BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Malaikat raguel

edited June 2012 in BoyzStories
ini fiksi gw yang perdana ni disini.
sering nulis cerita sih tapi baru mau coba buat pede nulis disini. eheheh
mohon komengnya yaa gan.


****
Ketika berfikir tentang hidup , bahagia dan kecewa apakah Tuhan adil terhadap kita?? . terlahir menjadi seseorang seperti ini. Benarkah kehidupan di dunia hanya untuk sementara?. Seperti apa sebenarnya kehidupan setelah ini. Bisakah dikatakan hidup seperti ini adalah anugerah?. Melihat mereka di sana tersenyum lebar “mungkin” bahagia , terbesit kecemburuan di sini (kutepuk keras dadaku) . iri! yaaah ini adalah kata yang lebih tepat .

***
sedikit gontai aku melangkahkan kakiku yang merasakan betapa beratnya gravitasi bumi akhir-akhir ini. Tak biasanya kaki dan pikiran ku tidak sejalan untuk sampai ke kampus. Memang udara paling segar kalau jam-jam segini untuk dihisap. Cuman dibawah pohon ki burahol ini yang udaranya paling segar. Pohon langka ini sudah berumur lebih tua dari nenek ku. Tajuknya yang rimbun menyumbang banyak oksigen untuk ku tapi tidak menghalangi sinar cahaya matahari pagi mengenai wajahku. Aku seperti biasa memulai ritual sarapan pagiku dengan membuka kedua tangan lebar-lebar yang diikuti spontan dengan menutupnya kedua mataku. Aku merasakan setiap sentuhan udara bergerak yang bertabrakan dengan pori-pori kulit tubuhku. aku menarik nafas panjang merasakan setiap partikel udara menerobos tenggorokan ku sampai ke paru-paru. Tak ada partikel debu dan asap kenalpot ikut menerabas saluran nafasku. Telingaku menangkap sebuah suara dedaunan kering akasia di sekelilingnya digeser oleh benda yang berpadu menjadi satu. Gesekan ujung lidi dengan tanah menghasilkan suara beraturan dan berarah. Benda itu digenggam sebuah tangan lusuh penuh dengan urat kusam buah peluh sipemiliknya. Perlahan aku membuka mataku, penasaran dengan penghasil suara tadi. Kulirikan pandanganku kesekitar, terlihat sesosok tua lusuh dengan wajah bersinar tertempa cahaya matahari pagi. Kusunggingkan senyumku padanya . “pagi beh!”. Lontaran sapaan kecil dan bersahabat yang aku lontarkan padanya. Dia hanya tersenyum penuh kemenangan di pagi hari.
Kuperhatikan seonggok daging murni penuh wibawa duduk tegas di depan ku. bahu nya begitu datar dan lugas. Tengkuk mulusnya menyeringai memamerkan keangkuhan ciptaan-Nya yang sempurna . seperti biasanya, aku tidak pernah bosan memerhatikan nya walau hanya dari belakang. Tak kuasa aku menahan tangan ku untuk menyentuh tengkuknya yang sedikit tertutup kerah kemeja kotak-kotaknya. Tapi aku menahannya. Pintar sekali dia memanjakan tubuhnya hanya untuk sekedar membuatnya terlihat sangat terawat. Seketika waktu berhenti berputar! cahaya putih menyeruak keluar memenuhi seisi ruangan. Terpaku diam dengan nafas memburuku sekarang yang kurasakan. Dia menoleh! Menoleh ke arahku! Sorotan matanya yang tajam dipertegas dengan pekat bola matanya yang hitam berpendar. Tidakah aku terlalu berlebihan menggambarkannya. Oh damn, selalu seperti ini. Ini kali ketiga aku masuk kelas mata kuliah tambahanku dengan tanpa daya. Apa sebenarnya tujuan ku masuk ke kelas ini, untuk mencari ilmu? Atau hanya untuk sekedar memenuhi sks ku yang kurang?. Ataukah hanya melihat sosoknya yang buat ku gila kehilangan kesadaran tiap melihatnya?. Fokus zen focus!. Aku memaksakan pandangan ku kembali memerhatikan layar infokus yang hanya dipenuhi berjejeran huruf alphabet yang dirangkai menjadi kalimat yang sulit kucerna . tapi pandanganku kembali dikaburkan oleh sayap putihnya yang mengepak penuh pesona menutupi segala arah pandanganku. Sayap putih??!!. Fuck! Aku benar-benar sudah gila!. Tidak mungkinkah seorang manusia memiliki sayap putih berkilau dengan bulu halus tercecer hampir mengotori seisi lantai ruangan?. Aku benar sudah gila. Segera kupalingkan muka ku kesamping kiri, berharap aku tidak semakin gila hanya dengan melihat sosoknya dari belakang . Hah?? Apalagi ini?. Tanpa kesengajaan aku memergoki seorang wanita dengan cardigan tosca halusnya memerhatikan ku. dia tersenyum kearahku! Memamerkan deretan gigi-gigi mungilnya yang berjajar rapih dan bersih ke arahku. Aku terdiam tak bergerak! Terpana dengan senyumnya. Itu senyum termenawan yang pernah kulihat. Dengan segikit bergetar kusunggingkan senyumku padanya, hanya senyum kecil yang dapat ku balas padanya. Kelas macam apa ini?. Ruangan ini benar-benar dipenuhi manusia-manusia menawan?. Apakah aku salah masuk?. Apakah aku masuk ke ruangan yang didalamnya dipenuhi oleh para malaikat yang sedang mendalami ilmu kedamaian dunia?.
“Oke, kelas hari ini cukup sekian! Sebentar lagi asisten akan masuk dan mengumumkan pembagian kelompok untuk tugas dalam satu semester ini”.
Sekian??. Kelas berakhir??. Terus aku harus menunggu satu minggu lagi untuk dapat masuk ke kelas ini lagi dan bertemu dengan dua makhluk mengagumkan ini?. Gila! Aku benar-benar sudah gila. Hanya kalimat terakhir itu yang dapat aku dengar dari dosen selama dua jam kuliah? . tidak satu kalimat materipun yang menyangkut dalam otak ku selama kelas berjalan tadi?. Mataku kembali mencari-cari si tengkuk sempurna yang tadi duduk didepanku. Aaah, dia masih duduk disana!.
“hei, lo ngambil kelas ini juga?”.
Spontan aku menoleh ke asal suara tadi. Mataku terbelalak sedikit melotot. Tak percaya melihat seorang wanita bercardigan hijau tosca halus kini duduk disampingku . sedikit kecewa aku melihatnya tak menyunggingkan senyum terakhirnya. Dia hanya duduk sambil sibuk mencari sesuatu dari dalam tas hitamnya.
“lo anak 2010 juga kan?.” Dia melanjutkan pertanyaan yang tak kunjung ku jawab.
“ya , gw disuruh ngambil mata kuliah ini ma dosen PS gw. Itung-itung buat nambah sks . hehe” aku hanya nyengir kuda kegeeran disapa duluan.
“oh”.
Oh?? Oh doang rekasi lo?. Tadi senyum manis banget dah ma gw. Sekarang cuman oh doang gitu. Nyalamin gw kek, ngomong nama gitu atau apa kek basa-basi biar gw ga canggung.
Aku hanya menggangguk dan senyum-senyum tidak jelas membalas kata “Oh” terakhirnya. Segera ku paling kan muka ku ke depan memerhatikan si asisten dosen yang sedang berbicara terbata-bata membacakan nama setiap mahasiswa.
“diharapkan setiap mahasiswa setelah kelas ini berakhir segera berkumpul dengan kelompoknya masing-masing untuk membicarakan pembagian tugas!. Terima kasih . saya permisi”.
Dengan langkah terburu-buru si asisten dosen meninggalkan kelas. Sepertinya dia ada urusan lain untuk segera diselesaikan.
“Zenrya Chandra Pratama , nama lo kan?”.
“ya gw , kenapa?”. Tanpa menoleh asal suara yang memanggilku aku menjawab dengan memasukan buku ku ke dalam ransel.
“bisa ikut duduk ngelingker buat ngomongin tugas ?”.
“oke”
Aku hanya menjawab sekenanya. Aku tak memperhatikan satu persatu wajah teman yang akan bekerja sama denganku dalam tugas ini. Aku hanya sibuk membalas pesan singkat yang masuk ke ponsel ku. “kak hari ini aku ga les dulu yaa, aku mau ada ekskul robotic “. Murid less private ku absen lagi untuk tidak less malam mini. “oke, take care de”. Hanya balasan singkat yang aku kirimkan padanya.
“eh Zen, nomor lo?”.
Tak ada yang istimewa dari suara sederhananya. Tapi didalam kesederhanaannya ada heroin yang membuat telingaku ingin mendengarkannya lagi dan lagi.
“apa?” Kuangkat kepalaku mencari asal suara itu. Aku menemukannya, aku menemukan rongga suara asal suara tadi . telingaku seketika tuli, gemuruh suara ribut anak-anak di dalam ruangan tiba-tiba lenyap. Pandanganku berbaur dengan putih nya warna cat yang menyelimuti sekitar tembok ruangan . nafasku memburu, bekejaran berlomba untuk menggapai sesuatu yang sangat memabukan.
“woooy! Nomor hape?”. Suara itu kembali menggetarkan secara halus gendang telingaku berpadu menjadi alunan nada merdu memabukan. Aroma gelombang suara itu sungguh memabukan.
«1

