Patrick
Aku Tau
"...15... 16... 17..." aku terus menghitung sambil melakukan tekanan di bagian dada seorang pria berumur kurang lebih 40-45 tahun. Pria ini jatuh saat aku melewatinya beberapa saat lalu, sekilas memang aku melihatnya tampak kepayahan sambil memegangi dada kirinya kuat-kuat sebelum badannya tergeletak di lantai. Aku tidak benar-benar yakin saat itu karena aku sendiri sedang terburu-buru. Kejadiannya dekat lorong menuju UGD sehingga teriakanku minta tolong sangat cepat direspon oleh koass dan perawat yang sedang bertugas di UGD. Tidak kurang dari 3 orang koass dengan seragam UGD Rumah Sakit pendidikan kami datang, seorang diantaranya membawa kotak code blue, yang berisi alat-alat dan obat-obat untuk keperluan gawat seperti sekarang. Seorang dari koass tadi mengambil tempat di dekat kepala pria itu. Dia segera melakukan 2 tiupan dengan sungkup setelah hitunganku mencapai hitungan ke 30. Setelahnya aku kembali melakukan penekanan di dada pria tadi.
Kejadian ini ditonton orang banyak yang ada di sekitar tempat. Beberapa koass yang mencoba memberi pengertian supaya menjaga jarak dari tempat kejadian untuk memberi jalan bagi tenaga kesehatan yang datang tidak digubris. Kerumunan malah makin padat. Seorang dokter datang tidak lama kemudian setelah rekanku memberi dua tiupan. Sepertinya dia berlari tadi karena suara nafasnya ngos-ngosan. Di jas putihnya ada namanya dibordir dengan benang hijau dr. Elmo di bagian kantong depan.
" kompresi dada dan ventilasi 30 banding 2. Ingat ya dek." Perintahnya setelah berhasil mengatur nafasnya.
"Iya dok." Temanku yang ada di posisi kepala yang menjawab sedangkan aku tetap berkonsentrasi pada hitunganku.
Seorang perawat membawa *defibrillator. Memasangkan elektroda di dada pria tadi, sedangkan aku tetap berkonsentrasi pada hitunganku. Aku melihat dr.Elmo mengambil posisi dekat alat lalu menghidupkannya.
(Defibrillator: sederhananya alat kejut listrik yang dilengkap dengan monitor rekam jantung.)
" hentikan RJP*, ganti posisi." perintah dr. Elmo, saat dia bilang ganti posisi temanku yang semenjak tadi di belakangku menggantikan posisiku.
Aku melihat dr. Elmo melihat ke arah konitor di defribrillator.
(RJP: resusitasi jantung paru2. Terdiri dari 2 tindakan menekan dada pada bagian tengah/kompresi dada dan pemberian napas buatan, caranya setelah dilakukan 30 kali tekanan dada di lanjutkan dengan 2 tiupan nafas buatan/ ventilasi)
"Ventrikel fibrilasi! lanjutkan kompresi jantung dan ventilasi. 30 banding 2!" Perintahnya lagi.
Aku memperhatikan apa yang dilakukan dr.Elmo kemudian, dia bersiap-siap akan melakukan defribrilasi.
"NIIIIIIIITTTTTTT.......!" alat defribrilator mengeluarkan suara.
"De, awasin semua orang supaya jangan ada yang mendekati pasien." Perintahnya padaku dan teman disebelahnya.
"STOP, kompresi dada dan ventilasi" perintahnya kembali. "Jangan ada yang pegang pasien ya." Teriaknya kepada semua orang.
Aku memastikan tidak ada yang bersentuhan dengan pasien kami. Disaat bersamaan itulah seorang ibu hampir saja meraih pria tidak sadarkan diri ini untung aku dan seorang rekan ku menahannya. Air matanya dan tangisnya pecah.
" I'm clear, you are clear, everybody clear?" Terik dr. Elmo di lantai, sambil mengawasi memastikan benar-benar tidak ada yang menyentuh pasien. Setelah itu aku bisa melihat tubuh pasien tersentak saat kejutan listrik menjalar seluruh tubuhnya. Sejujurnya kejadian ini hanyanpernah kulihat di film Gray's Anatomy, ini pertama kalinya aku melihatnya langsung.
"Lanjutkan kompresi dan ventilasi! Segera!" Desaknya pada kedua temanku yang masih sama-sama terpaku dengan kejadian ini.
