BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Camera Chronicle (One Shot)

edited September 2013 in BoyzStories
Well, this is the first time I've ever posted my fic here...
Exactly this is like an adaptation of a Korean G themed short film called 'Boy Meets Boy' but with some more recognized arrangement...so I gave disclaimer, I'm not trying to copy entirely just try to modify..:)
hope you enjoy..:)

CAMERA CHRONICLE

Ray POV
Kamis, Kamar Kost, Area Sekitar Kampus Jatinangor

Sudah dua hari ini aku tidak bisa tidur. Isi dokumentasi penelitianku semuanya ada disitu, di kamera itu. Aku tak tahu harus bikin alasan apa lagi untuk menghindari cecaran teman kelompok dan dosen pembimbing. Deadline sudah di depan mata, tidak mungkin aku mengulang semuanya lagi.Semoga saja dia sadar dan mengembalikan kamera itu secepatnya. Semoga.
Minggu, Bus, Jatinangor.

Oke, terpaksa aku harus mengulang semua hasil dokumentasi untuk penelitian kelompok. Kembali ke kebun binatang. Kembali menangkap gambar-gambar nyata kelompok binatang herbivora kelas mamalia bergenus Macaca. Sendiri. Itu pun sudah untung dosen mau memberikan kelonggaran untuk kelompokku karena sebuah musibah yang kualami sekitar lima hari lalu yang lalu. Jadi harus kujalani dengan tabah ikhlas.

Bukan berarti ada dispensasi lantas aku bisa dengan lancar mengerjakannya. Perlu aku catat daftar kesialanku hari ini:
1. Terlambat bangun=terlambat naik bus=sampai di lokasi siang=padat pengunjung;
2. Sepatuku jebol tanpa kusadari, terpaksa aku pakai sepatu yang sudah dua bulan lalu belum
kucuci;
3. Bus penuh sesak, aku harus berdiri selama 40 menit sebelum akhirnya duduk;
4. Kamera milik temanku jadul sekali, masih menggunakan film;
5. Aku tidak bisa menggunakan kamera berfilm.

Kuputar, tekan, dan otak-atik kamera antik itu. Tak tahu harus mulai darimana untuk mengisi filmnya. Padahal ini 2013, dimana barang elektronik paling modern sudah bisa didapatkan dengan harga paling miring. Dasar temanku saja memang jadul. Dia bilang kameranya keramat dan harus betul-betul dijaga dengan baik. Asli, memang kamera ini harusnya masuk museum saja. Terlalu keramat untuk anak modern sepertiku.

Tiba-tiba bus berhenti mendadak. Roll film yang baru saja kuambil terjatuh ke lantai, bergulir cepat ke arah pintu depan. Sial yang lain. Saat hendak beranjak dari kursi, seseorang yang berdiri mengambil roll film itu. Seorang pemuda, modis. Denim biru langit, sepatu Converse putih, jaket krem sedikit tebal melapisi badan tegapnya yang hanya dibalut kaus oblong putih. Matanya menatapku mantap dibalik cap hitamnya. Bola mata coklat kehitaman yang sepertinya familiar buatku. Tatapan yang sepertinya kukenal. Mengusik namun adiktif. Hanya saja aku tak ingat mata siapa itu.

Awalnya aku ragu tapi akhirnya aku berdiri juga. Melintasi ibu-ibu berumur berbaju ungu tua-sangat meyiratkan kesendiriannya-yang duduk di sampingku. Kutinggalkan tasku disana, menuju pemuda itu. Aneh, jantungku sepertinya bergerak agak terlalu cepat dari biasanya. Apa aku minum terlalu banyak kafein tadi malam? Atau ada kafein lain yang sedang merangsang adrenalin dan dopamin melesat banyak-banyak dari sel persembunyiannya?

Mataku menatap matanya. Matanya merebut seluruh pandanganku. Aku mengulurkan tanganku. Ia membuka kepalannya. Tanpa suara. Perlahan aku ambil roll itu dari telapaknya. Hanya butuh sepersekian detik, kulitku bagaikan disengat 1000 volt listrik. Jantungku berhenti sejenak. Tepat saat jemarinya menahan jemariku. Spontan kulihat lagi wajahnya, matanya. Aku rasa tahu dia siapa meski tak yakin.

