“bi Inah”
“ya den...”
“apa semuanya sudah beres dan di masukkan kedalam mobil??”
“sudah den, bibi sudah meminta pak Adi untuk memasukkan kedalam mobil”
Shane mengangguk pelan, wajahnya sendu, matanya sembab dan berwarna kemerahan akibat tangis yang berkepanjangan. Tak berapa lama, driver pribadinya yang bernama pak Adi, masuk kedalam rumah menghadap Shane,
“den, mobil sudah siap, aden mau berangkat sekarang??”
Shane melihati jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, waktu telah menunjukkan pukul 09:35wib, sebelum bertemu dengan Braddy, Shane harus berangkat ke tempat kremasi untuk mengambil abu dari orang tuanya.
“iya pak, kita berangkat sekarang”
Pak Adi pun segera keluar dari dalam rumah, berdiri di samping pintu mobil yang telah di bukanya, sebelum melangkah keluar dari dalam rumah tempat dimana ia dibesarkan, Shane melihati sekelilingnya untuk yang terakhir kali. Tiba-tiba saja terbesit di benaknya tentang kenangan-kenangan dirinya bersama kedua orang tuanya. Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Shane, wajahnya yang putih bersih menjadi kemerahan. Lamunannya terbuyar ketika bi Inah, memanggilnya. Shane pun keluar dari dalam rumah di ikuti bi Inah dari arah belakang.
Dan perlahan-lahan, mobil yang di naiki oleh Shane meninggalkan teras, halaman, dan pekarangan rumah tempat dimana Shane dilahirkan dan dibesarkan.
****
Shane berdiri menghadap pantai lepas, dengan sebuah guci berada di pelukannya. Guci yang berbahan porselen tersebut, berisikan abu dari hasil peng-kremasian jasad kedua orang tuanya. Di belakangnya, tampak bi Inah dan pak Adi yang ikut mengantar ‘pembebasan hari terakhir’ majikan mereka. Bi Inah tampak meneteskan air mata.
Desiran ombak yang bersahutan terdengar halus di telinga, hembusan angin mengacak-acak goresan air mata yang menggores halus wajah Shane. Mengikuti adat turun temurun yang diketahui, Shane mulai membuka tutup dari guci, kemudian ia memasukkan tangannya kedalam guci, menggenggam abu sedapat telapak tangannya.
Genggaman telapak tangan kemudian di tengadahkan ke tengah udara. Sekali genggaman terbuka, angin pantai dengan segera menghembus habis tak bersisa seluruh abu. Itu dilakukan
Shane berulang-ulang, hingga guci tersebut kosong.
Setelah kosong, guci tersebut Shane letakkan dibibir pantai, ia mengambil langkah mundur beberapa langkah dari guci tersebut. Shane memberikan penghormatan terakhir sebelum ia meninggalkan bibir pantai, diikuti oleh pak Adi dan juga bi Inah dari arah belakang. Usai memberi penghormatan terakhir, Shane beranjak meninggalkan bibir pantai dan guci tersebut.
****
Shane duduk menunggu disebuah sofa yang terdapat pada lobby sebuah hotel. Matanya sesekali melihati ke arah pintu masuk, Shane sedang menunggu Braddy, pamannya, kakak sulung mendiang ibunya. Meskipun ia sudah tidak pernah bertemu dengan Braddy dalam jangka waktu yang cukup lama, setidaknya wajah Braddy masih terekam dibenaknya. Ia juga teringat ketika mendiang ibunya menceritakan tentang keluarga pamannya yang berada di Jakarta itu.
Lama di tunggu, mata Shane menangkap sesosok pria dewasa yang wajahnya hampir mirip dengan wajah mendiang ibunda nya, sosok itu tak lain adalah Braddy, orang yang beberapa jam ini ditunggu-tunggu oleh dirinya. Braddy mencari-cari Shane diantara tamu-tamu hotel yang memenuhi lobby, Braddy mencoba menghubungi ponsel Shane. Shane segera berdiri dan melambaikan tangan pada Braddy. Pria itu pun berjalan menghampiri tempat dimana keponakannya berada.