Comments

  • pertamax..

    ditunggu lanjutannya..
  • wah pembaca pertamax, makash gan udah mampir. Ditunggu yaa
  • ______________________chapter 2 : suara dari surga_________________________________
    Aku hanya mengernyitkan dahi, ketika menatap wajah seseorang yang mengeluarkan suara yang membuatku harus mendaftar ke panti rehabilitasi pecandu gelombang suara berheroin. Kuperhatikan setiap inchi garis wajahnya. Sungguh , tidak terlalu istimewa bagiku. Warna kulitnya tidak secerah warna kulitku. Rambutnya yang pendek dan bergelombang terlihat sangat sederhana. Tapi, sungguh hal yang biasa itu membuatku tidak bosen memandang wajahnya. Setiap garis wajahnya terbentuk halus sehingga memamerkan permukaan yang bersih. Segera kupalingkan pandanganku terhadapnya. Aku tidak mau ada seorang yang menyadari aku begitu memerhatikan wajah orang yang sedang mengajak ku berbicara.
    “oh iya, 0856 6789 9876. Sory nama lo siapa?”
    “Bruno!’ kemudian dia mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku sebagai tanda perkenalan yang segera ku sambut dengan hangat.
    “ntar malem gw kabari, buat teknis besok kita ngambil gambar perdana dan cari info!. Oke?. Gw cabut dulu yak !. semuanya gw cabut!”.
    Tanpa berlama dia langsung meninggalkan forum kecil sekumpulan mahasiswa yang sedang membahas hal klasik pengerjaan tugas semester. Perlahan dia menghilang dari balik pintu. Hanya terlihat punggungnya yang datar dari belakang. Pikiranku tak berfokus terhadap apapun yang kemudian dibicarakan oleh yang lainnya. Hanya telingaku yang sedari tadi berunjuk gigi mendemonstrasikan kemampuan aslinya berfokus pada satu warna suara. Kalimat terakhirnya adalah kalimat terpanjang yang pernah kudengar dari mulut mungilnya hari ini. Entahlah, kalimat itu hanya berintonansi sederhana tak bernada dan tak berirama. Namun, setiap suku kata yang dilapalkannya mengandung resonansi alami yang memperkaya gelombang bunyi yang dihasilkan pita suaranya. Segera kututup kelopak mataku, otaku segera merekam dan meresapi setiap rapatan dan renggangan gelombang suara yang kaya amplitudo. Seketika terbesit perasaan aneh menyeruak sesak dalam dadaku. Perasan itu semacam perasaan paranoid terhadap suara indah yang mungkin akan menghilang dan tidak akan pernah kudengar lagi. Aku memaksakan otak ku untuk segera merekam dan memutar ulang suara tadi dengan cepat. Tapi kemana suara itu?. Tak lagi kudengar suara itu seperti lima menit lalu yang dengan penuh penyambutan senang hati kuresapi. Dadaku seketika sesak, sulit sekali setiap senyawa oksigen menerobos tenggorokanku mencapai paru-paru. Mataku terbuka secara spontan sebagai reflex dari sesak yang kurasakan. Secara tergesa hidungku meraba dan memilah udara disekitarku untuk memaksakan senyawa kehidupan itu segera masuk ke tenggorokan sehingga dapat tersalur dengan nyaman ke organ kembang kempis. Perasaan gelisah mengiringi kesulitan ku untuk bernafas. Siapakah orang maruk yang menghisap habis semua oksigen yang bergerilya bebas dalam ruangan ini?. Dalam pergelutanku mencari sisa-sisa oksigen hasil rebutan bernafas dengan semua orang dalam ruangan ini. Mataku menangkap sesosok tengkuk yang menancap tegas diatas punggung datarnya yang terhiasi dua buah sayap putih menjuntai anggun dengan bulu-bulu putih halus terkelupas terbawa ringan oleh tiupan angin. Raganya tampak begitu jelas, begitu nyata. Sosok nya semakin lama semakin menjauh menghilang tak terjangkau pandangan, terhalang pintu kaca berwarna gelap. Aku sedikit menengadahkan leherku berharap membantu agar pandanganku tetap lekat pada sosok tersebut tapi ternyata hal itu tidak membantu. Tersadar! Semua hal yang kurasakan sebelumnya hilang, lenyap tak bersisa. Kedamaian menelusup tajam ke dalam setiap rongga batin ku. tak ada hal lain yang kurasakan selain kedamaian. Siapa kah kau pria bersayap????
    ***

