WILSON WILLIAM
Cinta itu adalah masalah? Banyak orang mengatakan hal seperti itu? Apa bagimu juga begitu? Bagiku tidak, cinta adalah anugerah untukku, anugerah terindah, bahkan lebih indah dari pelangi meski cintaku di bilang cinta pelangi. Mengapa demikian? Aku juga tidak tau, mungkin saja di ibaratkan pelangi karena warnanya yang beraneka warna, atau mungkin kemunculannya sehabis hujan dan akan menghilang begitu hujan hilang di telan panas, entahlah, tapi bagiku cinta ya cinta, tak peduli apa gambaran orang tentang cinta, karena bagiku cinta adalah buah pisang, yang meskipun mati akan selalu ada tunasnya.
Desember 1985
Masa SMA adalah masa yang paling indah, benarkah? Aku yakin itu sangat benar, karena aku juga merasakannya, namaku Robby Sanjaya,, aku biasa di panggil Robby, tanpa Sanjaya, karena bagiku nama belakang ayahku terlalu kuno,, hehehehe peace buat yang bernama Sanjaya…
Masa-masa SMA yang indah ini aku lalui dengan suka cita, seperti kebanyakan lagu-lagu yang memang sedang hits sekarang tentang percintaan anak muda, aku juga turut merasakannya, merasakan apa yang di namakan cinta, hanya saja mungkin cintaku sedikit sulit untuk di mengerti
Namanya Dimas, Dimas Dinata tepatnya, orang yang telah berhasil mencuri seluruh isi jiwaku tanpa bisa lagi ku bagi dengan orang lain, karena setiap rongga yang ada telah terisi olehnya, aku dan Dimas adalah teman sejak kecil, dari dulu kami sudah dekat, dari SD, SMP sampai sekarang SMA.
Perasaan itu timbul begitu saja tanpa dapat aku bendung, tak pernah kulupa saat dia mengucap kata cinta, di gubuk itu, gubuk yang menjadi saksi cintaku.
“Mas, liat tuh ada bekicot” kataku sambil menunjuk jijik pada seekor bekicot yang sedang menempel di daun
“Lho, biarin aja, mang kenapa?” Tanya Dimas
“Nggak sih, jijik aja, ngerjain yuk!” ajakku iseng
“Ngerjain gimana?”
“Kasihkan garam aja biar meleleh” Kata ku
“Jangan, bekicot tuh juga binatang dan juga perlu hidup, lagi pula lendirnya kan bisa di jadiin obat luka, ntar deh kalau kamu luka aku obati pakai lendir bekicot”
“Ihhh ogah, jijik hehehe” tak berapa lama hujan turun dengan deras, aku dan Dimas lantas berlari mencari perlindungan
“Tuh, masuk ke sono aja” Tunjuk Dimas pada gubuk tua petani
Aku dan Dimas berlari kencang ke gubuk itu, tapi tetap saja baju kami basah, aku merasa sangat kedinginan, hujan juga masih turun dengan sangat deras, sandal jepit yang kupakai entah sudah hilang kemana, tadi aku sempat terjerembab di lumpur, sawah ini memang sangat becek, apalagi kalau hujan begini
“Rob, kamu kenapa?” Tanya Dimas yang melihatku menggigil kedinginan, aku memang nggak tahan dengan hujan.
“Aku nggak apa-apa Mas” Kataku menenangkannya
“Maaf ya Rob, gara-gara aku, kamu kedinginan, nyesel aku ngajak kamu keluar tadi, harusnya kalau kamu dirumah, kamu nggak akan kedinginan seperti ini.
“Nggak apa-apa kok Mas, aku malah senang, karena mama juga nggak ada dirumah, kan jarang- jarang aku bisa keluar dan main-main di sawah hehehe” aku berusaha meyakinkannya
“Aduh, aku bisa dimarahin mama kamu nih” kata Dimas cemas
“Kan tadi aku sudah bilang kalau aku nggak apa-apa” kembali aku meyakinkannya
Tiba-tiba Dimas memelukku, memelukku dengan sangat erat, rasanya aku seperti tersambar petir, segala dingin yang kurasa langsung menjadi hangat, seperti darahku mengalir lebih cepat, bagai genderang mau perang..
“Eh maaf” Dimas melepaskan pelukannya dan kulihat wajahnya semu kemerahan
“Grrrr” aku kembali menggigil kedinginan, padahal hanya pura-pura, sedikit genit memang, tapi biarlah, aku merasa hangat dipelukannya, tapi dia diam saja, tak ada respon.
“Dimas” kataku dengan pura-pura gemetaran, Dimas terlihat cemas dan bingung
“Aku hanya butuh pelukan agar hangat” kataku dengan telah membuang segala urat Malu.
Kulihat Dimas sedikit ragu, tapi tanganku sudah terbuka dan dia kembali memelukku erat, sangat erat, dinginnya hujan tak lagi kuhiraukan, aku malah berharap hujan tak akan berhenti.
