BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

cerpen: AFTERMATH

edited March 2012 in BoyzStories
numpang bikin cerpen, mohon kritik, sarannya......



Jika 1 + 1 = 2.....

Maka Aku + Kamu = apa?

"Lihat Ini!".

Wanita berambut keriting pendek itu kembali menyodorkan selembar kertas lusuh itu padaku. Kertas hasil ujian matematika yang -untuk kesekian kalinya- bernilai nol. Aku hanya menghela napas. Aku tahu. Aku sudah menduganya. Aku pasti akan kembali mendapat nilai nol dalam ujian matematika. Aku memang tak pernah berjodoh dengan mata pelajaran itu. Menurutku, lebih baik menghapal seluruh nama astronot yang pernah menginjakkan kakinya ke bulan daripada harus menghapal rumus - rumus statistika yang menyebalkan itu.

"Ini sudah ke empat belas kalinya nilaimu jeblok. " Wanita itu kembali melayangkan tatapan maut padaku. "Mau sampai kapan lagi kau akan seperti ini. Sebentar lagi Ujian Nasional. Kalau nilai matematika mu tetap jeblok, Ibu tidak berani jamin kau akan bisa lulus dari sekolah ini."

"Lantas apa yang harus saya lakukan Bu?" kuberanikan mengangkat muka, menatap mata Bu Wirda yang nyaris mata elang kelaparan. Guru matematika itu memang terkenal killer dan galak di sekolahku. Tapi sekuat mungkun aku harus bisa menghadapinya.

"Kurasa Ibu akan meminta seseorang untuk membantu mu, Ibu sudah cukup lelah menghadapimu." Bu Wirda membuang nafas. Mencoba menawarkan solusi padaku yang memang siswa bodoh dalam matematika ini.

"Seseorang?, "aku mengernyit.

"Iya."

"Siapa?"

Belum sempat aku menanyakan perkataan yang lebih jauh lagi, tiba- tiba pintu ruang kantor diketuk seseorang. Seketika aku dan Bu Wirda menoleh ke arah pintu. Dan ..... Dia disana. Demi Tuhan dia disana.

"Bu Wirda memanggil saya?,"tanya seseorang yang tadi mengetuk pintu.

"Ya. Kemarilah Tian. Ibu ingin berbicara denganmu."

Dia Tian. Ya. Namanya Tian. Sebenarnya tak ada yang istimewa darinya. Dia cuma cowok berkacamata yang dikenal sebagai kutu buku sekolah. Tubuhnya kurus, tinggi. Tampangnya standar. Tidak terlalu cakep. Tapi juga tidak jelek. Pada setiap hasil ujian try out atau semester, namanya selalu nangkring di posisi teratas. Ia memang jenius, tapi aku masih belum mengerti apa maksud Bu Wirda memanggilnya kesini.

"Nah Joe, dengarkan Ibu." Bu Wirda memulai percakapan begitu Tian telah duduk disampingku. Sekarang di ruangan ini hanya ada aku, Bu Wirda, dan Tian. Guru- guru lain sedang mengajar di kelas masing- masing mungkin.

"Kau tentu tahu kan siapa Tian?".

Aku hanya mengangguk pelan. "Ya, Bu." Sementara kulihat Tian menunduk.

"Setelah ibu pikir- pikir, rasanya kau perlu belajar sesuatu darinya. Kau harus belajar bagaimana ia bisa mempertahankan prestasinya dalam mata pelajaran matematika. Dan kau juga harus belajar bagaimana memanfaatkan waktu dengan baik dengannya."

"Maksud Ibu?". Tanyaku tak mengerti.

"Mulai sekarang, Tian akan memberimu pelajaran tambahan."

"Apa?"

"Dia akan mengajarimu matematika setelah jam pelajaran sekolah usai. Kalian bebas belajar dimana saja."

"Tapi Bu... Kenapa harus Tian?,"selaku.

"Karena memang hanya dia yang bisa."

Aku membeku. Tak bisa berkata lebih jauh lagi. Bu Wirda telah melayangkan tatapan 'dilarang protes' nya.