    Dimana udara itu sekarang? . dadaku terasa lebih sesak ketika kuhirup udara dengan penuh kehati-hatian . kucoba kembali menghirup udara, tak ada yang berubah. Dadaku tetap terasa sesak. Perlahan kubuka kelopak mata ku, terpampang langit-langit yang tak begitu asing bagiku. ku putar bola mataku memperhatikan sekeliling. Arght, dada ku masih saja terasa sesak . aku terus berusaha untuk tetap bernafas dengan teratur dan tenang. Tapi, sesak ini semakin menyiksa paru-paruku. hidungku tak dapat bekerja sebagaimana tugasnya. Lendir kental ini dengan antengnya bersandar diujung dalam hidungku. Ayolaah keluar! tidak lelahkah kau diam disitu?. Kembali kupejamkan mataku dengan perlahan, kelopak mataku menutup dengan pasti berharap hal ini akan sedikit membantu. Oh damn, nafas ku terasa begitu panas. Dadaku bertambah berat, mungkinkah gadis gajah itu menduduki dadaku. “Ra awas dah lo, berat nih gw”. Aku berusaha untuk membuka mulutku untuk mengucapkannya tapi tak sanggup. Bibir ku kering dan perih, kuputar pikiran ku kebelakang. Kapan terakhir aku meneguk air?. Air, oooh begitu sejuk membayangkan air yang dapat ku minum sebanyak dan sesering apapun yang ku mau. Setidaknya sekarang! Tak tahu nanti?. Kerongkongan ku meronta meminta haknya untuk disiram, haus menyerang ku! Dalam dan semakin dalam. Aku sudah tidak dapat menahannya, sungguh ini lebih menyiksa daripada dadaku yang masih terasa begitu berat. Segera ku buka mataku, gelap!. Aku tidak bisa melihat apapun!. Perlahan pandangan ku berubah menjadi remang . aku tetap terbaring tanpa selimut, sekuat tenaga aku mencoba untuk bangun. Aaaw! Suara lirih yang hanya keluar dari mulutku. Spontan tangan ku mengarah untuk memegang dadaku. Kulit dadaku terasa panas, sangat kontras dengan suhu ruang yang dingin. Ku dengar suara hujan deras diluar sana. Kulanjutkan usaha ku untuk mengambil segelas air, kehausan ini lebih menyiksa dari apapun. Aku mulai berdiri dari tempat tidur ku. Mengapa ini?. Apakah bumi berubah dengan sangat cepatnya ketika aku tertidur?. Gravitasi bumi berubah menjadi sangat berat, mungkinkah dia tidak lagi memiliki percepatan 9.8 m2/s ?. aku terbanting duduk ke atas tempat tidur ku. Pandangan ku kabur, tidakah alam menjadi tidak begitu bersahabat lagi dengan ku? gelombang cahaya sudah bergeser mampir ke titik buta bola mataku. Ternyata aku salah, pandangan ku perlahan membaik. Kupaksakan tubuh ku yang oggah bergerak untuk berdiri. Yes, aku berhasil berdiri. Bergegas aku berjalan keluar kamar. Memang percepatan gravitasi sudah bertambah, melangkahkan kaki saja aku harus bersusah payah. Aku meraba-raba tembok agar membantu untuk berjalan. Pandangan ku kembali kabur, aku berpegangan dengan kuat ke tembok berharap pandangan ku akan kembali. Mataku masih terbuka tapi gelap dan semakin gelap. Pendengaran ku hilang, telingaku tidak dapat mendengar apapun sekarang. Kulitku terasa perih dan sakit sepertinya tubuh ku terbanting ke lantai dan membentur sesuatu bertekstur kasar. Gelap, gelap semakin gelap! Aku sudah tidak mengingat apapun.
    Batinku menghela nafas dengan damai. Udara kuhirup dengan sangat ringan dan sejuk. Aku berdiri sendiri di sebuah taman berubin rumput hijau tumbuh subur menutupi semua lantai tanah. Sejauh mata memandang yang dibatasi partikel cahaya yang menciptakan pandangan mata semua lantai tertutup hijaunya rumput. Tapi ada sebuah pohon Casuarina berdiri kokoh sendiri ditengah hamparan hijaunya rumput. Keganjilan ini mendorongku untuk mendekati pohon tersebut. Casuarina equisetifolia yang orang awam menyebutnya pohon cemara laut tumbuh subur di dataran tinggi yang harusnya ditumbuhi lebatnya pohon pinus. Tajuknya tinggi dengan daun kecil berbentuk potongan lidi berwarna hijau disambungkan menjadi satu rangkai daun yang cukup panjang. Lambayan-lambayan setiap tangkai daunnya bak serabut halus kain berbenang sutra. Percabangan batang utama berbentuk seperti seribu tangan yang menyeruak menyebarkan gepaian-gepaian kesegala arah dari titik batang pusat dengan ujung meninggi seperti menggapai sesuatu yang tak kunjung tergapai. Bukan kah pohon itu pohon dataran rendah yang selalu tumbuh pada tanah bersubstrat pasir?. Bagaimana dengan suhu ruang yang membuatnya cenderung tumbuh di tempat panas? . hal ini semakin membuatku penasaran dengan kejadian anomaly ini. Semakin dekat langkah kaki ku menghampiri pohon itu. Seketika pandanganku tertuju pada sebuah gundukan bulu-bulu putih halus yang bersih sempurna menumpuk dibalik batang utama pohon itu. Semakin aku mendekatkan langkahku menghampiri gundukan itu. Semakin dekat semakin terlihat jelas bahwa gundukan itu adalah sebuah sayap yang setengah menutup tertancap tegas pada sebuah punggung berkulit putih pucat. Kesempurnaan arsitektur tubuh sempurna ciptaan-Nya hanya tertutup celana putih pendek yang sangat bersih tak bernoda setitikpun. Rambutnya memiliki gaya rambut yang tak pernah kulihat sebelumnya. Mungkinkah karena aku memang buta terhadap style bahkan fassion?. Entahlah, tapi warna rambutnya hitam pekat berkilau tertimpa berkas sinaran cahaya yang begitu kontras dengan warna sekujur tubuhnya. Tiba-tiba kaki kokohnya memompa tubuhnya ke atas bersiap untuk melompat dan terbang. Sayapnya membentang tanpa ragu melebar ke dua arah tangan nya. Belum sempat tanganku menggapainya, dia sudah melompat terbang tinggi melawan kecepatan garvitasi bumi yang hanya meninggalkan sehelai bulu halus yang menimpa wajahku. Kuraih bulu halus yang membuat wajahku merasa geli dengan sentuhannya. Kuperhatikan dengan seksama setiap helai serat yang menyusun bulu itu. Ada sebercak noda merah tertinggal padanya. Kualihkan pandangan ku ke atas, mencari sosok yang sangat cepat melesat vertical. Tapi aku tak menemukan apapun. Kutarik nafas sekuat-kuatnya mencoba memanggil makhluk itu, namun suaraku tertahan diujung mulutku yang hampir keluar. Aku bingung, teriakan apa yang harus kulapalkan untuk memanggilnya kembali??.
