Apa dunia akan terus terusik dengan dinginnya belati?
Membawa kesedihan di bawah kolong langit
Apakah ada orang yang peduli dengan merah diatas rerumputan?
Membuat enggan setiap kaki tuk berpijak
Hanya berlari dan terus melangkah
Berharap tak seekor semutpun melihat
Bahkan gurauan takkan lagi dapat menahan suara dentuman
Dan suara perak dan baja terus berkelebat
Memberi rasa hambar untuk setiap udara yang terhirup
Adakah cahaya di kegelapan ini?
Cahaya yang akan menyudahi makian dan amarah...
Hanya menunggu hingga saatnya tiba...
(Dilanjut di Part 1: A Piece of Peace)
NB: Ini masih bagian pembukaan ^^
jangan mengharap cerita diluar dunia fantasy ya? ataupun mengharap ini bakal jadi adegan percintaan antara sepasang PLU, ini bakal jadi cerita tentang peperangan dimana kumpulan remaja akan berusaha bangkit melawan nasib dan kekuasaan, dam disitulah hal yang dinamakan cinta akan muncul dengan mungkin dapat dikatakan agak rumit... ^^
watch it out till the first chapter come...^^
~Greetings from the Author~
Comments
Seandainya dunia itu seindah bunga lily di hamparan hijau, angin yang menerpanya membuatnya semakin elok, mengagumkan tentunya. Apa aku bisa meraih kedamaian itu? Kedamaian yang selalu aku rindukan.
“Bukankah mereka itu indah, lily-lily itu?” Aku menengok ke sudut ruangan jendela pondok kecil yang aku tempati sekarang ini dan aku hanya tersenyum sembari mengangguk.
“Kau selalu mengamatinya, yah mereka sangat cantik, secantik dirimu…” Aku hanya mengamati pria berwajah manis itu dengan perasaan damai yang selalu hinggap jika menatapnya.
”Dan mungkin itulah mengapa orang tuamu memberimu nama seperti nama kelopak-kelopak putih itu…” Aku lagi-lagi hanya tersenyum dan mengangguk, tunggu! Orangtua? Aku rindu dengan mereka. Apa mereka masih hidup di luar sana? Aku hanya dapat memvisualisasikan kegemparan itu, ketika barisan berseragam baja itu mulai menggusur rumah kami, dan ibu hanya menangis menyuruhku untuk berlari. Entah apa itu, aku ingat sebagian tentara yang berusaha mengejarku itu membeku dalam bongkahan es dan aku hanya berlari Aku tak tahu arah, hanya berlari dan berlari hingga di kaki bukit ini, aku bertemu dengan mereka.
“ Hey Carl !! kau disini?” aku menengok ke arah Carl, ya itu nama pria itu yang sekarang di peluk erat oleh perempuan berparas menawan yang bernama Diana.
“Oh hey Lily, kau juga disini?” Aku tersenyum padanya.
“Lily, kau terlihat murung, ada apa? Apa Carl penyebabnya?”
“Eh, enak saja ! Kau datang langsung menuduhku yang tidak-tidak!”
“Awww… sakit bodoh…” Aku tersenyum Carl menjitak pelan kepala Diana, aku senang melihat mereka sebahagia itu, tapi aku merasa sesuatu pada diriku merasa iri dengan mereka, entahlah, aku dan mereka sama-sama yatim piatu saat ini walau aku tak tahu pasti apa aku ‘benar’ yatim piatu atau tidak, keberadaan orang tuaku pun aku tak tahu untuk sekarang ini yang aku punya hanya mereka, mereka berdua. Tapi, aku melihat mereka seolah merasakan indahnya hidup tanpa beban, tanpa penderitaan.
“Baiklah, aku akan kebelakang jika kalian mencariku.” Diana pergi meninggalkan aku dan Carl bersama di pinggiran jendela yang menjorok ini, dan aku tak tahu apa yang menaungi pikiran Carl dan dia mulai berbicara.
