kemolekannya yang rupawan. Entah kenapa hatiku tiba-tiba terusik melihatmu. Aku berprasangka jangan-jangan ada sesuatu yang kau sembunyikan wahai purnama? Atau kau hanya malu mengungkapkan isi hatimu?
Oh atau jangan-jangan kau membaca isi hatiku. Menemaniku dalam sendu.
Malam ini adalah malam di minggu ketiga Bulan November. Sudah tiga pekan sejak pertemuan kita lewat sosial media, Jack D. Aku sama sekali tidak pernah menyangkal perasaan ini seperti ketika hatiku kau ketuk untuk pertama kalinya. Mungkin kau tidak menyangka dan percaya, tapi kau telah membuatku jatuh hati pada pandangan pertama.
Mungkin ini gila karena hati ini jatuh bukan karena tutur kata atau kharismamu, tetapi hanya oleh tiga foto yang kau pajang di profilemu. Yup! Dari sanalah semua berawal.
***
Tiga minggu yang lalu, malam hari setelah aku pulang bekerja. Iseng aku membuka beberapa aplikasi sosial media yang terinstal di handphoneku. Aku tertahan cukup lama di salah satu aplikasi karena banyaknya orang yang memakai aplikasi ini. Potongan foto kecil berderet runtut sesuai dengan jarak mereka denganku berdasar GPS. Mataku terpaku pada salah satu gambar kecil di antara foto-foto lainnya yang berjibun. Aku tekan fotomu dan terbukalan profile lengkapmu dari sana.
Berkali-kali aku membuka profilemu, memastikan sengatan-sengatan listrik yang kau kirim ke hatiku. Akhirnya aku lemas dan menyerah. Kulihat profilemu secara seksama, umur, tingi, berat badan, jarak, interest dan hal-hal singkat yang kau tulis. Mataku terpaku di pojok kanan atas halaman profilemu, secara lugu kau tulis namamu disana, “Adien B.”
Pada awalnya aku cukup sangsi apakah kau menuliskan nama aslimu disana. Kubuka google dan kutuliskan namamu di mesin pencari. Deretan laman keluar dengan namamu yang dicetak tebal warna biru. Kubuka satu demi satu dan kau semakin dalam menjerumuskanku. Benar, kau sangat lugu dan aku sangat bahagia karenanya. Wajah yang sama seperti yang kulihat sebelumnya.
Adrenalinku meningkat membaca tiap kata yang kau tulis di facebook atau twittermu. Petunjuk demi petunjuk akan kuliahmu dan rumahmu. Tidak terasa aku semakin terjerumus dan tenggelam ke dalam duniamu. Tiba-tiba aku terhenyak dan sadar bahwa aku telah gila.
Kututup laptop segera.
***
Sudah sekitar empat hari ini aku melihat profilemu berkali-kali, sepertinya kau jarang online. Aku pun memaklumi dirimu yang belum membalas pesan yang kukirim sekitar tiga hari yang lalu. Ah, tidak mungkin dia belum membaca pesan yang aku kirim. Lagipula aku mengirim lebih dari satu pesan.
Jangan-jangan dia tidak menyukaiku? Tanyaku dalam hati. Apakah aku harus menerima kenyataan ini dan menguburmu jauh-jauh dari kehidupanku? Sekarang aku berdiri diantara keraguan dan kemauan tentangnya. Untuk pertama kali ini aku goyah karenamu. Rasanya begitu sakit, mirip seorang yang kau gantung harapannya.
Aku mencoba berpikir realistis tentangmu yang sama sekali belum aku kenal. Tetapi sekali lagi kau menaklukanku dengan caramu yang misterius. Mantra yang kau bisikkan melumpuhkan sendi-sendi akal pikir rasionalku dan membubungkan imaji dan harapanku setinggi angkasa hingga aku lupa akan daratan.
Nekat. Sepertinya tidak ada cara lain selain menemuimu. Lalu bagaimana jika kau tidak menyukaiku ketika kita berjumpa nanti?