    Kurasakan sekujur badanku sakit, rasa perih berfokus pada bagian belakang badanku yang aku yakin terluka akibat tergores dengan ujung meja kaca di kamarku. Aku membuka mata, ah aku masih terbaring dilantai. Tidak ada yang berubah kurasakan sekarang, dari sebelum aku tergeletak jatuh disini. Tak ada seorang pun yang menyadari kalau aku jatuh pingsan. Aah, masa bodoh. Bagaimana juga bisa ada orang yang tahu, pintu kamar saja dengan rapat nya terkunci dari dalam. Aku masih haus, sangat haus. Dari semalam aku menahan haus. Sekarang aku lebih punya tenaga untuk bergerak mengambil air minum, mungkin akibat badanku yang telah dipaksa beristirahat. “glek glek glek, aaaaah! Segarnyaaa”. Setelah meneguk dengan perlahan dua gelas air. Sekarang bagian lambung ku yang sudah banyak berisi asam lambung yang memualkan. Aku ingin mengisinya dengan sesuatu yang dapat menghasilkan energy untuk ku. Aku bergerak ke arah gantungan bajuku, kutarik ikat pinggang pada salah satu celana panjang hitam ku yang menggantung. Segera kupasangkan pada celana jeans lusuh yang ku kenakan dengan kencang. “sabar dulu lah yaa”. Kuusap-usap perutku dengan perlahan.
    Kasihan sekali pria yang berdiri menatap ku diseberang sana. Wajah nya begitu lusuh dengan rambut dibiarkan sekenanya jatuh tak terurus. Pipinya terlihat sangat tirus hingga tulang pipinya menonjol dengan tegas. Bibirnya yang merah padam tersungging dengan indahnya, tapi disana terdapat pecahan-pecahan merah kulit bibir kekeringan. Tatapannya tajam jauh kedepan, tetapi disana tampak begitu kosong. Kulit wajahnya terlihat kasar dan lugas tertutup kotoran wajah kecoklatan hingga nampak kusam. Namun, hal itu tidak serta merta menutup kulit asli wajahnya yang cerah. Ku dekatkan wajahku ke cermin didepan ku, menelisik setiap inchi bagian wajahku. Kuputar keran air di atas wastafel , kubiarkan airnya mengalir. Kusapukan sebagian ke wajahku, hal ini membantu merasakan sedikit kesegaran menerpa wajahku. Kusisir rambutku sekenanya dengan jari. Yap, sudah tampak mendingan. Dengan langkah sedikit berlari aku mengambil ponselku. Ternyata sudah masuk delapan panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenali ponselku. Selain itu, ada sebuah pesan masuk dari nomor yang sama. “Zen, lo dimana? Gw telponin kaga diangkat. Lusa kita turun lapang ngeliput informasi komunitas kedua kita. Besok gw ke tempat lo! _Bruno”. Kuperhatikan waktu sampainya pesan itu di ponselku. Ternyata pesan itu masuk dari semalam. Kuperhatikan jam analog yang tertampang pada wallpaper layar ponselku. Waktu sudah menunjukan pukul Sembilan pagi. Tak sempat aku menyimpan kembali ponselku ke kasur tidurku dan melanjutkan istirahat dengan rebahan. Tiba-tiba pintu kamar kos ku diketuk. Dengan langkah malas aku menghampiri pintu, kupaksakan membuka pintu dengan gerakan lamban yang saat itu terasa begitu berat. Dibalik pintu muncul wajah yang tidak asing bagiku.
    “lo kemana aje?. Kaga ada pulsa buat bales sms gw?”.
    Suara nya terlempar ramah dari mulut mungilnya. warnasuara nya tak pernah berubah sama sekali. Warna suara yang selalu membuat ku candu akan butiran heroin didalamnya. Anak ini memang bersahabat, mudah akrab dengan siapapun. Padahal baru satu minggu aku mengenalnya karena keadaan yang menguntungkan ku untuk mengenalnya .
    “lo kenape? Berantakan amat?. Muke lo noh pucat kaya softbreaker motor gw yang kaga dicuci seminggu. Hahahaha” sedikit kutangkap nada kekhawatiran dalam gurauannya. Aku hanya bisa menyunggingkan senyum.
    “biasa lah penyakit mahasiswa”
    “sakit lo?. Ah elah hari gini masih aja sakit.” Telapak tangannya menyentuh dahiku dengan perlahan yang setelahnya dia melangkahkan kaki nya masuk dan duduk diatas tempat tidurku.
    “sakit tuh lo, jidat lo anget bener. Ke dokter lah!. Tega yah lo ma gw, pake acara sakit. Besok gimana bisa kita ngeliput info buat tugas?”.
    “Elah, lebay dah. Besok juga gw sembuh. Selow”. Aku menghampiri duduk disebelahnya.
    Sekarang dia bangkit dari duduknya, dia berjalan perlahan menghampiri meja belajarku yang terdapat disamping ranjangku. Tangan jailnya membuka-buka setiap buku yang terdampar berserakan.
    “perlengkapan buat kita besok ngambil data udah gw siapin, besok gw jemput pagi yak!”
    “oke”. Dengan suara bergetar aku menjawab semampuku. Hari ini aku memang merasa lebih lemah dari hari-hari sebelumnya. Untuk berjalan saja aku mengerahkan separuh tenagaku. Seketika aku merasakan haus. Aku mencoba bangkit berdiri untuk mengambil segelas air. Tapi tak disangka, kaki ku tersangkut selimut yang terjuntai menyentuh lantai. Keseimbangan ku gontai, aku tak dapat lagi menahan tubuh untuk tetap berdiri. Badanku tersungkur ke depan ke arah Bruno yang memang sedang berdiri tepat dihadapanku. Tak kuat aku menahan berat tubuh ku yang sudah hampir jatuh. Tubuhku menubruk tubuhnya, dia ikut tersungkur. Badanku secara sukses jatuh ke badannya dengan sangat keras. Kepalaku terdorong, hingga dahiku hampir bertubrukan dengan dahinya. Bibirku tak tertahan menumbuk bibirnya dengan keras. Oh fuck, bibir gw nyentuh bibirnya!. Kurasakan ada jeda waktu beberapa detik kami terdiam tak tergerak. Jantungku semakin semangat memompa aliran darah menuju saluran arteri yang akan menyalurkannya ke seluruh tubuh ku. kurasakan jantungnya mengiringi seimbang dengan irama detakan jantungku.