“Kedamaian ya? Aku selalu mencarinya.” Sekarang aku benar-benar heran dengan berbagai pertanyaan, apa Carl bisa membaca pikiranku? Dan mengapa dia berbicara begitu? Kalau apa yang dikatakannya benar tentang mencari kedamaian, berarti apa yang barusan kupikirkan tentang tanpa beban dan tanpa penderitaan itu salah besar.
“Aku selalu mencarinya di hari-hariku, hidup ditengah peperangan itu sama sekali bukan keindahan ataupun ketenangan.” Lagi-lagi aku berusaha mencerna kalimat Carl yang membuatku semakin ingin menelisik lebih dalam.
“Hingga sekarang, aku merasakan secercah kedamaian di pondok kecil ini, kau tahu? Ketika aku dan Diana menemukanmu, jauh sebelumnya pondok ini hanyalah bangunan kosong, aku yang pertama tiba disini ketika perang dimulai beberapa hari sesudahnya. Mungkin sama sepertimu dan Diana, aku juga pelarian dari desaku, berlari tanpa arah, melewati perbukitan itu.” Carl menunjuk deretan bukit-bukit yang yang tak bisa kubayangkan akhir dari perbukitan yang menjulang-julang itu. Dan dia tersenyum menatapku, aku hanya mengerjap-ngerjapkan mataku menelisik apakah sesuatu yang lucu ada padaku.
“Kau lucu, memang lucu! Sama seperti Diana, kalian sama-sama mewarnai hariku, Diana datang ke pondok ini beberapa bulan lalu, kau lihat pohon apel itu?” Aku memicingkan mataku, melirik sekilas pohon apel yang Carl maksud dan kembali menatap mata coklatnya yang bersinar keemasan diterpa cahaya matahari sore.
“Aku melihatnya di tengah malam, berusaha meraih salah satu apel yang bergelanyut disana. Dan aku menemuinya dia juga sama dengan kita, hanya pelarian dari sebuah desa yang terkena imbas dari sebuah perang.” Aku kembali berpikir, kenapa harus ada hal bodoh yang bernama perang, apa tak ada yang menginginkan sebuah kedamaian, hal besar yang hanya bisa kami , sang rakyat kecil idam-idamkan.
“Sejak itu, dia tinggal disini, bersamaku, hidup bersama sebagai anak-anak yang kehilangan segalanya karena perang. Hingga tiga minggu yang lalu kau datang. Kau tahu? Kami sangat bahagia ketika kami akan mendapatkan teman baru, dilain sisi kami turut berduka… Perang ternyata telah menghilangkan masa depan anak-anak seperti kita.” Aku tertunduk lemas mendengar itu.
“Mungkin suatu hari, aku dan Diana akan berusaha menghentikan perang, walau kami belum tahu caranya.” Aku melihatnya tersenyum, sebuah senyuman pahit dibalik fana deru perang di luar sana, aku hanya membalas senyuman itu.
“Aku ingin tahu, apa perasaanmu ketika tinggal bersama kami, di pondok terpencil di kaki lembah ini,…” Dia menatapku dengan tatapan innocent dan aku menunduk.
“Itu tak apa, mungkin suatu saat kau mau bercerita banyak.” Ada beberapa menit jeda setelah ungkapan itu, apa mungkin ia ingin aku berbicara sesuatu.
“Tapi…” Aku menoleh kembali ke asal suara serak basah seorang remaja pria di sudut pinggiran jendela ini.
“Aku merasakan sebagian kedamaianku di sini…” Aku tertegun dengan pernyataan Carl, apa benar dia merasa damai dengan situasi seperti ini, ingin rasanya aku menangis karena perang. Tapi, aku sudah terlalu lelah menangisi perang yang tak akan berakhir karena tangisanku tak akan kunjung meredakan perang.
“UWAAAAA…” Suara histeris yang tak lain Diana menggema dari kebun belakang.
“Mungkin Diana membutuhkan bantuan di luar sana…” Carl tersenyum padaku dengan wajah agak panic dan segera berlari ke arah datangnya suara, aku turun dari sisi jendela ruangan ini yang menjorok keluar dan mengikutinya dari belakang.
