BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Kisah Pertamaku

Hello.. Masih dengan saya Blujaws atau bisa sebut saya dengan nama Cay_Cuy juga.
Saya persembahkan kembali one shoot untuk kalian..
Selamat menikmati..

**
KISAH PERTAMAKU..


*
Desa kecilku masih seperti dulu, di sebut kampung Babakan karena terpencil dan kecil. Padahal kampung ini bernama asli Kampung Sarimukti, dan bagiku kampung ini menyimpan berjuta kenangan, keindahan dan kedamaian.

Dan kini aku kembali setelah sekian lama meninggalkannya, mencoba menata hidupku kembali dari awal, biar kenangan itu hilang bersama waktu namun manisnya akan tetap di hatiku.

Kini usia ku sudah 24 tahun, aku tumbuh menjadi pemuda yang matang dan kuat, seperti permintaan seseorang dulu untuk tetap menjadi jagoan bagi diriku dan dirinya.
Namun pisik ku memang jagoan, aku memang lelaki tapi pada kenyataannya hatiku tak pernah bisa menjadi seorang jagoan. Aku tetap seorang yang rapuh.

Ku usap tiang beton bulat yang kini penuh dengan coretan spidol, cat dan pylox warna warni hasil karya remaja yang iseng di kampungku, tiang pancang kokoh terbuat dari beton itu tegak berdiri setinggi hampir enam meter dengan kabel-kabel berlilitan berada di puncaknya saling menyambung ke tiang-tiang lain dan lalu menyambung ke tiap rumah.

Tiang ini yang menjadi awal kenanganku tercipta, kenangan indah sekaligus pahit di masa kecilku dulu, kisah pertamaku.


***
15 Tahun sebelumnya..



Suara riuh terdengar dari dalam rumah ketua RT di kampungku saat tak sengaja aku lewat sepulang dari berenang di sungai bersama beberapa kawanku, ku tahu di sana sedang di adakan rapat warga, dan menurut Bapak ku tadi pagi saat beliau memberitahu Emak, beliau bilang akan ada Bapak Kepala Desa berkunjung ke rumah Bapak RT yang datang untuk menyampaikan pemberitahuan penting kepada masyarakat, khususnya untuk penduduk Kampung Babakan.

Aku yang penasaran segera membelokan kakiku melangkah ke arah rumah pak RT, hingga ku lupa saat tadi aku terburu-buru pulang dari sungai karena sudah kesiangan untuk waktunya Sekolah Agama di surau Ustad Jamaludin, aku ingin tahu sebab keriuhan itu. Di dekat jendela aku mengintip melewati celah dinding bilik bambu rumah pak RT yang mulai rapuh. Hanya beberapa kepala tetua yang ku lihat sedikit tak jelas namun suara di dalam dengan jelas masuk ke telingaku.

"Bapak dan Ibu semuanya ada kabar gembira yang ingin saya sampaikan, pengajuan pemasangan listrik ke kampung ini di setujui oleh pemerintah, dan minggu depan akan di mulai pengerjaannya, saya harap bapak-bapak dan ibu-ibu di sini bisa bekerja sama nantinya membantu para pekerja yang di tugaskan oleh PLN.." Sayup di tengah keriuhan para tetua aku mendengar kepala desa menunaikan tugasnya memberikan pemberitahuan dari pusat dan segera di sambut tepukan dan sorakan para tetua yang tampak gegap gempita.

Aku ikut bersorak, akhirnya kampungku tidak gelap lagi, akhirnya aku takan kesusahan lagi saat belajar karena hanya di terangi Cempor kecil di rumahku, sekali lagi aku bersorak namun seketika menunduk dengan sangat takut saat ku lihat Emak sudah berkacak pinggang di depanku. Aku lupa jika sudah terlambat ke Sekolah Agama.

***
Seminggu kemudian..


Tepat pukul satu bel di sekolahku berbunyi, dan semua murid sekolah dasar Karang Nanjung pun berlarian berebut untuk keluar kelas, ku sambar sendal jepit yang tergeletak di lantai teras kelas, dengan kaki telanjang aku berlari dengan hati penuh semangat.

