errr ini cuma iseng, gak ada kerjaan n gak ada yg asik yg bisa dilakukan.. alhasil jadilah....
btw, ini tadinya fanfic, edit sana edit sini dan jadi gini
eh tapi ini fanfic asli bikinan gue, so kalo ada anak ffn di sini dan kalo ada yg merasa pernah baca ini(kalo ada! serius, ini kalo ada! gak ada juga gak papa! T-T) jangan ngecap gue plagiat, jiplak, nyontek or kawan2nya oke!
harapan gue sih cuma, moga gak ada nama yang lupa gue edit! Amin (>/|\<)
DON`T LIKE DON`T READ
IF YOU LIKE LET`S READ
###
oOo
What Do I do If You Will be Being The Same? oOo
Sesosok pemuda bersurai hitam kecoklatan terduduk di bawah naungan sebuah pohon besar berdaun rindang. Tampak sang pemuda tengah menyembunyikan kedua belah matanya di balik sepasang kelopak kecoklatan.
Sekilas, ia terlihat seperti tengah terbuai mimpi indah dikarenakan wajah damai dan senyum samar yang ia tunjukkan. Semilir angin bertiup pelan di sekitar sang pemuda membawa hawa sejuk yang seakan mampu menenangkan segala keresahan yang terpendam.
Sosok pemuda masih setia dalam kesunyian, sepasang safir indah di matanya masih enggan ia tampakkan. Langit perlahan berubah warna menjadi kemerahan pertanda senja mulai menjelang. Sebutir kristal bening berhasil lolos dari sepasang kelopaknya yang masih ia katupkan. Sebutir air mata yang menandakan hancurnya pertahanan sang pemuda.
Perlahan sepasang kelopaknya yang mulai basah bergerak terbuka menampilkan indahnya langit biru cerah yang ternoda warna kemerahan. Setetes kristal bening kembali jatuh dan mengalir lembut membasahi pipinya, menimbulkan jejak basah nan samar.
Diusapnya sepasang kelopak matanya yang basah sekedar berusaha menghentikan laju pelan tetesan bening dari matanya yang kian memerah. Diubahnya seulas senyum samar yang sejak tadi menghiasi wajahnya menjadi senyum yang lebih kentara. Senyum cerah, itulah yang ingin diperlihatkannya, namun sayang usahanya ‘tak terlaksana karena yang tercetak di wajahnya ialah senyum miris yang menyayatkan hati siapapun yang melihatnya.
Hembusan angin kembali menerpanya, membawa ingatannya pada beberapa waktu sebelum dirinya berakhir terduduk di bawah naungan pohon rindang di taman kota.
-
Flashback-
Matahari tengah menjalankan tugasnya menerangi langit. Di sebuah taman kota tampak ramai oleh pengunjung berbagai usia, mulai dari anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Mereka tengah asik menikmati pemandanan taman yang dipenuhi pohon-pohon berdaun lebat dan bunga-bunga indah yang tengah bermekaran, atau sekedar bersantai di bawah pohon rindang yang menjanjikan perlindungan dari terpaan sinar sang raja siang.
Di antara anak-anak yang tengah berlarian riang, tampak seorang pemuda yang sedang dilanda kegelisahan. Raut wajah tegang dan gugup nampak mendominasi di wajahnya yang berwarna
tan. Sangat kontras dengan wajah-wajah riang beberapa anak yang tengah bercanda ria di sekeliling sosok pemuda yang terdiam.
Sesekali diliriknya jam tangan hitam miliknya, jam 01.45 pm. ‘Ck, kenapa lama sekali jam dua!’ batin sang pemuda gusar. Manik safirnya yang indah ‘tak henti-hentinya mengedarkan pandangan ke sekeliling taman berharap menemukan sosok lain yang sudah membuat janji bertemu dengannya di taman ini sabtu kemarin.
Merasa lelah dengan kegelisahannya sendiri, sang pemuda mulai beranjak dari tempatnya tadi berdiri diam, menuju sebuah bangku panjang berwarna putih di samping kolam air mancur di tengah taman-setelah mengingat bahwa orang yang membuat janji dengannya adalah orang yang selalu datang tepat waktu dan tidak mungkin dengan senang hati mau repot datang lebih cepat dari waktu yang sudah ditetapkan-.