“Oh, hey! Kalian berdua… Bukankah si kecil ini sangat lucu? Aku menemukannya berada di semak chamomile yang kutanam sebulan lalu.” Diana menunjukkan kepadaku dan Charl seekor hewan mirip seekor kelinci berwarna putih, dengan dua titik lingkaran di atas kedua matanya yang memasang tampang puppy eyes, juga tiga simbol seperti bulan di ujung kedua telinganya dan ekornya. Tepat setelah kami tiba ketika ia menjerit histeris tadi. Aku hanya tersenyum dan memainkan telunjukku di hidungnya menurutku menggemaskan.
“Oh, ini hebat… Apa kau akan mulai merawatnya?” Carl bersuara dengan ragu.
“Tentu saja, aku menyukainya boleh kan?” Diana tampak antusias memohon kepada Carl.
“Oh, tentu… kupikir ia adalah yang terakhir…” Aku ragu dengan apa yang diucapkan Carl dan Diana juga tampak mempertanda tanyakan sesuatu.
“Maksudmu Carl?” Diana bersuara dengan suara yang berbeda dari biasanya.
“Oh, bukan apa-apa, aku tak pernah melihat hewan seperti ini… jadi kupikir ia hanya satu-satunya…” Carl mempertegas pernyataannya yang aku tahu dia khawatir, tunggu! Khawatir? Apa yang ia khawatirkan? Mungkin bukan masalah yang serius.
“Kau harus merawatnya baik-baik Diana.” Diana tampak senang dengan mungkin peliharaan barunya.
“Tapi, hey! Lily, kau juga harus membantuku merawatnya!” aku mengangguk menanggapi Diana, aku senang ketika ia membutuhkanku untuk membantunya merawat hewan unik itu.
“Baiklah! Apa…”
“Phoe! Bagus kan ?” Belum selesai Dina menyelesaikan kalimatnya, Carl sudah memotongnya.”
“Hey…hey… aku belum selesai berbicara, tapi itu nama yang bagus! Bagaimana Lily? Kau setuju?” Belum sempat aku mencerna semuanya tapi aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah, ayo rawat dia…” Aku melihat Diana tampak semangat dengan cara ia bersorak, jarang melihatnya sesemangat itu.
“Kupikir dia lapar…” Carl menyeletuk
“Eh, apa iya? Kau mau makan little sunshine?” Diana dengan wajah yang menurutku terlalu over carming, Carl hanya menutup matanya, dan duduk di tepi batas pintu belakang ini.
“eh…?” Aku melhat Diana terlihat berpikir keras dengan sesuatu.
“Ada yang tahu apa yang mungkin dia makan?” Phoe tampak meloncat dari pangkuan Diana dan berlari-lari kecil.
“Beri saja dia lobak”
“Bagaimana kalau rumput?”
“Dedaunan mungkin?” Aku tersenyum melihat tingkah dan ekspresi bodoh Carl dan Diana bergantian.
"Bukan! Apel?”
“Bebatuan!”
“Ah.. tidak mungkin” Diana dan Carl bersamaan menanggapi pernyataan Diana sendiri dengan tampang lebih konyol lagi. Diana dan Carl masih memperdebatkan makanan untuk Phoe, tunggu! Aku menyadari sesuatu, ya phoe! dia memakan bunga-bunga chamomile yang bermekaran di kebun ini. Aku beranjak mengambil satu tangkai bunga chamomile itu, dan kembali menunjukkan pada Diana dan Carl yang saling mencari kebenaran. Dan benar saja ketika aku menyodorkan chamomile itu ke hadapan mereka, mereka dengan sponton melayangkan mata mereka pada Phoe yang kini sedang asyik-asyiknya memakan chamomile yang bermekaran.
“Oh, aku tak menyangka tempat ini seindah sekarang ini…” Carl dengan tampang innocent berdiri menyaksikan kebun kecil dibalik pagar kayu yang lebat ditumbuhi tanaman merambat.