Ah itu urusan nanti pikirku. Jika nantinya aku akan mati karena tahu bahwa kau tak menyukaiku, sebenarnya sekarang hatiku perlahan tersiksa dan akan mati karena menyimpan rasa tentangmu. Jadi semua sama saja, menunggu untuk mati perlahan atau datang dengan pilihan mati seketika.
Otakku memanas, hatiku membuncah penuh goncangan. Aku hidup diantara dua pilihan.
***
Kamis pagi, satu minggu setelah aku mengenalmu. Kabut tipis menyelimuti kampusmu yang terletak di kaki gunung. Badanku menggigil kedinginan walau aku sudah mengenakan jaket tebal ferrariku warna merah mencolok. Mungkin ini gara-gara semalam kau mengusikku dalam mimpi hingga aku terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur lagi.
Kulihat kendaraan yang lalu-lalang satu demi satu. Sekali lagi aku mencoba peruntunganku dengan tindakan spontanku datang ke kampusmu. Hitung-hitung ini adalah usahaku untuk membunuh rasa gelisah yang menyerangku.
Matahari perlahan naik dengan kehangatannya, menyapu bersih kabut yang menyelimuti seluk kampus. Aku kembali gelisah dan bertanya-tanya kenapa aku melakukan semua hal bodoh ini. Jam tanganku menunjuk pukul 10 pagi dan aku menyerah.
Sebelum pergi meninggalkan kampusmu aku mampir di kantin tak jauh dari tempat aku menunggumu tadi. Segelas kopi terhidang di mejaku dengan uapnya yang mengepul tipis. Sudah dua batang rokok aku sulut supaya diriku menjadi lebih tenang. Kuambil handphoneku dari saku dan sekali lagi kubuka profilemu di sosial media itu. Ah, wajah itu, penuh arti dan tanda tanya.
“Mak, soto ayam sama the panas satu yak!” Seorang disampingku memesan makanan.
Kulihat orang yang duduk di meja sampingku. Aku terkaget dan tidak percaya bahwa kau datang seolah memenuhi panggilanku. Deru nafasku semakin cepat, dadaku sesak seolah tak mampu menahan hatiku yang bergejolak. Kupegang gelas kopiku dengan kedua tanganku untuk meredam tanganku yang gentar karenamu.
Dia sudah berada tepat disampingku sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Kejadian ini benar-benar riil dan nyata. Aku pun berharap waktu berhenti saat ini dan membiarkan aku menikmati momen ini.
Belum usai aku memantapkan keberanianku untuk menyapamu. Kau sudah beranjak dari tempat duduk dan segera menghilang bersama gerombolan kawan-kawanmu yang kebanyakan adalah perempuan berjilbab norak. Ingin sekali aku memanggilmu dan menghentikan langkahmu, tetapi bibirmu seolah lemas tak berdaya. Berkata pun tak kuat.
Kesempatan emas ini pun akhirnya menjadi sia-sia. Aku menyesal sangat.
***
Sekali lagi kulihat langit malam ini dan purnama masih bertengger gagah di khayangan. Setelah gagal menyapamu secara langsung, aku memutuskan untuk menulis surat untukmu. Bukan surat cinta, hanya surat perkenalan saja.
Kertas kertas berserakan di lantai, itu adalah buah dirimu yang susah untuk aku pahami. Aku sendiri kebingungan bagaimana aku memulai pembicaraan denganmu. Kehebatanku dalam menulis ternyata tidak mumpuni menghadapimu. Setelah berjam-jam menghabiskan waktu menulis surat akhirnya selesai juga. Kumasukkan surat itu ke dalam amplop warna putih. Namamu aku tuliskan di sebelah kanan bawah amplop, semoga benar-benar sampai dan kau baca.