"Nah Tian, kau bersedia kan memberi pelajaran tambahan pada Joe?". Bu Wirda menoleh ke arah Tian yang masih saja menunduk. Entah apa yang ia sembunyikan dari wajahnya sehingga ia senang sekali menunduk.
"Iya, Bu. Saya bersedia." Tukasnya perlahan sembari mengangguk.

"Ya sudah. Kurasa, itu saja yang ingin Ibu katakan pada kalian berdua. Sekarang, kalian boleh kembali ke kels kalian masing- masing."

***

Kurasa ini benar- benar mimpi buruk. Bagaimana tidak. Aku akan diberi pelajaran tambahan oleh Tian. Si cowok cupu yang pendiam dan nggak populer itu. Aku sudah membayangkan alangkah boring nya belajar pelajaran menyebalkan itu bersamanya. Pelajarannya saja sudah menyebalkan, apalagi kalau yang ngajarin si Tian?. Masih mending kalau aku diajari oleh orang lain. Aku bersedia. Asal jangan Tian. Dia yang pendiam itu pasti akan membuat pelajaran semakin menyiksa.

"Jadi... kapan kita mulai pelajaran tambahannya?".

Suara lembut dan parau yang khas milik Tian itu membuyarkan lamunanku. Aku baru sadar kalau aku masih berada di samping Tian. Menyusuri lorong kelas yang lengang karena ini masih jam pelajaran. Ia masih saja menunduk kuyu dibalik kacamata minus dua nya. Aku mendengus. Mengacuhkannya.

"Terserah kau saja." Jawabku santai sambil melenggang.

"Kalau kau keberatan, kau boleh minta diajari sama yang lain.".

Ucapannya barusan berhasil menghentikan langkahku. Mau tak mau aku berbalik menatapnya. Melangkahkan kakiku mendekatinya.

"Kenapa kamu bilang gitu?". Tanyaku tegas. Ia ketakutan.

"Ya.... sepertinya kau keberatan dengan ide Bu Wirda."

"Aku malas kalau harus meminta orang lain lagi mengajariku. Belum tentu juga mereka mau mengajariku." Kataku ketus sambil kembli berjalan melangkahkan kakiku. Berharap segera sampai ke kelasku dan terlepas dari siksaan ini. Ya. Berlama- lama dengan cowok macam Tian adalah siksaan terberat yang pernah aku alami.

"Tapi..."

"Sudahlah..." Potongku. "Kalau kau terus saja bicara, aku akan memukulmu."

Dan Tian pun seketik diam mendengar ancamanku. Padahal aku tak serius ingin benar-benar memukulnya. Tapi sepertinya gertakanku berhasil.

"Ya.. Ya udah... kalau kamu sudah siap buat belajar tambahan, kamu bisa hubungi aku." Setengah bergetar Tian menyerahkan selembar kertas berisi nomor ponselnya padaku dan bergegas pergi menuju kelasnya. Ia ketakutan.

"Dasar cowok aneh." Gerutuku dalam hati sambil melenggang ke arah kelasku.

***

"Jadi yang bakal ngajarin lo pelajaran tambahan si Tian? Hahahahaha!".

Teriakan kencang itu terdengar dari mulut Dennys -sahabatku. Membuat perhatian seluruh anak- anak yang lagi pada gendon di kantin sekolah tertuju kepada kami.

"Lo bisa ngomong pelan- pelan gak sih." Kusenggol lengan Dennys agar dia berhenti menertawakanku. Dia hanya mengaduh. Aku tak perduli. Apa yang barusan dilakukannya bisa aja membuat aku mendadak tenar. Seorang Joe. Idola sekolah yang banyak digandrungi cewek- cewek itu harus diajarin matematika sama Tian, si cupu yang sama sekali gak diperhatiin di sekolah ini. Bahkan kalau ditanyakan, hampir delapan puluh persen anak- anak pasti tak tahu siapa itu Tian. Bisa - bisa berita itu akan muncul jadi headline koran sekolah besok.

