Di tengah malam seperti biasanya aku berpikir dan berefleksi. Kesunyian selalu memicu diriku untuk berpikir. Entahlah, mungkin memang begitu sifat manusia pada umumnya. Aku ini memang manusia yang senang bernostalgia, berefleksi. Bahkan tidak hanya pengalaman indah saja, kadang pengalaman pahit pun aku ingat kembali. Tapi hal itu tidak membuatku sakit atau menyesal. Hal itu justru membuatku menjadi lebih waspada. Waspada terhadap apa yang kulakukan dan terutama apa yang kukatakan. Karena kerap kali aku menyalah gunakan mulut yang telah diberikan Tuhan ini. Kerap kali aku mengcapkan kata-kata yang kurang tepat kepada orang-orang yang juga kurang tepat. Oleh karena itu, selalu saja di sela-sela kesibukanku aku mengingat-ingat kembali terutama momen-momen yang menyenangkan dalam hidupku. Dan pada malam itu tidak berbeda seperti hampir tiap malam yang lain, aku kembali ke masa lalu. Mengingat apa yang terjadi di masa lalu sehingga bisa mengubah diriku dalam waktu yang singkat. Mengubah diriku dengan harapan untuk menjadi seorang manusia yang lebih baik dari hari sebelumnya.
Untuk itu aku memutar waktu ke beberapa bulan yang lalu. Beberapa bulan yang menuntunku kepada hari ini. Beberapa bulan yang bisa dibilang membuahkan sebuah kenangan yang sangat indah untuk hidupku. Dan semua itu dimulai ketika aku sedang browsing di sebuah forum. Forum khusus tempat orang-orang seperti diriku ini untuk berinteraksi dan berkenalan satu sama lain. Awalnya aku hanya sekedar iseng, hanya ingin melihat-lihat. Tapi yang kutemukan di sana sangatlah mengejutkanku. Aku melihat foto seorang temanku. Teman sperjuanganku, teman kuliahku sejak semester satu, sejak aku mulai berkuliah. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Memang, aku tidak punya banyak teman. Dari sanalah aku belajar untuk menghargai dan menjaga teman-teman yang kupunya. Dari sanalah aku belajar harga dari sebuah kepercayaan dan seorang teman. Aku sungguh kaget waktu melihat gambarnya itu. Kuteliti lagi beberapa kali dan ternyata tidak lain dan tidak bukan, itu memanglah foto temanku. Yang terlintas pertama kali di pikiranku adalah bahwa seseorang telah mengambil fotonya dan menggunakannya untuk masuk ke forum-forum seperti ini. Aku malah menjadi kesal, sungguh aku tidak ingin temanku diperlakukan seperti itu, apa lagi jika ia memang tidak seperti diriku ini. Tapi jika aku harus jujur, sebagian kecil dari diriku memang berharap bahwa itu benar-benar adalah dia. Aku berharap untuk menemukan seorang teman, seseorang yang bisa kuajak berbicara. Sejak saat itu aku mulai berpikir berbagai kemungkinan yang ada, tapi sepertinya antara dua kemungkinan ini saja yang paling masuk akal. Aku langsung bertekad untuk mendengar kebenarannya. Langsung dari mulutnya sendiri.
Mulailah aku menyusun berbagai rencana dan cara untuk mendapatkan kebenaran dari temanku itu. Aku tahu bahwa hal ini sangatlah sensitif, sehingga tidak mungkin aku menanyakannya di depan umum. Sambil berpikir dan menyusun strategi aku juga mulai mendekatkan diri dengannya. Supaya pada saat kita harus membicarakan hal ini, susananya bisa lebih enak dan santai. Memang aneh, aku selalu merasa tertantang jika dihadapkan pada sebuah teka-teki atau puzzle. Aku selalu terpancing untuk memutar otakku dalam memecahkan berbagai masalah yang muncul. Terutama masalah-masalah rumit seperti ini. Mulailah aku sering-sering ber-bbm dengannya. Aku juga mulai sering mengobrol dengannya, tidak lupa diselingi sedikit-sedikit gurauan yang menjurus ke arah sana. Entah mengapa aku merasa begitu senang bisa mengobrol dengannya. Aku merasa senang bisa melihatnya, aku merasa sangat sangat senang bisa berada di dekatnya. Aku mulai memikirkannya terus, aku senang bisa melihatnya tersenyum. Ya, rupanya hal itulah yang terjadi. Ternyata aku suka padanya, tanpa kusadari sebelumnya.
