Male Prostitute
Dia lelaki paling atraktif yang pernah kulihat di jalan ini.
Dia terlihat sedang bersandar di sudut pagar besi taman kota. Lampu taman kota yang redup tak sanggup menyembunyikan keseksiannya. Tubuhnya tinggi atletis, kulitnya sawo matang, rambutnya keriting kecil-kecil dengan tatapan mata tajam. Kedua alisnya yang tebal membuatnya terlihat kian sangar. Sepertinya dia ini orang-orang dari Timur sana. Mungkin orang Timor atau Ternate.
Aku segera menghentikan motorku beberapa meter saja darinya. Aku ingin tahu bagaimana tindak tanduknya selama berada di lokasi ini. You know, ini tempat lokalisasi pria yang paling terkenal di Surabaya. Ada bermacam-macam pria penghibur disini. Tapi yang paling ‘available’ malam ini ya hanya si Timor ini. Kalau ada pria-pria gay yang kesepian dan butuh hiburan, pasti tempat ini yang menjadi jujukan. Dan malam ini aku memang sedang kesepian.
Gue bukan sedang tak ada kencan.
Masih ada jadwal kencan dengan beberapa teman. Tapi aku sedang malas menghubungi mereka. Aku sedang ingin bercinta dengan sang profesional. Kebanyakan teman-temanku itu memang lelaki yang kurang berpengalaman dalam bercinta. Aku sedang ingin bercinta dengan panas. Bukannya harus merendahkan diriku sendiri untuk menenangkan hati teman-teman kencanku itu. Gue sudah kehabisan energy untuk itu.
I want sex quickly now.
Sepuluh menit sudah berlalu. Aku masih berdiri beberapa meter dari tempatnya berdiri. Aku tahu dia mulai memperhatikan aku. Aku tak berusaha jaga image. Aku juga sedang menatapnya dengan tajam. Sesekali pandangan kami bertemu. Aku tak melempar senyum. Dia juga tak melempar senyum. Dia hanya balas menatapku. Tatapan ramah, bukan tatapan permusuhan.
Kuhitung sudah dua kali dia menolak tamu yang datang menghampirinya. Kutaksir mereka itu lelaki parobaya dengan tampilan yang cukup ‘wah’. Tak jelas memang, karena mereka masih mengenakan jaket dan kain penutup muka. Hhhh ... sungguh tak sopan! Aku bisa melihat kekecewaan yang terlihat dari gesture tubuh mereka saat meninggalkan si Timor.
See ... money can’t buy anything!
**
“Mas yang namanya Andik?”
Aku terkaget. Tadi pikiranku sempat melayang entah kemana, hingga tak sempat memperhatikan bahwa si Timor ini sudah berada di belakangku persis. Aku segera berusaha menguasai sikapku kembali. Kubuka helmku dan kumatikan musik player dari handphoneku. Aku mulai memperhatikannya.
“Bukan. Aku Arik. Kamu?” kataku seraya memperhatikannya dengan seksama. Pandangan mataku ternyata tak salah. Dari jarak yang sangat dekat, aku bisa melihat betapa gagahnya dia. Eksotis, tepatnya. Rambutnya, alisnya dan bulu-bulu tangannya itu membuatku merinding. Pengen segera ada dalam dekapannya dan membelai bulu-bulunya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Aku Iyan, mas” katanya mengulurkan tangan ke arahku.
Aku membalas uluran tangannya. Kugenggam rapat jabatan tangannya. Kusebutkan ulang namaku. Biar dia bisa mengingatnya dengan baik. Ini sungguh tak relevan. Apa arti sebuah nama? Nama aslinya pasti bukan Iyan. Mana ada sih Orang Timor bernama Iyan? Kebanyakan orang sana menamai anaknya dengan nama-nama barat macam Michael, Philip, Thomas, Rikas dan sebagainya. Atau jangan-jangan dia bernama asli Berlian?
Entahlah, yang jelas dia memang sedang bersinar seperti berlian malam ini.
“Aku nunggu tamu, mas”
“Aku tahu. Terus?”
“Mas nunggu siapa?”
“Nunggu kamu”
“Hahaha ...” dia tergelak sambil menepuk-nepuk pundakku,”Mas bisa aja”
“Tadi itu tamu?”