"Hahahah.. sori sori...." Dennys meneguk segelas es jeruk di depannya. Ia nyaris tersedaka gara- gara ketawa sambil makan ketoprak.

"Lo pikir cukup pake sori doang?". Aku mendengus sinis.

"Hahahah... abisnya lo lucu sih. Apes banget idup lo. Masa lo musti belajar tambahan sama cowok cupu, aneh, kuno dan gak populer kayak si Tian sih? Emangnya gak ada siswa lain yang lebih jenius ya? hahahah."

Aku hanya melirik sinis pada Dennys.

"Kalaupun bisa, gue juga udah minta yang lain buat ngajarin gue."

"Trus kenapa gak bisa?"

"Ini keputusan Bu Wirda, dan gue bakal mampus kalau berani menentang keputusannya."

"WELL.... mungkin emang nasib lo hahaha.... joe... Joe..." Dennys kian kencang menertawakanku. Aku hanya bisa diam tersipu.

Mungkin benar kata Dennys. Aku memang apes. Aku nggak punya pilihan lain, aku harus mau menjalani pelajaran tambahan matematika dengan Tian. Ya. Aku tidak punya pilihan lain. Aku tak mau kalau harus tidak lulus Ujian Nasional. Aku sudah capai dengan semuanya. Aku tak akan pernah rela kalau aku harus mengulang lagi hari- hari menyebalkan di sekolah ini. Aku tak mau.

Maka dengan sangat terpaksa, kukeluarkan ponselku. Mengetik sebuah sms dan kukirimkan pada nomor Tian yang kemarin diberikannya.

To ;Tian

Time ; 11.23

Sepertinya sepulang sekolah nanti, elo udah boleh ngajarin gue. Kita ketemuan di perpustakaan saja ya. Joe.

***

Teng! Teng Teng!

Bel pulang sekolah berbunyi diikuti sengan suara teriakan bahagia anak- anak kelasku. Ya, inilah saat- saat yang mereka nantikan. Seperti halnya mereka, aku segera memunguti peralatan sekolahku dan bergegas pulang setelah guru terakhir melangkahkan kaki keluar dari kelas. Aku ingin segera pulang. Tapi begitu sampai di depan kelas aku berhenti. Aku baru ingat kalau aku ada jadwal pelajaran tambahan dengan Tian. Maka dengan segera, kulangkahkan kakiku menuju perpustakaan sekolah yang sudah lengang. Hanya terlihat beberapa petugas perpustakaan yang masih berjaga- jaga. Mereka nampak membereskan beberapa buku kedalam rak pajang yang berukuran lumayan besar.

Tapi aku tak menemukan Tian. Sialan. Umpatku. Apa dia lupa dengan tugasnya memberiku pelajaran tambahan?. Bisa- bisa aku akan menghajarnya kalau dia tak segera muncul. Aku tak mau pulang terlalu sore hari ini.

Namun baru saja aku selesai mengumpat, dia muncul dengan berlari setengah tergesa. Tas ranselnya yang besar bergerak seirama langkah kakinya yang lemah. Nafasnya tersengal. Beberapa keringat nampak menetes di dahinya. Membasahi kacamata tebalnya. Ia mendekat kearahku dengan wajah penuh penyesalan.

"Anu,..... ma.. maafkan aku... sedikit terlambat, lagi- lagi aku dikerjain sama Rey dan kawan- kawannya." Jelasnya dengan nafas tersengal.

"Rey?"

"Anak kelas 3 IPS 1 ."

"Oh..." Aku mengangguk paham.

"Jadi, bisa kita mulai sekarang pelajaran tambahannya?" tanpa basa- basi kuseret tubuh kurus Tian kedalam perpustakaan sebelum ia sempat berucap lebih jauh lagi. Hanya buang- buang waktu.