Ditariknya nafas pelan sesaat setelah ia berhasil mendudukan dirinya di bangku taman, bertujuan untuk sedikit mengurangi kegugupan yang sedang melandanya. Lumayan berhasil meski ia belum sepenuhnya tenang, karena masih dapat dirasakan olehnya bunyi jantungnya belum berdetak dengan kecepatan yang bisa dibilang normal.
Kembali diliriknya jam tangan hitam di pergelangan tangannya yang berwarna
tan, coklat madu, caramel-dan atau apapun yang sering dikatakan orang-orang padanya- waktu menunjukan pukul 01.50 pm. Menyadari sebentar lagi orang yang ditunggunya akan datang, detak jantung si pemuda semakin bertambah kencang dan sedikit menyakitkan. Dentuman keras dan cepat di dadanya membawa kegelisahan dan rasa gugup yang berkali lipat lebih hebat dan menyesakkan.
Disatukannya kedua telapak tangannya dan diremasnya kencang. Helaan nafas kembali terdengar dari sang pemuda. Hari ini ia akan melakukan hal yang paling ditakutinya dalam 18 tahun hidupnya yaitu, menyatakan cinta.
Menyatakan cinta atau menyatakan perasaan adalah hal yang sudah biasa dilakukan remaja seumurannya di jaman sekarang. Meski ini adalah pengalaman pertamanya, seharusnya ia tidak perlu setakut ini. Ya, seharusnya! Namun sang objek pernyataan cinta mengharuskannya untuk merasakan takut yang berlebihan.
Pasalnya, orang yang akan diberikannya pernyataan cinta adalah sahabatnya sedari kecil. Orang yang sudah sangat dekat dengannya melebihi kedekatannya pada sang kakak yang kini sedang menuntut ilmu di negri orang. Orang yang sudah seperti saudara baginya, orang yang tidak pernah jauh darinya, orang yang tumbuh besar bersamanya, orang yang paling mengerti dirinya, satu-satunya orang yang tidak bisa dibohonginya. Orang itu, Eril Surya Agata, sahabatnya, cintanya.
Lalu, apa salahnya? Apa salah si pemuda jatuh cinta pada seorang Eril Surya Agata? Tidak ada yang salah sebenarnya, andai kata Eril Surya Agata adalah seorang perempuan. Atau dirinyalah yang perempuan. Tapi, kembali pada kenyataan. Eril Surya Agata adalah laki-laki dan diapun adalah seorang kaum adam.
Nata-sang pemuda- merasa bodoh akan dirinya, dari sekian banyak orang mengapa harus Eril yang mendapatkan cintanya? Mengapa harus sahabatnya? Mengapa harus dia? Mengapa rasa kasih yang dimilikinya untuk Eril harus berubah jadi cinta?
Pertanyaan semacam itulah yang menjadi beban pikirannya selama beberapa bulan ini semenjak Nata menyadari rasa lain yang dimilikinya pada Eril. Awalnya Nata memutuskan untuk mengabaikan rasa aneh di hatinya, menganggapnya ‘tak pernah ada, bersikap biasa dan berpura-pura. Berharap rasa itu akan hilang dengan sendirinya.
Tapi tidak! Rasa itu tidak hilang, tidak sedikitpun berkurang, malah bertambah seiring waktu berjalan. Lelah dengan usahanya mengelak dari perasaan, Nata memutuskan untuk bersikap jujur pada hatinya, menerima bahwa ada cinta yang tersimpan untuk sahabatnya yang tersayang.
Itulah mengapa kemarin Nata meminta-meski lebih tepat dibilang memaksa- Eril untuk bertemu di taman kota yang lumayan jauh dari rumahnya. Dengan alasan, saat dia mendapat penolakan nanti, tidak akan ada orang dikenalnya yang akan mendapati air mata di wajahnya. Penolakan? Yah, sejak awal Nata tahu dan yakin bahwa penolakanlah yang akan didapatinya atas keputusannya mengungkapkan kebenaran.
“Nata,”
Panggilan dari suara yang familiar membangunkan Nata dari lamunan singkatnya. Diangkatnya kepala dengan hiasan surai hitam kecoklatan miliknya yang sedari tadi ia tundukan. Sepasang
onyx sekelam malam tanpa bintang-yang selalu sukses menenggelamkan dan memenjarakannya dalam dimensi hayal menyenangkan- yang didapatinya. Sepasang
onyx indah milik Eril Surya Agata, pemuda yang sedetik tadi masih menjadi objek dominan di otaknya.