    “anjriit, lo nyipok gw!” dengan cepat dia mendorongku dan segera berdiri. Sontak dia mengusap-usap bibirnya dengan kasar.
    “oh shit, bibir gw berdarah. Jontor dah. Sial amat keperjakaan bibir gw , lo yang ngembat!”
    Aku tak sanggup mengangkat tubuhku untuk bangkit. Hanya pasrah aku membiarkan tubuhku masih telungkup di lantai. Pandanganku yang masih awas terus memperhatikan tingkahnya yang sedari tadi sibuk mengusap bibirnya dan mengumpat tak jelas. Suaranya selalu terdengar merdu mengalun bahkan ketika dia mengumpat. Pandangannya kini kembali kearahku. Aku pun merasakan perih pada ujung kiri bibir bawahku.
    “Zen, kaga apa-apa lo?”. Spontan tangannya meraihku dan membantuku bangun.
    Aku masih belum sanggup mengangkat mulutku mengeluarkan suara. Sekuat tenaga dia memapahku untuk membaringkannya ke atas kasur.
    “ Badan lo panas . kedokter yaa? Gw anter!”
    Sontak aku menolak dengan menggelengkan kepala. “Ngapain juga ke dokter?. Udah kaga guna. Bosen gw liat tampang dokter yang sok optimis memberikan kesembuhan”. Aku meracau dalam batin. Tanganku kupaksakan bergerak mengarah untuk mengelus leherku yang dahaga yang dilanjutkan mengarahkannya ke arah meja dispenser yang diatasnya terpampang sekantong obat.
    “lo haus?. Oh itu obat lo?. Tunggu bentar”. Dengan cekatan dia mengambil segelas besar penuh berisi air putih. Kemudian dia membantuku untuk minum yang kemudian meminumkan obat itu padaku. Aku lemah tak ingin beranjak dari kasurku. Dia menatapku heran. Sepertinya dia menyadari kalau sakit ku memang tak biasa. Dia menarik selimut ku dan menutupkannya sampai ke atas dadaku.
    “udah, istirahat aja” . dia berjalan mengarah ke kamar mandi. Kudengar suara percikan air dari kamar mandi yang jatuh ke lantai kamar mandi. Aku tak menghiraukannya. Mataku kini terasa berat untuk terbuka. Aku menutup mataku perlahan merasakan reaksi obat yang bekerja ke sekujur tubuhku. Perlahan aku merasa sangat rileks dan nyaman.
  • ____________________chapter 3 : Ketika bidadari tersenyum___________________________
    Mataku ku fokuskan dengan lumayan terpaksa untuk terus menatap layar infokus yang terpampang jelas dimuka kelas. Hari ini aku merasa sangat gelisah. Sudah dua minggu aku tak menemukan batang hidung si pria bersayap putih itu. Kemanakah dia sampai absen dua kali kuliah?. Sampai detik ini, aku masih belum tahu siapa namanya?. Tak ada keberanian ku untuk mencari tahu tentangnya dan tak ada kebetulan yang membuat ku dapat mengenalnya. Kuperhatikan seseorang yang duduk dengan serius memerhatikan setiap kalimat yang diucapkan dosen. Bibirnya bersungut-sungut manyun mencoba mencerna setiap suku materi kuliah. Tampangnya begitu lucu, aku tertawa kecil memerhatikannya. Dia menoleh, kemudian menjulurkan lidahnya mengarah ke arahku. Aku semakin tertawa dibuatnya, tapi tetap dapat kutahan hingga tidak sampai meledak. Dia kembali menatap jauh kedepan ke arah layar dengan sangat serius. Memang dia bisa sangat serius dalam keadaan-keadaan semacam ini. Akhir-akhir ini aku memang semakin dekat dengannya. Terlepas dari jasanya yang seminggu lalu merawatku ketika sakit ku kambuh. Dia sampai menungguiku bangun tidur sesaat setelah aku terlelap tertidur akibat reaksi obat yang diminumkannya. Santapan makan pagi yang digabung dengan makan siang dia persiapkan sebelum aku terbangun. Sampai-sampai dia rela meliput tugas kami sendiri di lapangan keseeokan harinya walaupun setelahnya report aku yang mengerjakan sendiri. Aah mengingat semua itu, takan pernah terlepas dengan memori kecelakaan yang tak akan bisa kulupakan. Memori itu membuatku bergidik tersenyum sendiri.
    Aku memang sudah merasa nyaman berteman dekat dengannya sekaligus aku dapat terus mendengarkan suaranya yang selalu aku rindukan bergetar di gendang telingaku. Meskipun, dia belum sampai terbuka menceritakan semua tentangnya. Aku tidak ingin banyak bertanya tentang nya. Biarlah semuanya berjalan secara alami. Analisaku, mungkin apabila dia memang sudah merasa nyaman dengan seseorang dia akan dengan sendirinya terbuka dengan ku tanpa paksaan.
    Kini aku duduk sendiri di jejeran bangku kayu mahoni depan kelas ku. Aku diminta menunggu Bruno yang tengah memfotocopy semua catetan materi teman sejurusannya. Aku memang berbeda jurusan dengannya, kami hanya dipertemukan pada satu mata kuliah yang sama-sama kami ambil dengan alasan berbeda. Jengah aku menunggunya sendiri duduk mati gaya seperti jamur payung yang tak sengaja tumbuh pada batang kayu yang sudah lapuk. Pikiran ku menerawang memikirkan pria yang selalu menyita perhatianku sepanjang mata kuliah setiap hari kamis ini. Aku mencoba menganalisa, mengapa dua kali kuliah dia absen??. Oke kucoba membuat sebuah hipotesis. Hipotesa nya adalah dia absen kuliah dengan suatu alesan. Kita mulai dengan variable alas an-alasan yang mungkin. Asumsi yang pertama, dia tidak masuk kuliah karena ada urusan keluarga. Asumsi kedua bahwa dia sedang sibuk dengan urusan akademik lainnya. Atau asumsi ketiga kalau dia sakit. Aaaaarrgght, aku memang tidak berbakat dalam bidang statistic. Semua asumsi yang menyatakan variable alasan dalam analisa ku sangat klasik. Secara pasti bahwa hipotesa awal dapat diterima dan ditolak tergantung fakta yang sebenarnya terjadi. Tapi, aku terjerat pada asumsi ketiga kalau ternyata dia sedang sakit?. Oh, malang sekali dia kalau dia memang sakit. Sakit