“Ya mas”
“Kenapa ditolak?”
“Males mas. Udah orangnya jelek, minta nembak, eh mau bayar murah lagi”
“Kamu maunya berapa?”
Dia menyebutkan tarifnya tanpa basa-basi. Tak terlalu mahal, memang. Tapi kupikir orang-orang itu kadang keterlaluan. Mereka mau service bagus, barang bagus dengan harga murah. Mana ada sih barang murah dengan kualitas bagus? Mana ada service bagus kalau bayarnya saja murah? Padahal secara tampilan, mereka itu oke banget lho. Bawaannya aja mobil bagus.
“Kalau aku yang booking, kamu minta berapa?”
“Terserah mas aja”
“Hei ... kamu itu jualan, kan”
“Iya”
“Profesional dikit, dong”
“Maksudnya?”
“Penjual selalu menyebut harga. Bukan tergantung pembeli.”
“Oke ... oke,” katanya dengan terbata-bata.
“Aku bayar kamu *****”
”Mas mainnya gimana?”
“Aku mau main romantis”
“Mas mau nembak aku?” tanyanya dengan pandangan cemas.
Guys, gue pengen ketawa lebar-lebar. Dia ini kucing bodoh atau kucing yang sedang mabuk? Mana ada sih pria Jawa berhidung pesek punya penis gede? Paling mentok ukuran penis orang jawa itu 14 sentimeter. Apa yang dia takutkan? Apa penis seukuran itu bakal merobek anusnya? Nggak mungkin banget, kan? Kakek-kakek amnesia aja tahu itu!
“NO!”
“OKELAH. MAS. Sekarang ya ...”
“Enggak. Tahun depan aja” kataku mencandainya.
“Hahahaha ... Ayolah mas sekarang aja. Nggak sabar nih,” katanya
Lho-lho-lho ... kog yang nggak sabar itu malah dia? Harusnya gue dong yang pengen segera menelanjanginya. Harusnya gue dong selaku customer yang ngebet ingin segera menidurinya. Lha kog ini malah kebalik.
Oalah Kucing-kucing ...
**
“Kamu biasa ML dimana?”
“Di PB aja mas, murah. Tapi ada tempat yang deket”
“Dimana?”
“Di belakang Gubeng. Paling cuma setor 20 ribu aja”
“OK. Kamu kenal baik sama pemiliknya, kan?”
“Udah langganan, mas”
“Ya udah kesana aja”
Kami berdua segera menuju ke tempat yang diceritakan si Iyan. Sepanjang perjalanan, Iyan berlaku begitu mesra. Dadanya menempel erat di punggungku. Tangannya melingkar di perutku, tanpa rasa sungkan sama sekali. Yah, namanya juga ‘kucing’. Ini pasti caranya untuk memikat tamu.
Butuh waktu hanya 10 menit saja untuk mencapai tempat tujuan. Tempatnya masuk ke dalam kampung yang sempit dengan jarak antar rumah yang saling berhimpitan. Terlihat beberapa orang kampung yang masih cangkrukan di depan gang.
“Masuk aja mas ...” kata Iyan saat kami sudah sampai ke depan pintu kamarnya. Kupikir, ini memang kamar kost si Iyam. Bukan tempat sewa seperti yang dibilangnya tadi. Kamarnya memang kecil, mungkin hanya berukuran 3X2,5 meter saja. Tapi cukuplah kalau hanya untuk tempat esek-esek.
Aku segera selonjor di atas kasur yang diletakkannya di lantai.
Iyan langsung membuka baju, celana dan celana dalamnya. He’s totally naked now. OMG ... I cant breath. He’s really sexy. Gurat-gurat ototnya terpahat dengan jelas di perutnya. Nggak seperti perut pria-pria L-Men memang. Tapi cukup seksi untuk seorang amatir.
Kuamati ada satu tato bergambar perempuan berambut terurai di punggungnya.
“Itu gambar siapa?” tanyaku sambil mengamati punggungnya dari dekat.
“Istriku, mas”
“Wow ... kamu cinta dia?”
“Iya mas”
Aku terdiam. Ada sedikit rasa bersalah melihatnya bersedih begitu. Aku menyesal kenapa bertanya tentang tato berwujud perempuan di punggungnya itu. Harusnya aku diam saja. Pura-pura tak tahu saja.