Safirnya sedikit membelalak sebagai gambaran keterkejutannya. Diliriknya jam tangan hitamnya kembali, jam 02.00 tepat. ‘Hufft, tepat waktu seperti biasanya.’ batin Nata singkat, sebutir keringat imajiner bertengger di kepalanya,
sweatdrop akan ketepatan waktu sang calon mantan sahabat. Calon mantan sahabat? Ya, sebentar lagi Eril akan menjadi mantan sahabat untuknya, karna itu saat ini Eril merupakan calon mantan sahabatnya.
Nata sangat tahu, jika pernyataan cintanya diterima maka Eril akan menjadi kekasihnya, dan Nata lebih tahu, jika dia ditolak maka dapat dipastikan Eril bukan lagi sahabatnya. Lebih tepatnya, Eril tidak akan lagi mau menjadi sahabatnya. Garis bawahi kata ‘mau’. Hey, kalau Eril menolaknya itu artinya dia
straight kan! Dan seorang pemuda straight, normalnya tidak mungkin mau bersahabat dengan seorang gay yang memberinya pernyataan cinta.
Kemungkinan yang amat mengerikan memang, jika mengingat persahabatan mereka akan hancur karena dirinya. Tapi, itulah resiko yang mau tidak mau harus diambilnya untuk dapat mengambil satu langkah maju ke depan.
“Ha-hai Eril,” kata sapa dengan nada gugup yang kentara berhasil dilontarkannya. Sebulir keringat mengalir mulus dari dahinya. ‘Ini lebih sulit dari yang kuduga!’ batinnya.
“…” Eril menatap lurus sepasang safir milik Nata sebagai balasan sapaan dengan nada aneh Nata padanya.
“A-ada apa?” tanya Nata.
“Kamu yang memaksaku datang, kenapa kamu yang bertanya?”
“Hah! Oh iya. He he he,” balas Nata, gugup.
“Jadi, ada apa?” tanya Eril datar sambil memandang lurus sepasang safir yang sedang memancarkan sinar ‘tak biasa.
“Ah, itu, err aku mau bicara sesuatu padamu,”
“Aku tahu. Karenanya aku di sini. Apa yang mau kamu katakan?”
“Aaa- aku… engh…”
“Cepat Nata! Kamu ngga sedang ingin menyatakan cinta ‘kan, jadi biasa aja!”
Hening… Nata kehilangan suaranya…
“…”
“…”
“Nata! Cepat katakan atau ak-“
“AKU SUKA KAMU!”
“Apa?” tanya Eril dengan sedikit kerutan di dahinya.
“Aku suka kamu! Aku suka kamu! Kubilang aku suka kamu!” teriak Nata keras sembari mengatupkan kedua matanya erat. Seakan takut memandang ke dalam ke-dua bola mata pemuda yang dicintainya.
Beberapa menit kembali berlalu dalam keheningan. Menyadari Eril belum juga merespon perkataannya, Nata-yang masih sedikit tersengal karena efek berteriak- memutuskan untuk membuka kelopak matanya dan mengalihkan fokus sepasang safirnya pada sepasang permata malam di hadapannya. Mencoba mencari tahu sendiri jawaban yang diinginkannya melalui pancaran kedua manik hitam Eril. Namun, tatapan datar yang ‘tak terbacalah yang didapatinya.
Keheningan kembali melingkupi keduanya. Cukup lama keheningan itu bertahan, sampai-
“E-Eril, aku ngga punya maksud apapun dengan semua ini. Aku hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku memiliki suatu perasaan lain padamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku me-“
“Lupakan perasaanmu,”
“Hah?”
“Lupakan semuanya... Dan aku juga akan melupakan bahwa hari ini pernah ada.”
Setelahnya, Eril berbalik dan berlalu meninggalkan Nata dalam keterkejutan. Tanpa sekalipun menoleh ke belakang, pemuda tampan bersurai hitam kelam itu pergi seolah tanpa beban.