“Aku sayang kamu Robby” samar dudengar kata itu, aku langsung melepas pelukannya, Dimas terlihat kikuk dan bersalah, mungkin dia takut dan dia tak berani menatapku
“Kamu bilang apa Mas?” tanyaku kembali meyakinkan telingaku bahwa aku tak salah dengar
Dimas diam dan tak bersuara, wajahnya sudah merah dan terus menatap kebawah, kuangkat dagunya dan ku tempelkan bibirku di bibirnya, kami berpangutan sangat lama, sampai kudengar titikan hujan yang tinggal rintikan.
“Aku cinta kamu Mas, sangat mencintaimu” kulihat Dimas tersenyum dan kembali menciumku dengan lembut, aku merasa bagai melayang di udara.
Hari sudah sore saat aku dan Dimas kembali kerumah, kulihat ibu sudah berada di luar rumah dan saat melihatku datang dengan basah kuyup ibu langsung berlari kearahku
“Robby sayang, kenapa kamu bisa basah seperti ini? Kamu kemana saja?” Tanya Ibu cemas, untung saja aku sudah memakai sandal, karena Dimas meminjamkan sendalnya padaku sedangkan dia yang telanjang kaki
“Tadi Robby main disawah bu dengan Dimas” Jawabku
“Main disawah?” Tanya ibu, kadang ibuku terlihat cukup menakutkn jika sedang marah
“Hei, ngapain kamu ngajak anak saya main disawah? Dia tak selevel dengan kamu tau” bentak ibu pada Dimas..
“Bu, bukan salah Dimas, Robby yang ajak Dimas tadi” lawanku
“Nggak mungkin, bi Surtiiiiiiiiiii”teriak ibu kepada bi Surti
“Iya Nyonya, ada apa?” Tanya bi Surti yang lari tergesa-gesa
“Lihat apa yang dilakukan anakmu, berani-beraninya dia ajak Robby ke sawah, sudah untung saya sekolahkan dia di sekolah mahal” bentak Ibu pada bi Surti, Dimas tertuntuk diam
“Bu, cukup, Robby sudah bilng bukan salah Dimas, Robby sudah besar Bu, sudah SMA, masa main disawah saja nggak boleh”
“Sawah itu kotor Robby, kalau kamu mau main, sana main kemana saja, ketaman atau ke mana saja, asal jangan kesawah” teriak Ibuku tak mau kalah
Dengan sebal aku masuk dan menarik tangan Dimas.
“Lihat, pasti semua karena anakmu” Masih dapat kudengar Ibu memarahi bi Surti, tapi tak lagi aku hiraukan, aku langsung masuk kedalam rumah dan masuk ke kamarku
+++++++++++++
“Robby, buka pintunya” pinta Dimas dari luar
“Robby, kamu belum makan kan?” kembali aku mendengar suara Dimas, tubuhku terasa panas, kepalaku sakit, untuk berdiri saja aku berat, aku bangkit sambil menopang pada dinding dan membuka pintu
“Astaga Rob, kamu kenapa?” Tanya Robby, aku sudah tak kuat lagi dan jatuh, kurasakan Robby memeluk tubuhku
“Rob, Robby, kamu sudah siuman?”
Perlahan mataku terbuka, kulihat wajah Dimas, wajahnya penuh dengan kecemasan, jujur aku sangat senang, aku memiliki orang yang perhatian dan mencintaiku
“Mas” Panggilku
“Iya, aku Dimas, kamu sudah baikan?” Tanya Dimas. Aku menangguk
“Aku haus”kataku
Dengan sigap Dimas memaph badanku untuk duduk dan memberiku segelas air
“Makasih Mas, Ibu mana?” tanyaku
“Nyonya di bawah Rob, sudah kamu istirahat saja, panasmu juga sudah turun, syukurlah” kata Dimas, jujur aku sangat terharu,
“Makasih ya Mas, aku cinta kamu” Dimas tersenyum dan aku kembali tidur, hangat rasanya, karena aku tahu Dimas akan selalu menjagaku.
++++++++++++++
Hari-hari indah aku lalui dengan pacarku, Dimas, dia sangat mencintaiku, dia mencintaiku dengan sangat tulus, aku tahu itu, bukan karena aku anak dari majikannya, bukan juga karena orang tuaku kaya, dia bahkan tak pernah mau ku traktir kecuali kalau aku yang memaksanya, dia juga sangat pintar, selalu saja juara kelas, berkat Dimas jugalah aku bisa masuk 10 besar, tapi bukan karena mencontek, tapi karena Dimas selalu mengajariku jika ada yang aku tak tahu, sebenarnya Ibuku juga sayang dengan Dimas, tapi dia cukup gengsi, dan memang kalau dia sedang marah, dia akan menyalahkan orang lain, tapi sejujurnya, dia sangat baik. Karena itulah bi Surti bisa betah disini, dan aku bisa berteman dengan Dimas dari kecil.