Entah kapan terakhir kali aku naksir seseorang, aku bahkan tidak ingat. Mungkin pengalaman pahitku dengan cinta di masa lalu telah membuatku sedikit takut untuk menyukai seseorang. Lagi pula aku juga tidak ingin jika seandainya orang yang kusuka itu tidak menyukaiku kembali, hal itu bisa menimbulkan banyak sekali masalah melihat situasiku yang tidak biasa ini. Jadi jika bicara soal cinta, hal itu selalu menjadi nomer dua bahkan tiga untukku. Aku benar-benar sama sekali tidak memikirkannya. Tapi lain dengan situasi kali ini. Ada kemungkinan jika temanku ini sama seperti diriku. Ada kemungkinan bahwa ia juga suka padaku. Maka aku berpikir saatnya untuk bertaruh karena tidak seperti biasa, probabilitas dalam taruhan ini lebih berpihak padaku. Saatnya untuk melompat ke dalam laut tanpa berpikir panjang. Mati atau hidup itu urusan nanti. Beginilah yang dilakukan cinta kepadaku: ia membuang semua rasionalitas dan logika dalam cara berpikirku. Sebagai seorang realis, hal ini terlihat aneh sekali di mataku.
Beberapa kali aku ingin mencoba menanyakan soal itu, tapi momennya selalu kurang pas. Entah dihalangi oleh privasi atau masalah lainnya, pasti saja ada yang membuatku kurang “sreg” ketika ingin membahas masalah ini. Selalu ada saja suara kecil di dalam hatiku yang berbisik kepadaku: “Jangan, bukan sekarang waktunya.” Hingga tiba pada satu momen yang paling dekat bagiku untuk membahas hal ini dengannya. Momen itu ialah saat ulang tahun salah seorang temanku yang lain. Kami berencana untuk mengadakan sebuah kejutan untuknya. Kebetulan rencananya akan dijalankan pada sore hari karena pada sore hari ini temanku yang berulang tahun baru selesai berkegiatan kuliah. Begitu juga dengan beberapa teman lain yang ikut mengadakan surprise ini. Aku dengan berbagai alibi seperti capek, takut kemalaman, dan tidak ada yang menjemput, berusaha sekeras mungkin untuk tidak terlihat seperti memaksa untuk menginap di tempat temanku ini. Dengan gugup aku menunggu balasan dari temanku. Ternyata ia mengiyakan permintaanku. Aku sangat senang bisa mendapatkan sebuah kesempatan yang begitu langka. Tapi waktu itu aku masih bingung antara akan membicarakannya atau tidak. Suara kecilku masih sedikit ragu.
Singkat cerita, kami semua mengadakan surprise untuk teman kami yang berulang tahun pada hari itu dan pada kurang lebih pukul delapan malam kami semua sudah kembali ke tempat masing-masing untuk melanjutkan kegiatan kami masing-masing. Aku pun ikut pulang ke tempat kost temanku ini dengan harapan bisa mengobrol dengannya. Tapi sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. Aku perhatikan temanku ini, ia sedang sangat fokus mengerjakan tugasnya. Lantas aku berpikir jika aku membicarakan hal ini sekarang, ini bisa menjadi distraksi baginya. Ini bisa mengalihkan pikirannya. Tidak. Tidak boleh. Aku tidak ingin ia menjadi terdistraksi gara-gara hal seperti ini. Lagi pula karena hal ini sangatlah sensitif, aku takut jika salah seorang dari kami akan menangis. Tentunya jika didengar oleh teman-temannya hal ini menjadi kurang enak baik untukku maupun untuknya. Jadi akhirnya kuurungkan niatku ini sambil melanjutkan berpikir dan memutar otak, mencari berbagai cara dan kemungkinan. Mencari sebuah lubang kesempatan yang sepertinya sangat kecil.
Sekitar dua bulan setelah itu, suatu hari aku mendapat kabar dari temanku ini. Kebetulan karena mamaku seorang dokter gigi ia sempat mengobrol denganku soal giginya yang ingin diperiksa. Aku sarankan ia untuk datang ke tempat mamaku di rumah. Tentunya ia setuju, dan tentunya aku merasa makin senang bisa lebih sering bersama dengannya sekaligus bisa membantunya juga. Akhirnya setelah diperiksa ternyata ia harus datang ke rumahku setiap hari Jumat sore untuk diobati dan diperiksa secara rutin. Oleh karena itu aku menawarkan lagi bantuan untuknya. Yah, seperti itulah modus orang yang sedang pdkt dengan orang yang ia sukai.