Kuputar balik tubuhku, beranjak ke kursiku lagi. Ternyata sulit. Aku hanya dapat berdiri di samping janda paruh baya itu dengan wajah yang aku sendiri tak mengerti sudah berbentuk seperti apa. Ibu itu malah inisiatif mengambilkan tasku di pinggir kursinya, lalu duduk di kursiku yang bersisian dengan kaca. Aku hanya dapat berdiri mematung dengan perasaan sama tak berbentuk seperti ekspresi wajahku. Kulihat jalan di balik kaca, sudah hampir sampai.
Lebih baik aku berhenti disini, jalan sebentar. Kumpulkan lagi fokus.
Kudekati pintu keluar belakang. Tak lama bus berhenti di bawah jembatan layang di dekat Mall stasioneri yang cukup terkenal. Aku bergegas turun, menyeberang jalan menuju trotoar merah jambu yang khas. Tinggal beberapa meter menuju kebun binatang. Aku terus berjalan meski ingatan kian berkelebat.

Angan-aganku, seperti yang sudah kuduga, membawaku pada peristiwa beberapa hari lalu itu. Aku sedang melihat-lihat isi kameraku di gang samping kampus. Langit sudah agak gelap, aku berjalan sedikit terburu-buru, tak ingin terperangkap hujan. Aku berjalan cepat sambil mengeluarkan kunci agar tidak panik saat hujan turun. Aku benci kehujanan. Kemudian tepat sebelum turunan kunciku jatuh. Saat itu ada tangan yang mengambil kunciku.

DUK!

“Aduh, Ma..maaf mbak!” ujarku pada wanita muda yang kutabrak. Ayo, fokus Ray, jangan melamun!

Aku melanjutkan jalanku menyusuri trotoar. Banyak orang yang berjalan beriringan denganku tapi aku merasa ada yang mengikutiku. Kulanjutkan langkahku. Tetap aku rasa ada yang sedang memperhatikan punggungku. Kuhentikan langkahku. Langkah itu pun seperti berhenti. Siapa sih dia, apa orang yang di bus tadi ya? Tapi masak iya dia mengikutiku? Untuk apa? Apa dia benar-benar orang itu? tapi rasa-rasanya tidak mungkin, dia sangat terlihat anak baik-baik. Mungkin, ini hanya mungkin, dia mengikutiku karena tertarik padaku! Aku tersenyum sejenak dengan pikiran konyolku. Kulanjutkan langkahku perlahan. Aku bersikap biasa , tapi lihat saja, akan kukejutkan dia. Dalam tiga detik, aku berbalik tiba-tiba. Hanya kutemui udara kosong dan orang-orang yang berjalan di sekitarku.

Positif, Ray, kamu geer. Sudah lupakan dan cepat jalan!

Aku akhirnya berjalan dengan hampa dan kecewa. Harapan kosong itu memang menyakitkan. Lebih bodoh lagi aku berharap pada pemuda yang baru saja kutemui. Lagipula untuk apa aku merasa sesuatu yang spesial pada seseorang yang bahkan tahu namanya pun tidak. Lebih baik aku lupakan saja.

DUK!!!

Aduh, kenapa harus tabrakan lagi sih? Aku mengangkat kepalaku dan terdiam. Dia....


Rangga POV
Minggu, Sekitar Kebun Binatang, Dago-Tamansari

Dia menatapku dengan mematung. Aku pun hanya bisa berdiri menatapnya. Aku yakin dia ingat padaku. Aku percaya dia tahu siapa aku. Karena itu aku ada disini, untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Karena dia, aku tahu apa yang kulakukan salah. Karena dia, aku mengerti bagaimana rasanya bahagia menunggu. Karena dia, aku peduli dengan harapan yang setipis helai rambut. Karena dia, aku tahu keajaiban itu ada.