Semua orang disana saling berbisik, riuh sekali.
"Kak, I.V line nya tolong ya." Pinta dr. Elmo sopan pada perawat tadi.
Ibu yang kami tahan dari tadi terduduk lemas di lantai lorong itu sambil menangis. Aku coba mengusap-usah punggungnya supaya lebih tenang.
"Kami usahakan yang terbaik untuk keselamatan keluarga ibu." Kataku.
"siapin akses I.V* tolong ya kak."
Aku perhatikan saja dr. Elmo memberi perintah, dengan begitu aku belajar. Ketiga temanku yang lainpun begitu.
"Nadinya kembali!" Sergap dr. Elmo setelah beberapa memegang nadi di bagian leher pria tadi. "Stop kompresi dada, pasang sungkup oksigen, lakukan presedur pemindahan pasien."
"Siap dok." Ujar kami serempak. Dokter elmo sendiri pergi menjauh bersama seorang ibu yang tadi menangisi pria ini. Setelah bemberi penjelasan sedikit wanita itu menghampiri pria itu yang tetap belum sadarkan diri sambil menangis dan menyuruhnya bangun.
" bangun pak.... bangun pak..."
Kami mendorong pasien ke ruang HCU yang persis bersebelahan dengan ruang UGD.
××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××
" kejadian tadi gak tiap hari terjadi kan ya?" Sorak ku antusias di belakanh kemudi.
"Tentu saja, aku juga tidak setiap saat menerapkan ilmu tadi di luar ruang ICU." Balas Elmo. " Tapi yang pasti, kesigapan kamu tadi yang menyelamatkan bapak tadi."
" Hahahahaha jadi gak enak." Tawa ku sambil mencoba menggapai hidunh bangir Elmo.
" Apa sih? Hati- hati, lagi nyetir juga!" Sungut Elmo dengan wajah galakmya, persis seperti wajahnya saat memegang komando saat melakukan penanganan pasien henti jantung tadi.
"Jadi pasiennya gimana?" Tanya ku sambil memandang kembali jalanan.
"Sudah dikonsulkan dokter spesialis jantung, sementara ini kita tunggu saja perkembanganya."
" Oh." Pendek saja.
Aku kendalikan kendaraan ku menuju Plaza Semanggi, rencananya aku dan Elmo akan menonton di bioskop, besok hari minggu, dengan jadwal koass ku yang padat dan jadwal jaga Elmo yang tidak kalah padatnya sepertinya terakhir kami menghabiskan waktu bersama untuk keluar nonton atau mengobrol santai kira-kira dua bulan lalu.
" kita akan nonton sampe tengah malam nih! Aku nginep ya di kost kamu Mo?" Tanyaku saat mencapai parkiran Plangi.
"Emang biasanya gimana?" Tanya balik.
" kamu nih galak banget sih, ini bukan rumah sakit lagi, kamu pacarku di luar ini." Bisikku sambil mendekatkan bibirku padanya. Dia tidak melawan bahkan membalasnya.
" Love you Patrick" bisiknya seusai kita berciuman.
Sambil mendorong menjambak rambutnya lambat. " udah tau!" Lalu mendahuluinya keluar mobil.
"Sialan!" teriaknya mengejarku sambil melompat ke punggungku.
Kami bertengkar seperti anak SD, seperti saat kami bertengkar soal kecuranganku bermain kelereng. Ada argumentasi kecil kami lakukan sepanjang jalan menuju bioskop.
Dalam hati aku berkata.
" love you more"
Sambil kutinju pelan punggungnya.
××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××
" Tolong ayah saya dok.....!" Teriak memohon remaja sambil mengiringi brangkar yang ku dorong bersama beberapa koass lain saat. Ini minggu pertamaku sebgai koass setelah menempuh pendidikan sebagai sarjana kedokteran. Aku sendiri sedang asyiknya menikmati sensasi yang diberikan saat mengenakan jas dokter ini. Koass. Aku jujur berharap minggu pertama tugasku di UGD akan tenang, tetapi inilah yang terjadi.
" reflek pupilnya negatif!" Bisik ringan Sandra disaat-saat kami memasuki. " nadi juga gak ada." Ujarnya lagi.
" Ini midriasisnya juga udah maksimal nih." Balasku setelah menyenteri kedua matanya.