-
End of Flashback-
Satu tetes air mata disusul dengan beberapa tetes setelahnya, kembali mengalir turun menuruni ke-dua sisi pipi Nata. Mempertegas jejak samar yang hampir kering tersapu angin dan menciptakan jejak aliran baru disamping jejak aliran samar yang sudah dulu ada. Jejak-jejak samar aliran air mata itu perlahan menganak sungai di pipinya. Menciptaan basah yang kentara.
Tubuh Nata yang tadi diam perlahan berguncang. Guncangan pelan yang kemudian bertambah kencang. Suara memilukan ‘tak lagi bisa ditahan. Nata menyerah. Dia menyerah berusaha menahan kesedihannya yang begitu dalam.
Isakan-isakan pelan keluar dari sepasang bibir Nata yang tadinya terkatup erat. Seiring guncangan tubuhnya yang semakin hebat, suara isakkan Nata-pun bertambah kuat.
Tampak Nata mengatupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya. Berusaha menutupi wajahnya yang menyedihkan dari mata dunia. Nata memang memutuskan menyerah menahan tangis untuk beberapa saat saja. Tapi, bukan berarti dia membiarkan dunia melihat kesedihannya dengan percuma.
“Hiks… Eril, maaf... Maafin aku… Maaf atas perasaanku. Maaf aku suka kamu. Maaf kawan, aku ngga mampu… aku ngga sanggup menjaga perasaanku tetap bersih. Aku… aku mengotorinya dengan perasaan bodoh ini. Aku minta maaf...maafin aku... Eril, maaf aku cinta kamu.”
Kembali angin berhembus kencang. Mengantarkan hawa hangat musim panan, seolah ingin sedikit menghangatkan dunia Nata yang kini dingin.
=====T.S.U=====
Pagi kembali mengunjungi sebelah bagian bumi. Matahari dengan semangat memancarkan sinarnya dengan tujuan mengusir gelap yang belum sepenuhnya menghilang. Burung-burung bersiap meninggalkan sarangnya sejenak untuk mencari makan, kicaunya yang riang turut menambah keindahan pagi yang baru menjelang.
Sesosok pemuda tengah bergelung di balik selimut kesayangannya yang bergambar rubah berekor sembilan-karakter monster favoritnya dalam komik yang sampai saat ini masih dia ikuti perkembangannya-. Kicauan burung yang terdengar dari balik jendelanya tidak mampu mengusik sang pemuda dari tidurnya yang lelap. Tampak sebuah bantal dalam pelukannya yang hangat. Sebuah bantal yang bergambar-lagi-lagi- rubah berekor sembilan.
Nata, si pemuda bermata biru safir yang kemarin menerima penolakan cinta dari sahabatnya nampak terbaring nyaman dalam tidurnya yang menampilkan mimpi yang sepertinya menyenangkan terlihat dari segaris senyum yang tercipta di wajahnya sekarang. Mimpi yang membuainya dan membantunya sejenak melupakan kenyataan.
Kriiing… kriiiiing…
Jam weker bergambar rubah berekor sembilan yang bertengger manis di meja samping ranjangnya berdering keras, mengusik Nata-sang maniak monster rubah dengan sembilan ekor yang bernama Kyuubi- dari tidurnya yang singkat.
Perlahan sepasang kelopak matanya yang kecoklatan bergerak membuka, menunjukan pada dunia ke-dua bola biru di matanya. Setelah sedikit mengerjapkan mata, Nata mengedarkan pandangannya ke penjuru kamarnya dan berakhir pada jendela di sisi kanan tubuhnya yang menampilkan suasana pagi nan cerah.
Segaris senyum indah tercipta di bibirnya manakala bayangan indah di mimpinya tadi terekam kembali di otaknya. Eril Surya Agata. Yah, Eril Surya Agata... sesosok tampan inilah yang sejak tadi menjadi objek utama dalam mimpinya.
Nata dengan cepat mengubah arah pandangan matanya-dari jendela berbingkai putih di sampingnya- saat matanya menangkap sekelebet bayangan seseorang di balik jendela lain di seberang kamarnya. Tidak lama, karena setelahnya Nata kembali membelokan pandangan ke tempat semula. Memusatkan pandangannya pada satu sosok yang juga sedang menatap lurus ke dalam matanya.