Ray POV
Minggu, Sekitar Kebun Binatang, Dago-Tamansari

Dia ada di hadapanku!

Berkali-kali aku berusaha meyakinkan diriku, kalau dia memang berdiri di hadapanku. Dia menatapku yang berusaha menyadari kalau kami bertemu lagi. Kali ini disengaja. Perasaanku tepat: dia mengikutiku sampai sini. Hanya saja mungkin dia menyalip atau mengambil jalan lain. Yang jelas dia disini untuk satu alasan yang kupercaya benar adanya. Dia disini untukku.
Perlahan dia berjalan mendekatiku. Entah mengapa, aku mundur. Ia berhenti lagi, aku pun berhenti. Aku perlahan memicingkan mata. Maksudku, ini hanya sebagai pertahanan diri. Siapa tahu dia mengikutiku karena dia pembunuh bayaran yang diperintahkan seseorang yang membenci diriku. Sepertinya terlalu gila. Atau bisa saja dia sengaja membuatku suka padanya untuk mencopet. Dari pakaiannya, dia tak punya potongan pencopet, tapi siapa tahu? Atau memang dia disini hanya karena aku?

Dia sadar, aku sedang memasang pertahanan. Perlahan tangan kanannya mengambil sesuatu dalam saku jaketnya. Itu...


Rangga POV
Minggu, Sekitar Kebun Binatang, Dago-Tamansari

Sepertinya dia curiga padaku. Benar, dia ingat siapa aku. Saat kudekati, dia mundur beberapa langkah. Sudah belajar dari pengalaman rupanya dia. Dia memicingkan matanya padaku. Fine, it’s about time then. Kuambil benda itu dari saku jaketku. Benda yang sempat kurebut dari tangannya beberapa hari yang lalu. Kamera.

Selasa, Turunan Sempit, Jatinangor

Aku dan keempat anggota geng sedang cari mangsa di gang sepi dimana kami biasa beroperasi. Aku sebenarnya mahasiswa medis kampus Jatinangor ini, dikeluarkan hanya karena tak bisa membayar biaya kuliah. Diusir dari tempat kost karena tiga bulan tak bayar tunggakan. Perusahaan asuransi Papa bangkrut dan sudah mati gantung diri. Mama masuk rumah sakit jiwa. Entah sekarang adik-adikku ada dimana. Mungkin ada yang dijual jadi gadis penghibur ke om-om pengusaha minyak yang kaya tujuh turunan. Mungkin ada yang memutuskan jadi pengamen jalanan atau pemijat plus-plus.

Aku sekarang pun tak bisa berdaya, tak punya apa-apa. Aku sudah kehilangan segalanya. Beruntung preman pasar Jatinangor mau menampungku karena aku bisa merampok dan mencopet dengan cerdas. Selain itu, aku tinggi kekar dan larinya cepat. Aku sebelumnya adalah atlet lari provinsi. Tapi kini, namaku seakan tak pernah ada di jajaran para atlit, tak ada yang mengenalku lagi. I’m totally disappear from the world.

Saat itu kulihat dia hendak berjalan menuruni jalan dari depan gang saat hari mulai gelap. Aku, dengan insting jahatku menunggunya di balik dinding. Tapi dia menjatuhkan sebuah kunci. Satu kali lihat aku langsung tahu bentuk kunci itu. Itu kunci tempat kost-ku dulu. Spontan kuambil kunci itu. Saat kuangkat kepalaku, kulihat dia berdiri di tengah turunan. Kuulurkan tanganku yang tadi kupakai mengambil kunci. Saat dia mendekat, seketika kutarik tangannya, disanalah anggota geng lain memegangi tubuhnya. Dia meronta, berusaha melepaskan diri. Salah satu dari kami mengambil paksa tasnya, aku sendiri mengambil kamera yang sedang ia pegang. Dia masih meronta, tapi tak bersuara. Dia berusaha melawan tanpa teriakan.