“Eh nanti Jumat lu ikut gua aja ya ke rumah, naik mobil gua” Aku langsung bbm ke ia.
“Ga deh, makasih. Ntar gua ngekor aja di belakang mobil lu.” Balasnya.
Langsung ada ide brilian yang terlintas di kepalaku.
“Kalo gitu boleh ga gua ikut lu aja baliknya? Toh tujuannya sama kan? Hehe…” Jawabku.
“Oke ikut aja.”Begitu katanya.
Hatiku melambung tinggi. “Yes!” Pikirku. Yah seperti itulah reaksiku, aku merasa sangat bahagia sekali. Aku tersenyum lebar membaca pesan darinya itu karena itu berarti untuk beberapa minggu ke depan aku bisa bersama ia pulang ke rumahku. Setiap Jumat aku (yang pada saat itu sedang menjalani semester pendek) selalu semangat datang ke kampus. Sepertinya hal ini menjadi motivasi baru untukku. Di sela-sela kuliah aku juga selalu mengobrol dengannya lewat bbm. Dan pada suatu saat aku pernah mendapat kue coklat yang sangat enak dari ulang tahun salah seorang saudaraku. Aku langsung menawarkan sepotong kue coklat itu kepada temanku karena aku tahu ia sangat suka coklat dan aku pikir kue itu memang enak sekali rasanya. Aku juga pernah menawarkannya tiramisu buatan adikku karena saat itu adikku sedang mencoba bereksperimen membuat kue-kue. Hasil pdkt dengannya telah berhasil mengungkap bahwa dia memang seseorang yang sangat suka hal-hal seperti ini. Kue-kue dan segalanya yang manis, dan juga terutama keju. Akhirnya aku menjanjikannya sepotong kue coklat dan sesuap tiramisu ketika ia datang ke rumahku nanti. Dan yang terakhir adalah ketika aku sedang ber-bbm dengannya.
“Ya udah gua tidur ya. Hehe. Met malem.” Tapi di akhir kalimat itu aku membubuhkan sebuah emoticon, sebuah gambar kecil dua orang yang saling berpelukan. Entah mengapa aku menganggapnya sebagai sebuah gurauan. Tapi sebenarnya di lubuk hatiku itu merupakan ungkapan perasaanku yang tersirat. Sudah beberapa kali aku menulis seperti ini.
“Yee, lu pake emot-emot peluk segala nanti kalo gw tagih bingung juga lu.” Bagitu balasnya.
“Hahaha… Ya gapapa juga sih, nanti gw masukin ke daftar hutang gua deh.” Kataku dengan bercanda.
Aku tertawa sendiri membaca pembicaran ini. Pembicaraan kami yang aneh ini. Aku hanya senang bisa mengobrol dengannya. Tapi sebenarnya di balik semua canda tawa ini aku masih dilanda kebingungan yang sangat hebat. Tiap malam sebelum tidur aku berdoa: “Tuhan, bimbinglah aku dalam menghadapi kebingungan ini. Biarlah Engkau tunjukkan kebenaran kepadaku. Dan jika aku tidak bisa menerima kebenaran ini Tuhan, berikanlah aku kekuatan.” Setiap malam selalu kuulangi kata-kata ini di akhir doaku. Hingga suatu hari aku benar-benar merasa tidak tahu harus berbuat apa, aku benar-benar merasa bingung, air mata meleleh dari sudut mataku sambil aku mengucapkan doa malamku. “Tuhan sekarang aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Biarlah Engkau saja yang tunjukkan jalanku dan biarlah aku melangkah di sana. Apapun yang terjadi tolong tuntunlah aku keluar dari kebingungan ini.”
Tak terasa sudah sebulan lebih ia berobat ke mamaku. Akhir dari kunjungannya semakin dekat. Aku semakin merasa bingung untuk menanyakan hal itu kepadanya. Tapi jika tidak kutanyakan dengan segera, aku merasa bahwa akan semakin kecil kesempatan untuk mengobrol dengannya. Akhirnya dalam kebingungan itu kuputuskan dengan sedikit tergesa-gesa untuk mengatakannya.