“Rob, ada yang ingin aku katakana padamu” Kata Dimas pada hari kelulusan kami
“Iya, kenapa sayang?” tanyaku
“Aku akan pindah ke Jakarta, aku akan kerja disana” rasanya semua kaca yang ada disekolah ini pecah seketika, aku terdiam dan tak bisa berucap apa-apa
“Tapi kenapa Mas? Ibuku bersedia membiayai kuliah kamu, tolong jangan pergi” pintaku padanya, air mataku hampir saja menetes
“Maaf Rob, aku tak mau selalu membebani orang tuamu, aku juga ingin mandiri dan berusaha sendiri, aku rasa SMA saja sudah sangat cukup buat ku” Kata Dimas, kulihat dia menangis
“Tapi Mas, aku tak bisa kehilangan kamu Mas” kataku sambil terisak, untung saja di belakang sekolah ini tak ada satupun siswa
“Aku janji Rob, aku akan sering pulang, ibuku juga masih disini, jadi aku pasti akan pulang, aku sayang kamu Rob” Dimas memelukku erat. Tak mampu aku mencegahnya, aku sangat tahu Dimas, dia adalah orang yang memiliki pendirian yang teguh, jika dia sudah mengambil keputusan, tak akan bisa lagi di bantah
“Aku juga sayang kamu Rob”
+++++++++++++++
“Bu, Robby mau kuliah di Jakarta” kataku mengutarakan maksudku, Ibuku sampai kaget dan langsung bagun dari kursinya
“Apa kamu bilang? Tidak, tidak boleh” larang ibuku
“Tapi bu”
“Tidak ada tapi tapi, di Jakarta kita tak ada kerabat Robby, nanti siapa yang akan menjaga kamu disana”
“Robby sudah dewasa Bu, Robby bisa jaga diri”
“Pokoknya tidak bisa, sekali Ibu bilang tidak ya tidak” bentak Ibuku
Ayahku juga sepaham dengan Ibuku, tak ada yang dapat lagi kuperbuat, aku tak dapat mengikuti Dimas, aku harus merelakannya.
+++ TRaGedi Itu+++
“Rob” panggil Dimas dari luar pintuku, hari ini adalah keberangkatannya ke Jakarta
Kubuka pintuku dan langsung kutarik dia kedalam, kulumat bibirnya penuh gairah, entahlah aku merasakan akan sangat merindukan dia
‘Prang’ kaget kudengar sesuatu yang pecah, pandanganku kaku dan tak dapat lagi bergerak, tadi lupa aku mengunci pintu, dan kulihat di depan sana Ibu melihat kami, wajahnya pucat dan kulihat gelas pecah di bawah kakinya
“Ibu” kataku dan air mataku langsung mengalir, aku merasa hal buruk akan terjadi
“Robby, apa yang kamu lakukan?” Tanya Ibu tak percaya, belum sempat kujawab, Ibu sudah masuk ke kamarku
‘Plak’ tamparan keras mendarat di pipiku
‘Plak Plak’ tamparan bertubi-tubi dilayangkan Ibu pada Dimas, Dimas hanya diam, aku juga Diam, aku tak mengerti apa yang arus kulakukan
“Apa yang kamu lakukan pada anakku bajingan?” teriak Ibu dan kembali menampar Dimas, air mataku jatuh tak dapat laagi kutahan
“Bu, maafkan Robby bu, ini bukan salah Dimas” aku memohon bersimpuh di kaki Ibuku
“Diam kamu Robby” bentak ibuku
“Maafkan saya nyonya” kudengar suara Dimas, suaranya masih sama, dia tak terlihat takut, dia menjawab dengan tegar
“Saya yang salah, saya telah menjerumuskan Robby” kata Dimas lagi
Tamparan keras Ibu kembali melukai wajahnya, aku merasa tak berdaya saat ini
“Nyonya, apa yang nyonya lakukan” kudengar suara bi Surti dan sambil menangis dia langsung memeluk Dimas
“Maafkan Dimas Bu” kali ini air mata Dimas tak bisa lagi di bendung, bi Surti memeluknya dengan sangat erat
“Surti, lihat kelakuan bejat anakmu itu, berani-beraninya dia mencium Robby” teriak Ibu
“Apa itu benar Mas?” Tanya bi Surti pada Dimas, Dimas mengangguk dan sebuah tamparan mendarat lagi di pipinya, kali ini berasal dari Ibunya, air mata Dimas terus mengalir, bi Surti lalu kembali memeluk anaknya, bagaimanapun Dimas tetaplah anaknya.