Sekilas...mataku menatap matanya yang sayu dan lugu. Berbinar menyiratkan ketulusan dan kepercayaan bercampur kekecewaan. Tatapan yang membuatku ingat pada keluargaku, Papa, Mama, adik-adikku, teman, dosen. Aku bukan begini. Aku tidak seperti ini. Ini bukan aku. Kulepaskan cengkramanku dari bajunya. Anggota geng lain spontan menatapku keheranan. Saat itu, dia menendang salah satu dari kami dan melarikan diri ke depan gang. Kami mengejar, namun rupanya dia membawa kami pada keramaian.

Sekali lagi, kutatap wajahnya yang kepayahan. Disanalah pertama kali kurasakan jantungku berhenti sesaat lagi. Hal yang sempat kurasakan saat bertemu dengan Lira, gadis yang kini meninggalkanku seiring dengan keterpurukanku. Wajahnya yang agak bulat tertutupi poni yang agak kusut akibat serangan tadi, menyiratkan ketakutan dan keberanian di saat yang sama. Androgini, dua hal kontradiktif yang berkumpul pada satu titik.

Aku berbalik meninggalkannya menuju arah terminal setelah sekian menit kami hanya bertemu pandang. Hampir semua anggota geng protes dengan sikapku yang tidak biasa. Aku tak peduli. Aku memang tak biasa semenjak bertemu dengan mereka, namun kutemukan aku yang biasa saat menatap matanya. Kutatap kamera itu lekat-lekat, tersenyum. Aku kelak bertemu dengannya lagi.


Ray POV
Minggu, Sekitar Kebun Binatang, Dago-Tamansari

Tangannya terulur lagi, dengan kamera yang kucari seminggu ke belakang. Bukan, bukan yang kucari tapi diambil. Dia yang mengambil kamera itu. Dia memang orangnya. Mungkin bukan potongannya tapi, memang dia itu copet. Dia tak akan tahu betapa gemetarnya tanganku saat memungut isi tasku yang berhamburan di gang itu.

Tangannya masih setia terulur tapi aku takut. Dia bisa saja nekat menculikku di tengah keramaian begini. Mungkin preman-preman itu tengah mengintai di sekitar tempat ini. Bukan mustahil juga daerah ini adalah daerah kekuasaannya juga. Badannya yang tinggi besar itu sangat mencerminkan kharisma dan aura jahat seorang ketua mafia. Aku masih enggan mendekat.

Sepertinya dia mulai pegal. Topinya ia ambil, sehingga cahaya matahari dengan leluasa menyibak bayangan di kedua matanya. Dia tersenyum, terlihat sangat tulus. Tapi dia bisa saja rampok kelas kakap yang pandai bersandiwara. Modus kejahatan sekarang sudah benar-benar kreatif sampai bikin paranoid banyak orang. Hitam dan putih penampilan sudah tidak mencerminkan isi hati. Semuanya abu-abu.

Tanpa lelah, tangannya tetap terulur meski aku tau pasti dia sudah sangat pegal. Dia juga tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang sambil melihatnya. Apa sekarang penjahat ini begitu nekat untuk mencuri perhatian orang-orang juga? Tak takut kalau dia nanti dihajar keroyokan oleh massa? Beribu ragu yang memenuhi otakku tak menyurutkan usahanya meyakinkanku kalau dia ingin terlihat tulus. Akhirnya kupaksakan tubuhku maju, mengulurkan tanganku untuk mengambil kamera itu. Secepat kilat kutarik lagi tanganku setelah kugenggam kamera itu. Dia hanya tersenyum, memakai kembali topinya dan berjalan melewatiku, tanpa menyentuhku sama sekali.

Apa ini? Kenapa aku jadi menyesal telah berpikir yang tidak-tidak tentangnya? Kenapa aku hanya bisa diam? Kenapa dadaku berguncang hebat sekali? Kenapa aku tak rela dia pergi begitu saja?
Aku berbalik menatap punggung lebarnya yang bergerak menjauh...


