Sore hari lepas sekolah. Kita sepakat mengotori seragam di sawah. Berlari, bermain rumput, berlumpur. Bosan tak juga menampakkan dirinya, padahal matahari nyaris gugur. Petani-petani ingin segera mandi. Orang-orangan sawah masih setia kepada angin dan padi. Sebelum pulang dan dimarahi ibu, aku bertanya: apa kamu bisa setia?
Katamu: siapa saja bisa jadi setia, tapi tidak siapa saja mau jadi setia seperti matahari. Lihat itu, matahari turun malu-malu. Ia begitu setia kepada tanah lapang yang kita jejaki bersama. Ia, setiap waktu, bersinar untuk bumi. Setia kepada daun-daun setiap pagi. Dalam tinggi malam, meski remang, ia ada bersama bintang-bintang dan sesekali rembulan. Mereka setia dengan saling berbagi kerelaan. Rela menjaga letak masing-masing biar tak ada gerhana. Tentu saja aku bisa setia, tapi apa kamu mau bantu aku jadi setia?
Ah, kamu selalu punya jawaban atas segala pertanyaan. Selalu begitu, menggemaskan. Aku yang tak terlalu pintar ini kerap dibuat gemetar. Bukan gemetar yang takut, seperti setiap kali kamu memetik gitar: ada kemerduan yang ingin selalu kuhirup.
Aku belum mau pulang tapi kamu tak mau aku dimarahi ibuku. Bergegas kita menuju pohon randu di tepi sawah, tempat kamu menyimpan sepeda bapakmu. Sebelum pulang, aku meminta sesuatu. Cium aku, kataku.
Kamu tersenyum begitu saja dan menatapku yang tiba-tiba malu. Bukan malu karena kamu belum pernah menciumku. Aku malu karena matamu selalu tersenyum tiap kali menatapku. Aku malu karena sering kehilangan senyum memikirkan masa depan kita. Entah kena apa, kepalaku terus berpikir suatu nanti kita akan diserbu gerhana.
Kita berdua saja di tepi sawah dan belum menyentuh sepeda. Seperti raja yang mengabulkan permintaan sang ratu, kamu menciumku. Kamu menghirup napas dalam-dalam di pipiku.
“Kenapa mencium dengan hidung, di pipi pula? Orang-orang berciuman di bibir mereka.”
“Memangnya salah, ya? Aku mencium dengan hidungku biar aku hapal baumu. Biar besok nanti tak salah cium. Lagipula, aku suka pipimu, kenyal.”
“Bagaimana baunya?”
“Kecut.”
Aku tak ingat apa-apa lagi selain pecah tawa kita di atas sepeda, di jalan pulang. Kamu selalu mengantarku pulang. Aku selalu menoleh sebelum membuka pintu, dan kamu masih di atas sepedamu, di halaman rumahku. Kamu selalu begitu, setia, menungguku ditelan pintu.
***
“Aduh, Agus! Main di mana kamu sampai kotor begitu?”
“Main di sawah, Bu, sama Joko. Bantu Pak Dayat jaga padinya. Banyak burung tadi.”
“Sana! Cepat mandi!”
[Jakarta, 29 September 2011]
Comments
Thank you, Ki? Standing applause, atau standing yang lain nih? *kalem*
Hai, Adam. Iya, aku sempat ikut semua yang kamu sebutkan. Aku juga sempat setahun jadi wartawan Buku pertamaku sudah terbit tahun lalu.
Thank you for reading
percakapan di bawahx terlalu mengganggu.
FF lbh baik satu konflik. Percakapan di bawah terasa seolah ingin menghadirkan konflik baru.
*hanya omongan komentator yg terlalu stricted to theory
Terima kasih sarannya. Percakapan di akhir justru untuk memperjelas konflik dengan penyebutan nama tokohnya. Supaya tak terlalu bias. Kalau selesai di "...ditelan pintu", barangkali, tidak akan ada yang menyangka bahwa tokoh 'aku' dan 'kamu' adalah sejenis
standing yg laen sih ga usah bilang2 ndigun ntar mau lagi.. :-P
klo mw posting crita2 pndek
mnding jadiin 1 trit aj sm cerpen yg lma
biar trit anda tdk kbanyakan & nutupin trit yg lain
maaf kalo bawel.., tp demi kenyamanan pengguna forum yg lain
trima kasih
trs judul.a tggal diganti