....Alun-alun Madiun..September 2004, seminggu setelah kelulusan.
Untuk kesekian kalinya, aku kembali melirik kearah arloji yang menunjuk angka 20:43. Sekali lagi aku mendesah sembari menyusurkan mata, mencari diantara. Mencari-cari sosok yang telah berjanji akan menemuiku di alun-alun kota ini. Namun sudah empat puluh tiga menit lepas dari waktu yang dijanjikannya, ia masih saja belum menampakkan batang hidungnya. Sosoknya masih saja hampa dalam ingatan. Aku kembali mendesah. Kali ini terasa berat. Alun-alun ini masih ramai meski hari telah merangkak gelap. Lelampuan yang terpacang disetiap sudut cukup memberi nuansa indah dan temaram. Nuansa yang amat sangat mendukung bagi kawula untuk memadu kasih.
"Kemana sih,"bisikku pada diri sendiri. Berulang kali kucoba menelepon ke nomornya, namun tetap nihil. Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara gadis operator yang mencoba meyakinkanku kalau nomor yang kuhubungi sedang diluar jangkauan. Aku mengumpat sejadinya. Tak peduli dengan belasan pasang mata yang sedari tadi mencecapku. Setidaknya aku memang pantas melakukannya.
Pacarku yang sudah berjanji akan menemuiku di alun-alun ini untuk merayakan kelulusanku belum juga nampak. Kakiku nyaris kesemutan saking lamanya berdiri. Bahkan baterai handphone-ku sudah nyaris habis untuk mencoba menghubunginya. Aku kian geram. Ingin rasanya kutendang segala apa yang ada didepanku. Tapi aku masih punya akal sehat. Aku masih cukup waras.
"Jangan-jangan dia lupa! Ah! Jangan sampai dia lupa dengan janjinya sendiri!"gerutuku kesal. "Atau jangan-jangan dia sedang jalan dengan orang lain hingga lupa janjinya padaku?"
Pertanyaan kedua itu membuat kepalaku pening. Seketika saja jantungku berdegup. Tak mungkin jika Bagas-kekasihku selingkuh dengan lelaki lain. Aku mempercayainya. Dan ia takkan mungkin melakukannya padaku. Aku hanya mampu berpikir positif. Mungkin saja dia sedang dijalan dan ban motornya-kebetulan-bocor mungkin. Hingga dia agak sedikit terlambat menepati janjinya
Namun begitu aku melihat kembali arlojiku, aku tetap saja gigit jari. Waktu sudah merangkak sepuluh menit dari pukul sembilan malam. Bagas masih saja belun datang menemuiku. Ponselku bahkan sudah mati lima menit yang lalu. Rupanya baterainya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Maka dengan setengah ragu, kunyalakan starter motorku dan bergegas menuju rumah Bagas. Mungkin saja aku bisa mendapat sedikit jawaban atas ketidakhadirannya malam ini.
Dan motor bebek jaman jahiliyahku berhenti tepat di depan sebuah rumah berwarna biru muda di saltu sudut jalan Pahlawan. Kost Bagas. Maka tanpa membuang waktu segera kuputar kunci dan bergegas masuk kedalam rumah. Aku sudah hapal dimana letak kamar Bagas. Lantas segera kuayunkan langkah menyusuri lorong sempit menuju kamar di lantai dua itu. Dan kedua kakiku berhenti di depan sebuah pintu triplek berwarna biru di hadapanku. Tanpa enggan, kuarahkan tanganku menuju kenop pintu dan memutarnya. Tak terkunci. Rupanya Bagas memang sedang didalam. Sedang apakah dia sekarang sampai melupakan janjinya untuk menemuiku di alun-alun kota. Maka dengan mudahnya pintu pun terbuka dan sedetik berikutnya, aku sontak menelan ludah begitu melihat dengan jelas apa yang ada dihadapanku.
Comments