" D.O.A?" Tanya Bobo.
Kami sudah membawa sampai keruangan, Bondan bersamaan sudah datang bersama dr. Elmo.
" kenapa?" Tanya Elmo cepat, sesaat sampai ruangan. Dengan sigap dia segera memeriksa laki-laki berusia 50 tahun itu. Anak yang tadi mengantar pria ini terisak-isak menangis belum sanggup menjawab.
Dari ekspresi wajah Elmo saat itu dia menyadari sesuatu. Dia segera mengambil posisi dan mulai menekan-nekan dada pria itu dengan kedua tangannya. Melihatnya bersungguh-sungguh dengan wajah garangnyanentah mengapa itu pemandangan yang membuatku terangsang. Damn! Patrick please! Seru ku dalam hati.
" tunggu apa lagi? Ambil peralatan emergensi!" Sentaknya.
Aku diam saja saat itu mau protes. Sedangkan yang lainnya segera berhamburan mengambil meninggalkan ruangan dn kembali dengan bagging.
" bobo, ganti posisi saya." Perintah Elmo. Bobo tidak banyak tanya langsung melakukan kompresi dada pada pria itu.
" kami akan berusaha menyelamatkan ayah Anda. Tolong bantu doanya. Anda boleh tolong memanggil saudara-saudara supaya membantu doa untuk keselamatan ayah Anda." Jelas Elmo pada gadis itu.
Walau dengan terisak dia mengtakan paman dan ibunya sudh dalam perjalanan.
" mo.... eh maksudnya dokter Elmo, pasiennya ini D.O.A."
" apa itu D. O. A?" Tanya Elmo balik
" what? Are testing me?"
" D. O. A? Apa itu? Singkatan apa itu?" tanyanya lebih dingin lagi. Aku jadi gentar juga dibuatnya. Ternyata dia tiak bercanda.
" Dead on arrival." Jawabku menahan geram.
" lalu? Masalahnya apa kalo dia di RJP?"
Aku malah jadi bingung dengan pernyataannya. Ekspresi kebingunganku di tangkap oleh elmo.
" the man is dead... we all know that, but his daugter didn't. If we do not do anything for him, she will think we give up too fast for his father." Tiba-tiba Elmo membuka mulutnya sedikit lebih keras supaya teman-teman yang lain mendengar. Wajah bingung mereka segera berubah lebih segar dan paham apa maksud RJP ini untuk orang yang sudah meninggal bahkan mungkin setengah jam yang lalu, sebelum mencapai rumah sakit ini."
"So she can see, we are trying save her father. Make her feel better because someone else try to help her and her father. And with this you can learn to do CPR." Lanjutnya lagi sambil menjauh dariku, memberi aba-aba melakukan RJP yang benar pada Bobo dan Sandra.
Rasanya jantungku berhenti saat itu. Asistol. Dia seperti tidak mengenaliku. Seolah-olah aku hanya koass biasanyang perlu diajari. Aku segera pergi meninggalkan ruang UGD, selintas ku melihat remaja perempuan itu, sepertinya dia tidak mengerti apa yang terjadi. Tidak paham apa yang Elmo katakan dalam bahasa Inggris pada kami semua disini.
××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××x×××××××××xxxxxxxx
Tok.... tok... tok....
Suara ketukan di pintu. Dengan enggan ku buka pintu kamar kostku tanpa bertanya siapa yang mengetuk.
Elmo. Sesuai dugaanku.
" kamar kamu nih emang yang paling enak ya, dipasang AC gini. Asyik bener, bukanpintu bentar aja langsung terasa perbedaan suhunya." Celetuknya lalu masuk kedalam kamarku lalu duduk di ranjangku. Aku tidak ingat mempersilahkan dia masuk apalagi duduk.
Dia menatapku bingung. " kenapa muka kamu kusut?" Sambil menunjuk-nunjuk mukanku.
Aku tidak menjawab. langsung saja kututup pintu dan duduk di kursi belajarku. Dia memang pura-pura bodoh atau memang benar-benar bodoh soal kejadian kemarin sore?
" kamu kapan jaga malam Rick?" Tanya dia lagi. "kayanya asyik nih kalo weekend nonton. Ada film bagus nih." Smbil memperlihatkan jadwal film di opera mininya.