***

Dan kami berdua pun akhirnya duduk disini. Di bangku perpustakaan yang dingin. Ditemani buku- buku usang yang tak kuketahui umurnya. Kami diselimuti kekakuan. Aneh. Aku tak pernah membayangkan akan duduk berdua dengan nya. Seperti ini, Sumpah, aku tak pernah membayangkannya sedikitpun. Duduk berdua dengan cowok teraneh di sekolah sembari memegang buku diktat yang tebal. Benar- benar mimpi uruk di tengah hari.

"Jadi, bisa kita mulai sekarang elajarnya?." Sekali lagi suara parau Tian membuyarkan lamunanku. Seketika aku berbalik padanya. Dan nampaklah mata kuyu yang tertutup kacamata minus yang tebal. Menatapku dengan bosan. Aku terkesiap.

"Eh.. bi... bisa..." Aku gelagapan. Entah kenapa aku jadi salah tingkah karena ketahuan memperhatikannya.

"Kamu kenapa sih?".

"Eh, nggak.. nggak papa kog... ayo kita mulai saja."

Aku segera mengeluarkan buku diktat matematika dari tas ranselku. Mencoba mengalihkan perhatiannya.

"Ya sudah..." Balasnya sebari mengeluarkan bukunya juga.

Aku menghempaskan napas lega.

"Jadi materi mana yang kamu belum paham?". Tian mulai membolak- balikkan halaman bukunya. Sementara aku terus saja memperhatikan nya. Entah kenapa aku penasaran dengan matanya. Mata kuyu yang tersembunyi dibalik kacamata tebal itu. Aneh. Mendadak saja aku jadi merasa nyaman menatapnya. Mata itu. Ya. Mata itu memang nampak kuyu. Lemah. Tetapi dibalik itu. Ada sebuah cahaya berpendar. Amazing. Indah.

"Kamu denger gak sih?".

Aku terlonjak. Seketika menatap Tian yang nampak jengkel dengan kelakuanku. Ia mendengus sebal. Aku pun menciut. Segera mengalihkan pandangan ku ke buku diktat lusuh di depanku.

"I..iya denger kog......" jawabku kaku. Salah tingkah.

"Materi mana yang kamu belum paham." Tian mengulang pertanyaannya.

"I.. ini... tentang peluang sama Phytagoras." ujarku sembari menunjuk beberapa halaman pada diktat.

"Ini?". Jawab Tian balas menunjuk halaman.

Aku hanya mengangguk. "Iya. Tolong kamu jelasin sekal lagi ya? Aku pusin sama penjelasan Bu Wirda kemarin".

"Baiklah." Ia menghela napas panjang. "Aku akan jelaskan, tolong kau dengarkan baik-baik, jangan melamun.''

"Iya."

***

Dan iapun mulai menjelaskan tentang rumus- rumus menyebalkan yang selama ini tak pernah kumengerti. Aku tak tahu apa yang ia jelaskan. Mendadak saja mataku terpaku menatap kelopak yang tersembunyi dibalik kacamata minus itu. Entah kenapa mata kuyu itu menumbuhkan semacam rasa simpati di otakku. Mata itu tampak lemah. Aku bisa membaca galau yang berpendar didalamnya. Mendadak saja otakku hilang kesadaran. Aku hilang konsentrasi. Aku ingin tahu ada apa dibalik mata itu. Aku tahu begitu banyak rahasia yang tersimpan dibalik mata itu. Rahasia tentang Tian. Dan kehidupannya.

"Tian......"

Kataku tiba- tiba. Seketika Tian yang sedari tadi sibuk menjelaskan rumus- rumus Phytagoras itu berbalik kearahku. Alis kanannya terangkat.

"Ada apa?", tanyanya datar.

"Bisakah kita istirahat sebentar? Kurasa aku agak pusing dengan penjelasanmu."

"Kau tak mendengarkan aku sedari tadi."

"Bu.. bukan begitu.... Aku mendengarkan.. tapi......"

"Tapi apa?" Tian menutup buku diktatnya dengan sebal.

"Aku hanya ingin sedikit bertanya padamu."