Melihat Shane, Braddy terpaku sejenak, dalam benaknya, Shane yang berdiri dihadapannya bukanlah Shane dulu yang masih kecil yang masih suka merengek minta dibelikan es krim padanya ketika adiknya Lily melarangnya untuk memakan makanan dingin tersebut, Shane yang berdiri sekarang dihadapannya sudah berubah menjadi seorang pemuda tampan yang memiliki wajah sempurna, dengan segera Braddy memeluk keponakannya itu dengan erat. Begitu pula dengan Shane, ia membalas pelukan Braddy dengan erat, seolah-olah membertihukan pada
Braddy tentang kesedihannya atas meninggalnya kedua orang tuanya.
Shane menangis dengan suara sedikit tertahan, dikarenakan lobby hotel yang tampak ramai oleh tamu hotel, sedangkan Braddy, ia mengusap-usap rambut halus pemuda malang tersebut, setidaknya, usapan sang paman dapat meringankan kesedihan yang merudung hati Shane.
Braddy melepaskan pelukannya terhadap Shane, dilihatnya wajah pemuda kecil yang memerah tersebut akibat menangis,
“sudah, jangan menangis lagi ya” ujar Braddy
Shane menganggukkan kepala sembari mengusap air matanya yang masih membekas dan suara sesenggukkan yang sesaat-saat terdengar dari mulutnya,
“ayo duduk” pinta Braddy,
Shane pun duduk berseberangan dengan Braddy.
“om bisa merasakan apa yang Shane rasakan, karna, bagaimanapun juga, bunda Shane adalah adik kandung om juga”
Shane terdiam,
“sekarang, biar om dan tante Dinda yang menjadi orang tua Shane, ya”
Shane mengangguk pelan,
“om sudah menguangkan semua aset usaha dari papa kamu, dan semuanya om simpan disini” ucap Braddy sembari mengeluarkan sebuah buku tabungan dan selembar kartu ATM yang kemudian di berikan kepada Shane,
“mulai dari hari ini, Shane tidak usah perlu khawatir tentang biaya hidup, karna om sudah menanggung semuanya, biar uang ini Shane simpan, dan jika sewaktu-waktu Shane membutuhkannya, Shane bisa menggunakannya”
Shane masih terdiam dan membiarkan Braddy berbicara panjang lebar,
“setelah ini, kita berangkat ke Jakarta, dan Shane tinggal bersama om”
Shane menatapi Braddy sejenak,
“disana Shane tidak akan kesepian, ada nenek Farida, Hendra, tante Dinda ”
Ah.. ya, nama-nama itu sering Shane dengar dari cerita-cerita sang ibunda ketika ibunda tercintanya itu masih ada, terlebih-lebih Hendra. Ibunda sering bercerita tentang Hendra yang dikatakan adalah ‘perusuh rumah’, jika ada dirinya, maka orang-orang rumah yang sedang bersitegang sekalipun akan reda melihat tingkah lakunya yang dapat membuat semua orang tertawa.
Shane sendiri juga masih ingat, disaat ia masih sangat kecil, Hendra sering menggendongnya di pundak untuk bermain-main di taman ketika ia dan keluarga berkunjung ke Jakarta. Tapi semua itu sudah cukup lama sekali, kalau saja pada saat itu Hendra tiba-tiba berdiri dihadapannya, ia pasti tidak akan mengenalinya, karena Hendra kecil pasti sudah berubah.
“Shane?” panggil Braddy yang melihat keponakannya itu termenung,
“ah.. iya om”
“kok diam?”
Shane menggeleng, “tidak ada apa-apa”
“benar tidak apa-apa?”