" oi!" Coleknya menggunakan ibu jari kakinya ke pahaku. Aku tepis kakinya dan mulai membuka-buka bukunyang tidakku baca. Diulanginya lagi perbuatannya untuk kedua kalinya karena aku tetap tidak menjawab.
" apa sih?" Nadaku kesal, sambil ku pukulkan buku tulisku ke betis kakinya.
"Aduh! Sakit tau. Eh? Galak bener!" Ujarnya kesakitan sambil mengelu-elus betis kakinya yang barusan kupukul.
"SYUKUR!" Ledekku puas.
Elmo bangun dan menariku ke dalam pelukannya. Lalu diacak-acaknya rambutku. Aku berontak sedangkan dia malah makin mengetatkan pelukannya. Kami bergumul diatas kasurku sambil sesekali tertawa kegelian saat dia mengelitik pinggangku.
Beberapa lama kamipun kelelahan.
" aku minta maaf kalo kamu tersinggung dengan perlakuanku yang lalu." Ujarnya akhirnya. Mulutnya terbuka untuk melanjutkan ka7limatnya
"Tapi itu sudah tugas mu sebagai dokter asisten terhadap aku koassmu." lanjutku mendahului dia. aku mentap wajahnya. Pandanganku kemudian masuk kedalam pupil matanya.
"Aku paham kok, cuma kaget aja." Lanjutku lagi. Kami lalu berciuman.
"Mendapat perlakuan sekasar itu sementara kamu selalu memperlakukanku dengan baik sempat membuatku seperti asistol. Jantungku sesaat seperti berhenti berdetak." Ujarku lagi dalam pelukannya. Elmo hanya mengelus-elus kepalaku.
" Perlu RJP dong ya?" Ledeknya.
Dia mengaduh saat aku mencubit perutnya. Kami tertawa lepas lagi.
" weekend ini aku dapat giliran jaga" ujarku kemudian, "nontonnya di luar weekday aja berarti. Kita cocokin jadwal ya." Kataku kemudian setelah puas tertawa.
Elmo diam saja. Ku lihat wajahnya. Dia sudah tertidur.
Ku cium pipinya dan berbisisik. "Love you"
"Aku tau." Bisiknya membalas.
TidaK tunggu lama kuhantamkan gulingku ke kepalanya.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxzxxxxxxxxxxx
Comments
RJP ya?
Hmm ini lanjutan yg dlu or nama tokohnya doank yg sama?
Elmo... Unik namanya deh, jd inget jaman kapan dah tuh suka nontn si merah Elmo :-P
Lanjut ASAP please :-*
dan @tsu_no_yanyan namanya aja yang sama tapi beda.
semoga tulisanku kali ini lebih baik. maaf soal kesalahan ketiknya ya. next update akan lebih diminimalis.
kirain dr elmo yg sama. tapi cerita yg ini emang lebih rapi.
siip, ada alternatif cerita berlatar medis selain ceritanya @rendesyah. soalnya bosen baca cerita yg dikit-dikit tokohnya terkena penyakit yg dulu memang punya reputasi mematikan tapì sekarang kan bisa disembuhkan.
mas @redensyah, maksudku reputasi penyakitnya, bukan reputasi penulisnya. banyak penulìs (termasuk sinetron dan film) yg menggampangkan dalam menyingkirkan karakter dlm cerita dgn menderita penyakit yg langsung meninggal dalam waktu singkat tanpa ada perlawanan berarti dari sisi medis.
kalo cerita mas @rendesyah dan dokter lainnya membuat kita jadi tahu apa yg harus dilakukan kalau ada orang yg kena penyakit.
kalau cerita berlatar tahun 70-an masih masuk di akal, tapi ilmu kedokteran kan tambah maju.
Apapun kata orang. Sadarilah siapa dirimu. kamu adalah cahaya.
Bona
Cahaya
Aku masuk ke ruang di seberang lapangan basket yang berdiri berdampingan dengan perpustakaan. Ruangan ini merupakan ruangan guru BD. Aku mulai sering mengunjungi ruangan BP untuk konsultasi semenjak aku harus membuat pilihan saat masuk kelas IPA atau IPS setahun lalu. Kelas bahasa saat itu bukan pilihan karena aku tidak menyukai bahasa Inggris. Aku ketuk pintu, baru kemudian masuk.