Di sana berdiri dia. Dia yang merupakan tetangganya, sahabatnya, orang yang begitu dekat di hidupnya layaknya saudara, layaknya keluarga. Dia, yang disayanginya. Dia, yang juga menyayanginya. Dia, yang pernah berjanji akan selalu ada untuknya selamanya. Dia, Eril Surya Agata, yang dengan setulus hati diyakininya akan menepati janjinya, andai pengakuan cintanya kemarin hanyalah mimpi belaka.
Tidak. Nata tidak menyesal atas yang dilakukannya kemarin. ‘Tak terlintas sedikitpun dalam pikirannya sebuah penyesalan atas keputusannya memberikan kejujuran. Yah, ‘tak ada penyesalan, karena Nata yakin dia melakukan tindakan yang benar.
Sahabatnya berhak tahu akan perasaan menyimpang yang dimilikinya. Sahabatnya berhak memutuskan tetap bersamanya atau pergi menjauh. Sahabatnya berhak tahu segalanya. Karena sejak awal persahabatan mereka dibangun dari kepercayaan dan Nata meyakini kejujuran adalah simbol kepercayaan.
Sesaat Nata dan Eril masih dalam posisi yang sama, saling menatap mata lawan pandangnya. Mereka terlibat dalam komunikasi ‘tak biasa. Komunikasi yang terjalin hanya dari tatapan mata keduanya. Mereka berbicara. Berbagi kata tanpa suara.
Mereka tetap bertahan dalam posisi itu, sampai-
“ADRIYANATA MAHENDRA!!! Kamu pikir jam berapa ini hah?! Cepat bangun dan bersihkan dirimu lalu turun ke sini dan habiskan sarapanmu sebelum mama naik ke sana dengan seember penuh air yang akan segera berpindah ke tubuhmu!!!”
Dan Nata segera lari ke kamar mandinya, sebelum ibunya, Carolin-wanita cantik berdarah campuran Indonesia-Inggris- itu mewujudkan perkataannya dan membantu memandikan dirinya dengan ‘lembut’.
Well, katakan selamat tinggal pada pagi yang damai dan ucapkan terima kasih pada Carolin Mahendra sang pelaku perusak kedamaian…
=====T.S.U=====
“Aduh telat! Telat! Gara-gara mama kalo ngomel ngga ada remnya aku jadi telat!”
Nata memacu langkahnya cepat setelah turun dari bis yang barusan ditumpanginya menuju sekolahnya berada. Langkah-langkah lebar diambilnya demi mempersempit jarak dirinya dengan sekolahnya tercinta. Setelah berjalan-setengah berlari- cukup lama, akhirnya gerbang kokoh sekolahnya tertangkap di indra penglihatannya.
Cukup beberapa ayunan kaki lagi yang harus diambilnya untuk mencapai gerbang sekolah, namun sayang di depan matanya berdiri angkuh dua orang laki-laki bertubuh besar dengan seragam putih-hitam bersiap menutup satu-satunya akses dirinya dan seluruh siswa keluar-masuk sekolah.
Nata dan beberapa siswa dan siswi yang senasib, memasang rona pucat di wajah mereka manakala sepasang pria di hadapan para siswa malang itu memasang seringai kemenangan. Dua orang pria-yang diketahui sebagai petugas keamanan sekolah dari seragam yang dikenakannya- berdiri di masing-masing sisi gerbang bersiap menutup gerbang besar itu dan memutuskan harapan Nata dan kawan-kawan senasib sepenanggungan untuk memasuki area sekolah.
Seolah tercipta kontak batin di antara mereka, tanpa perlu dikomandoi siapapun lagi, Nata dan para siswa-yang belakangan diketahui merupakan siswa-siswi langganan telat- melesat cepat bagai cahaya, menyongsong gerbang yang hanya tersisa sedikit celah di tengahnya sebelum menutup sempurna. Terimakasih pada tuhan yang memberikan mereka kekuatan terpendam layaknya ninja, sehingga sebelum gerbang sekolah berhasil ditutup para siswa malang-namun cukup beruntung- itu dengan sukses melewati gerbang hidup dan mati tersebut. Diksi berlebihan? Maaf saja-.-
Sebelum memulai lari kembali demi untuk sampai lebih dulu dari guru manapun yang akan mengisi kelas mereka, Nata dan teman-teman sesama tukang telatnya menyempatkan sejenak menengok kebelakang-ke arah dua petugas keamanan penjaga gerbang- sekedar untuk menampilkan wajah konyol penuh kepuasaan yang bisa diartikan ‘Yei kami masuk! Kalian tidak bisa menghalangi kami! Kalian pikir siapa kalian mencoba mengalahkan kami! HAHAHA!’ yahh kurang lebih seperti itu lah. Hufftt anak muda-..-
Tersadar dari tingkah bodohnya, Nata segera berlalu dan berseru keras. “Yakkkkk jam pertama pak Ando! Mati aku!!!” dan seruan keras Nata menjadi komando bagi yang lainnya untuk kembali berlomba dengan waktu.