Aku menelan ludah. Apa yang aku pikirkan. Bagaimana mungkin aku menanyakan tentag kehidupan Tian? Ini gila. Tian akan berpikir bahwa aku gila jika aku menanyakan tentang rahasia dibalik mata minusnya.

"Kau mau tanya apa?". Tian kian beringas menatapku. Tatapannya dipenuhi rasa penasaran yang amat sangat. Aku sudah terjerat. Aku tak mungkin berkelit lagi.

"Bu... bukan apa-apa?"

"Apa?"

"Aku ingin tahu tentang dirimu."

UPs. Bodoh. Aku keceplosan. Aku benar- benar bodoh. Bagaimana bisa aku mengucapkan kata yangs edemikian aneh padanya. Padahal tak seorangpun di sekolah ini kenal dan ingin mengenalnya. Tapi aku. Joe. Cowok populer dis ekolah ini tiba- tiba saja mengucapakan kata- kata kalau ingin mengenalnya . Ini benar- benar tak bisa dinalar. Kurasa aku sudah gila. Schysophrenia. Atau apalah.

"Apa maksudmu dengan 'ingin tahu tentang diriku', jangan macam- macam kau."

Tukas Tian dengan tatapan tajam menusuk jantung. Aku tercekat. Aku tak bisa bernafas. Entah apa yang akan dilakukan Tian. Aku sudah pasrah. Kalau ia akan menamparku. Aku siap. Ini memang salahku.

"Bu.. bukan, aku tak punya maksud apa- apa adamu, aku hanya... hanya.... aku hanya ingin tahu rahasiamu saja.?" Aku gelagapan.

"Rahasia?"

"Tentang matamu yang kuyu dan tentang kau yang selalu diam. Padahal kau pintar, tapi kenapa kau tak suka terlihat seperti yang lainnya?".

Tanpa kusadari kata- kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Tapi setidaknya aku lega. Meskipun nantinya aku akan dibilang lancang atau apa oleh Tian, tapi aku siap dengan segala konsekuensinya.

Dan seperti yang kukira, Tian mulai menampakkan muka nya yang mulai memerah. Aku tahu ia tersinggung. Tapi aku tak bisa berbuat apa- apa. Aku sudah terlanjur mengucapkan kata- kata bodoh itu.

"Memangnya kenapa kalau aku tak ingin nampak seperti yang lainnya? Apa kau keberatan? Apa itu masalah buatmu?".

"Bu... bukan begitu..." Aku celingukan. Tak tahu harus bicara apa.

"Lantas kenapa?"

"A... Aku hanya ingin tahu alasannya saja. Lihatlah dirimu. Kau jenius. Kau juga selalu masuk tiga besar dalam setiap ujian Sekolah.... Tapi kenapa kau selalu menutupi dirimu hingga tak ada seorangpun di sekolah ini yang mngenalmu?". Cerocosku berusaha menghalau Tian yang mulai mendekatiku dengan amarah.

"Kau tak tahu Joe......" mendadak saja Tian berhenti tepat dihadapanku. Matanya berkaca- kaca. Pipinya sembab. Mukanya memerah. "Kau tak tahu Joe......."

Aku yang masih duduk di bangku perpustakaan itu hanya diam menatapnya yang kian kencang menangis. Untung saja semua petugas perpus sudah pulang, jadi tak ada yang mendengar tangisan Tian.

"Maka dari itu aku ingin mengetahuinya Tian..." Aku mendekatinya, memeluk tubuhnya yang kurus dan lemah. Berharap bis asedikit menghapuskan kegalauan di hatinya. "Ceritakan lah saja padaku. Percayalah. Kita teman bukan. Aku pasti akan membantumu sebisaku."

Dan Tian pun kian terisak dalam pelukanku. Aku kian erat merengkuhnya. Dan Tian pun mulai bercerita.

***

"Jadi apa yang kau coba sembunyikan dari kami semua?" kuberanikan diri menatap matanya yang sembab dan beriurai air mata. Kurengkuh bahunya. Mencoba meyakinkan bahwa aku pasti akan membantunya. Ya. Aku sudah berjanji.