Bu Neti ada di dalam ruangan, dia guru BP yang selalu aku ajak mengobrol tentang kebingunganku selama ini soal mau jadi apa aku setelah lulus SMA.
" selamat siang Bona." Sapanya ramah sebelum menghirup teh tawar aroma stroberi yang biasa diminumnya setiap siang saat jam istirahat. Aku tersenyum padanya dan kuucapkan selamat siang juga.
Beliau menggunakan jilbab hitam, sehingga kulit putihnya semakin cemerlang terlihat. Dia mempersilahkanku untuk duduk. Aku memilih duduk di depannya.
" teh tawar ya bu?" Tanyaku saat dia menghirup kembali tehnya di gelas.
" kamu mau Bona?" Tanyanya balik tidak menjawab pertanyaanku.
" enggak.... ah bu, saya suka yang manis-manis." Balasku.
" kaya ibu ya." Ledeknya. Dia benar-benar suka sekali sekali meledekku untuk menghilangkan rasa canggungku. Aku tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Alasan beliau meminum teh tawar saja karena dia menderita kencing manis. Beliau menceritakannya seminggu lalu saat sesi konsultasiku, saat tanpa sengaja dia menjatukan obat yang biasa diminumnya. Glibenclamid, aku ingat sekali nama obatnya.
Aku menyukainya seperti seorang nenek untukku. Setahun lagi dia akan pensiun. Usianya memang sudah lebih dari setengah abat. Dia sanggup mendengar cerita-ceritaku dengan sangat sabar sekalipun itu cerita yang berulang-ulang dan kebingungankunyang berulang-ulang.
Dulu aku memutuskan masuk kelas IPA bukan karena gengsi yang dimiliki kelas ini. Bukan juga karena aku sangat menyukai rumus-rumus tetapi karena aku masih bingung mau jadi apa kelak setelah lulus SMA. Katanya dengan memilih kelas IPA pilihan untuk jurusan kuliah berikutnya tetap masih cukub luas. Aku menyebutnya perpanjangan waktu sampai benar-benar siap memilih. Hanya itu alasanku. Aku masih bingung. Sayangnya sampai sekarangpun begitu.
" kamu main lagi aja ke tempat ibu, nanti bisa ngobrol-ngobrol lagi jam istirahat sudah habis tuh."katanya diakhir sesi konsultasi. Aku kaget juga waktu terasa cepat sekali berlalu. Walau dengan berat hati aku akhirnya meninggalkan Bu Neti setelah mengucapkan salam.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
"Dari arti katanya kromosom ini terdiri dari 2 kata, chrome: cahaya dan some: badan, artinya badan yang bercahaya." Terang Bu Ana di depan kelas. " ada yang tahu mengapa di beri nama begitu?" Tanyanya kembali. Beberapa orang di dalam kelas mengangkat tangannya. Salah satunya aku. Bu Ana menunjuk Santi untuk menjawab.
" karena dengan pewarnaan kromosom yang paling banyak menyerap zat warna." Jawabnya yakin.
Bu Ana tersenyum dengan senang dan memuji Santi. Pujian itu membuat wajah Santi lebih semangat lagi. Jawaban ku sama persis dengan Santi. Sedikit kecewa karena Santi yang mendapatkan pertanyaan itu. Segera Bu Ana kembali menjelaskan pelajarannya.
" Bona, kamu tahu jumlah kromosom yang terdapat di dalam 1 sperma?" Tanyanya kemudian. Apakah beliau menangkap wajah kecewaku tadi hingga beliau langsung melepaskan pertanyaan itu kepadaku.
" 23 bu, setengah dari jumlah kromosom manusia yang ada 46 buah." Jawabku agak tersedak karena terburu-buru menjawab.
"Cerdas sekali Bona, benar sekali." Pujinya dengan wajah yang berseri.
Aku pikir memang tidak ada penghargaan yang lebih menyenangkan dari seorang guru terhadap muridnya selain pujian di depan kelas. Itu membuatku merasa usaha kerasku untuk mempelajari materi pelajaran yang disuguhkan menjadi pantas dan terbayar. Bu ana akhirnya menjelaskan kembali tentang materi-materinya sambil sesekali melemparkan pertanyaan di depan kelas.