“MAAF PAK, SAYA TELAT!” seru Nata dengan khitmat sambil sedikit membungkukan badannya ke arah meja guru bermaksud meminta maaf-setelah dengan sukses menyingkirkan keheningan kelas dengan dorongan membabibuta yang dilakukannya pada pintu malang di kelasnya-.
“HAHAHAHA. Dasar si idiot Nata!”
Gelak tawa dan cemo’ohan memenuhi penjuru kelas sebagai balasan seruan keras Nata. Dengan rona bingung terpampang nyata di wajahnya, Nata menegakkan kembali tubuhnya dan memutar arah pandangan matanya menelusuri penjuru kelas dan tidak mendapati bapak Ando si guru matematika yang
killer nan mematikan di
spot manapun di kelasnya.
Dengan masih memperlihatkan mimik bingung di wajahnya, Nata buka suara, “Pak Ando mana?” tanyanya.
“Hahaha makanya lihat dulu sekelilingmu baru berteriak keras Nata! Pak Ando izin tidak masuk. Bu Mira bilang dia sakit.” jawab seorang pemuda berambut jabrik bernama Krisna Adi-tertera di seragam sekolahnya-. Sepasang gigi taringnya yang agak sedikit lebih panjang dan tajam dari orang kebanyakan terlihat jelas di saat ia tertawa.
“Eh sakit?… huuaaaa selamat!” segera Nata berlari menyongsong bangkunya yang terletak tepat di sudut belakang sebelah kanan kelas.
Setelah bokong mulusnya dengan sukses bertengger di bangku kayu-yang tidak empuk sama sekali- Nata menengokkan kepalanya ke sebelah kiri dan pandangannya jatuh pada halaman depan sekolahnya beserta gerbang hidup dan mati yang tadi telah ditaklukkannya. Yah tepat. Di samping kiri Nata adalah jendela.
Kebiasaan Nata di saat mendapat jam kosong-pun begitu di saat jam tidak kosong- adalah melongok ke jendela kelasnya dan melihat apapun yang bisa dilihatnya dari jendela tersebut. Biasanya pemandangan menarik minat Nata adalah, pemandangan segerombol siswa berwajah pucat dengan peluh di keningnya, tengah berdiri tegak dalam posisi hormat di hadapan sebuah tiang tinggi menjulang dengan bendera kebangsaan bertengger gagah di atasnya. Dan tepat! Pemandangan miris itu memang sedang terjadi di bawah sana.
Nata dengan kurangajarnya cekikikan di depan jendela menertawai segerombolan siswa yang bernasib tidak sebaik dirinya dan teman-teman telat seperjuangannya tadi. Tidak terpikir olehnya, bahwa tidak jarang-jika tidak mau dibilang sering- dirinyalah yang menjadi pemandangan menggelikan bagi murid yang lain dari masing-masing jendela kelas mereka.
“Jangan bertingkah bodoh, Nata.”
Seuntaian kata datar menusuk indra pendengarannya, menyadarkan Nata dari ke-autis-annya dan serta merta membuat Nata mengalihkan pandangan jenakanya dari jendela besar di sisi kirinya tersebut.
Dan sepasang obsidian tertangkap iris birunya. sepasang bola hitam kelam yang dengan mudahnya menghancurkan tameng keras yang susah payah dibangun Nata demi melindungi kerapuhan hatinya. Mengingatkannya akan rasa sakit yang kemarin diperolehnya. Rasa yang seharusnya sudah berhasil ditutupinya dengan cengiran lebar dan tingkah bodohnya seperti biasa.
Segera tercipta kilas balik di benaknya. Pengakuan cinta yang dilontarkannya, penolakan tegas yang diterimanya dan perjuangannya menahan tangis semalam tadi. Ya, Nata menangis sepanjang malam dan tertidur saat matanya ‘tak lagi sanggup terjaga. Untung baginya, mimpi indah datang menemaninya, sedikit lebih memperlebar senyum pura-puranya pagi ini.