“Maafkan Dimas bu” Isak Dimas
“Pergi kamu dari sini”teriak Ibu
“Bu” teriakku juga
“Diam kamu Robby” teriak Ibuku tak kalah keras
“Baik nyonya, saya akan keluar” Dimas mengambil tasnya dan segera berlalu dari kamarku
“Bu, maafkan Dimas, Dimas janji akan membawa ibu ke Jakarta jika Dimas sudah sukses”
Dimas menatap padaku “Maafkan aku” katanya. Aku hanya bisa menjawab dengan air mata, tak terkira betapa sakitnya hatiku saat ini, sungguh teramat sakit, melihat orang yang kucintai pergi dengan hati yang terluka. Ibu pergi dari kamarku sambil menangis, aku tahu bahwa dia sangat kecewa padaku saat ini, ku pandangi bi Surti, aku juga turut merasa bersalah padanya, tapi dia hanya tersenyum menatapku
“Maafkan Robby bi” kataku
“Sudah nak Robby, biarlah, mungkin ini semua sudah suratan takdir, Bibi juga tak marah sama kamu maupun Dimas, nak Robby juga sudah Bibi anggap seperti anak sendiri sama halnya dengan Dimas, Bibi menyayangi kalian berdua, dan Bibi tak akan menyalahkan siapa-siapa.
++++++++++++++++++
Juli 1992
Sudah enam tahun dari kepergian Dimas, tak pernah laagi ku mendengar kabar darinya, dia sama sekali tak pernah menghubungiku, memang beberapa kali dia menulis surat, tapi bukan untukku dan hanya untuk bi Surti, tak pernah dia membalas surat yang aku kirimkan padanya, tak pernah ia bertanya akan kabarku dari surat yang dia kirim ke Bi Surti, Sudah dua tahun juga bi Surti meninggalkan rumah ini, dia bilang Dimas sudah memiliki pekerjaan tetap dan sudah akan mengajak dia ke Jakarta, aku juga sudah menitipkan oleh-oleh untuknya saat kepergian bi Surti, tapi tak pernah ada balasan darinya, mungkin saja dia sudah tak lagi mencintaiku, aku juga sudah pasrah, meskipun cintaku padanya tak akan pernah hilang ditelan waktu, kini aku juga sudah bekerja di perusahaan Ayah, aku sudah lulus kuliah, Ibu juga sudah beberapa kali memaksaku untuk segera menikah, tapi aku belum pernah sekalipun tertarik dengan wanita manapun, hatiku masih tetap terpaut dengan Dimas, tak bisa aku menghapusnya dari memoriku.
Tak terhitung sudah beberapa wanita dikenalkan padaku, tapi tak ada yang membuatku tertarik, sampai suatu saat hadirlah dia.
“Robby, sini nak” Panggil Ibu saat ku baru saja pulang dari kantor
“Iya bu” aku berjalan ke ruang tamu, kulihat ada seorang wanita yang cantik sedang duduk tertunduk
“Kenalkan dia Regina” aku menyalami wanita itu
“Robby”
“Regina” katanya masih tertunduk
“Regina ini masih kuliah lho Rob, dia orangnya pintar dan ulet” kata Ibu membanggakan Regina, aku Cuma mendengar dengan malas, kulirik wanita yang bernama Regina itu, dia memang cantik, tapi dia terlihat sedikit ketakutan, aku merasa iba dengannya, aku merasa ada yang tak beres dengannya.
Ibu meninggalkan aku dan Regina di ruang tamu, seperginya ibu, kulihat Regina menitikan air mata
“Kamu kenapa?” tanyaku padanya, dia hanya menggeleng, sungguh ku merasa iba dengannya
“Aku dijodohkan dengan mas” katanya masih sambil menunduk, aku sudah menduga hal itu, tak mungkin Ibu tiba-tiba mengenalkan aku dengan wanita jika tak ada maksud tertentu
“Tenang saja, kalau kamu tidak mau menikah, aku juga tidak akan memaksamu” kataku
“Tidak, tidak, aku mau” katanya, dia lalu menatapku, baru dapat kulihat sekarang wajahnya dengan seksama, dia sangat cantik dengan kedua mata yang indah, mata yang sama dengan Dimas, astaga, kenapa mereka memiliki mata yang sama.
Aku tahu sekali kalau dia terpaksa, kuajak dia untuk ketaman agar bisa lebih rileks
“Katakan padaku sejujurnya, aku janji akan mendengar” kataku pada Regina
“Aku di paksa menikah oleh orang tuaku Mas” aku sudah menduganya
“Tapi kenapa denganku?”tanyaku padanya
“Karena orang tuaku memiliki banyak hutang dengan ayah mas” jawab Regina jujur. Aku tertegun mendengarnya, bisa-bisanya Ibu memamfaatkan hutang orang tuanya sebagai penjerat, sebenarnya aku juga paham kenapa Ibu memaksaku segera menikah, padahal umurku juga belumlah terlalu matang, Ibu takut kalau aku akan terus mencintai Dimas dan tak akan menikah, aku adalah anak satu-satunya yang sangat diharapkannya.