Sejenak kulihat Tian melepaskan pelukanku. Disekanya air mata yang masih mengaliri lekukan wajahnya yang halus. Ia tertegun. Seperti diliputi berjuta keraguan untuk mengungkap rahasia besar dalam hidupnya.

"Aku takkan membocorkan pada anak- anak. Percayalah." Kugenggam erat tangan kirinya. Mencoba meyakinkannya sekali lagi. Entah kenapa aku jadi merasa nyaman memegang tangannya. Belum pernah aku merasakan tangan cowok sehalus ini. Aku seperti enggan menjauhkan tanganku dari tangannya. Mungkin aku gila. Mungkin aku Schysofrenia. Tapi aku menikmati setiap inci persentuhan dengannya.

"Kuharap kau tak membenciku setelah kai tahu siapa diriku," ujar Tian seraya memakai kembali kacamatanya.

"Memangnya kenapa aku harus membencimu?"

"Karena kau......"

"Karena apa?"

"Karena aku Gay, Homoseksual."

Seketika aku melepaskan genggaman tanganku di tangannya. Aku shock bukan kepalang mendengar pengakuannya. Tidak. Ini tidak mungkin. Aku mungkin salah dengar.

"Kau bercanda kan?" ujarku setengah tertawa. Tapi Tian malah semakin mempertajam tatapannya padaku. Aku rikuh. Salah tingkah, dan seakan ditelanjangi olehnya.

"Sudah kuduga reaksimu akan begitu."

"What?"

"Aku sudah menduga kalau kau akan seperti itu setelah mendengar pengakuanku. Aku tahu kalau orang- orang sepertiku tak pernah mendapatkan tempat dimata kalian yang menyebut diri kalian 'normal' ."

Kulihat raut mukanya kembali meredup. Ada kegalauan yang kembali merangsek kedalam hatinya. Menggedor- gedor nalurinya dan mencabik- cabik keteguhannya.

"Tapi aku tak pernah punya pilihan, Joe. Orang- orang sepertiku tak pernah diberi kebebasan untuk memilih!"

Tian kian terisak. Aku jadi malu sendiri. Apa yang harus kulakukan. Apakah aku hanya akan menatapnya yang sedang down itu. Apakah aku hanya akan diam. Aku benar- benar tak punya pilihan. Jika aku diam, aku hanya akan jadi lelaki picik yang tak bisa berbuat apa- apa. Tapi jika aku berjalan satu langkah saja, maka aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku. Sebab aku yakin, jika aku luruh dalam pelukannya, aku takkan pernah bisa lagi berkelit darinya sedetikpun.

"Tenanglah, Tian.... jangan kau kira dunia ini terlalau sempit untuk menerima orang- orang sepertimu... kau salah Tian... kau salah.........."

Dan tanpa kusadari aku telah jatuh dan ambruk dalam peluknya.

***

Dan semenjak hari itu, aku tak pernah lagi melihat Tian. Seperti ditelan bumi, ia tiba- tiba saja menghilang. Aku tak pernah berhasil menemuinya sepulang sekolah. Dan ia tak pernah datang setiap kali aku menunggunya di perpustakaan untuk belajar tambahan. Ia seperti menghindariku. Entah kenapa. Tapi kusadari aku merindukannya. Benar- benar merindukannya. Aku rindu pada pancaran mata sayu dibalik kacamata minus yang tebal itu. Dan aku juga rindu pada kulitnya yang halus bak sutera itu.

Mungkin aku sudah gila. Entahlah. Bayangan wajahnya seakan teleh menyelusup pada setiap membran sel otakku. Membuatku tak bisa berkelit. Kucoba untuk bertanya pada teman- temannya, tapi tak seorangpun tahu dimana Tian berada.

***

"Horeeeeeeeeee!!!!!"

Terdengar teriakan bahagia anak- anak yang berkumpul di depan papan hasil Ujian Nasional yang terpajang di halaman sekolah. Ya. Tanpa terasa aku telah melewati Ujian Nasional yang selama ini sangat kutakuti itu. Dan aku masih saja belum menemukannya. Menemukan Tian. Ia masih saja belum mau menampakkan dirinya di hadapanku.