Rangga POV
Minggu, Sekitar Kebun Binatang, Dago-Tamansari

Beres. Aku hanya ingin mengembalikan barang yang kupinjam. Tak perlu dia tahu kalau aku benar-benar tulus. Tak perlu dia tahu kalau aku sudah tidak bersama komplotan preman itu lagi. Tak perlu dia tahu kalau aku mulai bekerja di sebuah lembaga privat dekat kampus. Tak perlu dia tahu kalau aku hanya ingin bertemu, memandang wajahnya, menatap matanya sekali lagi. Tak perlu dia tahu kalau aku rindu.

Rabu, Perkampungan Dalam, Jatinangor

Orang yang kupanggil Abang, yang bersedia menampungku, marah besar. Dia bilang aku berkhianat dan hal itu yang paling dia benci. Menurutnya kepercayaan itu begitu mahal harganya dan aku menghancurkannya begitu saja saat meninggalkan pemuda itu hanya dengan membawa sebuah kamera. Sekali lagi aku diusir. Aku kembali seperti saat dibuang dulu, namun sekarang aku senang. Aku kembali menjadi aku yang kukenal dulu.

Aku berhenti di rumah kost tempat aku tinggal dulu. Aku tahu ada dia disana. Aku tahu dia sedang ketakutan dan mungkin kehilangan. Kamera ini mungkin penting buatnya. Tapi aku ingin bertemu dengannya lagi, jadi harus kusimpan. Maaf kamu harus menunggu...

Kamis, Masjid Raya Ibnu Sina, Jatinangor

Semalam tadi aku menginap di masjid. Aku tak punya apapun kecuali kamera ini. Tak banyak yang dapat kulakukan. Aku meminta izin kepada DKM Ibnu Sina untuk bisa menjadi pengurus, sehingga aku bisa tinggal disana sebagai marbot, meski aku bukan lagi mahasiswa. Tanpa panjang cerita, mereka mengizinkanku tinggal disana selama mengikuti aturan masjid seperti sholat berjamaah, membersihkan masjid, merapikan Al-Qur’an. Sungguh tempat yang hampir tak pernah kukunjungi selama ini yang sudi menerima kondisiku yang sudah terpuruk ini.

Semua pengurus yang tinggal disana begitu baik padaku. Semua pakaian, sepatu, alat makan, buku-buku, semuanya boleh kugunakan dengan leluasa. Padahal salah satu dari mereka pernah berseteru denganku saat aku masih kuliah dulu. Sungguh lapang sekali hati mereka menerimaku saat aku jatuh. Aku bertekad akan membantu mereka dalam segala kondisi selama aku mampu. Aku pun belajar untuk bisa lapang dada terhadap semua masalahku. Aku jadi kenal Tuhan lagi, kenal dengan kebaikan yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sungguh menyenangkan memiliki kehidupan lagi.

Hari ini merupakan titik balik pencarian jati diriku. Pintu untuk perubahan kehidupan telah terbuka lebar. Namun sekali lagi, aku berdiri di depan halaman kamar itu, sambil menggenggam kamera. Dia merupakan kesalahan yang belum dapat kucoba untuk kubenahi. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti. Setidaknya setelah kukembalikan kamera ini...bila dia tidak berkenan jumpa denganku lagi. Hati dan logika baruku ini masih berkecamuk. Aku harap aku bisa bertemu lagi dengannya. Aku harap aku bisa tahu namanya.

Jumat, Lembaga Privat Mahasiswa, Jatinangor

Semalam aku membantu temanku satu kepengurusan mengerjakan tugas kuliah mereka. Hasilnya setelah shalat jumat mereka mengajakku ke lembaga privat yang didirikan oleh mahasiswa. Mereka berinisiatif mencarikan pekerjaan buatku agar tetap bisa hidup seperti yang lain. Meski awalnya sedikit diragukan, setelah tahu aku mantan mahasiswa medis, dan melewati serangkaian wawancara aku akhirnya diperbolehkan menjadi salah satu pengajar disana. Kurang dari seminggu, aku bisa mendapatkan kembali hidupku. Aku berjanji akan membagi hasil privatku nanti dengan anak-anak yang tidak mampu, dan menjenguk Mama di rumah sakit jiwa.