" kromosom ini merupakan kromosom terkecil dari ke 45 kromosom lainya tetapi kromosom inilah yang membuat Candra, Sandi, Bona, Andi dan murid-murid pria disini menjadi seorang laki-laki. Kromosom apa itu?" Tanyanya ke depan kelas.
Beberapa coba berbisik-bisik dengan teman sebangkunya.
" baiklah Bona, apa jawabanmu." Bu Ana mempersilahkan ku menjawab. Ternyata hanya aku yang mengangkat tangan.
"Kromosom Y" jawabku pendek.
Bu Ana kali ini tersenyum. Dan menepuk pundakku sambil mengatakan. "Kerja bagus, benar sekali."
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
" Lu mau kemana sepulang sekolah?" Tanya Santi. Saat dikantin kelas di jam istirahat.
" Aku mau menjenguk Bu Neti, beliau masih di rawat RS." Jawabku sambil mengambil krupuk di piring gado-gado Santi.
" lu tuh ya!" Candra memukul punggung tanganku.
" ih! Kenapa lu yang protes sih! Santi aja gak protes." Sergapku pada Candra.
"Udah ah, jangan berantem. Sayang, kamu juga mau kerupuknya?" Tanya Santi sambil menyodorkan kerupuk kampung ke mukut Candra. Candra menerimanya dengan senang. Menyebalkan sebenarnya melihat kemesraan cinta monyet sahabatmu sendiri. Aku sedikit memberi gqngguan untuk kemesraan mereka berdua, kami bercanda kecil.
" btw, lu udah tau mau ambil kuliah apa nanti Bon?" Tanya Santi tiba-tiba saat aku dan Candra asyik berebut kerupuk nasi goreng Candra. Pertanyaanku membuatku sempat lengah sehingga Candra berhasil merebut potongan terakhir kerupuk yang ku incar.
" kok diem? Hasil konsultasi lu dengan bu Neti selama ini gimana?" Tanya Santi lagi. "Masa masih bingung mau jadi apa nanti?"
Pertanyaan Santi ini malah membuatku menerawang kejadian saat kunjunganku ke rumah Bu Neti tida hari lalu.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
" kamu datang aja ke rumah ibu ya kalo kamu masih ada yang mau diobrolin." pesan ibu Neti saat mengakhiri waktu konsultasi ku. Jadi aku disinilah aku di depan rumahnya. Saat aku mengetuk pintu, anak perempuannya membuka pintu dengan mata sembab karena menangis. Aku memanggilnya kak Rere.
"Astaga Bona! Tolong kakak, Mama dari tadi bicaranya ngigo dan tiba-tiha sekarang gak bangun."
Di dalam kamar aku melihat Bu Neti, tertidur pulas tetapi suara ngoroknya keras sekali.
" kita bawa ke rumah sakit aja kak?" Saranku.
"Iya, Bona, dari tadi kakak bingung mau bawanya gimana."
Aku menggendong ibu Neti, lumayan berat tetapi aku masih sangup mengangkatnya. Menggunakan taksi kami segera membawanya ke RS terdekat. Tepat di depan UGD sejumlah dokter langsung membantuku memindahkan Bu Neti ke atas berangkar untuk di dorong. Kak Rere dan aku mendampingi saat berangkarnya didorong sambil menceritakan kejadiannya.
Salah satu dokter ini menarik perhatianku dengan wajah tampannya. Di jas putihnya tergantung nama Patrick dia serius mendengarkan penjelasan kakak Rere sambil kadang mengajukan pertanyaan.
"Ibu ini ada minum obat apa gak sebelumnya?" Tanyanya dokter Patrick ini.
"Glibenclamide dok" jawabku cepat sambil menunjukan sebungkus obat. Dia mengambilnya cepat lalu membacanya. Dokter-dokter yang lain memeriksa Bu Neti sekalipun masih dalam keadaan di dorong.
" ibu ini punya penyakit gula?" Tanyanya.
"Iya, sudah lama." Jawab kak Neti sambil sebisa mungkin menahan tangisnya.
Dokter tampan itu segera berlalu masuk ke dalam kamar khusus dalam ruangan UGD itu. Dia kemudian berbicara ke seorang dokter yang lebih tua. Dokter itu segera memberi perintah melakukan sederet tindakan dengan beberapa istilah yang aku tidak paham.
Kami menunggu di depan pintu kamar khusus itu yang terpisah hanya dengan cermin tebal, sehingga kami busa melihat kesibukan yang terjadi di dalam.