“Eh besok abis periksa jangan pulang dulu ya, gua mau curhat nih. Hehehe.” Kataku.
“Oke. Sampe besok.” Ia membalas.
Aku terdiam membaca pesanku yang terakhir itu. Perasaan bingung bercampur dengan keinginanku untuk berbicara. Aku benar-benar dilanda oleh kegelapan. Aku benar-benar bingung harus berkata apa nanti. Hal ini sungguh aneh bagiku. Tidak biasanya aku bisa bingung dalam memilih kata-kata. Bahkan saat terpaksa pun aku masih bisa mengarang dan beralasan dengan mudah. Tapi kali ini, dengan waktu yang cukup lama, aku masih tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.
Akhirnya tibalah hari penentuan. Hari di mana aku melangkah ke tepi jurang. Bersiap untuk melompat. Aku pulang bersamanya seperti biasa. Saat kami tiba di kamarku, ia memintaku untuk memainkan lagu diiringi dengan gitarku. Aku langsung memainkan lagu “The World As I See It” yang dinyanyikan oleh Jason Mraz karena kebetulan aku sedang suka dengan lagu itu dan aku baru saja mempelajarinya. Saat melihatnya tersenyum ketika aku memainkan gitarku, akupun ikut tersenyum. Aku merasa sangat puas. Aku merasa tidak peduli lagi akan sekitarku asalkan aku bisa selamanya melihat senyuman itu. Aku merasa sangat senang dan aku merasa bahwa aku telah berhasil melakukan sesuatu yang hebat. Tapi aku lupa bahwa bukan hal ini yang sesungguhnya merupakan tujuan dari rencana dan doaku selama ini. Anehnya cukup dengan sebuah senyum darinya aku bisa melupakan semua itu. Sesimpul senyum manis di wajahnya.
Ia pun dipanggil masuk ke ruang periksa. Aku masih bingung antara akan berbicara atau tidak. Tapi setelah melihat keadaan di rumah, papaku sedang pergi, adikku sedang les, dan kakakku sedang keluar kota berarti tidak ada siapa-siapa yang mungkin bisa mencuri dengar atau tiba-tiba menyela. Aku pun berpikir sepertinya Tuhan sedang berbisik di telingaku “Sekaranglah waktunya.” Semakin dekat aku dengan tepi jurang itu, semakin takut, ragu dan bingung pula aku. Hingga akhirnya aku mendengar pintu ruang periksa dibuka disusul dengan percakapan singkat antara temanku dan mamaku. Tanganku mulai bergemetar. Butiran keringat dingin mulai muncul di dahiku. Aku berkata kepada diriku: “It’s now or never…”
Ia masuk ke kamarku dan menutup pintunya. Kami terdiam untuk beberapa saat. Ia menanyakan beberapa hal kecil untuk memecahkan kesunyian, tapi aku hanya menjawabnya dengan singkat, seolah menganggap itu semua adalah pertanyaan yang tidak signifikan. Tapi itu sebenarnya karena aku tak berhenti berpikir, berpikir keras sekali mencoba mencari kata-kata yang hilang. Akhirnya lagi-lagi kesunyian mendominasi atmosfer di kamarku. Tidak seperti biasanya, pada sore ini rumahku seakan-akan sangatlah sunyi. Benar-benar sepi sekali, seakan-akan seperti waktu telah berhenti di dalam kamarku. Tanganku semakin terlihat bergemetar dengan hebat. Tentunya cepat atau lambat ia bertanya kepadaku:
“Memangnya lu mau curhat apa gitu?”
Aku terdiam. Terdiam seribu bahasa. Aku memutar otakku lagi untuk mencari kata-kata yang tepat, tapi sepertinya aku tidak akan pernah menemukannya. Bagaimanakah aku harus menanyakannya? Langsung dan blak-blakan? Pelan-pelan dan santai? Aku malah semakin bingung. Aku berteriak di dalam, tapi teriakanku hilang sebelum sampai di mulutku. Keraguanku menelan dan meredam semua teriakan di dalam hatiku. Ingin sekali aku mengatakannya tanpa harus melihat dirinya. Tapi aku tak sanggup. Aku harus mendengar semuanya langsung dari mulutnya sendiri. Karena aku sendiri berpikir bahwa kebanyakan alat komunikasi yang kita gunakan seperti handphone telah mengurangi makna, esensi, dan arti dari kata-kata kita. Dari sudut pandangku, semua hal-hal yang penting seperti ini harus diucapkan dari mulut ke mulut tanpa perantara.