Aku kembali membawa langkahku menuju rumah kost itu sepulang dari lembaga privat. Kamera miliknya tak pernah kutinggalkan. Selalu ada dalam genggamanku. Perlahan aku mengintip dari ujung gang. Kulihat dia terburu-buru keluar dari rumah itu sambil menenteng beberapa dokumen. Sepertinya dia cukup kewalahan dengan tugasnya. Aku tak tahu mengapa, namun kurasa kamera ini sangat berharga dan akan sangat membantunya. Pasti akan kukembalikan, jadi kumohon kamu lebih sabar menunggu.

Sabtu, Majid Ibnu Sina, Jatinangor

“Ngga, lagi ngapain? Kok begong?” tanya Andri, salah satu mahasiswa pengurus masjid.
“Saya, lagi merenung aja. Saya bingung sama hidup saya. Saya senang, karena bisa punya kehidupan lagi, tapi di sisi lain ada hal yang bikin saya susah buat move on...”
“Soal apa, kalau boleh tahu?”
“Hmm...saya tahu ini aneh dan bodoh sih, saya sepertinya nggak bisa lepas dengan pemilik kamera ini...”
“Oh, memangnya siapa yang punya?”
“Saya juga nggak tahu. Dia tinggal di rumah kost saya yang dulu, ini kamera yang saya rampas dari dia, waktu saya masih jadi preman...”
“Kenapa nggak dikembalikan aja?”
“Karena saya nggak mau setelah itu dia menjauhi saya. Saya ingin dia dekat dengan saya...”
“Oh, ada hati rupanya. Haha. Nih ya Rangga, kalau kamu memang mau dia dekat sama kamu ya datang dong, terus kasih tahu dia . Kalau cuma bisa megang kamera itu aja, nggak bakalan cewek itu mau dekat sama kamu.”
“Masalahnya bukan itu Ndri, saya sendiri juga bingung kenapa bisa begini...”
“Memangnya kenapa? Memangnya dia itu siapa? Anak pejabat? Model?”
“Lebih parah dari itu...pemilik kamera ini...laki-laki...”
“Hmmm...rumit juga, terus kamu mau gimana sekarang?
“Saya maunya dia setidaknya jadi teman saya. Karena dia yang bikin saya sadar kalau hidup saya lebih berarti dari sekedar jadi preman...saya ingin bertemu, ingin tahu namanya...”
“Ya udah, kalau gitu kembalikan kamera itu, lalu kenalan.”
“Tapi saya takut dia takut sama saya setelah semua yang pernah saya lakukan ke dia...”
“Nggak kalau kamu kembalikan di waktu yang tepat. Saya yakin dia mau percaya sama kamu kok. Gini aja, besok kamu datang ke rumah kostnya, lalu kembalikan kamera itu dan minta maaf. Kalau kamu mau tahu namanya, ya tanya. Tapi kalau dia nggak mau jawab, kamu nggak usah maksa. Yang jelas setidaknya dia tahu kamu siapa, dan tahu kalau kamu memang sudah lebih baik...”
“Tapi, saya takut dia nggak percaya dengan penampilan saya yang masih sama...”
“Ambil baju saya, yang mana aja. Sepatu juga boleh. Terus rambut kamu, cukur, itu kepanjangan. Pakai cap saya, kayaknya bakal lebih bagus.”
“Serius, Ndri?”
“Masak iya saya bercanda buat hal sensitif begini?”
“Ma...makasih, Ndri...”
“Sip, sama-sama...”
“Ndri...”
“Hnn?”
“Kok kamu kayaknya biasa aja dengerin curhatan yang nggak biasa ini? lagipula kamu kan pengurus, kamu tahu kan kalau ini...”
“Tahu, Ngga, tahu. Saya tahu itu salah, tapi saya yakin kamu perlu waktu untuk bisa berubah. Saya biasa, soalnya saya pernah ada di posisi kamu Ngga...saya ngerti..”
“Hah?” tanyaku tak percaya.
“Everybody has the dark side and dark past, Ngga...udah ya, saya mau pergi dulu. Kalau mau ambil baju, kamu tahu kunci lemari ada dimana. Saya pergi dulu, Assalamu’alaikum..”
“Wa..walaikumsalam....Hati-hati Ndri...Makasih...”
“Yo!”
Aku sekarang tahu apa yang harus kulakukan.