“Apa kamu tidur dengan tidak terpejam saat ini, Nata?” ucap Eril.
“Ehh? Apa?”
“Kenapa menatapku dan terdiam? Tidak dengar aku bicara, hn?”
“A-aku… aku dengar tentu saja… Yah, tentu saja aku dengar!” jawab Nata. Kebingungan jelas tergambar dari nada suaranya. ‘Hee? Eril masih duduk di sana? Tidak mungkin! Seharusnya dia pindah! Seharusnya dia menjauh dariku! Kenapa dia tetap di sana? Kenapa?’ lanjut batin Nata masih dengan kebingungan yang sama.
“Ibumu melempari kepalamu dengan meja makan pagi ini?” tanya Eril.
“A-apa maksudmu?”
“Apa yang terjadi dengan kepalamu? Tidak mengenaliku, eh?”
“Mana mungkin!” seru Nata keras, masih bertahan dengan kebingungan yang jelas tergambar. Perkataan Eril menambah kadar kebingungan Nata sekarang.
“Bagus kalau begitu. Lalu apa alasanmu dengan tampang bingung yang kamu perlihatkan padaku saat ini?” tanya Eril lagi, meski tidak lagi dengan intonasi datar.
“Kenapa? Kamu… kenapa masih? a-aku.. kamu-”
“Jangan bergaul terlalu dekat dengan Meilisa Audia.” Ucap Eril cepat, sukses menghentikan perkataan Nata yang terbata. Meilisa Audia adalah teman sekelas Nata dan Eril, seorang gadis yang lembut dan pemalu, terlalu pemalunya sampai membuat gadis itu terbata di setiap kata yang diucapkannya.
“Ehh?! Kenapa?”
“Dia menularimu kegagapannya.”
Dan hening...
Masih hening… sampai-
“APA MAKSUDMU, ERIL SURYA AGATA?!!!”
“Hn.” Jawab Eril errr cukup jelas.
Dretttt….
Terdengar bunyi kursi yang di dorong ke belakang. Pelakunya adalah pemuda tampan bermahkota hitam kelam di kepalanya, siapa lagi kalau bukan Eril Surya Agata, pemuda yang memiliki sedikit darah jepang dari pihak ayahnya.
“Aku mau ke perpustakaan. Mau ikut?” tanya Eril pada Nata yang masih setia memasang mimik bingung dan heran di wajahnya-yang menurut Eril seperti wajah seseorang yang tengah menahan buang air besar-. Aneh? Jangan tanya. Orang dingin juga bisa berpikir aneh kan? Errr lupakan saja…
“Ah?”
“Aku tahu kamu dengar.” tandas Eril.
“Oh- iya! Eh maksudku, ngga! Aku ngga mau ikut…”
“Oke.” dan Eril mulai beranjak dari kursinya.
“Eril!” seru Nata yang sukses menahan pergerakan Eril.
“Apa?”
“Kenapa?...” tanya Nata.
“Apanya?”
“Sikapmu?”
“Apa yang salah dari sikap aku?” tanya Eril balik atas pertanyaan Nata.
“... Ngga ada…” jawab Nata ragu.
“Lalu?”
“Ng-ngga ada.”
“Bagus.” dengan itu sang pemuda dingin berjalan ke luar kelas. Menuju perpustakaan, tentu saja.
Nata’s POV
“Apa yang salah dengan sikap aku?”
Apa yang salah…? Tidak ada! Tidak ada yang salah! Sikapnya sama. Seperti biasa. Dengan kadar kedinginan yang sama, dengan kecuekkan yang tetap kentara, dengan tatapan datar andalannya dan dengan kelembutan yang disisipkan di setiap perkataannya. Kelembutan di tiap perkataannya, yang hanya dia berikan padaku.
“Lalu?”
Lalu…? Apa maksudnya dengan ‘lalu’? Apa dia merasa tidak ada yang aneh tentang dirinya? Yah, memang tidak ada yang aneh. Tidak ada satupun yang aneh dan berbeda darinya. Dia sama. Dia tetap bersikap sama. Sikapnya padaku sama. Seperti biasa…
Tapi Eril, bagiku kamu tetap aneh! Seharusnya kamu ngga sama! Seharusnya sekarang sikapmu berbeda! Seharusnya kamu berubah! Seharusnya kamu ngga lagi seperti Eril yang biasanya!