“Aku mengerti sekarang” kataku padanya
“Baiklah, kalau memang ini yang terbaik, aku akan melakukannya, kamu juga tak perlu khawatir, setelah kita menikah, dan jika tak ada kecocokaan, kita bisa bercerai, setidaknya kita tak akan di paksa lagi” entah kenapa juga kata-kata itu bisa meluncur dari bibirku, biasanya juga aku akan menolak, mungkinkah karena aku iba dengannya? Atau karena aku sudah lelah mengharapkan Dimas? Atau karena matanya yang sama dengan Dimas?
++++++++++++++++++=
Sebuah pernikahan yang harusnya dijalani dengan indah bagi setiap pasangan, tapi tidak bagiku dan Regina, kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Aku terus memikirkan Dimas, apa dia juga sudah menikah? Ahh entahlah.
Regina juga dapat kulihat di menangis dalam senyumannya, jujur aku kasihan dengannya, tapi ini akan menjadi yang terbaik bagi kami berdua, aku akan berusaha untuk membahagiakannya, jika aku tak mampu, aku akan menyerah, tapi setidaknya aku mencoba, aku tahu Regina berbeda dengan wanita lain, dia masih berumur 20 tahun, tapi dia cukup dewasa, dia tidak pernah egois.
“Minum dulu kopinya mas” kata Regina pagi-pagi yang menyuguhkan kopi untukku saat sedang membaca Koran
“Terima kasih” jawabku, Regina kembali masuk kedalam untuk mengerjakan pekerjaan rumah
++++++++
Semenjak pernikahanku dengan Regina, tak pernah sekalipun aku menyentuhnya, karena aku tahu, dia belum siap, aku juga ingin memiliki hubungan berdasarkan cinta, tapi tak ada cinta di antara kami, Regina masih tetap kuliah, aku tak ingin menghalangi kariernya.
Satu yang membuatku jengkel adalah Ibu dan juga Ayah yang terus bertanya apa Regina sudah hamil atau belum, karena itu juga aku malas mau pulang kerumah, memang pernikahan sungguh membebankan batinku, tak mudah bagiku tiap hari, aku sudah belajar untuk mencintai Regina, tetapi sungguh sulit bagiku, aku juga kasihan pada Regina, aku tahu dia juga merasa sama tersiksanya denganku.
“Gina, mas mau bicara sebentar” kataku pada Regina saat aku selesai mandi
“Iya mas” Regina hanya mengangguk dan mengkuti ku dari belakang
“Gina, mas rasa sebaiknya kita akhiri pernikahan ini” aku tak berani menatapnya, tak kudengar sepatah katapun darinya
“Gina” ku panggil dia dan ku tatap matanya, kulihat matanya sembab, dia menangis, sungguh, aku bingung, aku tak tahu harus bagaimana, aku kira ini akan membahagiakannya
“Gina, maafkan mas” kataku lagi, dia memelukku erat
“Maafkan Gina mas, maafkan” Dia menangis tersedu-sedu dalam dekapanku, aku hanya diam dan mengelus rambutnya, sesak terasa dadaku.
“Mas, Gina mohon, jangan mas lakukan itu, Gina janji akan menjadi istri yang baik”
Aku luluh mendengarnya, dan saat itu juga aku memutuskan untuk lebih memperhatikannya, aku tak akan biarkan dia terluka
“Mas akan selalu menjaga kamu Gina” janjiku padanya, kutatap matanya, dia memang sangat cantik, larut diriku dalam pelukannya, kukecup keningnya, kulihat dia tersenyum, apakah ini adalah saatnya, ya hatiku berkata ia, aku tak bisa terus memikirkan Dimas,kini aku sudah memiliki seorang istri bernama Regina, aku ingin bersamanya, aku ingin membuatnya bahagia, dan hal itu terjadi, hal yang belum pernah ku pikirkan sebelumnya, ku menyentuhnya, menyentuhnya lebih Dalam, menjalankan tugasku sebagai seorang suami, seorang suami yang bertanggung jawab
++++++++++++++++++=
Pernikahanku dan Regina sudah menapaki usia ke 4, Regina juga telah menyelesaikan studinya, kini dia adalah seorang Sarjana Ekonomi, aku sangat bangga terhadap istriku, tetapi ada satu hal yang memang kurasa kurang lengkap karena tidak ada tangisan bayi dalam keluargaku, ya mungkin ini adalah kesalahanku, aku tak pernah menyalahkan Regina sedikitpun, sering ku pandangi kamar yang telah kupersiapkan untuk bayiku, sudah beberapa tahun kamar ini kosong, tapi aku yakin, tak akan lama lagi akan ada tangisan seorang bayi terdengar dari sana, dan akan ada ayah yang selalu akan menggendongnya dan menenangkannya.