Minggu, Gang Sempit, Jatinangor

Aku sudah rapi dengan rambut pendek dan pakaian Andri yang keren. Aku berniat melakukan apa yang kurencanakan dengan Andri kemarin. Aku sudah masuk mulut gang saat tiba-tiba derap hentak kaki menyerbu dari arah rumah kost. Itu dia. Terburu-buru sekali dia. Serta merta dia menunggu di halte bus depan kampus. Saat bus itu tiba, aku ikut naik bersamanya.
40 menit lewat, dia belum menyadari keberadaanku. Aku sesungguhnya sudah merasa tak tenang, kugenggam kamera itu dalam saku jaket. Aku tak punya cukup keberanian untuk menghampirinya. Hingga akhirnya kesempatan itu tiba, dia sendiri yang datang padaku.


Ray POV
Minggu, Sekitar Kebun Binatang, Dago-Tamansari

Aku hanya terpaku menatap punggungnya makin menjauh. Tanpa kusadari aku ikut melangkah mengikutinya, hingga akhirnya dia berhenti dan menoleh. Dia seperti agak terkejut. Aku tak bisa berkata apa-apa. Tapi dorongan dalam hati ini lebih kuat. Aku seperti tergerak untuk mendekat dan mengulurkan tangan, meski wajahku tertunduk.

“Ma...makasih! A...aku Ray!”

Tak lama telapak tangan lain menempel pada tanganku. Aku kontan menatapnya. Masih binar ketulusan yang sama dan senyum yang jujur. Dia bukan seperti preman yang merampas kameraku tempo hari. Dia seperti orang yang benar-benar bebeda. Sialnya, aku suka.

“Rangga. Salam kenal...”
“Sa...salam kenal..”

Cukup lama hingga jabatan tangan itu akhirnya terlepas dengan senyum yang mengembang bebas di wajah kami berdua. Sisa hari itu kuhabiskan berkeliling kebun binatang dan berbagi gaya dengan homo sapiens bernama Rangga dalam kameraku.


Rangga POV
Minggu, Kebun Binatang Bandung, Dago-Tamansari

Bila kalian sudah berusaha keras dan bersabar, keindahan itu akan datang tepat pada waktunya.
Aku belajar hal itu hari ini.

***********************************End*************************************

Comments

  • Yeay, ada bang Doodle di sini. Bang, lanjutin Red Melody nya di sini dong. Pretty please bang. Ayo dong, ayo :D hehehe :))

    Untuk cerita ini aku udah pernah komen lho yaa, jadi aku nunggu Red Melodynya :*
  • Yeay, ada bang Doodle di sini. Bang, lanjutin Red Melody nya di sini dong. Pretty please bang. Ayo dong, ayo :D hehehe :))

    Untuk cerita ini aku udah pernah komen lho yaa, jadi aku nunggu Red Melodynya :*
  • keren.. c akang cimahi jago oge bikin cerita.
    rikuest kang mun tiasa crita murni, ga adopt dr yg lain. pasti lbh bagus karena bisa fokus ma crita ga bandingin ma sumber yg di adopt. saran aja sih dr seorang pembaca, hehehe.
    sayang soalnya, udah keren banget dr tata bahasa, alur dan setingnya,,

    diantos ah cerita nu sanesna.
  • salut buat ray yang udah merubah rangga menjadi lebih baik :)
  • SIPP
    KUMAHA KELANJUTANNYA DEDEKK
  • keren ceritanya...
  • Ini dev kah? Kok pindah dr gif?
  • Yeahhh! Ada bang Dood disini. Bang, lanjutin The Red Melodi disini dong. Pasti ceritanya banyak yang suka. Wkwk
Sign In or Register to comment.