“Hey ! Kau darimana saja ? Itu karena aku rajin merawatnya, kau bahkan tak pernah punya waktu sekedar membantuku disini.” Aku tersenyum dengan tingkah polos mereka, apa mereka selalu begitu? Selama hampir tiga minggu di pondok kecil ini, aku bahkan tak pernah berada di kebun ini, mungkin karena aku terlalu sibuk merenungi kejadian yang bagiku berlangsung sangat cepat. Aku merasa damai di kebun kecil ini, rindang yah disini sangat sejuk wangi semerbak chamomile menyegarkan indra penciumanku, dan lihat, burung-burung di dahan Pohon cherry yang tampak segar di tengah kebun ini apalagi baris-baris tanaman yang aku bisa tebak adalah wortel dan kentang juga tanaman kol yang sudah dapat ditebak dari bunga dan bentuknya.
“Apa kau yang melakukan ini semua ?” Carl menengok dengan senyum yang merekah, seolah itu adalah cahaya bagi ruang kelam di sisinya.
“Tentu, apa kau tak cukup pintar menjelajah perkataanku? Huh..” Diana mengeluh dengan pertanyaan Carl yang menurut Diana mungkin sebuah igauan.
“Ini harapan baru bagi kita, ah bukan-bukan, kupikir kita akan hidup dengan ini…” Dengan sedikit berbinar Carl mengungkapkan sesuatu.
“Apa maksudmu Carl? Bukankah sejak aku disini kita selalu hidup dari hasil kebun ini, mana mungkin kita hidup hanya dengan tarik ulur udara ke paru-paru kita.” Diana memberi celotehan panjang lebar, dan aku tersenyum karenanya karena kupikir itu lucu.
“Bukan, bukan… memang, tapi dulu aku tak pernah melihat kebun ini seindah ini.”
“itu karena aku!” Diana menyahut omongan Carl.
“Dan juga lihat semua ini, aku tak pernah menyangka secepat ini.”
“Itu karena aku merawatnya!” Diana tampak tak ingin dirinya terlupakan dari semua perkataan Carl.
“Apa benar kau berasal dari desa Mundane yang kau ceritakan?” Carl berusaha mengungkap sesuatu tentang Diana lebih dalam. Dan Diana menunduk sembari terduduk.
“Itu benar, aku berasal dari desa itu…” Secepat kilat Diana tertunduk lesu.
“Aku… aku rindu mereka.” Diana tampak hilang dari mood berbicaranya tadi, dia mengalirkan embun-embun butiran dari matanya.
“Maaf!” Carl simpati dengan Diana, aku juga berusaha tersenyum untuk Diana
“Tapi apa kau tak pernah mendengar tentang perkampungan bernama Vie Champ ?” Carl kembali menanyakan sesuatu ganjil kepada Diana.
“Aku tak pernah tahu dan sama sekali tak tahu tempat apa itu, tapi jika itu tempat aku bisa menemukan kembali orang tuaku, aku ingin kesana.” Butiran-butiran bening kembali membasahi wajah Diana, aku yang memandangnya merasa iba.
“Ngiauk…ngiauk…” Phoe datang ke pangkuan Diana, seolah memanipulasi perasaan Diana, Diana langsung tersenyum.
“Persetan dengan perang di luar sana, aku memilikimu… Phoe! Dan bersama kalian!” Diana tampak kembali bersemangat dan menatapku dan Carl bergantian, aku hanya memandangnya dengan senyum bahagia, tak ada yang lebih indah bagi anak-anak pelarian seperti kami selain kebersamaan.
“Yah! Disinilah kita, di pondok kecil ini, surga kecil kita.” Aku tersenyum, yah benar inilah surga kecil kami, kebun ini, saksi betapa kami bahagia dan berusaha bahagia dengan segala deru perang di Luar sana yang merenggut kebahagiaan kami.
“Dan kau juga surga kecilku phoe, My little sunshine...” Diana memeluk erat Phoe dengan bahagia di wajahnya, dan bulir-bulir beningnya masih mengalir. Aku senang, bahagia. Mereka adalah surga kecilku, dimana aku tak dapat menemukannya mungkin di luar peperangan sana, dan orangtuaku. Aku rindu mereka, sangat rindu...