“Regina, kalian sudah periksa kedokter belum?” Tanya ibu pada Regina, aku yang baru saja selesai mandi mendengar pertanyaan ibu, sudah bosan aku mendengar pertanyan-pertanyaan seperti itu, kulihat Regina hanya mengangguk saat ibu menasehatinya untuk segera ke dokter dan mengkonsumsi jamu-jamu agar cepat hamil
“Sudahlah bu, anak itu pemberian Tuhan, lagipula kami masih bahagia berdua” sambungku
“Tapi Rob, ibu kan sudah kangen punya cucu, ibu iri lho Rob lihat tante kamu yang sudah punya 2 cucu” sambung ibu dengan melirik tajam ke Regina, kulihat Regina hanya menunduk
“Iya bu, Robby paham, ibu doakan saja ya bu” kataku sambil merangkul ibuku, segera ku alihkan pembicaran agar ibu tak selalu membahas tentang anak
++++++++++++
“Wueekkk” kulihat Regina muntah dan segera berlari ke kamar mandi
“Kamu kenapa Gina?” tanyaku padanya, kulihat wajahnya pucat
“Nggak apa-apa mas, mungkin masuk angin saja
“Yakin? Apa perlu kita ke dokter?”
“Nggak perlu mas, nanti minum obat saja juga sudah sembuh” jawabnya
“Wuekkkk” kembali dia muntah-muntah, aku tak tega melihatnya, dan aku paksa dia untuk ke dokter
“Selamat pak, anda akan menjadi seorang ayah?” kata dokter
Bagai pelangi sehabis hujan, kurasakan badanku di kelilingi oleh pelangi,
“Sungguh dok?” tanyaku
“Gina, kita akan punya anak Gina” saking senangnya aku langsung memeluk Regina, aku akan segera menjadi seorang ayah, aku akan menjadi ayah
“Bu, Regina hamil bu?” telponku pada Ibu yang baru 3 hari yang lalu pulang ke Kalimantan
“Apa Rob? Yang benar?” Tanya ibu, kudengar ibu sangat senang
“Iya bu, ibu akan segera menimang cucu”
“Ok, ibu akan segera kesana”
Tak perlu waktu yang lama, beberapa jam kemudian ibu sudah sampai di rumahku dan segera memeluk Regina, ayah juga terlihat sangat senang
“Kamu hebat Rob, pasti akan hadir seorang jagoan” kata ayahku
“hehehe, kan Regina baru hamil yah, jadi belum tahu jagoan tau putri jelita”
“Husss jangan ngomongin itu dulu, cowok atau cewek sama saaja, yang penting ibu akan segera punya cucu” sambung ibu, ibu segera membawa Regina ke kamar, katanya ada hal yang harus di bicarakan sesama wanita, kulihat raut wajah ibu, sungguh aku juga sangat senang, ibu sangat bersemangat, melebihi aku dan Regina.
+++++++++++++++++
Hari-hari indah aku lewati bersama Regina, selalu kulindungi istriku, apalagi saat dia menghadirkan seorang jagoan untukku, jagoan yang sangat aku harapkan sejak dulu.
JAMES itulah nama jagoanku, dia adalah pelengkap keluargaku, pelengkap kebahagiaanku, James selalu mewarnai hariku dengan tangisan dan senyumannya, terasa tiap hari aku ingin pulang awal untuk bertemu, menggendong dan mencium anakku.
“Papa sayang kamu James” kataku, James kecil hanya tertawa, aku yakin dia mengerti akan cinta yang kami berikan padanya
Juli 2010
“James, ayo makan” teriak Regina pada James, anak laki-lakiku satu-satunya, aku Regina sedang berada di meja makan untuk sarapan pagi
“Iya ma, sebentar” Teriak James dari kamarnya, dan kini dia berjalan kearahku dengan gagah, kini jagoanku sudah masuk SMA, dia terlihat gagah, meskipun masih menggunakan seragam SMP karena masih harus masuk dalam Masa Orientasi Siswa
“Kamu yakin sayang, tidak mau mama temani?” Tanya Regina padanya saat dia mencomot sebuah roti, Regina memang sangat memanjakannya.
“Yakin dong ma, masa James bawa-bawa mama segala, nanti apa kata teman-teman” jawabnya mantap, kutatap lagi wajahnya, ya dia memang sudah besar sekarang, aku tahu anakku akan menjadi seorang yang besar nantinya
“Tapi James, kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Kamu kan tahu kalau senior-senior itu suka kerjain siswa baru” sambungku, kecemasan memang selalu hadir belakangan ini, aku khawatir anakku dikerjai seniornya
“Kan James kuat pa, nih otot James” James menunjukan otot bisepnya, memang aku yakin kalau dia akan baik-baik saja, tapi tetap saja ada sedikit kecemasan di diriku
“Ya sudah, tapi kamu harus lapor ya kalau ada apa-apa” wantiku
“Siap Boss” James berdiri dan memberi hormat, anak ini memang selalu membawa kehangatan dalam keluarga kecilku,
“Hahaha kamu ada-ada saja, sudah cepat makan dan kita berangkat”
Kuantar James sampai di depan gerbang sekolahnya, dia terlihat sangat bersemangat.