“Kog diem mas? Kita mulai sekarang ya?” katanya sambil mendekat ke arahku.
“Bentar. Aku pengen selonjoran dulu. Lima menit saja”
“Ya udah, kalo gitu aku ngerokok dulu ya mas ...” katanya sambil mengambil sebatang rokok filter di celananya yang tadi di kenakannya. Dengan santai dia mulai merokok. Sungguh pemandangan yang teramat seksi. Lelaki telanjang dengan sebatang rokok di tangannya. Bisa kucium bau rokoknya yang terhempas ke wajahku.
Iyan menyedot rokoknya dengan nikmat.
Aku mendekat dan segera ku cium bibirnya. Dia gelagapan. Aku memeluknya dan menenangkannya. Aku ingin turut menghisap asap yang ada di dalam mulutnya itu. Iyan mengerti apa yang kumaksudkan. Dia menghembuskan nafasnya ke dalam mulutku. Asap mberpindah. Kulepaskan bibirku dari bibirnya dan kuhembuskan balik asap yang ada di dalam mulutku. Iyan ngakak!
“Hahaha ... trik darimana itu?”
“Dari Film-film. Kamu suka nonton film?”
“Nggaklah mas. Boro-boro ...”
“Kamu sibuk cari duit terus ya ...”
Iyan tak menjawab. Dia berdiri, mematikan rokoknya di asbak yang terletak di atas meja kecil di sudut kamarnya. Terlihat penisnya yang besar menggantung dengan indahnya. Belum mekar sempurna, memang. Alamak ... sepertinya aku sudah tak sabar lagi.
“Sekarang, Yan ...” aba-abaku pada Iyan. Aku segera melepas semua kain yang melekat di tubuhku, dan langsung berbaring telentang di atas kasur.
Iyan langsung menindihku. Bibirnya dengan mesra melumat bibirku. Bibirku basah oleh kecupan bibirnya. Air liurnya membasahi mulutku. Terasa dingin dan segar. Kulumat balik bibirnya. Dari atas ke bawah, bawah keatas. Seperti memainkan harmonika. He’s a good kisser. I like how the way he kiss me. Ciumannya seperti ciuman kekasih yang lama tak bertemu. Hangat dan penuh gelora nafsu. Aku merasa tersanjung.
Iyan mulai menyerbu leherku. Dijilatnya lapisan kulit bawah telingaku hingga ku ujung leherku. Aku menggelinjang geli. Lidahnya begitu liar menelusuri permukaan kulitku. Kalau ada di hotel pasti aku langsung teriak-teriak kesetanan. Tapi ini sedang di kamar kost. Tak boleh ada satu suarapun yang keluar dari mulutku. Aku hanya boleh melenguh pelan sambil menggaruk-garuk punggung Iyan.
Aku kian kesetanan saat Iyan mulai menghisap putingku dengan begitu bernafsu. Sesekali digigitnya hingga terasa sakit. Aku memukul-mukul punggungnya dengan keras saat kurasa dia mulai gemas dengan kedua putingku. Mungkin dia pikir putingku ini puting istrinya. Sialaaaaaannn!!!!
Aku tak sudi diperlakukan seperti istrinya.
Malam ini akulah yang berkuasa atas tubuhnya. Aku berhak atas dada Iyan. Aku berhak atas bahu kekarnya. Aku berhak atas puting Iyan. Dan aku juga berhak atas penis Iyan yang sepertinya mulai terasa tegang dan keras luar biasa. Penisnya yang keras da kaku mulai menyodok-nyodok bagian bawahku. Aku terprovokasi. Nafsuku kian membuncah. Kubanting tubuh Iyan ke bawah.
Kuputar tubuhku membentuk posisi 69.
Aku mulai menghisap dan menjilat seluruh permukaan penis Iyan yang tegak membentuk sudut 90 derajat. Benar-benar penis yang powerful. Iyanpun tak mau kalah aksi. Dia balas menghisap penisku. Sedotan da jilatannya benar-benar profesional. Aku kian bernafsu ingin membuatnya muncrat!
“Addduuhh mas ... mau keluar ... mas ... jangan ...” erangnya pelan.