apa dia ?. mungkinkah ada orang yang mengurusnya ketika sakit?. Sontak aku bangkit dari duduk ku. kaki ku melangkah tanpa arah mencari ke sekeliling dengan tanpa sadar aku sudah sampai di parkiran kendaraan mahasiswa sekitar berjarak 300 meter dari tempatku duduk tadi. Mataku tetap mengawasi sekeliling berharap aku menemukan sosok yang sedang kupikirkan. Seketika mataku menangkap seorang gadis berambut sebahu yang dibuat bergelombang oleh sang empunya. Tubuhnya yang ramping sempurna meliuk terbentuk sebagai bentuk tubuh ideal yang diidamkan semua wanita. Kain satin merah padam membalut tubuh rampingnya dengan sangat rapi dan tertata sepadan dengan jeans levis biru tua yang memamerkan bentuk kaki yang semampai. Sepatu teplek berbahan jeans biru dongker tak serta merta membuat kakinya terlihat pendek. Tangan kirinya tak pernah lepas menenteng sebuah tas berwarna hitam bermotif garis halus yang dipasang dengan selempang berbentuk rantai berwarna kuning emas yang berkilau. Gelang emas berwarna putih sangat cantik menempel bulat sempurna pada pergelengan tangannya. Dia berdiri tegas tetapi tetap terlihat anggun disamping mobil jazz berwarna merah tua. Wajahnya tampak gelisah seperti menunggu seseorang. Aku secara sadar mencoba menghampiri wanita itu. Tampaklah dari dekat bahwa aku semakin yakin gadis itu adalah gadis bercardigan tosca polos halus yang dua minggu lalu menyunggingkan senyum termenawan yang pernah kulihat.
    “emang bête kalo lagi nunggu orang” aku memberanikan diri membuka perbincangan dengan sapaan yang begitu saja keluar dari mulutku.
    “banget” dia menoleh sekilas kemudian menatap jam tangannya dengan buangan muka angkuh terhadapku.
    “Buset, jutek amat nih cewek. Kasian tuh muka mulusnya ditekuk belipat kayak mukanye pok nori” aku terkekeh dalam hati. Tapi sepertinya dia mengenali wajahku. Hidungku seketika terbang kilat yang segera kutangkap kembali.
    “nama lo Kaela kan?”. Aku kembali membuka perbincangan dengan sok akrab.
    “kok tau nama gw?. Kenalan juga ngga”. Tanpa menoleh dia kini membuka-buka ponsel layar sentuh elegannya.
    “minggu kemarinkan pas kuliah lo ditanya ma dosen, trus lo nyebutin nama lo dah”
    Dia seketika menoleh kearahku dengan tatapan tajam seperti tatapan panther yang siap menerkam makanannya.
    “inget banget?, padahal seminggu lalu?”
    “otak gw secara alami menyaring mana yang harus diingat dan mana yang kaga”
    “terus lo ngapain disini?”
    “nah itu gw yang lupa, ngapain yah gw disini?.hehehe” aku menjawab sekenanya sambil menggaruk kepalaku yang sama sekali tak terasa gatal apalagi berkutu. Hanya berusaha mencari alasan cerdas yang bisa ku ceritakan. Tidak mungkin aku menceritakan alasanku sebenarnya yang secara tak sadar berjalan sampai ke parkiran begini.
    “hahahahahaha”. Eh dia malah tertawa. Tapi tetep saja angkuhnya ga hilang. Walaupun tawanya meledak wajahnya tetap membelakangiku.
    “biar afdol makanya kenalan, siapa tau bisa akrab” . sok cool aku mengulurkan tanganku berharap dia membalasnya dengan menjabat tanganku. Bukan membalas mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku dia malah memberikan secarik kertas yang dia ambil dari dalam tasnya yang sebelumnya dia menuliskan sesuata di dalamnya. Sejurus kemudian aku membuka kertas itu. Ternyata tulisan dalam kertas itu hanya sederet angka yang sepertinya sebuah nomor telpon dan dibawahnya tertulis angka menunjukan waktu pukul 19.00 WIB dan sebuah kalimat yang menunjukan nama tempat.
    “katanya ingin kenalan”.
    Aku menatapnya dengan penuh heran. Dia menyunggingkan senyumnya. Yeaah, dia senyum kembali padaku. Senyumnya memang sangat menawan. Oh that was the most beautiful smiley of the world ever!. Aku terpesona dibuatnya. Bibirnya yang penuh dan merah muda natural disandingkan dengan deretan gigi mungil yang berjajar rapi dibaliknya. Sejurus kemudian dia melambaikan tangan! Aku terheran, seketika aku menolehkan wajahku ke belakang. Aku melihat seorang perempuan yang juga melambaikan tangan tersenyum mengarah pada kami. Oh fuck, ternyata senyumnya bukan buat ku melainkan untuk temannya yang tengah dia tunggu. Gadis tadi langsung masuk kedalam mobil jazz merah tua yang sedari tadi nangkring disampingnya. Dia melirikan pandangannya kearahku.
    “gw tunggu!”. Itu adalah kata terakhirnya sebelum dia masuk kedalam mobilnya yang diiringi dengan senyuman tipis ke arahku. Oooooh yeaaaah, dia tersenyum!. Its true, she truelly smiling to me. Aku melongo dibuat nya yang terus memperhatikan mobilnya sudah melaju perlahan meninggalkanku. Tiba-tiba bahuku ada yang menepuk dengan keras. Sontak aku kaget dan membalikan badanku bersiap dengan kuda-kuda aikido yang pernah kulatih.
    “howeits, mau ngapain lo?”. Aku semakin dikagetkan dengan tampang makhluk yang sangat ku kenal melongo melihat kearah depan. Yap, kearah mobil yang baru saja melesat pergi dari tempat ku sekarang berdiri .
    “edaaaaan, baru suruh nunggu bentaran udah gaet kembang kampus. Gila gilaaa, nauhty man! You naughty, naughty booy, you are naughty booy”.
    “hahahahahaha. Apaan sih lo. Udah cabut!” tanpa canggung aku merangkul bahunya yang bidang. Ada sedikit getaran aneh didadaku. Tapi tak kuhiraukan dengan pasti. Aku tetap menariknya menuju arah motornya diparkir.
  • sory baru update. mohon komengnya. terima kasih
  • up...up....;-))
  • @kiki_h_n @uchihakamui
    sma smua member bf .maap ya bro, adek, om , udah lama bnget ceritanya ga gw update.
    Gw mash penelitian di tmpat terpencil .
    Minggu depan pasti gw update! .hehe