Shane menganggukkan kepala,
“ya sudah, kalau begitu... kita berangkat sebelum jalanan macet” ujar Braddy sembari menggandeng tangan keponakannya untuk bangkit berdiri,
“oh iya, mana barang-barang Shane?”
“ada di mobil om”
“oh, ok... kalau begitu”
Shane dan Braddy melangkah keluar dari lobby hotel menuju tempat dimana mobil keduanya di parkirkan, setelah itu, perjalanan pun berlanjut menuju ibukota. Dimana ibukota, disebut-sebut oleh kebanyakan orang, sebagai kota pengadu nasib, kota berjuta harapan, dan kota macet.
***
Comments
Suka suka suka
Lanjutt :-D
heheheheh... smoga gampang di bayangin yak....
Sebenarnya, jika jalanan dalam kondisi normal-normal saja, jarak tempuh antara kota kembang dengan Jakarta, dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih dua jam, tapi karena pada saat itu macet sudah mulai merundung, maka perjalanan dari kota kembang menuju ibukota, dirasakan oleh Shane sangatlah lama. Sampai-sampai, ia tertidur didalam mobil. Hawa dingin dari pendingin udara didalam mobil serasa membuainya hingga dirinya pulas dalam istirahatnya.
***
Shane terbangun karena mobil yang dikendarai oleh pak Adi secara tak sengaja melewati jalanan berlubang, Shane terguncang, dan terbangun dari tidurnya. Usai mengerjap-ngerjapkan mata, mata Shane tertuju pada sebuah tembok yang menjulang tinggi yang hampir didekati oleh mobil yang membawa dirinya.
Ia merasa tak asing dengan tembok tersebut. Sebelum mobil melewati tembok, tepatnya didepan gerbang, pak Adi terlebih dulu melapor kepada security yang menjaga pintu gerbang, sesuai dengan tugas yang diberi dan harus dilaksanakan. Security itu pun mengetuk jendela yang didalamnya terdapat Shane, Shane menurunkan kaca jendela mobil,
“selamat siang pak” ujar petugas security ramah pada Shane,
Shane tersenyum simpul, kemudian menjawab, “selamat siang”
“maaf pak, bisa saya minta kartu identitas bapak?”
Shane mendenguskan nafas sejenak, ia membatin, ‘mengapa setiap rumah orang kaya, harus dipenuhi dengan aturan-aturan yang ketat’
Shane merogoh tas tangan yang berada disampingnya, mengeluarkan kartu identitas dan diberikan kepada security
yang masih menunggu di dekat jendela mobil tersebut.
“anda pak Shane?” tanya security itu sembari melihati kartu identitas dan Shane secara bergantian,
Shane mengangguk. Security itu tampak terburu-buru mengembalikan kartu identitas pria muda tersebut, segera berlari membukakan pintu gerbang lebih lebar, agar mobil yang membawa Shane dapat masuk ke dalam,
“silahkan masuk pak, maafkan saya, saya tidak tahu, nyonya besar (Farida) sudah menunggu anda sedaritadi” ucap security panjang lebar yang tak begitu digubris oleh Shane. Antara lelah dan bosan.
Mobil dengan cepat melaju memasuki halaman pekarangan rumah yang cukup luas, sangat luas untuk ukuran pekarangan rumah biasa. Pohon-pohon hiasnya di gunting dengan sangat rapi dan berbentuk indah, bunga-bunga berwarna-warni ditanam menghiasi kiri kanan sepanjang perjalan menuju bangunan rumah yang berada di tengah-tengah pekarangan tersebut.
Mungkin, perjalanan dari pintu gerbang menuju pintu utama bangunan rumah, membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit, pikir Shane, karena pekarangannya benar-enar sangat luas, hampir menyerupai perkebunan tepatnya. Sangat jarang di ibukota terdapat rumah seperti ini.