“Mas, aku masih khawatir dengan James” kata Regina
”Tenang saja sayang, James anak yang hebat” ku mencoba menenangkan Regina, James anakku memang adalah anak yang sangat membanggakan, dia tak pernah mengecewakanku walau sekalipun.
Jika ditanya bagaimana aku menyayanginya, aku kan berkata, aku menyayanginya lebih dari diriku sendiri
+++++++++ MASALAH ITU++++++++++
Hari minggu ini aku pergi ke lapangan golf bersama rekanku untuk menemani klien yang berasal dari Singapore, dia akan mengembangkan bisnisnya di Indonesia dan akan di urus oleh temannya.
Pagi jam 7 aku sudah sampai di lapangan golf, tetapi mereka belum datang, aku dan Bima mengobrol selama menunggu.
“Loe udah tau belom Rob siapa klien kita?” Tanya Bima
“Pak Siam Liong kan?” tanyaku
“Bukan pak Siam Liong, dia juga gue kenal, tuh temannya itu lho yang mau join juga”
“Nggak gue, memangnya kenapa?” tanyaku padanya
“Gue dengar nih ya, mereka tuh pacaran” kata Bima
“Ahh loe gossip saja tahunya hahahha. Lagi pula apa salahnya sih kalau mereka pacaran” kataku
“Masalah dong, mereka tuh cowok”
“Bhusss” aku langsung menyemprotkan minumanku
“Tuh mereka sudah datang” kata Bima, aku langsung segera berdiri untuk menyambut Pak Liong
“DI,, MAS?” mataku terpaku, aku melihatnya lagi, ya dia benar-benar Dimas, Dimas orang yang dulu sangat aku cintai
“ROB,, ROBBY?” Dimas juga sama terkejutnya denganku,
“You both know each other?” Tanya pak Liong, aku kembali tersadar dalam lamunanku dan juga kata-kata Bima tergiang dalam ingatanku
“Yes” jawabku datar, Dimas juga terlihat salah tingkah
“Ohh, that’s good, it will be easy and I hope you and Dimas will become good partner” sambung pak Liong dan dia merangkul bahu Dimas, Pak Liong memang pengusaha sukses, di umurnya yang baru 35 Tahun, tapi dia sudah menjadi pemilik perusahaan keramik terkemuka di Singapore
“Yes, we hope so Mr Liong” sambung Bima, aku hanya tersenyum, kulirik Dimas sekilas, nampak dia terlihat risih dengan rangkulan pak Liong, atau mungkin dia risih karena ada aku, getaran yang sudah lama aku pendam seakan meledak dalam dadaku, sungguh dia adalah orang yang sudah sangat ingin aku lupakan.
Permainanku sangat kacau hari ini, Dimas juga kulihat seperti itu, kami sama-sama tak konsen, aku juga tidak berbicara sepatah katapun dengannya, jujur aku masih marah karena dia tak pernah membalas suratku, dan juga aku sudah berkeluarga, aku tak ingin rasa itu kembali hadir dalam hidupku.
“Kenapa kamu bisa ada disini?”Tanya Dimas datar, dia menghampiriku saat aku sedang duduk istirahat
“Aku rasa itu bukan urusanmu” Jawabku ketus
“Aku merindukanmu” katanya lagi
“Sudah, jangan lagi kamu teruskan, kamu tahu apa yang telah terjadi” kutatap Dimas, terlihat wajahnya masih terlihat menawan seperti saat dulu, dia tak berubah sedikitpun
“A,,,”
“Kringg, Kringg” kudengar hp ku berbunyi, Dimas tak sempat meneruskan kata-katanya, kulihat di layar handphoneku, Regina
“Iya Gina, ada apa?”
“Mas” kudengar suara Regina sambil terisak
“Kamu kenapa Gina?” tanyaku mulai cemas, tak lagi kupedulikan Dimas di sampingku
“Mas bisa pulang sekarang?”
“Iya, iya aku akan segera pulang” kataku dan segera ku kemasi barangku
“Rob, ada apa?” Tanya Dimas cemas
“Istriku telpon, sepertinya ada masalah?” kataku
“Istrimu?” dimas terlihat kecewa saat aku menyebut tentang istri, tak lagi aku hiraukan dia dan segera aku menghampiri pak Liong
“Mr Liong, I am sorry, I have to go, my wife just called me, I worried something happen to her” jelasku pada pak Liong
“Oh, ok, take care Mr Robby, I will call you soon”
“ok, thank you Mr Liong”
“Bim, kamu yang handle ya” jelasku pada Bima
Aku segera berjalan ke parkiran mobilku, kupandang sekilas, kulihat Dimas melihat setiap langkahku, tapi tak lagi aku hiraukan dia.