Seharusnya kamu mendiamkan aku, memandang dingin padaku, menjauh dan pergi dari sisiku. Seharusnya kamu memandangku jijik… Aku ngga sama denganmu. Aku berbeda dan aku salah. Aku salah… salah karena menanamkan cinta di hatiku untuk kamu.
Tapi kenapa, Eril?… kenapa kamu tetap Eril yang biasa! Eril yang menumbuhkan cinta ‘tak sewajarnya di hatiku…
“Lupakan semuanya... Dan aku juga akan melupakan bahwa hari ini pernah ada.”
Yah, benar… itu yang dikatakannya saat itu. Lupakan. Dia memintaku melupakannya dan diapun akan melupakannya. Dia-akan-melupakan pernyataan cintaku yang kuungkapkan dengan susah payah.
Kamu tau, Eril? Aku ngga mengharapkan kamu melupakan semuanya. Aku ngga ingin kamu menganggap cintaku padamu ngga pernah ada. Aku mengungkapkan cintaku bukan untuk kamu lupakan setelahnya.
Tidak apa jika kamu menjauhiku bila rasa ‘tak seharusnya yang kumiliki ini kamu ketahui. Tidak apa meski kamu akan memandangku jijik. Tidak apa jika kamu jadi benci. Tidap apa-apa, Eril. Sungguh tidak apa-apa bagiku.
Dengan begitu maka aku akan mudah bangkit. Dengan kamu membenciku, aku akan mudah menghilangkan rasa ini.
Tapi Eril, jika seperti ini sikapmu… lalu, sikap seperti apa yang kamu inginkan untuk kuambil? Harus seperti apa, Eril? Aku harus bagaimana?...
Bantu aku Eril… kumohon bantu aku, Eril, sahabatku sayang.
End Nata’s POV
.
.
.
nah udah... Masya Allah lebih capek ngeditnya dari pada ngetiknya, capek mata mantengin hape-"- semoga ada yang mau baca!(^/|\^)
Comments
KEMANA AJE LOE SELAMA INI???
YA AMPUNNNN, INI CERITA YANG SUNGGUH MENARIK! BAHASA YANG TIDAK MURAHAN!! BERKELAS DAN HOALAAAAHHH, LOE TELAH MENIPU GUEEEE!!!!
TERNYATA LOE BENAR-BENAR MENIPU GUE DAN BERHASIL MEMBUAT GUE LARUT DALAM CERITA LOE!!!
note: maaf ya bro, ini si Anto ngamuk2 di lapak kamu! maaf bangettt...
hihihi
good job my bro! susah ga' bikin cerita??? hihihi
salam sayang, muaachhh
ini cerita lama... setahunan lalu ) gampang-gampang susah deh, susahnya kalo ide menggebu tapi gak nemu kata yg enak hmmmm salut sama uda yg udah banyaaakkk menghasilkan cerita!!
makasih komennya^^ *cipok muachh @ularuskasurius
# oke quick question
apa bedanya kyuubi dengan kitsune?
yak 3. . . . 2. . . . 1
jawab. . .
kitsune = rubah
kyuubi = ekor sembilan
kyuubi no kitsune = rubah berekor sembilan
insyaallah gak salah )
@totalfreak
ciyusan!!! demi apa!! gak bohong!! begonya gue!! ~X(
di bagian mana? antar aku edit ( @reenoreno @ularuskasurius
mention ya
Rapih banget tulisannya @Tsu_no_YanYan ..
Jadi malu sama tulisan sendiri yang acak2an..
Kereeennn..^^
dengar!” jawab Naruto.
yg ini ya bang @reenoreno aku cari lagi gak ada,kayaknya cuma itu.
hehe makasih^^.... kalo d ffn ada yg namanya beta reader, komenan(review) dr kakak2 beta reader itu loh keren2 bgt! syarat ilmu di dlamnya, n rata2 cerita d sana itu rapih, kalo gak nanti kena flame
makasih dah mampir Rei @Fuumareicchi
tidaaaaakkkk! aku mau dijedotin! #lapor pak rt
thx dah mampir @d_cetya