Turun dari mobil, Shane memandangi bangunan rumah yang bergaya mediterania itu. Kedua pilar besar, menyangga dengan kokoh dibagian teras, belum lagi lampu kristal yang cukup besar yang tergantung dilangit-langit atap. Hanya satu kata yang tebesit dibenak Shane, wah. Shane melangkahkan kaki untuk memencet bel.
Tak lama kemudian pintu utama terderit halus dan terbuka, dari balik pintu, muncul seorang gadis kecil yang manis, ditaksir oleh Shane, gadis itu adalah pekerja di rumah tersebut,
“selamat siang” sapa gadis kecil itu pada Shane,
Lagi-lagi Shane tersenyum simpul dan menjawab, “selamat siang”
“apa anda tuan Shane?” tanya gadis itu lagi,
Shane mengangguk. Senyuman sumringah terpancar di kedua sudut bibir gadis tersebut, menjadikan wajah gadis tersebut, tampak semakin manis,
“ayo silahkan masuk, nyonya besar dan nyonya kedua sudah menunggu anda diruang utama sedaritadi” ujar gadis itu sembari membukakan pintu lebih lebar dan menggeser tubuhnya ke samping agar Shane dapat masuk kedalam.
Memasuki ruangan didalam rumah, Shane hanya dapat mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Dalam ruangan dipenuhi oleh benda-benda yang mungkin harganya sangat mahal. Dilihat lagi oleh Shane, pembantu-pembantu didalam rumah itu yang kebanyakan adalah perempuan, sibuk mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.
Ketika Shane melintas, tampak mereka berbisik-bisik diiringi suara tawa kecil dan mata yang menatapi Shane. Shane menjadi sedikit malu dan berusaha mempercepat langkah untuk mengikuti langkah gadis kecil yang membawanya itu.
***
Keluar dari bangunan utama, lagi-lagi Shane disuguhkan oleh sebuah taman yang begitu indah. Entah mengapa, Shane merasa sangat suka dengan taman tersebut, sampai-sampai ia berdiri mematung untuk sejenak waktu,
“tuan... ayo” ucap gadis kecil yang membawa Shane, membuat lamunan pemuda tersebut, terbuyar seketika,
“ah iya..” Shane kembali meneruskan perjalanan,
Kali ini, Shane mendatangi sebuah bangunan rumah yang tak kalah besar dengan bangunan rumah sebelumnya. Menaiki tangga dengan hati-hati dan sampailah Shane pada dalam dari bangunan tersebut. Disana, sudah duduk seorang wanita tua dan disampingnya tampak seorang wanita paru baya yang masih terlihat sangat cantik. Wanita tua itu, tak lain adalah Farida, nenek kandung serta ibu kandung dari ibunda Shane, dan wanita paruh baya di samping Farida, tak lain adalah Dinda, istri dari Braddy sekaligus kakak ipar dari ibunda Shane.
Melihat sosok Shane berdiri tak jauh dari tempatnya berada, Farida segera bangkit berdiri dari duduknya, kemudian dengan langkah terhuyung-huyung, Farida berjalan kearah Shane. Matanya berkaca-kaca, dengan perasaan sedih, Farida pun memeluk Shane. Shane tak kuasa menahan sedihnya, ia pun menangis didalam pelukan Farida.
Suara tangis memilukan terdengar disetiap sudut rumah, membuat sesiapapun yang mendengar ikut merasakan kesedihan yang sama dengan keduanya.
Farida melepaskan pelukannya terhadap Shane, tangannya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis halus karena termakan usia, ia gunakan untuk memegang kedua pundak cucunya tersebut,
“sudah...anak laki-laki tidak boleh menangis”ucap Farida menghibur, meskipun air mata masih tetap menetes dari dalam pelupuk matanya,
Shane mengusap air mata, tidak terdegar lagi suara tangis dari dalam mulutnya, tetapi suara sesenggukan, sesekali masih terdengar,
“nenek sudah menunggu Shane daritadi, neneka sangat rindu dengan Shane”ujar Farida sembari menatapi cucunya.