“Gini…” Jawabku
“Sebenernya…”
Lalu aku terdiam lagi. Aku bingung. Lagi. Seolah-olah semua kata-kataku telah dirampas dan dikubur, aku tidak bisa berbicara lagi. Aku merasa tersiksa. Kenapa? Kenapa aku yang biasa begitu cerewet bisa kehilangan keberanianku untuk berbicara? Kenapa aku bisa kehilangan kata-kata seperti ini?
“Sebenernya…”
Lagi-lagi aku terdiam. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Dan ketika sudah sampai di sini tidak mungkin lagi bagiku untuk mundur. Di dalam diriku semakin tersiksa. Aku benar-benar merasakan seperti seseorang yang bisu. Aku merasa sangat inferior, sangat lemah karena aku telah dibuat bisu seperti ini.
Akhirnya setelah terasa seperti berhari-hari aku telah diam, aku teringat bahwa ia pun harus pulang cepat atau lambat. Kukumpulkan apa yang tersisa dari keberanianku. Akhirnya akupun memberanikan diri untuk berbicara. Akhirnya beberapa patah kata bisa keluar dari mulutku. Dengan helaan nafas akhirnya aku berbicara kepadanya.
“Sebenernya begini… Gua tuh ga demen sama cewek. Dan waktu itu gua pernah browsing sekali di forum. Dan gua kaget banget waktu nemuin foto lu.” Kataku dengan suara yang bergetar. Luapan emosi keluar bersama semua kata-kata itu.
“Gua cuma pengen tau, itu lu bukan sih? Soalnya kalo itu bukan lu, gua bener-bener ga suka temen gua digituin.” Dan akhirnya tanpa kusadari, air mata telah bercucuran keluar dari mataku. Aku merasa sangat marah jika itu ternyata bukan dirinya dan aku merasa sangat lega aku bisa berbicara kepadanya seperti itu. Tangisanku ini tak bisa kutahan lagi. Tangisan kekesalan dan kelegaan.
“Yah… Gimana ya… Kalo soal ga demen cewek sih sebenernya gua juga kok. Tapi kalo soal forum itu ntar ya gua inget-inget dulu…” Jawabnya.
Sebagian diriku merasa lega, tapi tetap saja pertanyaanku tidak terjawab. Bukannya aku merasa kecewa, tapi aku mengharapkan lebih. Aku masih berharap bisa mengetahui kebenaran dari masalah itu. Dan ternyata air mataku masih terus mengalir. Entah mengapa.
“Udah-udah, jangan serius gini dong, balik dong ke lu yang biasanya. Jangan nangis lagi.” Ujarnya.
Aku pun menyeka air mataku. Kulihat dirinya, tak kusangka ternyata ia jauh lebih kuat dari yang kubayangkan sebelumnya. Aku selalu mengira bahwa dirinya adalah orang yang emosional, orang yang melankolis. Nyatanya aku yang seperti itu hanya tak pernah kusadari saja sebelumnya. Nyatanya akulah yang sangat perasa. Akulah yang sangat mudah terbawa oleh emosiku.
Akhirnya akupun tersenyum lagi. Aku tak mau terlihat menangis terus di depannya. Sekarang aku benar-benar merasa lega sudah bisa melewati hal ini. Akhirnya kebingungan di dalam diriku sudah sirna. Dan untuk pertama kalinya, aku telah mengungkap sebuah rahasia yang belum pernah kuceritakan kepada orang lain sebelumnya.
“Eh iya gua kan masih punya hutang sama lu.” Kataku. Aku selalu ingin menepati janjiku, terutama janji-janji yang benar-benar kuucapkan dengan serius. Aku tidak suka menjadi seorang pengingkar janji karena aku tidak suka dicap sebagai seorang pembohong.
Dengan bergegas aku mengambil piring dan garpu serta mengeluarkan sepotong kue coklat serta tiramisu yang telah kujanjikan kepadanya. Aku merasa lega. Aku merasa bahwa semuanya telah berjalan dengan cukup lancar. Tak terasa, langit sudah mulai gelap. Akhirnya ia pun harus pamit dari rumahku.