Hari ini adalah hari kedatangan para pekerja dari PLN, mereka yang akan membawa tiang-tiang beton itu ke kampung yang katanya nanti menjadi tiang pancang untuk kabel-kabel yang akan di sambungkan ke seluruh rumah di kampungku, tiang itu menjadi sarana penahan kabel untuk mengalirkan listrik, itu yang ku tahu dari penjelasan Bapak guru di Sekolahku.

Penuh semangat aku berlari, berlomba bersama kawan-kawan yang sama bersemangatnya ingin menjadi saksi hidup dari mulai tahap awal adanya listrik yang di tunggu-tunggu itu menjadi penerang kegelapan kampungku.

Tak ku rasa sakitnya telapak kakiku karena berlari di jalanan yang penuh kerikil tajam dan tanah yang tak rata, sengaja tak ku gunakan sendal jepitku karena aku takut sandalku putus jika di gunakan berlari di jalanan kampung yang butut, Emakku akan mengamuk jika sandal baruku putus lagi.

Aku terus berlari, ku lewati beberapa temanku yang mulai kendor tenaganya karena kelelahan, namun tiba-tiba saja aku tersandung gundukan tanah yang mengeras di tengah jalan, keseimbanganku hilang dan aku melayang dengan wajahku tepat menuju ujung tiang beton yang bertumpuk di pinggir jalan, ku pejamkan mata dan bersiap merasakan sakitnya wajahku beradu dengan beton keras itu, tapi saat itu aku terselamatkan karena kurasa ada dua tangan kuat menahan bahuku, setelah rasa kagetku sedikit hilang aku membuka mata dan ku lihat penolongku berdiri tegak sedang memandangiku. Dan dia salah satu dari pekerja itu.

Aku terkesima, dia tersenyum ramah padaku yang amat manis, wajahnya kokoh dan dewasa sekali, aku jadi membayangkan dia sosok Superman sang super hero yang selalu menolong orang lain, seperti yang pernah ku baca di buku komik kepunyaan Tarmadi, bahkan aku memiliki gambarnya di Tas Sekolahku.

"Hati-hati Dek, jangan lari-lari berbahaya ya di sini lagi ada yang kerja mindahin tiang.." Dia berkata padaku, besar sekali suaranya itu.

Aku mengangguk dan menunduk karena merasa bersalah, jari jemariku tanpa sadar terus memintal ujung bajuku karena gugup.

"Yasudah cepat pulang, nanti Ibumu mencarimu.." Dia berkata lagi, kali ini aku berat menurutinya, aku masih ingin disini, melihatnya. Melihat pahlawan penolongku. Tapi dengan terpaksa aku melangkah pulang dengan sesekali menengok ke arahnya, pahlawanku itu terlihat sibuk menghitung tiang-tiang beton yang sudah bertumpuk semua di pinggir jalan desa.


***
Ku rapikan pensil dan buku lusuh yang pada ujung-ujungnya sudah keriting ke dalam tas sekolahku yang tak kalah lusuh dan kumal, sudah tiga tahun tas itu menemani aku sekolah semenjak aku masuk kelas satu SD.
PR matematika dan bahasa indonesia telah ku selesaikan, akupun segera menuju kasur lepek yang tanpa ranjang di sudut kamar, setiap malam aku menikmati mimpi-mimpi di kasur itu, mimpi dengan Superman sang pahlawan di komik ku.

Meringkuk dengan kain sarung apek namun tak jua bisa pejamkan mata, entah kenapa aku selalu teringat terus pada sosok pahlawanku yang tadi siang sudah menolongku, pahlawan yang mampu membuat aku kini lupa pada sosok Superman yang nangkring di kain tas sekolahku.

Aku ingat matanya yang lembut menatapku dan bibirnya tersenyum manis padaku. Aku ingat kalimat-kalimatnya yang sopan dan ramah walau kepada bocah kecil sepertiku. Aku ingat kulitnya yang coklat kehitaman dan kasar namun dia sangat keren. Aku ingat tubuhnya yang tinggi besar dan memiliki otot-otot bertonjolan sangat gagah. Aku ingat... Tidak.. Yang ini aku rasakan oleh hidungku, bau keringatnya yang membuatku ingin terus menghirupnya, bau aroma lelaki dewasa yang maskulin. Aku ingat semuanya, aku rasakan aromanya dan aku sangat suka sekali.
Entah apa namanya yang ku rasakan ini, karena usiaku baru menginjak sembilan tahun, aku tidak mengerti tapi aku menyukai perasaan ini.