Aku segera menghentikan hisapanku pada penisnya. Iyan menyerah dengan sedotanku. Dia pasti takut tak bisa memuaskanku kalau muncrat duluan. Dia segera berdiri dan mengambil kondom di atas meja. Di sarungkannya ke dalam penisnya yang terlihat merah dan besar.
Aku terkesiap. Antara ragu dan ingin merasakan kelezatan penisnya itu. Bukan rahasia lagi, penis pria Timor itu punya kekuatan dan rasa yang berbeda jika di bandingkan dengan penis pria jawa. Menurut mitos yang kudengar, Penis Pria Timor itu kuat dan tahan lama.
Usai memasangkan kondom itu, dia segara mendekat sembari memberikan pelicin.
Aku bergeming. Masih bingung. Tak begini yang kumau. Aku hanya ingin merasakan kemesraan seorang pria malam ini. Tapi kalau tidak dituntaskan secara klimaks, pasti aku akan menyesal. Lagian nafsu dan birahiku sudah membuncah. Aku tak sanggup berpikir normal lagi. Yang ada dalam pikiranku adalah aku harus mencapai klimaks malam ini.
“Pelan aja kog mas ...” bisik Iyan di telingaku. Dia mencium bibirku dua kali. Ciumannya itu bagai sihir yang sanggup membuatku melakukan apa saja. Aku menatap ke dalam matanya. Ada pandangan yang aneh. Entahlah, apakah itu pandangan cinta atau hanya pandangan nafsu birahi. I can’t see it clearly.
Iyan mulai menindihku. Dia membuka kedua kakiku dan mulai mengarahka penisnya ke dalam lubangku. Sssrrrtttt ... ssrrrtt ... penisnya mulai masuk ke dalam lubang anusku dengan gerakan perlahan. Iyan tahu persis bagaimana cara ‘menembak’ tanpa rasa sakit. Ada sedikit rasa sakit memang. Tapi sakitnya itu segera berganti dengan kenikmatan yang amat luar biasa.
Iyan mulai menggoyangkan pantatnya maju mundur. Penisnya bergerak dengan lincahnya, keluar masuk ke dalam dan keluar anusku. Gerakannya berirama. Aku merasakan nikmat yang teramat dasyat. Apalagi ketika dia mulai menghunjamkan penisnya hingga mentok ke dalam anusku, sementara bibirnya melumat habis bibirku.
Aku tak sanggup bersuara lagi.
Iyan kian ganas menggoyang-goyangkan pantatnya. Gerakannya sudah seperti tukang becak yang sedang menggenjot becak. Tubuhku habis di tekuk-tekuknya. Kami mirip seperti pemain sirkus. Kepala siapa dan kaki siapa tak jelas.
“Arrrhhh masss ... enak sekali ...” erang Iyan di telingaku.
Aku kian memaksimalkan gerakan anusku mencengkeram penis Iyan. Biar penis Iyan terasa seperi dipijat-pijat massager di panti pijat plus-plus itu.
“Maasss ... aku nggak kkuuuaatt lagi ...” teriak Iyan.
Hah ... kucing cemen!
Aku segera mengambil pelicin dan mulai mengocok penisku sendiri. Gerakan keluar masuk penis Iya di pantatku kian cepat dan kian keras. Akupun mulai limbung. Rasaku sudah melambung kelangit ke delapan. Nikmat dan sakit yang menjadi satu. Itu luar biasa.
“Arrrgggg ... aku keluarr Yaaaann ...” teriakku lirih.
“Yaaaa aku jjjuuugggaaa mas ,,,,,”
Tanganku mencengkeram pantat gempal Iyan kuat-kuat. Aku muncrat. Iyan menghentikan gerakannya. Nafsnya terhenti di telingaku. Dia klimaks juga. Bisa kudengar nafasnya yang berpacu seperti pelari sprinter. Aku menghela napas dalam. Kucium pipinya. Kubiarkan dia menunggu hingga penisnya keluar dari dalam lubangku.
“God ... kamu hebat mas”
“Kamu juga”
Iyan menciumku. Aku membalas ciumannya. Itu sekedar ucapan terima kasih. Terima kasih telah membuatku merasakan klimaks yang sesungguhnya. Terima kasih telah membuatku merasa menjadi lelaki paling seksi sedunia.
Yeah ... I’m sexy and I know it!
Comments