Pagi ini benar-benar sejuk dan benar-benar dingin, mungkin karena badai dadakan tadi malam yang melanda kawasan lembah ini. Setelah sarapan dengan sup buatan Diana yang bahan bakunya berasal dari sayuran di kebun belakang aku duduk di bagian jendela yang menjorok ini, menampakkan pemandangan pagi di datarnya padang rumput tundra yang penuh embun di pagi hari, semak-semak lily yang menampakkan terompet-terompet lily yang menuju ke-8 arah penjuru menurutku. Phoe, dan Diana berlarian mengitari pohon apel yang berada di sisi kiri pemandangan dari jendela ini yang hanya berbunga menandakan bahwa saat ini adalah musim semi, dan aku tersenyum melihat Carl yang hanya tidur menggunakan pohon apel itu sebagai bantal dan rumput Tundra yang basah sebagai alasnya, aku tersenyum melihat wajah teduhnya itu sesuatu yang hangat menjalar di seluruh tubuhku, aku merasa damai di sini, di tempat ini.
“Hey Lily, ayo bermain di luar…” Mungkin terlalu sibuk memandangi Carl aku tak sadar bahwa Diana dan Phoe yang kini di bahu Diana sudah di depan jendela tempatku bernaung saat ini, dengan anggukan, kubuka jendela yang lumayan besar mengeluarkan tubuhku untuk menginjak rerumputan basah, dingin… itu yang pertama yang kurasakan dan aku menyukainya. Menghabiskan waktuku berlarian dengan senyum dan tawa bersama Phoe dan Diana, sedang Carl yang melihatku berlarian ketika membuka matanya, malah menyertakan diri dengan kegiatan yang unik ini, berusaha mengejar Phoe yang benar-benar lincah berkeliaran.
“Tolong… tt..to…long… seseorang, tt..tolong aku…“ Entah papun itu suara parau yang tiba-tiba menggema seolah member isyarat bagi kami untuk berhenti.
“Kalian tunggulah di sini, biar aku saja yang mencaritahu asal suara itu…” Sigap Carl menghalau kami untuk ke asal suara itu, membiarkannya sendiri menuju asal suara yang sama sekali belum bisa kami terka apapun itu.
summon @uzrex07 @dantososo ^^
@Monic : oke sip, bentar lagi ada lanjutannya... ^^ tunggu selesaiin part 3 nya yang lagi jalan nih, kalo part 3 udah selesai, part 2 aku posting... ^^
dan begitu seterusnya... ^^
tokoh utamanya cewe apa cowo sii??
sebenernya tokoh utama ∂ï. cerita ini, 3 orang itu, Carl, Diana, Lily... cuma diambil dari sudut pandang Lily.... nanti ∂ï. depan bakal ∂ï. coba untuk pake sudut pandang yang lain... antara Diana atau Carl... Oh iya, untuk Carl, nanti bakal ada hal menarik tentang dia,ada kaitan dengan masa lalunya ... ^^
doain aja bisa terus ngelanjut dan gak kena wabah WB... ^^
WB? apaan tuh?
kalo part 4 dh jadi, part 3 aku post...^^
wb=writer block, penyakit yang suka nyerang alur cerita dari penulis tuh... hhaha... penulis jadi linglung buat ngelanjutin... ^^
“Panglima Frank memulai peperangan area barat, berusaha merekrut para magus untuk berada di pihak mereka, dan membantai para pemberontak yang tak ingin mereka rekrut. Itu benar-benar kejam…” Aku tak mengerti apa-apa tentang perang di Dunia ini, tentang apa itu magus atau tentang hal rekrut merekrut, dan siapa Frank yang tampak hebat itu, tapiaku sama sekali tak bisa memungkiri, aku takut, benar benar takut. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela berusaha mencari sedikit ketenangan,malam ini Badai kembali menerpa daerah padang tundra ini, dan lihat lily-lilyitu, mereka terkoyak oleh angin yang mengibas-ngibaskan mereka.