"Joe! Joe! Lihat hasil UN yuk!" Dennys menarik- narik tanganku dengan menggebu. Maka akupun melangkahkan kakiku mengikutinya mendekati papan pengumuman.

"Liat Joe! Liat Joe! Gua lulus! Gua Lulus!!!!!!!! Eh... Liat juga nih... Loe juga lulus... hebat!!!"

Sudah pasti. Aku tak kaget. Aku memang tak heran kalau aku lulus. Semenjak Tian tak menampakkan dirinya, aku sudah bertekat. Aku pasti lulus. Aku akan membuktikan nya pada Tian bahwa aku juga bisa lulus Ujian yang katanya nightmare itu. Dan sekarang aku telah membuktikannya. Aku bahkan masuk lima belas besar. Bayangkan, aku yang dulu selalu jadi pecundang kini masuk lima belas besar.

Dan tiba- tiba saja mataku tertuju pada papan hasil ujian itu. Mataku terpaku pada nama yang terpampang pada urutan teratas hasil Uian itu. Ya. Seperti biasa, nama itu terpampang disana. Septian Augustaf. Ah, mendadak saja aku merindukannya.

***

"Eh, Eh, tau nggak si Tian yang nangkring di posisi teratas Ujian Nasional itu meninggal setelah hasil Ujian keluar lho."

Terdengar suara bisik- bisik dari cewek- cewek gosip yang bergerombol di belakangku.

"Iya! katanya dia ngerjain soal Ujian di ranjang rumah sakit lho. Dia ngotot pengen ikut ujian nasional meskipun penyakit jantungnya sudah amat sangat parah."

"Benar! Dan kabarnya dia menghembuskan nafas terakhirnya sesaat setelah menerima amplop dari sekolah yang isinya hasil ujian."

DEG. Mendadak saja badanku lemas. Mataku berkunang. Jantungku berdegup amat kencang. Benarkah apa yang barusan kudengar. Benarkah bahwa selain ia gay, ia juga menyembunyikan penyakit jantung dariku. Kenapa. Kenapa ia tetap saja berahasia padaku. Padahal aku sudah berjanji u ntuk membantunya.

"Jadi lo yang namanya Joe?"

Seorang cowok berkacamata dengan seragam sekolah rapi berdiri tepat dihadapanku.

"Iya, gue Joe, lo0 siapa?"

"Gue Rey, 3 IPS 1." Gue hanya pengen ngasih ini ke lo."

Cowok itu menyerahkan selembar kertas warna krem yang dilipat kecil padaku. Setengah mengernyit kuraih kertas itu darinya.

"Apa ini?" tanyaku.

"Aku tak tahu, tapi bacalah, kau akan mengerti tentang Tian."

Cowok itu segera beranjak pergi begitu selesai menyerahkan kertas berlipat itu padaku. Sesaat kupandangi kertas krem itu. Kemudian kubuka dan kudapati tulisan rapi Tian di kertas itu.

Joe,

Selama ini aku terus bertanya.

Dan aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri.

Selama ini aku tak pernah mendapatkan jawaban.

Aku memang Jenius, itu katamu.

Dan aku memang tahu jika 1+1= 2.

Tapi aku tak pernah tahu....

Bahwa, Aku+ kamu = apa?

Comments

  • Tragis, meski rada aneh..
  • bener terlalu cepat tau tau udah lulus :D tapi cerita nya bagus
  • Aku + kamu = Kita :D
  • Bagus ceritanya..jadi terharu tiba tiba joe dapat kabar tian meninggal.....tapi aku jadi bertanya tanya...rey itu jahat atau baik??
    Saat tian bilang di atas kalo dia habis di kerjai oleh rey dan kawan2nya....tapi saat kelulusan rey dengan baik hati ngasihin surat tian ke joe, seolah tian itu teman dekatnya rey yang ngerti keadaan tian :3
Sign In or Register to comment.