“Ke sini dulu, hutang gua yang terakhir nih.” Aku melepas kepergiannya dengan tangan terbuka. Aku pun merangkulnya.
“Terima kasih ya. Untuk hari ini.” Kuucapkan dalam pelukannya.
Ia juga tersenyum dan membalasku “Gua juga terima kasih ya.”
Aku mengantarnya sampai ke pintu depan dan aku menyampaikan selamat tinggal kepadanya. Aku masih tersenyum lebar. Belum pernah aku merasa selega ini. Belum pernah aku merasa sedekat ini dengannya. Aku sungguh merasa bahagia sekali pada malam itu. Dan pada malam itupun aku kembali berdoa, kali ini untuk berterima kasih kepada Tuhan.
“Tuhan, terima kasih karena telah menuntunku untuk menghadapi kebenaran ini. Terima kasih karena telah memberiku kesempatan ini. Dan terima kasih karena telah mendengarkan doa-doaku ini. Semoga Engkau tetap menuntunku dalam kehidupan sehari-hari terutama jika aku sedang kebingungan seperti tadi. Terima kasih Tuhan karena Engkau telah menjadikanku seperti aku yang sekarang ada di sini. Amin.”
Terbaring di atas ranjangku, mataku pun terpejam, menitihkan lagi setetes air mata. Hanya kali ini air mata itu adalah air mata kelegaan, bukan keputus-asaan. Pada malam itu sesimpul senyum mengantarku ke dunia mimpi, walaupun pada saat itu sepertinya aku tidak bisa membedakan manakah mimpi dan manakah kenyataan.
Yah begitulah, ternyata cintalah yang terjadi. Itulah mengapa aku merasakan sebuah perubahan yang hebat terjadi dalam diriku. Mungkin tak kusadari sebelumnya tapi setelah menyadarinya aku hanya berharap ini akan menjadi sebuah cerita dengan akhir yang bahagia untukku dan terutama untuknya yang ternyata pernah mendapat pengalaman pahit juga, bahkan lebih banyak dari diriku. Aku hanya berharap bahwa satu kali saja aku dan dia bisa merasakan cinta tanpa didominasi oleh sakitnya. Dan sekarang aku hanya berdoa semoga saja semua harapanku ini dikabulkan oleh-Nya.
Hidup itu bagaikan sepotong kue coklat. Ada yang manis dan ada juga pahitnya. Tapi jika keduanya bisa berpadu dengan tepat akan menciptakan sebuah kenikmatan yang tak ada tara. Semoga saja aku bisa merasakan cinta seperti aku merasakan sepotong kue coklat.
Comments
@riri_bete Ya dia bilang kita tetep stay friends aja kok, gak lebih. Skrg pun gw msh suka bbm dan sms-an sm dia kok... Hehehe
ditunggu lanjutannya ya bro
kalo bisa mah dibuatnya sepotong2, jangan langsung banyak. biar pembaca pada penasaran jalan cerita yang selanjutnya. heu
Semua terasa indah. Aku bisa menghabiskan waktu bersamanya. Aku bisa mengobrol dengannya, berbicara hati-ke hati. Membicarakan semua manis pahitnya perjalanan kami berdua hingga ke satu titik temu di sini sekarang. Ternyata banyak sekali yang telah terjadi padanya. Soal berhubungan ato relationship ternyata dia jauh lebih banyak pengalaman daripada aku. Dan kasihannya ternyata hampir semua pengalamannya itu berakhir dengan pahit.
Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan sesuatu untuknya. Sesuatu yang spesial. Aku langsung menghubunginya lewat bbm:
“Eh nanti gw mau kasih hadiah buat lu. Tunggu tanggal mainnya yaaaa… Hehehe”
“Hah? Hadiah apa gitu? Haha. Oke deh.”
Aku tersenyum lagi. Apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya lebih ceria sepertinya sudah menjadi kewajibanku. Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya sepertinya sudah merupakan tugasku. Aku sangat senang bisa menjadi bagian dari hidupnya. Maka kuputuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya: rekaman. Aku bingung memilih lagu apa kira-kira yang cocok untuknya.
Setelah kebingungan selama beberapa hari memilih lagu, akhirnya aku ingat sebuah lagu yang bagus. Lagu singkat yang mungkin jika didengar untuk pertama kalinya tidak begitu dalam. Tapi ada satu kalimat dari lagu itu yang ingin kukatakan kepadanya. Kalimat ini diambil dari lagu Stand by Me yang dinyanyikan oleh Oasis:
“Stand by me, nobody knows the way it’s gonna be.”