    @Abiyasha , bi gw sok sok an bikin cerita ni . Kalo sempet baca tolng masukan nya ya.

    Ngarep si, semua nya bisa pada suka.
  • salah tuh satuannya percepatan ms^-2 ato ga m/s^2, bukan m^2/s
  • @CoffeeBean
    oh iya, maksh koreksinya. Pantesan ada yg ganjel baca lg bgian itu. Salah ketik ternyata.hehe.
    Maksh yah udah mampir
  • Hellow,

    Wah, kok baru dimention skrg? :)

    Apa ya? Ada beberapa kata yang kurang pas dipake. Udara itu dihirup, bukan dihisap. Terus kata termenawan, lebih baik pakai paling menawan karena lebih umum dipakai di Bahasa Indonesia. Terus, kalau untuk menyatakan milik, itu digabung, misal nenekku, untukku, dsb. Kamu masih dipisah :D

    Sebenernya aku suka bahasa yang kamu pakai. Indah. Cuma kebanyakan metafora dan bahasa2 yang puitis jadi kadang apa yang ingin kamu sampaikan malah nggak sampai karena terlalu banyak puitisasi. jadinya pembaca mungkin capek mencoba untuk ngerti apa yang ingin kamu sampaikan dan itu mengurangi kenikmatan membaca :) Pakai aja kata2 yang umum supaya apa yang ingin kamu ceritakan sampai. Tapi, kalo emang gaya bahasa nulis kamu udah kayak gitu ya gak papa :)

    Terus, dikasih spasi dong, antar paragraf yang satu dengan paragraf selanjutnya, biar nggak capek bacanya. Jujur ini mata capek baca cerita kamu karena nggak ada spasinya :)

    Itu aja sih so far. Aku kasih saran as a reader ya bukan as a writer, hehehe.

    lanjut! :)
  • @abiyasha
    iya.hehe.
    makasih atas sarannya abi.
    emang rada ga pede buat gembar gembor.haha
    lagi nyoba buat lanjutannya dengan bahasa yang lebih enak dan tulisannya juga lebih rapi. supaya enak dibacanya.
    semua sarannya gw tampung!.
  • klo apdet mensen yah..
  • up...up...\m/
  • IV - Malaikat Parguel

    Malam ini, aku sudah mempersiapkan semuanya untuk bertemu dengan wanita yang memiliki senyum paling menawan yang pernah kulihat. Aku harus tampil semenarik mungkin agar tidak ada perasaan malu saat harus berduaan dengannya. Dari mulai kemeja, jeans, sepatu, arloji kebanggaan ku hingga tatanan rambut yang biasanya kubiarkan sekenanya kini aku tata. Sudah hampir setengah jam aku memilah pakaian mana yang aku kenakan. Dalam hal ini aku memang sedikit rewel. Seperti mimpi, setelah minggu lalu berkenalan dengannya secara ‘resmi’ sampai malam ini dia mengajak ku untuk makan malam. Mungkin sedikit narsis dan over confident menganggap kalau malam ini adalah first date ku dengannya . senyum ku seketika tersungging melihat sosok dalam kaca. Oke sempurna !.

    Harapan ku akan makan malam romantic terbuyarkan ketika aku melihat alamat yang tertulis pada kertas yang diberikan nya pada ku ternyata bukan restoran, café atau bahkan kedai coffe. Sebuah bangunan rumah tua dengan sentuhan arsitektur belanda tampak di depan ku. tapi sepertinya nama bangunan tua kurang tepat untuk menggambarkan gedung ini. Gedung ini memang terkesan tua karena sentuhan klasik berarsitektur belanda namun setiap detail dari luarnya tampak muda terlihat dari warna cat temboknya yang masih cerah. Aku turun dari motorku berniat memencet bel di pagar depan yang sebelumnya memastikan kembali bahwa ini adalah benar alamat yang aku tuju . Tiba – tiba ponsel ku berdering .

    “halo ? halo? Halo!”


    Berulang kali aku mengucapkan kata itu namun tetap tidak ada jawaban . aku melihat ke layar ponsel ku memastikan siapa yang sedang menghubungi ku saat ini . tidak ada keraguan lagi kalau memang itu nomor dia dan masih tersambung .

    “halo? . iya”

    Akhirnya aku dapat mendengar juga apa yang dikatakannya diseberang sana. Namun, suaranya terdengar parau yang sesekali diselingi dengan isakan .