Kata bapak para pekerja itu akan tinggal di rumah kosong milik Haji Hamimi, rumah bekas di tinggali anaknya yang kini sudah pindah, Haji Hamimi adalah orang terkaya di kampungku dia sebenarnya sudah memiliki listrik sejak lama karena pak Haji menggunakan mesin generator yang sangat berisik yang di simpannya di gudang miliknya.

Pak Haji mengijinkan secara gratis rumah kosong miliknya untuk di tempati para pekerja sementara waktu hingga pekerjaan selesai.
Rumah pak haji sangat dekat, aku senang mereka di sana, aku bisa melihat pahlawanku lagi. Lebih sering tentunya.

Aku menggelinjang tak bisa tidur, membalik tubuh ke kiri dan ke kanan dan aku terus memikirkannya, aku tersenyum dan aku melayang, tanpa sadar naluri di tanganku bergerak, menelusup ke bawah perutku, aku terkejut kok 'titit'ku menegang di waktu sekarang padahal biasanya itu terjadi kala subuh menjelang. Kenapa hanya karena aku memikirkan pahlawanku itu 'titit'ku tegang begitu saja.

Aku menjadi semangat membayangkan pahlawanku dan repleks aku kembali meremas, dan terus itu berlanjut hingga aku tak sadar tertidur setelah rasa enak itu memuncak dan terlewati..
Aku tidak tahu apa yang ku lakukan, itu pertama kali namun itu mengasyikan, sesuatu yang belum ku pelajari namun begitu saja bisa ku lakukan.
Mungkin ini berkat membayangkan pahlawan penolongku.
Pahlawanku itu benar-benar sangat hebat.

***
Bubar Sekolah Agama sengaja ku pulang paling belakangan, aku sengaja memutar jalan agar bisa melewati rumah Haji Hamami yang di tempati pekerja. Semakin dekat langkahku ke rumah pak Haji dadaku berdebar, aku kesini ingin melihatnya, melihat pahlawanku walau tak tahu akan melakukan apa setelah melihatnya.
Ah sudahlah aku hanya ingin melihatnya saja dari kejauhan, itu sudah cukup bagiku melihat pahlawanku yang menemani mimpiku semalam.

Masih ku ingat dalam mimpiku semalam dia menggendongku, lalu dia membawaku berlari di pematang sawah dan kami tertawa-tawa dengan senangnya. Aku mengajaknya ke sungai, kita berenang berdua di sana. Oh mimpiku itu sangat menyenangkan hingga aku terus mengingatnya sepanjang hari ini.

Tapi kemana ya pahlawanku itu, kok aku belum melihatnya padahal para pekerja lain sedang berkumpul di teras sedang istirahat usai kerja, apa dia berada di dalam rumah kah?
Ayo keluarlah manusia tinggi besar, aku ingin melihatmu sebentar saja. Aku rindu sosok pahlawanku.

"Koq pulang mengaji bengong di sini Dek, kamu sedang mencari seseorang?" Suara itu terdengar di belakangku, aku terkejut saat menoleh ku lihat pahlawanku sudah berdiri di sana, tersenyum padaku dan lalu berjongkok menghadapku, sangat dekat. Hatiku deg degan tak karuan, aku kembali bingung harus berbuat apa, hanya terpaku menatapnya sesekali mengedip-ngedipkan mata, aku merasa canggung sekali. Oh aku malu sekali kepadanya tapi aku ingin terus melihatnya.

"Hayo koq malah bengong? Siapa yang kamu cari? Temanmu yah?" Aku menggeleng lemah, gugup tak kuasa menatapnya. Aku menggigil namun keringat membasahiku.