Mulailah aku berlatih lagi kunci-kuncinya dan mulailah aku memainkan jemariku di atas gitarku itu. Sebelumnya. inilah teman terbaikku di saat aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak mengobrol. Gitarku. Dia selalu menjadi teman di mana aku bisa melampiaskan kekesalan, kegembiraan, atau kesedihanku melalui alunan musik.
Ternyata setelah rekaman, hasilnya tidak begitu memuaskan. Maklum saja, aku hanya sekedar bisa dalam memainkan gitar, aku tidak mendalaminya. Tapi setelah kupikir yang penting pesannya saja bisa tersampaikan. Eh, ternyata pada malam itu dia online di Skype. Aku mengontaknya.
“Status lu aaa mulu ganti bbb kek… haha… Msh setress sm kmrn ujian ya?”
“Ah dodol, lu masih bisa aja ya…”
“Bisa apa gitu? Haha…”
“Nge-kriuk-in hatiku…”
“Err… kriuk? Emg iklan gorengan? Haha… Eh iya mau hadiahnya sekarang nih?”
“Boyeeee. Haha…”
“Bentar yaaa…. Nih link video yang gw rekam tadi. Hehe. Sori ya kalo jelek, abs udh cape pas rekaman dan lagunya udh lama gw ga mainin. Enjoy! ” begitu kataku.
“Aww, biarpun cape masih dibela-belain. Wiiii... Bentar yak gw liat dulu…”
Sambil menunggu dia selesai menonton video itu aku mengutarakan maksudku membuat video itu kepadanya.
“Gini nih, kenapa gw pilih lagu itu? Soalnya ada satu kalimat dari refrainnya yang meresap banget di gw dan pengen gw sampein ke lu: ‘Stand by me, nobody knows the way it’s gonna be.’
Kita gatau nih ke depannya bakal seperti apa ato gimana, tp kl lu mau selalu ada buat gw, gw jg pasti bakal selalu ada buat lu. Hehehe. Semoga pesennya meresap di lu sama seperti dia meresap di gw.”
Setelah selesai menontonnya ia membalas pesanku itu:
“*Chuckle* Cieeeh… Yah seengganya skrg ad temen curhat kan? Ga usah dipendem2 lagi deh.”
“Hehe. Persis! Gimana suka ga?”
“Aww…. Unyuuuu! Dinantikan yg lainnya yak!”
“Wkwkwk… Nanti deh kalo skill udh lebih mencukupi. :P”
Aku tersenyum lebar dan kami melanjutkan pembicaraan kami untuk beberapa lama. Waktu rasanya berjalan dengan lambat.
“Ad yg mau lu certain lg gak? Seisi rumah udh tidur semua nih, ga ad yg bakal curi2 denger…” Tapi selama beberapa saat dia terdiam tidak membalas pesanku.
“Loh kok lu tiba2 diem sih” tanyaku. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi.
Ternyata dia tidak kunjung menjawab selama beberapa lama. Hingga akhirnya iapun menjawab:
“Aduh soriiii gw ketiduraaann!”
“Ah dasar lu…. Haha…”
“Sorii “
“Gw ga bisa marah sm lu kok. Hahaha…”
“Ah kenapa gitu? *pukul-pukul manja*”
“Setelah ap yg terjadi kemaren ini, lu udh begitu baik sm gw.”
“Aih… ”
“Ya udh bobo gih, met bobo yaa…”
“Lu jg jgn tidur pagi2. Hehe.”
“Iya, ntr lg jg gw bobo kok kayanya… Haha. Lu perhatian deh. ”
“Sip2. Wkwkwk… XD Yuk ah, mari…”
Ah begitu bahagia rasanya bisa mengobrol dengannya dan bisa melakukan sesuatu untuknya. Ternyata mencintai seseorang memang bisa semanis ini. Malam itupun kembali sesimpul senyum mengantarku ke dunia mimpi diiringi dengan senandung lagu itu: “Stand by me…”
andai gue bisa kayak gitu sama someone yang gue suka.
overall enak dibacanya nih.
bikin cerita bersambung dong ya, @farkas
*langsung buffer lagu stand by me di yutup
oke oke, ditunggu ya :x