Cangkir-cangkir kopi itu terus bertambah jumlahnya, berlomba dengan puntung-puntung yang kau buang di mulut asbak. Angka di jam dinding pun sudah tak mampu lagi menghitung berapa jam yang sudah kau habiskan sendiri di sudut ruangan. Aku memandangi mu sendu dari balik selimut berharap kau segera memilih tombol shut down. Satu, dua, tiga, empat jam sudah berlalu dan keningmu masih berkerut menatap layar; aku masih dalam resah dan harap yang melambung tinggi.
Sudah hampir sepuluh malam minggu terlewatkan hanya dengan kejadian yang seperti ini. Dan selalu saja benda kotak itu lebih menarik ketimbang aku. Layar itu jauh lebih menawarkan cahaya dibanding aku yang kian minggu kian redup, pucat. Sudah tak inginkah kau mencium keningku sebelum tidur? Sudah tak menarikkah aku untuk kau jamah? Sudah tak ada lagi kah percakapan hangat sebelum lelap? Bahkan dalam jarak sedekat ini pun, masih terasa sulit hanya untuk menyentuhmu. Seperti ada labirin raksasa di antara kita. Kamu jelas terlihat, dan aku berjuang mati-matian melewati jalan hanya untuk menyentuhmu. Beritahu aku, apa yang lebih menyiksa dari hati yang berjarak di antara sepasang kekasih?
***
Mata itu lembut memandangku, terpaku sudah di mataku. Kami saling tersenyum, entah karena kami kehabisan topik pembicaraan atau perasaan senang karena akhirnya hujan membasahi muka hati kami yang tandus. Sudah lebih dari 3 jam kami berbincang sejak pertemuan pertama kami disebuah kedai kopi kecil di pinggir kota. Kami? Ya, nampaknya senja yang larut telah melebur kata aku dan kamu menjadi kami.
“so, habis ini mau kemana?” tanyanya memecah keheningan.
“kayaknya gue balik ke kostan aja. Lu mau kemana?”
“eeum, gue kalo balik ke kostan pasti kemaleman, lagian gue kan baru di Jakarta, gak hapal jalan, gue nginep aja kali yah?”
Sekilas itu seperti sebuah pernyataan yang enggan untuk di tolak. Aku menganggukan kepala pertanda setuju. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam dan membiarkan pikiranku berfantasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan nanti.
Comments
lanjut lagi jeng.. jangan mandeg kayak cerita elu yang lama..
@RyoutaRanshirou terimakasih..
@kasimaeru waaah, senang dibaca anda.. anda author berbakat loh.. salam kenal..
@autoredoks eh ikan asin... gak dimana gak dimana ketemu elu mulu... -_-
APAHH?? diary?? curhatan?? curhatan punya partner super sibuk?? ato curhatan ditpu tukang cendol?? #kepo
no comment bwt critna, mash blum jelas...
Hheheh
27 April 2012
Kampus, 07.00
Langkahku masih terburu-buru menyusuri lorong kelas. Kalau boleh memilih, aku lebih ingin melempar pantofel ini lalu berlari sekencang mungkin sampai kelas. Anehnya, untuk mata kuliah semester atas, literature, kenapa harus ditempatkan pada jam 7 pagi? Belum lagi jarak kosan ke kampus yang bisa dibilang lumayan, makin mempersempit ruang waktu yang aku punya. Dan yang paling menghambat tentunya adalah berpapasan dengan mahasiswa tingkat awal yang mengambil kelas ku. Aku harus mengerem langkah kaki lebih santai hanya untuk menjaga wibawa, merapikan pakaian, dan tersenyum. Sungguh perjuangan pagi yang luar biasa.
“Tok tok tok”
Aku mengetuk ruang 308 dan melihat sesosok dosen flamboyan sedang duduk santai sambil membaca koran. Seperti biasa, beliau tidak akan memberikan pernyataan apa-apa sepanjang jam selama tidak ada mahasiswa yang bertanya atau konsultasi soal karya sastra yang mereka baca. Untungnya, aku punya bahan diskusi. Belakangan aku sedang membahas soal karya tulis dari Mark Twain yang berjudul The Esquimaux Maiden’s Romance.
Usai perdebatan yang lumayan alot, akhirnya aku terdampar di meja kantin. Dan pembahasan ku soal karya tulis Mark Twain mendapat 1 tanda tangan, 1/5 jalan mencapai nilai sempurna.
“Woi pak asdos! Rapih bener. Gimana literature lo?” Sesosok wanita tiba-tiba duduk di sebrang bangku sambil membawa semangkuk mie rebus.
“Udah, baru 1 tanda tangan. Lu ngapain ke kampus? Gue kira elu udah balik ke bekasi dari semalem.” tanyaku pada wanita itu. Rani namanya. Sahabat yang aku kenal sejak awal masuk kuliah. Gadis berkerudung, atlet taekwondo, dan hobi melawak. Semacam perpaduan nunung di OVJ dan kungfu panda.
“Gue hari ini mau ngeceng-ngeceng cantik di kelas lo, boleh yah?” Katanya sambil mengelap kuah yang tersisa di bibirnya.
“Ah elaaaah, ngapain sih? Mendingan elu balik gih! Ganggu gue ngajar ajah.”
“Kata nyokap gue, gue baliknya disuruh sama elu. Lagian kan lumayan gratis.”
“Gue kan balik sore. Bukannya minta jemput Iwan aja.”
“Iwan kan kerja, yah boleh yah. Pliiiiisssssssss.”
“Yaudah ayok buruan, nanti gue telat lagi masuk kelas.”
Dan akhirnya aku benar-benar melihat kungfu nunung di depan mata sambil menenggak kuah langsung dari mangkok. Heran bener punya sahabat model kayak gini. Parahnya, Rani benar-benar ngeceng cantik di kelas ku dan duduk sengaja di samping seorang junior yang paling tampan di kelas. Luar biasa.
@4ndh0 terimakasih sudah mau baca..
@autoredoks udah deh ikan asin jangan comel deh.. nanti gak seru lagi gue ceritanya..
@aDvanTage terimakasih sudha mau baca, ditunggu komennya yah..
itu jg kenapa kudu jaga wibawa?? kan udah gak ada wibawa.. kalo dulu kan terkenal sbg asdos terkiller sedunia..
eh teri medan.. ayo lanjutin ceritanya.. jangan ngebanggain masa kejayaan elu sbg asdos yang udah kada luarsa.. pake bilang nulis skripsi jg.. emang SKS nya udah cukup?? udah ada judul??