"Sepertinya kamu demam dek, ayo cepat pulang minta obat pada ibumu sebelum makin parah, kamu sudah menggigil dan berkeringat begini.." Ucapnya begitu lembut, aku semakin menyukai suaranya

"Dan ini untukmu saja, tadi karena tidak ada uang kembalian saat membeli rokok bibi warung disana memberiku permen ini, ambil lah buatmu.." Dia menyodorkan gulali bergagang kayu dan berbungkus plastik bening kepadaku.

Aku ingin sekali pemberiannya itu, tapi aku malu. Aku senang di beri apapun olehnya.
Ku beranikan menengoknya kembali, ku hirup aroma tubuhnya, tanganku terangkat gemetar menyentuh kulit hitam pipinya perlahan, dia menarik alis hingga dahinya berkerut. Namun secepat kilat aku menyambar permen gulali itu dan lalu sekuat tenaga berlari meninggalkannya.
Ku dengar tawanya di belakangku, dan akupun tertawa tanpa suara. Nafasku terengah tapi hatiku puas. Aku bahagia.

***

Ku dengar suara Bapak yang mengomel-ngomel di dapur, ini untuk ke empat kalinya bapak kehilangan dua batang kreteknya yang di simpan di dompet tembakaunya, padahal rokok itu baru saja di belinya tadi pagi karena mendapat upah mencangkul sawah tetangga.

Aku yang mendengarnya mendekam di kamar ketakutan, bukan takut oleh kasarnya omelan bapak tapi aku takut akan dosa yang ku lakukan.
Ku rapatkan tubuku di kasur lepek ku, dimana di bawahnya tersimpan delapan batang rokok yang ku ambil diam-diam dari dompet tembakau bapak.
Aku tahu itu salah, aku tahu itu dosa besar, tapi aku harus melakukannya, ini untuk balas budiku pada seseorang.

Rokok kretek itu sengaja ku kumpulkan dan suatu hari akan ku berikan pada pahlawan gagah dan baik hati itu. Aku tahu dia menyukai rokok yang sama dengan rokoknya bapak, nanti jika sudah terkumpul hingga sebungkus akan ku berikan padanya karena dia juga memberikan gulali ini padaku.

Maafkan aku ya Pak, suatu hari akan aku ganti rokok bapak sebanyak mungkin, tapi ijinkan aku membalas budi untuk kali ini.

Pahlawanku pasti senang dan bahagia seperti yang aku rasakan saat mendapatkan gulali darinya.
Gulali yang tak akan pernah ku makan selamanya, karena ini dari pahlawanku, kenang-kenangan paling indah milikku. Akan ku simpan sebaik mungkin.

***
Aku sedang bermain permainan Gatrik di lapangan dengan teman-temanku sore itu saat sekelompok pekerja lewat ke lapangan dengan masing-masing membawa handuk dan plastik berisi peralatan mandi, di antara mereka aku melihat pahlawanku.
Aku segera mengakhiri permainan dan berlari mengikuti para pekerja itu menuju pancuran pemandian yang banyak berdiri di atas empang-empang penduduk di pinggir kampung.

Tanpa mereka ketahui aku mengintip mereka yang sedang mandi, tapi yang paling utama aku senang memperhatikan pahlawanku, dia orang yang paling akhir saat mandi. Berdebar aku di buatnya saat dia melucuti pakaiannya, dada dan perutnya yang bertonjolan otot ternyata tak sehitam tangan dan wajahnya.

Dari balik rumpun pisang dengan cermat aku memperhatikan gerak-geriknya, dari celah bilah bambu yang di anyam dan di jadikan dinding pancuran aku bisa melihat bayangan tubuh pahlawanku seluruhnya. Darahku berdesir dan tubuhku menegang seakan semua ototku tertarik, dan sesuatu di balik celanaku ikut menegang, apalagi saat pahlawanku tiba-tiba meremas 'titit' miliknya yang berkali lipat besarnya dari 'titit'ku, pahlawanku melakukan persis apa yang ku lakukan malam itu.
Tubuhku bergetar hebat, betapa senangnya aku mengetahui pahlawanku juga sama melakukan hal itu, aku memiliki kesamaan dengan pahlawanku, tak sadar di balik rumpun pohon pisang aku kembali meremas 'titit'ku juga dan aku mengerang merasakan keenakan tersendiri.