Aku sempat berpikir untuk mengirimkannya via kantor pos, tetapi aku mengurungkan rencana itu. Lebih baik aku datang ke rumahnya dan mengirimkan surat itu secara sembunyi-sembunyi. Dengan demikian rahasia yang dia dan aku jaga bisa lebih kami jaga.
Baiklah, besok sore setelah pulang kerja aku akan mampir ke rumahnya sebentar. Demi surat ini, demi aku dan kamu.
***
Jalan bulevard yang panjang dengan tanaman palem yang ditanam disepanjang jalan mengantarku memasuki salah satu perumahan elite di Yogyakarta. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku jadi aku cukup mengenal daerah tempat tinggalnya.
Aku pun tidak perlu repot-repot bertanya dimana rumahmu karena kenarsisanmu yang suka check-in via Facebook ketika kau berada di rumah. Pelan-pelan aku menelusuri gang demi gang perumahan mencari nomor rumah yang kau tinggali.
Akhirnya aku sampai di depan rumahmu. Nomornya sudah kupastikan benar, rumah dua lantai dengan halaman depan yang cukup luas. Di depannya terparkir sebuah mobil avanza warna silver, sepertinya kau sedang berada di rumah. Kuparkirkan sepeda motorku di pinggir jalan.
Kuambil surat spesial dari dalam tasku. Keraguan kembali muncul tetapi aku segera menampiknya. Kuberanikan langkahku, kugenggam surat itu kuat-kuat. Kutengok kanan-kiri nampaknya tidak ada orang disekitar. Aku melangkahkan kakiku lebih cepat.
Aku sempat kebingungan dimana aku bisa menaruh surat spesial dan rahasia ini. Mobil menjadi sasaranku, kuselipkan surat itu di wiper mobilmu. Semoga kau adalah orang pertama yang melihat dan menerima surat itu, aku berdoa dalam hati.
Setelah menaruh surat itu aku segera pergi menuju motorku. Belum sampai aku di pinggir jalan, aku melihatmu keluar dari dalam rumah dengan tampilanmu yang serba putih dan sangat rapi. Aku benar-benar terpesona melihatmu.
Matamu ternyata cukup jeli melihat suratku yang terselip di wiper mobilmu. Kau segera mengambil surat itu dan membaca amplopnya. Dengan jelas kau tahu bahwa kau tahu bahwa surat itu ditujukan untukmu. Kau buka amplop itu dan membaca isinya, isi hatiku.
Kau menengok kanan-kiri, mencoba mencari pengirim surat itu. Tatapanmu menghujam ke arahku dan sejenak kita saling berpandangan. Aku segera sadar dan berlalu pergi. Dari kejauhan kulihat kau masih memandangiku. Mungkin kau tahu bahwa akulah yang mengirim surat itu. Kubaca raut mukamu yang keheranan dan penuh tanda tanya setelah membaca surat yang kukirim. Aku tidak peduli.
Hati ini berdegup kencang sekali. Apa yang telah aku lakukan. Timbul penyesalan yang mendalam atas apa yang aku lakukan. Aku benar-benar gila.
***
Sejak kejadian di perumahan tempatmu tinggal, aku segera menutup semua akun-akunku di sosial media. Sepertinya itulah salah satu jalan bagiku untuk tetap waras dan normal. Tetapi kau tidak perlu khawatir, rasaku akan dirimu tidak pernah berubah.
Sebagai ganti pelepasan rindu kepadamu, aku akan pergi ke kampusmu untuk sekedar melihatmu berbincang dengan kawan-kawanmu. Atau pergi jalan-jalan melewati rumahmu di sore hari dan melihatmu bermain basket dengan adikmu.
Aku kira itu semua cukup bagiku dan untukmu. Cerita kasih berjarak 10 meter.
Comments
ceritanya berasa kaya diary gituu^^
saran aja mas @rasdidin. klo bisa cerpennya dibikin satu trit biar ceritanya ga ilang.
salam kenal mas @rasdidin.. ditunggu karya lainnya.
klo ada apdet mensen ya mas.
oh iya salam kenal..