“Tenanglah Lily, semua akanbaik-baik saja.” Aku tersenyum ketika Diana berusaha seceria mungkin menenangkanku, aku tahu dia juga merasakan apa yang kurasakan. Aku melihat Carl, dia tampak serius dan antusias, aku sendiri tak tahu apa yang ia pikirkan.
“Apa itu Magus, dan siapa Frank , ya siapa Panglima Frank itu?” Diana bertanya kepada lelaki paruh baya itu, mungkin Diana memiliki banyak pertanyaan seperti apa yang berlangsung dibenakku.
“Panglima Frank adalah ketuaDivisi Pasukan kerajaan Devidon di blok barat, merupakan seorang panglima yang memiliki pengaruh besar dalam kebangsawanan di kerajaan itu, mungkin akan sedikit rumit, tapi inti dari peperangan yang ada adalah kekuasaan. Para Magus yang menolak perang berusaha lari, menghindari perekrutan ataupun pembantaian.Mereka yang dapat menciptakan sihir dalam bentuk dinamakan Magus, seperti ini.”Aku merasa terkejut sekaligus takjub,seketika debu-debu di ruangan inibeterbangan membentuk rangkaian yang sangat indah berkilauan di terpa cahaya dari sebuah lilin yang menerangi ruangan ini, kemudian memadat dan pecah berkilauan kembali.
“Itu hebat! Bagaimana kaumelakukannya, itu…itu apa? A…a…atchi….” Diana bersin oleh serbuk halus debu itu kemudian tampak takjub dan menampakkan wajah innocentnya yang seolah berteriak wow.
“Ini hanya sihir ringan bagian dari pengendalian tanah… khekhekhe” Aku melihat senyum dari bapak tua itu, akuturut tersenyum melihatnya dan Diana terus berkomentar tentang hal-hal hebatitu. Aku melihat Carl dengan wajah yang tampak tertunduk lesu dan terus mendengarkan pria tua yang terus berceloteh tentang perang dan para magus yangada di kelompok barisan yang ia ikuti. Aku merasa lelah hendak untuk beristirahat, kulihat Diana tertidur di atas kursi yang ia duduki, di topang oleh pinggiran jendela ruang makan sempit yang terletak di ruang belakang ini,kulihat Carl dan pak tua itu masih terus becakap-cakap yang mungkin pasti tentang perang itu, atau bagaimana pak tua yang kuketahui namanya Orlando itu terpisah dari barisan magusnya, aku tak peduli lagi dengan itu. Aku merasasangat mengantuk dan sesegera menuju ruang depan dimana aku biasa tidur, tapi tubuhku membawaku ke sudut jendela yang menjorok menampakkan padang tundra danbunga-bunga lily yang meliuk-liuk tajam di terpa angin dan hujan lebat yangsesekali menyilaukan langit dengan guratan putih dan ledakan kerasnya. Aku menaiki bagian jendela yang menjorok itu, duduk dengan menekuk lututku diatasnya kusapukan pandanganku pada ruangan temaram yang hanya terisi dua tempattidur yang biasa aku dan Diana gunakan, kulihat Phoe tertidur pulas di ranjang milik Diana, tak terasa pandanganku mengabur dan aku tertidur di sisi ini.
Aku terbangun seketika ketika kurasakan sesuatu menggigit kecil jemari kaki kananku yang telah setengah turundari sisi menjorok jendela ini, kulihat Phoe melompat-lompat meraih jari kakikudan menggigitnya. Aku terbangun dan tersenyum, phoe melompat kepangkuanku dan melakukan menggores-gores kaca dari jendela ini, kusingkirkan embun yang menutupi penglihatanku dari kaca itu, di luar masih gelap. Samar-samar kulihat beberapa cahaya yang berasal dari lentera, tunggu! Ada orang-orang berseragamdi terangi cahaya itu! Aku kembali teringat dengan orang-orang yang pernah memisahkan aku dan orangtuaku aku ingin menangis, tunggu! Ini bukan saatnya untuk itu, kugendong Phoe dan segera berlari ke ruang belakang, kulihat Diana masih tertidur pulas di sana, dan Carl yang tertidur dengan dagu yang di topangmeja makan, kulihat pak Orlando dengan posisi tak berbeda jauh dengan Carl.Kudekati Carl dan menggoyang pelan punggungnya, kemudian semakin kupercepatgerakanku. Carl terbangun dan langsung kutarik untuk segera mengikutiku, iahanya mengucek-ucek matanya dan berjalan di belakangku dengan tangannya masihdi genggamanku. Di tepian jendela yang menjorok ini, kembali aku mencoba menghilangkan embun yang menggangu penglihatan dan memberi isyarat kepada Carl untuk melihat keluar.