“waktu berlalu begitu cepat, Shane yang sekarang sudah tumbuh menjadi pemuda tampan”sergah Farida kagum,
“nenek masih ingat, dulu... pertama kali Shane dibawa kesini, Shane masih kecil, masih suka merengek..”Farida bernostalgia, membuat Shane tertawa kecil,
“Sekarang Shane sudah dewasa, apa masih suka merengek??” lanjut Farida bertanya, Shane menggeleng. Farida kemudian tertawa, setelah itu, membawa Shane untuk duduk bersama-sama dengannya.
“Dewi, buatkan minuman untuk Shane” perintah Farida pada gadis kecil yang tadi mengiring langkah Shane,
“baik nyonya”ucap Dewi sembari berlalu dari ruangan tersebut.
“nah... Shane, apa kamu kenal dengan wanita yang berada disampingku ini??” tanya Farida, Shane menolehkan kepala dan melihati orang yang dimaksud oleh Farida.
Shane mengerutkan alis, tampak berusaha berpikir,
“tante Dinda?” ujar Shane menerka,
“ya... benar, dia adalah istri om Braddy, ternyata ingatanmu masih kuat ya”
Dinda tersenyum kecil, kemudian menanggukkan kepala sejenak, mewakili salam untuk Shane.
“kakak sepupu belum pulang, mungkin nanti malam, jika kau tak terlalu lelah, kau akan menjumpainya”ucap Farida. Shane menganggukkan kepala.
“Shane” panggil Dinda,
“ya tante”
“disini pekerja cukup banyak, jika kau memerlukan sesuatu, kau dapat memberitahuku, atau kau dapat menyuruh mereka langsung, mereka pasti akan segera membantumu”tukasnya,
“ya tante, terimakasih”
Dewi kembali kedalam ruangan dengan segelas teh hangat, kemudian teh itu ia berikan kepada Shane.
“terimakasih”ucap Shane, Dewi kemudian kembali berdiri di sisi Farida.
Dewi adalah pembantu pribadi yang bertugas melayani Farida, dan ia sangat dipercaya oleh wanita tua tersebut, untuk melakukan segala hal, meskipun usianya masih terbilang sangat muda, Dewi boleh dikatakan adalah seorang pembantu yang sangat rajin dan cekatan dalam mengerjakan segala hal, menjadikan dirinya sangat disayang oleh Farida, dan setiap orang didalam rumah tersebut.
“ayo, diminum dulu”
Shane meniupi teh yang masih tampak mengebulkan asap tersebut, kemudian dengan perlahan-lahan, ia menenggak sedikit, hingga ia rasakan, hangatnya teh merambat masuk ke kerongkongannya yang kering,
“Shane”
“ya nek”
“kau tak boleh bersedih lagi ya atas meninggalnya kedua orang tuamu”
Shane terdiam,
“kesedihan yang sama juga nenek rasakan, karena bagaimanapun juga ibumu adalah putri kesayanganku, dan ayahmu juga menantu nenek, tapi... harus kau ingat, seterkenal, sepandai dan seterpandang apapun orang itu, pasti tidak akan lepas dari kematian”
Shane mengangguk, “iya nek”jawabnya.
Seorang pembantu lain berlari-lari kecil kearah Dinda, kemudian ia berbisik pada Dinda, kemudian berlalu,
“Ma, Shane, ayo kita ke ruang makan, makanan sudah siap disediakan” Dinda memberitahu,
“baiklah”, “Shane, ayo... ikut nenek dan tante Dinda ke ruang makan, kita makan terlebih dulu, perjalanan panjang pastinya
membuatmu lapar bukan..”
Shane hanya tersenyum kecil, diletakkannya gelas yang dipegangnya, kemudian ia mengikuti langkah Farida yang menggandengnya untuk masuk kedalam ruang makan.