    “oh ga, gw di kosan kok . iya lo kesini aja”

    Setelah menutup telpon aku segera memutar balik motor ku dan memacunya untuk kembali ke kosan. Isi kepala ku saat ini penuh dengan pertanyaan - pertanyaan dan beragam spekulasi akan sesuatu yang terjadi kepadanya. Demi Tuhan , selama aku mengenalnya aku tidak pernah mendengar kalo suara ber zat addictive begitu parau tertekan oleh isakan. Sungguh membuatku sakit mendengarnya . aku melajukan motor ku dengan kencang tak peduli berapa kendaraan aku salip dan membuat motor ku sering goyah yang aku pedulikan saat ini adalah aku harus segera berada di kos dan berusaha untuk menghapus setiap isakan dan nada-nada fals pada susunan melodi suaranya. Perjalanan dari kos ku ke tempat tadi aku berada membutuhkan waktu sekitar 30 menit apabila ditempuh dengan kecepatan normal seperti keberangkatan ku sebelumnya. Namun sekarang aku hanya membutuhkan waktu separuhnya untuk dapat sampai ke tempat kos ku . belum sempat aku memarkirkan motor ku dengan sempurna di parkiran kos yang memang hanya terletak sekitar sepuluh meter dari depan pintu kamar ku. mata ku sudah menangkap Bruno sedang duduk di ubin yang punggungnya tersandar pada pintu kamar dengan kepala tertunduk . badan nya masih berguncang, walaupun hanya sesekali yang terkesan sedang bergidik . segera aku menghampirinya, wajahnya terlihat sangat kacau. Aku membantunya berdiri, memapahnya hingga ke tempat tidurku . Pikiran ku kembali dipenuhi pertanyaan – pertanyaan dan hatiku diselimuti rasa penasaran atas apa yang terjadi. Sebenarnya mudah saja bagi ku untuk menghujaninya dengan berbagai pertanyaan yang sedari tadi berputar di kepalaku memaksanya menceritakan apa yang terjadi untuk mengusir rasa penasaran ku. tapi aku lebih memilih diam, mengunci rapat mulutku membiarkan pikiran jernih ku menuntun tubuh ku untuk melakukan apa yang seharusnya lebih bermanfaat untuk dilakukan. aku mendudukkannya di tempat tidur ku, membiarkan badannya bersandar pada tumpukan bantal yang tersandar ke dinding . melangkahkan kaki ku menuju dapur kamar, mengambil gelas, dan menyeduhkan coklat hangat untuk nya. Berharap dengan berbagai mitos soal coklat merupakan solusi ampuh saat sedih mampu sedikit menenangkannya.

    “bokap minggat”

    Suara Bruno pelan tapi aku dapat merasakan emosi kekecewaan di dalamnya . pernyataan Bruno terakhir malah menambah daftar pertanyaan – pertanyaan di kepalaku . Bagaimana mungkin papa nya pergi meninggalkan Bruno dan ibunya? . pernyataan itu terlalu mustahil untuk ku. sejujurnya, keluarga yang dimiliki Bruno adalah keluarga ideal yang selalu ku idamkan. Bertemu langsung dengan kedua orang tua nya seminggu lalu membuatku mengetahui bagaimana keluarga ideal, rukun dan harmonis yang sebenarnya. Keluarga kecil penuh kedamaian yang ternyata menyimpan suatu masalah pelik yang membuat papa nya pergi dan ironis nya keluarga kecil itu dapat menutupi nya dengan rapi. Apa sebenarnya masalah pelik itu ? . mudah saja sebenarnya untuk ku melontarkan pertanyaan itu. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa terdiam, menutup rapat mulutku dan membiarkan Bruno menggangkap ku sebagai tembok pendengar.
    Memang akan lebih baik kalau saat ini aku hanya menempatkan diri ku sebagai tembok pendengar yang menyimak semua keluh, kesah bahkan makian kemarahannya.
    Tangan kanan ku meraih bahu kanan nya, meremas halus, dan kemudian menepuknya perlahan. Semoga aku bisa sedikit meredam emosinya.

    “Mereka bercerai Zen ! aku mendengar sendiri papah mengucapkan kata itu. Keputusan bodoh penuh ke egoisan .”

    Aku menarik nafas panjang, mengendurkan kuncian di mulutku agar dapat meluruskan kalimat terakhirnya.

    “Pasti ada alasan yang sudah dipertimbangkan dibalik semuanya Bruno”

    Bruno menggelengkan kepalanya suara nya meninggi

    “Persetan dengan alasan mereka!. Yang gw tau setiap pertimbangan dalam alasan mereka bukan buat gw, Zen!”

    “Ga Bruno, setiap rencana hidup orang tua pasti penuh pertimbangan prioritas utama mereka yaitu anak – anak nya”.

    “Tapi tetap mereka akan bercerai , sebagus apapun harapan dibalik nya pasti akan selalu buruk buat gw!. Dia pergi meninggalkan ibu untuk orang lain, Zen. Akan lebih mudah buat ku kalau orang lain itu seorang wanita tapi kenyataannya . . .”.

    Bruno kembali terguncang suaranya semakin parau bahkan lebih serak dari sebelumnya .

    “Dia pergi untuk pria lain” suara Bruno hampir tidak terdengar oleh ku , semakin dalam dia terguncang oleh tangis nya. Mungkin kelopak matanya sudah tidak sanggup lagi membendung air mata nya yang keluar .

    “setidaknya lo masih punya bapa Bruno, beda sama ….. “ aku menghentikan kalimat ku yang ku keluarkan dengan pelan seperti berbisik. Sempat Bruno mengangkat wajahnya ke arah ku dengan mimik meminta aku mengulang kalimatku dan meneruskan nya. Kemudian menunduk kembali melihat raut wajah datar ku yang secara tersirat menolak keinginannya. Namun, sangat tidak bijaksana kalau aku harus menceritakan tentang ku yang selalu membuat ku merasa menjadi orang yang lebih menderita bahkan dari perasaannya saat ini. Kenyataan ini terlalu absurd buat ku apalagi bagi Bruno. Mendengarkan nya saja sudah sangat menyakitkan untuk ku apalagi buat Bruno yang secara nyata mengalaminya.

    Aku mendekatkan badan ku pada nya dan mendorong tubuh ku untuk memeluknya. Mendekapkan kepalanya ke dada ku . tangan kananku menepuk-nepuk perlahan punggungnya untuk sekedar menenangkannya yang sebenarnya aku pun menenangkan diriku agar tidak ikut terguncang atas suasana sangat emosional malam ini. Aku bisa merasakan kemeja ku basah oleh air matanya.

    “Kamu pasti cape Bruno, kamu cuman perlu istirahat. Tidur lah, pasti ketika kamu membuka mata mu kembali perasaan mu akan lebih baik”

    Isakan nya mereda, kemeja ku yang basah oleh air matanya tidak lagi semakin basah karena aku sudah tidak merasakan air matanya kembali menetes ke kemeja ku. samar – samar aku mendengar suara dengkuran Bruno di balik punggungnya. Dasar Bruno , kebiasaannya mendengkur tetap tidak hilang bahkan di saat seperti ini. Aku menarik tubuh ku melepaskan pelukan kemudian membaringkannya di kasur. Aku pun tertidur di sampingnya.
  • ceritanya udah di update tuh .
    colek - colek :
    @kiki_h_n @Uchihakamui @Abiyasha @Coffeebean
Sign In or Register to comment.