“Mereka? Kenapa bisa? Ini gawat!!” tanpa kuberitahu kulihat Carl sudah mengerti dan langsung menghambur menuju ruang belakang, masih menggendong Phoe, aku yang sekarang mengikuti Carl tanpa di suruhnya, aku merasa takut sangat takut.
“Mereka pasukan blok barat? Kauyakin?”
“Tak ada waktu lagi untuk membuatmu yakin karena aku yakin itu mereka!” Carl tergesa-gesa memasukkanbenda-benda yang ada di dalam peti di samping lemari ruangan ini ke dalam kantung yang kelihatan cukup besar untuk tas selempang. Aku telah selesai mengambil barang-barang berhargaku yang kini ada di tas kecil yang kubawa,Begitupun Diana, dia telah selesai berkemas dan menggendong Phoe yang terus bersedekap padanya.
“Uwaaaa!!” Diana berteriak ketika pondok kami ini bergetar hebat.
“Mereka datang! Biar aku netralkan gempa ini dan biar aku yang tangani ini, kalian pergilah cepat! Kalian sebuah harapan untuk kedamaian, pang… maksudku Carl!! Jaga mereka, pergi ke rute yang kujelaskan!”
“Baik!! Sekarang, Diana, Lily… ikutiaku!” Carl menghadap aku dan Diana, memberi kami isyarat untuk mengikutinya tanpakutahu ke arah mana kami harus berlari. Keluar dari pondok ini, kurasakan dingin yang mencekam dari sisa badai semalam yang membawa bulir-bulir embun diatas hijau rerumputan dan dedaunan, kupandangi langit timur yang member guratanbiru lebih muda dari langit malam. Memijak pada tanjakan bukit kecil dengan semerbak chamomile yang merasuk di indra penciumanku tepat setelah kami melaluikebun belakang yang merupakan surga kecil kami, kembali kurasakan getaran gempayang tak terlalu besar intensitasnya, kucoba berlari lebih kencang dan begitupun Diana yang ada di hadapanku, hanya terus berlari sama sekali tak menengok kebelakang seolah itu hal tabu untuknya.
“Jangan takut, aku akan tetap ada disini…” Carl yang tadi berada di belakangku kini berada dekat di belakangku dan tersenyum, itu menciptakan perasaan tenang untuk seketika kubalas senyuman itusembari mengangguk, hingga aku memaksa mataku untuk menelisik ke belakang, kembali ketakutan menyelimutiku. Hanya dinding debu tebal dan asap yang dapat kulihat dan sesekali cahaya merah dan biru berkelebat menyinari pekat hitam yang menggumpal di sana kulirik Carl menampakkan wajah yang seolah berbicara “itu hal yang buruk!” ketika melihat pemandangan itu. Masih terus kulihat Carl yang terus memperhatikan kepulan asap hitam itu tanpa memperhatikan zona lari di hadapanku semakin terjal menaiki bukit kecil ini.
“SPIRIT OF SHINING DEVIL !!!” Kulihat cahaya itu, cahaya berkilauan yang tiba-tiba menghambur keluar dari telapak kanan Carl yang dihadapkannya ke arah belakang, semakin lama semakin terang, dan sosok-sosokputih yang seperti menari-nari itu.
“Kyaaaa!!” Aku tumbang,entahlah… kini tubuhku merasakan dinginnya rerumputan lebih dekat.