Esoknya, lusanya, dan esok-esok yang lain setelah lusa aku menjadi rutin bertengger di balik pohon pisang dekat pancuran, menunggu pahlawanku yang selalu paling akhir mandi dan melakukan kesenangan kami masing-masing di tempat berbeda, hingga suatu hari pahlawanku memergokiku aku sedang mengintipnya.
Dia terkejut dan hampir marah, namun sesaat dia terlihat dia seakan sedang memiikirkan sesuatu lalu tak lama pahlawanku itu memanggilku, aku bergeming karena ketakutan wajahku pucat sudah sejak tadi, namun pahlawanku tersenyum sangat manis dan kembali memanggilku lembut, enak di dengar dan aku melangkah mendekatinya hingga dia menarikku ke dalam pancuran.

"Kamu suka yah melihat yang barusan akang lakukan?" Dia bertanya dengan senyum dan matanya yang ramah memandangiku, aku menatapnya bingung tak tahu harus menjawab apa, yang ada aku ketakutan setengah mati karena sudah kepergok sedang mengintipnya.

"Kamu suka gak lihat 'titit'nya akang ini, lebih besar kan dari titit kamu?" Tanyanya sambil tiba-tiba meraih tangan kecilku dan di sentuhkannya ke 'titit'nya yang masih tegak di selangkangannya, sangat besar sekali dan panjang dengan warnanya yang agak gelap, helmnya juga besar sekali, anehnya di atas tititnya terdapat rambut keriting yang lebat sedangkan aku tidak memilikinya, entah kenapa ada perasaan senang saat aku memegang tititnya itu, aku juga suka dengan rambut-rambutnya yang banyak, aku ingin memilikinya yang seperti itu. Aku hanya terdiam dan menunduk tak tahu harus melakukan apa, namun tanpa sadar aku mempererat peganganku pada tititnya seakan takut terlepas, dan pahlawanku itu tersenyum seakan menyadari kelakuanku, dia membelai kepalaku penuh kasih sehingga membuat aku melambung senang.

"Kalau adek suka pegang aja, akang gak pa pa kok, akang gak akan marah sama ade, akang malah senang.. Ade mau kan?" Bujuknya lembut sekali, aku memandanginya tak percaya namun dia menuntun tanganku agar mengusap-usap tititnya, dan sepertinya ia menyukainya.

"Mainkan sesuka adek saja.." Bisiknya entah kenapa terdengar tertahan, tanpa di suruh lagi aku menuruti kemauannya, aku senang memainkan tititnya yang besar dan berbulu itu.

Hingga setelah cukup lama aku di kagetkan oleh pahlawanku yang tubuhnya menegang dan dia juga merintih halus, tiba-tiba dari tititnya keluar cairan putih dan kental, menciprat kemana-mana bahkan melumuri tanganku, entah itu apa terasa bau amis tercium hidungku, aku jadi cemas jangan-jangan tanganku melukai tititnya hingga mengeluarkan cairan itu, seketika aku panik dan melepas peganganku dari tititnya.

Tapi pahlawanku malah tersenyum, dengan santai dia mencuci tititnya lalu mencucikan tanganku juga dengan sabun, setelah itu dia menyuruhku pulang, namun sebelumnya dia mewanti-wanti aku untuk merahasiakan kejadian barusan, aku hanya mengangguk dengan mantap dan aku melangkah keluar pancuran dengan hati riang.

"Dek..." Dia memanggilku kembali, aku segera menoleh walau tak berani menatap matanya, ada rasa segan dan malu yang amat sangat di hatiku padanya.

"Adek suka tidak yang barusan kita lakukan?" Dia bertanya, aku bingung mau jawab apa namun tanpa sadar aku malah mengangguk, pahlawanku tersenyum senang.

"Kalau gitu mau gak mengulanghnya besok-besok?" Dia bertanya lagi dan aku mengangguk lagi.

"Hmmm kalo gitu Adek tahu dong tempat yang lebih aman agar kita bisa bebas melakukan permainan tadi?" Suara lembutnya menghipnotisku, senyumnya membuatku mengawang tinggi dan aku mengangguk padanya lagi dan lagi, tak mampu bersuara hanya jari kemariku yang bermain memilin ujung bajuku.


**
Esok hari dan selanjutnya setiap sore saat pahlawanku usai bekerja dan aku pulang dari sekolah agama aku bertemu dengannya di sungai, kami pergi masing-masing menurut dia agar tak ada orang yang tahu kita sering melakukan permainan menyenangkan itu, pahlawanku bilang jika ada yang tahu nanti mereka akan ikutan main dan kalau banyak orang jadi tak seru lagi, dia hanya ingin cuma berdua aku saja, tentu saja aku senang mendengarnya lagipula aku juga tidak mau ada orang lain yang menyentuh-nyentuh pahlawanku, entah kenapa.
Dan aku semakin terbuai oleh bujuk rayunya, aku semakin senang padanya.

Di sudut sungai yang tersembunyi dengan bebas aku dan pahlawanku bermain-main, menyentuhnya, membelainya, mengurutnya, menciumi tubuhnya sesuai permintaannya dirinya, sedangkan dia hanya dia menikmati yang ku lakukan, terkadang menggeliat-geliat kegelian terkadang merintih-rintih entah merasa sakit atau keenakan, aku tidak perduli lagi yang pasti aku menyukai permainan yang baru ku ketahui ini, permainan yang di ajarkannya dan sangat menyenangkan.

(Dan pada saat aku dewasa seperti sekarang aku baru menyadari jika sebenarnya aku sedang di cabuli laki-laki dewasa itu, laki-laki yang aku sukai)


***
Sebulan telah berlalu..


Aku pulang sekolah di siang terik ketika tiba di rumah aku melihat Bapak dan Emak telah berpakaian rapi, saat ku tanya akan pergi kemana, Emak menjawab jika mereka mau mengunjungi para pekerja yang hendak pulang sore ini karena pekerjaannya memasang tiang listrik telah selesai hari kemarin, semua tiang listrik sudah kokoh terpancang tegak hanya tinggal menyambung kabel ke tiang dan ke rumah-rumah penduduk.

Bapak dan Emak ingin bersilaturahmi dan berterimakasih kepada mereka, itulah kehidupan di kampung masih bertahan hidup saling menghargai dan saling menghormati sesama, walau pada kenyataannya pekerja-pekerja itu memang di suruh bos mereka dan di bayar yang otomatis dari uang penduduk di situ juga, tapi mereka tak pernah melupakan tata krama untuk saling menghargai kerja keras yang di lakukan para pekerja.
Emak bahkan membawa oleh-oleh pisang satu sisir untuk di hadiahkan pada salah satu pekerja entah siapa yang nanti mendapatkannya.

Mendengar para pekerja itu akan pulang sore ini aku terkejut setengah mati, itu berarti pahlawanku juga akan pergi, tidak tahu kenapa aku merasa sakit di dalam dadaku, aku tak mau pahlawanku pergi, aku takut kehilangan dirinya.

Tanpa mempedulikan kedua orang tua ku aku melempar tas lusuhku dan berlari ke luar rumah tanpa mengganti seragamku, ku dengar emak berteriak-teriak memanggilku dan menyuruhku mengganti seragam sekolah sebelum main, tapi tidak ku pedulikan, aku terus berlari sekencangnya dan tujuanku rumah Haji Hamimi dimana para pekerja itu berada.

Tiba di sana aku tak melihat pahlawanku, namun telah banyak penduduk berdatangan silih berganti dengan oleh-oleh di tangan mereka, aku cemas, aku semakin takut mungkinkah pahlawanku telah pergi. Dan aku ingin menangis saat itu.

Tiba-tiba sebuah tangan kasar menarik ku ke belakang sebuah rumah, oh ternyata dia pahlawanku aku senang sekali masih bisa melihatnya, serta merta aku memeluknya erat sekali, dan air mata tak mampu lagi ku bendung, aku menangis terisak-isak.
Dia balas memelukku, mengelus kepalaku lembut.

"Jangan nangis dek, akang gak suka kalo adek nangis nanti akang marah loh sama adek.." Bujuknya padaku, dengan ujung kemejanya dia menghapus air mataku.

"Jangan pergi ya kang.." Gumamku dalam isak

"Maafkan akang dek karena akang harus pergi, kan kerjaan akang di sini sudah selesai, gini saja deh akang janji suatu hari nanti akang akan kesini menemuimu, ade senang kan?" Dia terus membujuk dan berjanji, tapi entah mengapa hatiku seakan mendapat pirasat ini adalah pelukan dan pertemuan terakhir bersamanya, hatiku amat perih.

"Benar? Akang janji?" Aku mencoba meyakinkan padanya dan sedikit menumbuhkan harapan

"Pasti, akang janji sama adek.. Dengan satu sarat adek jangan nangis lagi, anak laki itu harus kuat jangan cengeng, kan anak laki itu jagoan.. Adek tau gak, di sana akang punya anak lelaki juga dan walau dia masih lebih kecil dari adek dia tidak suka nangis, tidak cengeng karena anak laki harus kuat seperti Rambo atau Superman.." Dia membujuk ku agak panjang lebar, mendengar kalimatnya serta merta aku menghapus air mata yang terus keluar dari mataku dengan ujung seragamku, ku tahan sekuat tenaga tangisku. Aku tak mau di bilang cengeng oleh pahlawanku, aku harus kuat.

"Nah kalo gitu kan adek jadi cakep.. Berjanji sama akang yah, adek jangan cengeng lagi, adek harus jadi jagoannya akang.." Ucapnya dengan senyum manisnya, lalu kedua telapak tangannya meraih wajahku sekilas tiba-tiba dia mengecup bibirku, aku kaget hingga terperangah, itu untuk pertama kalinya dia menciumku dan mungkin untuk yang terakhir kalinya pula. Aku tak merasakan apa-apa di bibirku, hanya mendesir perasaan aneh, tapi dalam hati aku merasa senang dia berbuat itu.
Dia lalu bangkit berdiri, mengacak rambutku berusaha mencandaiku.

"Akang pergi ya, tetaplah jadi jagoannya akang di sini.." Pamitnya dan lalu berlalu dari hadapanku yang mematung tak tahu harus berbuat apa, hingga dia naik ke mobil bersama para pekerja lain aku masih mematung, merasakan sesuatu yang hilang di hatiku dan itu sangat memilukan.
Aku kembali menangis, menangisi kepergian sang pahlawanku.


***
Kini...


Kembali ku usap tiang beton penyangga cahaya ke kampungku itu, tak terasa air mata ku menitik, masih tak terlupa pahlawanku yang entah dimana sekarang berada, dan setelah ku mengerti segalanya masih haruskah dia ku sebut pahlawan untuk semua yang pernah dia lakukan padaku dulu.

Namun bagiku dia adalah kenangan indah yang takan terlupakan, karena dia yang pertama dalam hidupku, lelaki pertama yang memberi pengalaman indah, lelaki pertama yang ku sukai sebagai lelaki, sebelum hadirnya kekasihku yang pada akhirnya menggantikan dia yang tak kunjung datang, aku lelah menantinya biarlah dia hanya menjadi kenangan.

Sebuah tepukan lembut menyentuh bahuku, aku menoleh dan laki-laki tampan tiga tahun lebih muda di bawahku itu tersenyum manis padaku, dia sudah dua tahun ini menjadi kekasihku, mudik kali ini dia memaksa ikut pulang ke kampungku.
Dan entah kenapa setiap ku melihat senyumnya aku seakan melihat senyum pahlawanku di sana, mungkin pula karena itu akhirnya aku luluh padanya dan bersedia jadi kekasihnya.
Karena aku banyak melihat sosok pahlawanku pada diri kekasihku itu.

"Apakah kau punya tempat aman di sini, karena aku sudah tak tahan ingin bermain-main denganmu di desamu.." Dia berbisik lembut dan aku seketika tersentak.

Kalimat itu kembali mengingatkanku..

-The End-
«1

Comments

Sign In or Register to comment.