***
Diketuai oleh Dinda, Shane berjalan melintasi lorong-lorong rumah yang disamping kirinya terpasang jendela besar menuju ruang kerja. Sesampainya mereka disana, Dinda duduk disebuah sofa yang terdapat didalamnya, Shane masih berdiri diambang pintu sambil mengamati sekeliling ruang kerja dengan pandangannya.
Ruangan kerja itu tak pantas disebut sebagai ruang kerja karena arsitektur nya di desain dengan amat mewah, dengan paduan ukiran-ukiran kayu yang terpasang di setiap sudut langit-langit,
“Shane” panggil Dinda,
“ah...ya tante”
“ayo duduk disini, disebelah tante” pinta Dinda,
“iya tante”
Shane pun segera mendatangi tempat dimana Dinda duduk, dan duduk disamping wanita paruh baya tersebut sesuai permintaan.
Dinda menatapi Shane untuk sejenak, kemudian tangannya ia arahkan pada kepala Shane, dan tergerak mengelus rambut Shane yang sangat hitam. Bibirnya menyungging senyuman,
“dulu...waktu kamu pertama kali diajak oleh orang tuamu kesini, kamu masih sangat kecil” ujar Dinda,
“sekarang, sudah sekian lama tidak bertemu denganmu, kamu sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan” lanjutnya. Shane tersenyum kecil, merasakan setiap usapan Dinda pada rambutnya, yang membuat dirinya tiba-tiba menjadi rindu akan belaian sang bunda yang telah pergi meninggalkannya.
Dinda menghela nafas, menarik tangannya dari kepala Shane,
“oh... iya, tadi om mu berpesan, agar kau beristirahat jika sudah sampai, dan dia meminta maaf karena tidak bisa menemanimu, karena dia harus keluar kota”
Shane tersenyum sejenak, “tidak apa-apa tante”
“lalu, om juga berpesan, jangan terlalu menghiraukan Hendra jika dia sering mengganggumu”
“Hendra?”
“ya... Hendra, anak tante, apa kau ingat?”
Shane mengerutkan kedua alisnya, mencoba mengingat tentang nama yang baru saja mereka berdua sebutkan. Ya dia ingat, tapi waktu sudah lama sekali berlalu, tentunya Hendra yang dulu wajahnya sudah berubah.
Shane tak menjawab, ia hanya tersenyum.
“disini, tidak ada peraturan-peraturan ketat yang memberatkan dirimu, jadi, tak usah sungkan-sungkan jika membutuhkan sesuatu, kau dapar mengutarakannya langsung, pembantu disini sangat banyak, kau dapat memerintahkan siapapun untuk melayanimu”
“iya tante, terima kasih banyak”
“ya sudah kalau begitu, kamu tunggu disini sebentar ya, tante mau meminta mereka untuk membersihkan sebentar paviliun di belakang yang akan jadi tempat tinggal kamu”
Shane mengangguk. Dinda bangkit berdiri, kemudian berjalan keluar ruangan. Shane terduduk, melanjutkan menilik ruangan dengan pandangannya.
***
Shane menempati sebuah rumah yang dapat dikatakan sebagai sebuah paviliun yang terletak dengan megah di belakang rumah utama. Paviliun itu, dikelilingi dengan pohon-pohon bougenville yang indah serta berwarna-warni, beberapa pokok pohon sengaja ditanam disana untuk membuat suasana sejuk.
****
Si Hendra moga cepet muncul. Penasaran sama tokoh ini :-D
Tandain ah..
Btw mention yah kalo up
tapi tolong kasih alasan kenapa keluarga shane jarang ketemu keluarga neneknya itu......dari kecil ke dewasa rentan waktunya lama......emang shane tinggal dimana.....tadi bilang kota kembang....bandung kan....bandung jakarta paling lima jam.....
maaf mungkin aku salah kurang teliti bacanya