++++++++++++++++=
“Kamu kenapa sayang?” tanyaku pada Regina, kulihat di sangat cemas
“Mas, James mas, James” Kata Regina sembari menangis
“James kenapa?” aku mulai khawatir, jangan-jangan James kecelakaan
Regina menceritakan padaku bahwa dia baru saja mengangkat telpon James, dan terdengar suara laki-laki yang memanggil sayang kepada anakku, aku terdiam sesaat, tidak, ini tidak boleh terjadi, aku tak ingin apa yang pernah aku rasakan dirasakan oleh James
“Ayo kita ke kamar James dan lihat apa yang ada disana” kataku setelah aku tersadar
Segera kami masuk ke kamar James, dan kami menggeledah barang-barangnya, tapi kami tak menemukan apa-apa, dalam hatiku, aku terus berdoa yang terbaik, aku tak ingin James senasib denganku
“Periksa komputernya” kataku
Regina segera membuka komputernya dan aku kembali mencari bukti-bukti, kuharap apa yang aku takutkan tak terjadi
“Mas” suara regina pecah, segera aku mendekatinya, kulihat ke layar computer, Regina membuka history di mozzila dan terdapat beberapa situs gay, astaga apa yang aaku takutkan terjadi, James anakku adalah seorang gay.
“”Suruh dia pulang” teriakku, Regina segera terdiam dari tangisnya
“Mas, tolong mas, jangan keras sama James, dia anak kita satu-satunya” Regina mencoba menenangkanku
“Kamu tak perlu menasehatiku, ini semua karena kamu yang terlalu memanjakannya”
“James, sayang, cepat pulang nak” telpon Regina pada James, aku segera masuk ke kamar, terasa sesak sekali di dadaku, hal yang aku takutkan terjadi, aku tahu semua adalah salahku, karena akulah semua hal ini terjadi, tapi aku tak akan membiarkan semua terlanjur, aku sangat sayang pada anakku, aku tak ingin sakit itu terasa oleh anakku, kudengar suara motor James, setelah ku tenangkan diri aku turun ke bawah.
“James” teriakku pada James, kulihat Regina sedang memeluknya sambil menangis, rasa sakit itu timbul saat aku mengingat Dimas, mengingat semua kenangan ku dengannya, aku tak ingin James, James anakku yang paling kucintai, aku sangat menyayanginya, tak boleh orang menyakitinya, kutarik tangannya dengan kasar dari Regina
‘plak’ tanganku reflek menamparnya, sungguh jujur, sakit itu, sungguh sangat sakit
“Kamu sudah memalukan keluarga ini” bentakku pada James, James menangis dan memeluk kakiku
“Maafkan James pa, maafkan James” sungguh rasanya hancur hatiku, semua harapan yang aku pupuk selama ini terasa hancur
Kutarik lagi dia, dan kembali kutampar sampai terjatuh, Regina teriak sambil menangis dan memeluk James
“Kamu puas mas, kamu puas?” teriak Regina padaku, saat itu aku merasa tersadar, ku melihat kedua telapak tanganku, tangan yang menggendong dia sejak kecil ini telah tega menamparnya
“Kamu jahat mas, apa kamu lupa, James adalah anak kita, bukan kemauannya juga untuk menjadi gay, apa dia salah mas?” teriak Regina lagi, air mataku terjun dengan bebas, sungguh rasanya aku ingin mati saja, aku juga pernah merasakan hal ini dulu, tapi kenapa aku kembali melakukannya pada anakku
“Ma, maaf kan James ma, semua salah James” pinta James sambil menangis
“Sudah sayang, kamu tak perlu meminta maaf, maafkan mama yang mungkin kurang perhatian sama kamu, maafkan mama sayang” kata Regina sambil memeluk James
“Bik Ima, ambilkan P3K” teriak Regina pada pembantu rumah tangga kami
Saat itu aku tersadar dalam bayangku, ku kembali teringat peristiwa itu, tidak, aku tidak bisa begini, Dimas berbeda, dia tak sama dengan James, aku menyayangi James
“Maafkan papa James, maafkan papa” tangisku pecah segera ku peluk James, kami bertiga menangis bersama”
+++++++++++++++
Aku tahu, semua tak gampang bagiku, mengetahui anak kesayanganku adalah seorang gay, hal yang dulu juga aku lakukan, aku hanya ingin melindungi James, melindunginya dari apapun juga, aku tak ingin dia terluka sama sepertiku, aku tak ingin dia menderita. kini sudah aku ikhlaskan dia memilih jalannya, aku percaya James adalah anak yang kuat dan bijaksana, aku percaya dia jauh lebih kuat dari padaku, aku percaya James akan mendapat yang terbaik
“Ayah mencintaimu James”
___________END_____________
Comments
Fiksi
Makasih,,, lgi nyusun untk buat part dr sdut pandang james,, yg ntr akan beerkaitan dgn cerbung yg akan aq buat
Makasih,,, lgi nyusun untk buat part dr sdut pandang james,, yg ntr akan beerkaitan dgn cerbung yg akan aq buat
gak ada lanjutannya niy...???
Ada, tp di crta lain, yg akan jg berhubungan dgn nih, anggap aja sbgai perkenalan sosok james