" ibu, mohon tanda tangani surat pernyataan ini ya, surat ini berisi persetujuan pemasangan infus." Ujar dokter tadi lagi, semenjak kedatanganku disini aku semakin hafal wajah tampannya. Walau khawatir dan berusaha menenangkan kak rere tetapi tetap saja mataku suka sedikit jelalatan.
Seorang dokter yang umurnya diatas dokter tampan tadi kemudian datang untuk menjelaskan keadaan Ibu Neti. Beliau menyebut soal glukosa. Kadar gula yang turun. Aku tidak benar-benar paham apa yang beliau jelaskan. Kata glukosa pernah kudengar sekilas di pelajaran biologi. Artinya gula yang ada di dalam darah seingatku.
" Sekarang, ibu Anda sudah sadar." Kalimat ini menutup penjelasan. Sempat tidak percaya kami dibuatnya. Secepat itukah? Kami berterimakasih sebanyak-banyaknya pada sang dokter. Kami masuk dan bisa mengobrol dengan bu Neti. Kak Rere hanya bisa menangis tersedu-sedu, sambil menyebut-nyebut nama Tuhan.
"Kamu ganggu ibu tidur saja." Celetuk asal bu Neti pada anaknya dan aku. Padahal kelihatan sekali dia menahan rasa sakit kepalanya.
" kami akan mengawasi ibu Anda." Kata seorang dokter yang sama mudanya dengan dokter tadi. Aku mencari-cari wajahnya.
×××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××
" eh! Lu bengong lagi." Tegur Candra sambil menepuk pundakku.
Aku berada di kantin sekolah bersama Candra dan Santi. Jadi dari tadi aku ngelamun soal kejadian beberapa hari lalu itu?
" ya udah yuk, udah pada habiskan makanannya?" Kami kembali kekelas dan menyelesaikan sisa jam pelajaranku.
Pulangnya aku naik bus menuju RS tempat Bu Neti dirawat. Di lorong menuju UGD, aku melihat kerumunan orang, aku penasaran mencoba menerobos masuk kerumunan. Jantungku berdetak sangat keras, aku merasa bisa mendengar detakan jantungku sendiri. Aku melihat pemandangan yang membuatku cukub ngeri, seorang dokter menekan-nekan dada seorang pria, mungkin umurnya sudah setengah abat. Setelah kuperhatikan lebih lanjut ternyata itu dokter Patrick. Wajahnya gelisah sambil menghitung. Teman-temannya berdatangan.
I want to be one of them. Batinku.
Ini kedua kalinya aku melihat demonstrasi penyelamatan hidup orang. Aliran darahku terasa mendidih. Kalo bukan karena takut jam kunjungan habis aku ingin melihat seluruh kejadian tadi sampai habis.
Sepanjang perjalananku menuju kamar bu Neti, aku merasa sangat antusias.
××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××××
" jadi kamu sudah tau mau jadi apa?" Tanya ibu Neti. Aku tertegun, dalam keadaan sakitpun dia masih sempat memikirkan soal anak didiknya ini.
" ibu makasih ya, berkat ibu saya tahu saya akan jadi apa."
" Ibu mendengarnya. Jadi kamu mau jadi apa?"
"Saya mau jadi dokter bu." Jawabku mantap. "Aku mau ibu jadi orang pertama yang mendengarnya."
Wajah Bu Neti berseri-seri. Aku tau wajah berseri-seri bukan karena aku mengatakan mau menjadi dokter, bukan, wajah senang itu, wajah puas ini adalah wajah puas telah membimbing seseorang untuk tau apa yang diinginkannya sendiri. Bukan soal menjadi dokter. Tapi soal tahu mengetahui keinginan diri sendiri. Aku yakin sekalipun aku bilang aku mau menjadi seorang wartawan atau pilihan lain dia akan menunjukan wajah puas itu.
Selama hampir satu setengah tahun ini aku selalu menjawab tidak tau.
" Ibu bangga padamu Bona." Pujinya tulus. Pujian seorang nenek pada cucunya. Pujian seorang guru pada anak didiknya yang menemukan siapa dirinya.
Aku tersenyum dan mulai menceritakan kejadian yang baru saja aku lihat tadi. Senyumnya terus saja mengembang mendengar ceritaku yang berapi-api.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx