31 Desember 2011, 23.00
ku putar handle pintu kamar ini, perlahan pintu kubuka. Ku langkahkan kakiku memasuki kamar yang gelap ini. Aku hafal, setelah enam langkah kakiku berhenti, tanganku merayap ke atas, mencari sebuah tali kecil untuk ku tarik, dan dapat, ku tarik pelan tali kecil itu. Seketika seisi ruangan menjadi terang setelah menyalanya lampu.
Semua masih seperti dulu, letaknya tak ada yang berubah. Mamamu betul-betul merawat kamar ini dengan baik. Ku langkahkan kakiku menuju meja belajarmu, semua buku-buku, alat tulis menulis dan barang-barangmu lainnya masih tertata rapi di situ, sebuah foto menarik perhatianku...
=== FLASHBACK ===
Juli 2008
Hari ini begitu melelahkan. Sekali lagi, kami sekeluarga harus menyingkir dari rumah kami yang lama. Entah apa pekerjaan ayah sampai mengharuskannya berpindah tempat tak penah genap setahun. Aku kini sudah duduk di bangku kelas duabelas sma, dan harus melanjutkannya di sma ke tiga sejak sma pertamaku. Pindah-pindah seperti ini tentu berdampak negatif pada kegiatan pendidikanku, aku yang ber-kemampuan akademis seadanya harus berjuang keras untuk beradaptasi pada berbagai tipe dari cara mengajar guru di sekolah-sekolah yang berbeda-beda, belum lagi di tambah penyesuaian diri dengan teman-teman baru di tempat baru. Ini semua mengharuskanku untuk bisa menyesuaikan dalam waktu singkat, dan agaknya di tahun ke tiga ini aku mulai terbiasa. Kota ini menjadi kota ke lima yang kami pindahi sejak aku smp dulu.
***
“lian, ambilin tas gua dong di mobil..” sergah kak igo setengah berteriak.
“hmm...” aku berbalik ke mobil mengambil yang ia suruh tadi.
Namanya Virgo Alexander Rahadi, lebih akrab di panggil igo. Dia kakakku satu-satunya. Berkulit putih, rambut spike, dengan tinggi dan postur yang proporsional. Ia sangat hobby melukis dan fotografi. Tahun ini di lulus sma, dan memutuskan akan melanjutkan kuliah di kota ini saja. Papa sudah membicarakannya dengan saudara papa di sini untuk menitipkan kak igo tinggal di sini selama ia kuliah. Kak igo adalah orang yang tegas, dan lumayan memiliki tempramen yang tinggi, di samping itu dia juga adalah tempat curhat andalanku saat ingin mengutarakan uneg-uneg.
Aku sendiri. Namaku Fillian Marcell Rahadi, lebih akrab di panggil lian. Fisikku hampir mirip kak igo, hanya berbeda pada gaya rambutku yang emo dan postur tubuhku yang sedikit lebih kecil dari kak igo. Hobbyku musik dan sastra. Aku sangat suka membaca, tapi yang ringan-ringan saja, seperti cerpen, cerber dan novel. Aku tipe anak yang pendiam, karena menurutku bicara itu cukup hanya di saat perlu saja. Tak perlu berkata-kata jika memang tak penting untuk di katakan.
+++
“lepas dulu di situ bawaannya sayang, makan dulu, ini ama udah angetin makanan bekal kita tadi, ayo fillian, Virgo, cepat nanti makanan keburu dingin” ujar mama.
“iya ma..” sahutku dan kak igo bersamaan.
Nama lengkap ibuku Lusiana Putri Rahmawati, akrab di panggil Lusi. Usianya kini 41 tahun namun wajahnya seringkali berbohong, banyak orang mengira ia masih 30 tahun, mungkin karena raut wajahnya yang awet muda. Mama berkulit langsat dengan rambut sepunggung yang hitam tebal dan bergelombang, tanpa bersolek tebal pun mamaku selalu terlihat cantik. Mama keturunan asli bugis, bertemu dengan papa di makasar 20 tahun yang lalu, papa menikahinya lalu kini mama ikut dengan petualangan papa menjelajah pulau-pulau dalam pekerjaannya. Mama adalah tipe orang yang penyayang dan sabar, di samping itu dia juga cukup tegas dalam mendidik kami anak-anaknya. Kharismanya membuat kami bisa menuruti perintah dan aturan aturan yang ia buat tanpa ia harus marah-marah dahulu pada kami.
“fillian, besok kamu mama anter mendaftar ke sekolahmu yang baru, bereskan saja semua perlengkapanmu untuk besok hari ini supaya besok nggak keburu buat siap-siap” ujar mama yang tengah mencuci piring-piring bekas makan kami tadi.
“iya ma” jawabku singkat, ku letakan beberapa gelas yang kami pakai tadi bergabung dengan yang sedang mama cuci.
Selesai mencuci piring aku menuju kamarku. Beberapa minggu yang lalu kami masih tnggal di hotel, kami sempat kemari untuk mensurvei rumah baru yang akan kami tinggali ini, ternyata rumah ini punya satu kamar yang letaknya paling atas, ruangan yang berbatasan langsung dengan atap rumah, di situ ada satu jendela kecil yang jika di buka akan langsung bisa menihat pemandangan langit dan danau buatan yang ada di samping rumah kami. kompleks perumahan ini berada di tepi danau buatan yang cukup luas, cukup bagus untuk di jadikan tempat bersantai. Aku memilih kamar ini untuk ku tempati. Awalnya papa dan mama agak ragu, namun akhirnya mengizinkanku juga.Kamar ini masih berisi satu lemari baju berukuran sedang, sebuah ranjang single bed, sebuah meja belajar, dan sebuah meja untuk tv dan beberapa alat elektronik lainnya. Aku merasa betah di kamar ini karena sirkulasinya yang sejuk dan tempatnya yang tenang.
Ku rebahkan tubuh letihku di ranjang, hari ini cukup melelahkan karena kegiatan pindahan ini. Tak butuh waktu lama buatku untuk terlelap.
***
Entah berapa sekarang, saat terbangun kamar ini sudah terlihat temaram. Letak kasur yang berada tepat di samping jendela membuatku dapat dengan jelas melihat matahari terbenam dari sini, pandanganku pun turun kebawah melihat biasan cahaya langit senja di permukaan air danau. Begitu indah.
Cklek.. bunyi gagang jendela yang kubuka. Aku melangkah keluar melewatinya. Tepat di samping ‘kamar atap’ ku ini ada semacam balkon kecil yang di batasi pagar besi setinggi dada, salah satu alasan utama yang semakin menguatkanku untuk memilih tempat ini sebagai kamarku. Dari sini dapat terlihat hampir seluruh permukaan danau yang indah. Disamping kiri kanan rumah kami juga terdapat deretan beberapa rumah yang memanjang hingga beberapa blok. Beberapa rumah bertipe sama dengan rumah kami juga memiliki balkon seperti ini dengan posisi yang juga menghadap danau.
+++
Pandanganku tertuju pada sosok pemuda di tepi danau, ku taksir seumuranku. Ia tengah asyik duduk santai di atas sebuah batang kayu besar yang melintang di pinggir danau. Dari jarak segini aku dapat melihat jelas wajahnya yang tersenyum memandangi danau. Entahlah.. tapi menurutku dia sangat tampan, wajah putih mulus yang agak sedikit tirus, berkacamata, rambutnya rapi, disisir menyamping dengan bagian samping yang agak tipis, alis proporsional dengan kumis tipis yang memahkotai bibir indahnya. Ah.. entah aku punya bakat biseks atau apa.. tapi untukku pemuda ini sangat menarik. Pikiranku langsung bekerja, dia pasti anak perumahan ini juga, aku ingin kenal lebih dekat dengannya.
Segera ku masuk kembali ke kamar, lalu turun kebawah dan keluar lewat pintu samping yang langsung menuju arah danau. Mataku menjelajah di sudut-sudut danau itu. Nah.. itu dia..
Ku langkahkan kaki perlahan mendekatinya, sepertinya ia tak menyadari kehadiranku, terutama dengan earphone yang terpasang di kedua lubang telinganya. Aku jadi bingung bagaimana harus menyapanya.
Sekitar sepuluh menit aku hanya diam tepat di belakangnya. Terlihat ia menutup sebuah buku yang sejak tadi di tulisinya, sejurus dengan melepaskan earphone dari telinganya. Ia lalu berdiri dari batang kayu itu, berbalik dan langsung bertatap muka denganku. Ia tersentak kaget melihatku, bagiku agak berlebihan karena ia sampai mundur beberapa langkah karena ketakutan.
“wow.. hei tenang bro.. aku.. aku nggak bakal ngapa-ngapain kok, aku Cuma pengen kenalan sama kamu, aku baru disini” aku juga jadi kalut melihat reaksinya, hingga langsung saja mengutarakan maksud, malunya.
“...” ia diam, menunduk tak berani menatapku sembari memeluk erat buku dan sebuah ipod yang ia pakai dari tadi, aku jadi bingung, masa melihatku sampai gemetaran begitu.
”kkamu nggak apa-apa ?” tanyaku agak panik.
Ia tak menjawab, malah berlari meninggalkanku, ku lihat ia memasuki halaman belakang sebuah rumah yang tepat berada di samping rumahku. Ia berlari menuju seorang wanita paruh baya yang tengah berdiri tepat di samping pintu belakang rumah mereka, terlihat sebelumnya sedang sibuk menyiram tanaman. Ia memeluk perempuan itu seraya membenamkan wajahnya di pinggang si wanita. Itu pasti ibunya. Perempuan itu terlihat menanyai anaknya dengan berbagai pertanyaan yang tak kunjung di jawab anaknya. Tak lama kemudian anak itu masuk ke dalam rumah.
Dengan agak kecewa aku melangkah kembali ke rumah. Saat membuka pagar halaman belakang rumah kami aku sempat bertemu mata dengan wanita paruh baya tadi. Ia tersenyum sambil mengangguk ramah padaku. Aku mengangguk dengan ekspresi serupa, kemudian masuk ke rumah.
***
Malamnya aku sampai tak bisa tidur karena penasaran dengan pemuda tadi. Saat-saat kami bertemu muka tadi terus terlintas di pikiranku. Wajahnya begitu polos, lugu, bagai tak tersentuh pergaulan. Bibirnya yang merah merekah terlihat sangat indah bagiku. Matanya begitu teduh, menghanyutkan, namun sepertinya tersimpan akar pahit di baliknya. Ia terlihat begitu rapuh. Sikapnya yang aneh tadi semakin menambah rasa penasaranku, aku ingin tahu lebih banyak dengannya. Otakku kini bekerja memikirkan bagaimana caranya bisa bertemu dengannya, bisa lebih dekat dengannya. Ah.. batinku benar-benar tak tenang malam ini. Wajahnya terus mengusik malamku hingga aku terlelap.
***
“fillian cepat nak, hampir telat kita ini !” seru mama dari bawah.
“iya ma,sebentar lagi !”
Aku bangun kesiangan hari ini, tentulah karena tidurku yang tak nyenyak tadi malam. Sekarang jam 9.30 pagi dan kami harus sudah tiba ke sekolah pukul 10 nanti. Selesai menyiapkan semuanya aku turun ke bawah bergabung dangan mama dan kak igo di meja makan.
“lama banget sih ! makanya jangan terlalu malam kalau tidur” ujar mama kesal.
“iya ma, maaf. Papa udah berangkat ?”
“udah tadi jam enam pagi, mau ambil kiriman paket di pelabuhan” sahut mama seraya menyeruput teh hijaunya.
“huh.. bangun telat pasti telponan semalaman sama pacar tu mah..” timbrung kak igo, aku hanya mengeryit sini padanya, satu lagi timbrungan yang tak perlu di tanggapi. Mama hanya menggeleng kepala melihat kami berdua.
+++
9.55 , kami sudah berada di sekolah, bersama mama aku memasuki ruang kepala sekolah. Seorang wanita seumuran mama tengah duduk di kursi menghadap meja kerjanya. Rambutnya di sasak lumayan tinggi, wajahnya di make-up minimalis, tetap terlihat anggun walau menggunakan kacamata.
“eh bu lusi, silahkan bu..” sapa kepala sekolah yang sepertinya sudah mengenal mama.
“hmm.. apa kabar bu mariana ? lama kita tak bertemu”
“puji tuhan baik bu, ya ibu tahu lah bagaimana keluarga kami, nggak menentu hidupnya” sahut mama dengan ramah.
“ah ibu bisa saja, ini ? anak ibu yah ?” jawabnya sembari melirik padaku, ku balas tersenyum.
“iya bu, ini fillian anak saya, di manado dia akan saya sekolahkan di sini, mohon bantuannya yah bu..”
“oh begitu yah, baiklah....................................”
Sampai jam setengah sebelas mama dan ibu kepala sekolah selesai berunding. Setelah mengurus administrasi dan pendaftaran aku dan mama pulang ke rumah. Rencananya senin depan aku sudah bisa masuk sekolah. Hmm.. saatnya menyesuaikan diri kembali.
***
Hari ini kami mengadakan pesta perkenalan di halaman belakng rumah, tujuan mama adalah untuk mengakrabkan diri dengan para tetangga baru, maklum kami baru di sini. Sejak tadi siang kami sibuk mendatangi rumah-rumah tetangga kami di kompleks sini untuk mengundang mereka datang ke rumah. Aku, kak virgo dan papa menyebar ke seluruh kompleks untuk mengundang mereka datang. Tadi aku sempat kesal karena kak virgo lah yang mengundang keluarga pemuda yang di sebelah rumah kami, aku sebenarnya ingin aku yange mengundang mereka. Tapi tak apalah, toh nanti malam mereka sekeluarga akan datang.
+++
Jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang , para tamu mulai berdatangan. Tak sulit bagi mama untuk mengakrabkan diri dengan para tetangga karena sifat dasarnya yang memang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Tetangga sekitar sini juga tak menunjukan kekakuan yang berarti dalam menerima keberadaan kami.
Jarum pendek jamku mulai mendekati angka delapan namun yang ku tunggu belum juga datang. Aku semakin gelisah menunggunya. Dengan resah aku melayani para tamu yang semakin ramai saja. Suasana semakin terasa hangat dengan keakraban yang terjalin dalam pesta, banyak yang berkenalan dengan seluruh anggota keluarga kami. beberapa keluarga membawa anak-anak mereka, beberapa agak menutup diri tapi beberapa juga cukup cepat akrab denganku dan kak igo. Bahkan terlihat beberapa anak perempuan berganjen ria pada kak igo dan aku tentunya. Semakin jengah aku dengan situasi ini. Benarkah dia tak datang malam ini ?
+++
Saat jarum jam hampir menyentuh angka delapan kegelisahanku terjawab. Wanita paruh baya yang kemarin, dari yang ku dengar dari mama namanya Rosita Setyawan datang bersama suaminya Richard Dharma Aji mereka hanya datang berdua. Tapi, yang aku tunggu dari tadi mana ? ku lihat-lihat lagi di belakang mereka, tak ada lagi yang mengekor.
“eh, pak richard, bu rosi, nak dion ? silahkan masuk.. ayo jangan sungkan-sungkan..” sambut mama dengan ramah.
“iya bu, maaf yah kami terlambat, soalnya habis mengantar julio tadi ke rumah sakit”
“oh, wah julio sakit ya bu ? jadi nggak bisa datang dong ?” sahut mama prihatin, aku langsung lemas mendengarnya, dia takkan datang malam ini.
“iya bu lusi maaf yah.. tadi kami sempat panik dia pingsan di kamar mandi, jadi langsung kami bawa ke rumah sakit” ujar bu rosi agak tertegun.
“tapi sekarang sudah baikan kan bu ?”
“iya, sekarang sudah mendingan, ada pembantu kami si lastri yang jagain di rumah”
“oh, yasudah kalau begitu, silahkan bu, pak..” mama mengiring mereka masuk ke dalam bergabung dengan para tamu lainnya.
Dengan gontai aku mengikuti mereka dari belakang, pupus sudah asaku menemui julio malam ini.
+++
Sekali lagi aku tak bisa tidur memikirkannya, ada rasa penasaran yang kini bertambah dengan khawatir mendengar kalau ia sedang sakit hari ini. Ah.. kenapa aku ini, baru melihatnya beberapa kali sudah tak bisa melepaskannya dari pikiranku. Entah apa yang ia miliki sampai aku seperti ini.
***
Seminggu berlalu, hari ini hari senin, hari pertamaku masuk sekolah. Ku persiapkan segala sesuatu untuk hari ini. Jam setengah tujuh pagi aku dan mama berangkat ke sekolah, harus datang lebih awal karena masih ada beberapa yang harus di urus.
Sekitar jam delapan semua sudah siap, kata bu mariana aku di tempatkan di kelas XII IPA 1. berdua aku dan bu mariana berjalan menuju kelas yang di maksud, sementara mama kembali ke rumah. Kelasnya di lantai tiga. Dari sini dapat terlihat dengan jelas, bentuk utuh sekolah ini yang letter L, kami terus berjalan menyusuri koridor dan berhenti di samping sebuah ruangan yang terdapat papan bertuliskan XII IPA 1 di samping ventilasi pintu.
Bu mariana mengisyaratkanku untuk masuk. Keadaan kelas langsung gaduh begitu aku masuk, bu mariana bercakap-cakap sebentar dengan guru yang tengah mengajar dalam kelas. Sementara itu aku melirik sekeliling, entah Cuma perasaanku atau memang kelas ini sangat anti dengan anak baru. Tak lam kemudian bu mariana keluar ruangan, bapak guru yang tadi kemudian mengambil alih.
“oke anak-anak, tenang dulu.. hari ini kelas kita ketambahan satu murid baru, namanya Fillian, dia pindahan dari Bandung, silahkan perkenalkan diri kamu nak” ujar pak guru.
“baik pak, ehm.. selamat pagi semua, perkenalkan nama saya Fillian Marcell Rahadi,panggil saja lian, umur 17 tahun, saya pindahan dari sma negeri 4 bandung, salam kenal..” ujarku seramah mungkin.
“baiklah lian, silahkan duduk, satu-satunya tempat kosong di sana, di samping Julio” ujar pak guru seraya menunjuk satu-satunya tempat yang masih kosong di kelas itu, kolom ke tiga dari deretan meja ke empat dari depan.
Aku tersentak kaget menyadari kalimat pak guru tadi, Julio ? apa dia...
Mataku terbelalak melihat siapa murid yang di maksud pak guru tadi. Ternyata benar dia, pemuda yang sudah hampir sebulan ini susah hilang dari benakku, tak ku sangak kami satu sekolah, bahkan sekelas pula, seperti skenario saja semuanya.
“lian ? kamu belum mau duduk ?” ujar pak guru membuyarkanku.
“oh.. i..iya pak..” dengan kalut aku melangkah menuju bangku kosong tersebut, julio yang sepertinya sudah menyaadarinya juga jadi salah tingkah, sepertinya ia juga tak menyangka kalau aku akan satu sekolah dengannya.
“boleh aku duduk di sini ?” tanyaku seramah mungkin, ia tak menjawab, hanya menyingkirikan tasnya yang di letakkan di kursiku.
Jam pelajaran pun berlanjut, aku lewati dengan hati yang begitu senang. Tak ku sangka akan seperti ini. Sepertinya makin mulus saja jalanku untuk lebih dekat dengannya. Ternyata jam pertama ini adalah pelajaran seni, seni musik. Aku sempat panik karena melihat satu-persatu murid murid maju ke depan untuk bernyanyi, dari yang suaranya bagus sampai yang paling tak karuan semua maju dengan pd-nya. Aku paling tak suka yang seperti ini.
“Julio Dharma Aji.. silahkan” aku tersentak mendengar nama itu di panggil, dengan tenang Julio maju ke depan, setelah sebelumnya mengeluarkan gitar dari penyarungnya yang ia letakkan di samping bangkunya, ia maju ke depan lalu duduk di kursi yang sudah di sediakan.
“baik lio, langsung saja..”
“baik pak” kata pertama yang aku dengar darinya.
Ia mulai beraksi, memulai lagu yang akan ia nyanyikan dengan petikan-petikan lincah yang mendayu dari gitarnya. Seisi kelas bagai terhipnotos dengan dentingan-dentingan itu. Dan ia mulai bernyanyi.....
###
Terlarut aku, dalam kesendirian...
saat aku menyadari, tiada lagi dirimu kini...
sampai kapankah, aku mampu bertahan...
tertatih aku jalani, semua kisah hidupku ini...
Tak akan terganti, setiap kenangan yang telah terukir...
namun terendap indah, dan melekat di hati...
akankah berakhir semua rasa yang telah tercipta...
di dalam benakku dan di dalam asaku...
+++
Singkat memang, hanya dengan satu reffrain ia mengakhiri lagu itu, namun ia sukses memecah sorakan dan tepuk tangan dari seluruh isi kelas. Suara indah bersanding dengan skill gitar yang hampir sempurna membuat penampiannya semakin memukau. Tak ku sangka di balik sikapnya yang begitu pendiam tersimpan bakat luar biasa seperti ini. Aku semakin kagum padanya.
“bagus sekali julio, kita beri tepuk tangan sekali lagi untuknya” ujar pak guru yang langsung di sambut dengan senyuman dan tepukan tangan lagi dari para siswa, ia kemudian kembali ke tempat duduknya.
“suara kamu bagus banget” pujiku yang hanya di balas dengan senyuman kecil dari wajahnya, sesaat kemudian ia berbalik seakan tersipu.
Ah.. satu senyuman kecil nan singkat itu, mampu membuatku melayang. Aku senang, dia sepertinya sudah membuka jalan untukku bisa lebih dekat lagi dengannya.
Pelajaran kemudian di lanjutkan...
“Fillian Marcell Rahadi ?” satu lagi nama sebutan pak guru yang membuatku tersentak, aku ? apa tak ada pengecualian untuk anak baru ? sialnya. Tapi tak ada celah lagi, aku harus maju. Ku lirik ke sampingku, lio tersenyum menyemangatiku, tak ada pilihan lain, aku harus maju.
“karena kamu masih baru, bapak memberikan kesempatan urutan terakhir untukmu agar bisa menyesuaikan, sekarang kamu sudah siap kan ?” ujar pak guru sambil tersenyum.
“i..iya pak..” jawabku singkat, bahkan lagu yang ingin kunyanyikan belum ku tentukan, karena keadaan yang mendesak, pilihanku jatuh pada...
###
Telah lama sendiri, dalam langkah sepi...
tak pernah ku duga, bahwa akhirnya...
tiada dirimu, disisiku...
Meski waktu datang, dan berlalu sampai kau tiada bertahan...
semua takkan mampu mengubahku, hanyalah kau yang ada di relungku...
hanyalah dirimu, mampu membuatku jatuh dan mencinta...
kau bukan hanya sekedar indah, kau tak akan terganti...
Satu raffrain saja dan aku berhenti, seisi kelas terdiam. Aku bingung, sejelek itukah suaraku, aku melirik pak guru, dia hanya tersenyum padaku. Sesaat kemudian terdengar satu tepukan tangan, dua, tiga, empat, hingga akhirnya seisi kelas bertepuk tangan atas penampilanku. Aku tersenyum puas. Syukurlah, ternyata tak seburuk dugaanku.
“bagus sekali lian, kamu ternyata juga sangat berbakat” puji pak guru.
“makasih pak..” jawabku seraya melangkah kembali ke tempat dudukku.
“ss..suara kamu juga bagus..” suara di sampingku mengagetkanku, lio menatapku dengan senyum termanisnya.
“hah.. hehe.. makasih ya..” jawabku yang langsung mendapat anggukan darinya.
Comments
Hari berganti hari, tak terasa sudah sebulan aku berada di kota ini, bersekolah di sini. Pertemananku dengan lio pun semakin erat saja. Semakin ke sini aku semakin tahu karakter sebenarnya yang sebenarnya. Manja dan cenderung pendiam, dua kata sederhana yang bisa menggambarkannya. Aku senang dia sudah tak begitu tertutup lagi padaku, walau sifat pemalunya itu masih sedikit menghalanginya.
Siang ini aku ingin mengajak lio ke pantai, beberapa hari yang lalu kak igo mengantarku ke sana. Tempatnya bagus, pantai berpasir putih yang bersih dengan di apit tebing-tebing batu yang tinggi. Di sepanjang bibir pantai banyak terdapat batu-batu besar yang terlihat kokoh menantang ombak. Pasti menyenangkan bisa bermain dengan lio di sana.
+++
“yo, kita ke pantai yuk.. aku baru liat pantai di sini sekali sama kak igo minggu lalu, aku pengen liat lagi.. kamu temani aku ya ?” kataku penuh harap.
“...” ia terlihat berpikir sejenak, lalu sesaat kemudian menganggukan kepala.
“oke, jam empat nanti aku jemput yah...”
“...” sekali lagi pertanyaanku hanya di jawab dengan anggukan, sekilas untuk orang awam ia terkesan seperti orang bisu, tak akan berkata-kata bila ia rasa tak perlu.
Ku pikir dulu akulah orang paling pendiam di dunia, aku hanya akan bicara atau menimbrung obrolan-obrolan yang ku rasa perlu. Tapi ternyata ada yang lebih dariku. Namun dari kesemuanya itu makin membuatku lebih enjoy berteman dengannya. Aku mulai ragu dengan perasaanku ini, entah terlalu cepat mengatakannya sekarang, tapi ku rasa aku mulai menyayanginya, menyayanginya lebih dari seorang teman atau sahabat. Aku jarang merasaan perasaan seperti ini pada orang lain, lebih-lebih julio juga lelaki sepertiku. Sekeras apapun aku mengusir perasaan ini, semakin kuat bahkan jauh lebih kuat lagi rasa itu kian membelengguku.
Aku kalut kini, aku sangat ingin mengungkapkannya, tapi di sisi lain aku takut membayang yang kemungkinan terburuk jika aku mengakui itu. Mendekatinya yang baru aku kenal saja sudah sangat susah, bagaimana nantinya jika ia tahu perasaanku ini, bagaimana jika ia menghindariku nanti. Dari gelagatnya sangat sulit menyimpulkan apa ia juga memiliki rasa yang sama denganku. Rasanya terlalu jauh aku berkhayal seperti itu. Aku kalut, bingung harus bagaimana. Aku ingin mengungkapkannya, tapi bingung harus mulai dari mana.
+++
Sore menjelang, aku sudah siap kini. Kaos v-neck warna hijau dengan bis hitam menyilang di dadaku, celana jeans tigaperempat dan sandal bata. Semua terkesan simple dan casual. Ku tatap sejenak penampilanku di cermin. Sudah cukuplah. Entahlah tapi aku selalu ingin terlihat sempurna bila bersama lio.
+++
“lionya udah siap tan ?” tanyaku pada tante rosita yang sedang sibuk di dapur.
“oh nak lian, langsung aja ke kamarnya nak, tadi ibu liat dia udah siap-siap” ujarnya sambil tersenyum.
“yaudah lian ke atas dulu ya tan” tante rosita hanya menajwab dengan anggukan dan senyuman.
Aku bergegas ke kamar lio. Bentuk rumah ini sama persis dengan rumah kami karena memang setipe, yang membedakannya hanya cat dalam dan interior rumah yang di desain berbeda sesuai keinginan masing-masing. Satu lagi kesamaan, kamar lio juga berada di ruangan loteng seperti kamarku, entah kebetulan atau apa. Tapi kata lio dia sudah sejak smp menempati kamarnya itu.
“yo ? ini aku lian.. kamu udah selesai ?”
“eh.. masuk aja yan..” jawabnya singkat.
Ku putar perlahan handle pintu, perlahan ku buka dan menguak sedikit isi di dalamnya. Mataku tertegun memandang sosok lio yang tengah menata rambutnya. Sudah sering memang aku melihatnya berpakaian selain seragam, tapi baru kali ini aku melihatnya sedikit berdandan. Celana tigaperempat warna krem yang ketat, dan kaos tipis berlengan panjang dengan bagian dada yang sedikit terbuka, dia juga sepertinya baru potong rambut dengan sisi kiri-kanan kepalanya yang tipis dan bagian tengah yang panjang disisir menyamping membuat ia semakin terkesan maskulin, dan satu kesan yang baru kurasakan ketka melihatnya saat itu adalah, dia cukup seksi juga ternyata...
“hei, yan, kenapa liatin lio seperti itu ?” tanyanya halus membuyarkanku.
“hah ? eh.. nggak, aku Cuma... kamu... kamu ganteng banget sore ini” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Sejenak kamar ini menjadi hening, otak kami kembali mencerna kata-kata yang baru ku ucapkan tadi dan sukses membuat kami salah tingkah.
“eh, hehe, makasih, kamu juga ganteng..” jawabnya tak kalah kalut.
“hmm.. ya sudah kita berangkat sekarang ?”
“i..iya, tapi kali ini lio pengen nyetir , boleh yah ?”
“emh ya sudah”
+++
Kami pun berangkat ke pantai, naik motorku tapi lio meminta agar dia saja yang mengantar. Dalam perjalanan jantungku rasanya berdetak secepat lio melaujukan motorku, tak bisa ku perkatakan bagaimana senangnya hatiku bisa berada sedekat ini dengan lio, lelaki yang telah berhasil menaklukan hatiku. Rasanya aku ingin waktu bergulir selabat mungkin agar aku bisa terus dalam posisi ini dengannya, memeluknya dari belakang dengan menyandarkan kepalaku di bahu kekarnya. Kalaupun ini dosa, pastilah ini dosa terindah yang pernah kulakukan.
“lian dingin yah ?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“hah oh.. eh.. nggak juga kok”
“oh, kok meluknya erat banget..” sahutnya sukses membuatku tersipu.
“hah, oh.. itu, aku.. aku..”
“nggak apa-apa lian, peluk aja lagi, biar nggak kedinginan” ujarnya halus sambil terus menatap ke depan.
Dengan agak ragu-ragu kembali ku eratkan pelukanku, lalu perlahan me nyandarkan kembali daguku di pundaknya. Jantungku kembali berpacu dalam keheningan, dari spion motor dapat kulihat gurat senyum dari wajahnya. Sampai saat itu, hatiku masih ragu, senyumannya itu belum bisa menyimpulkan apapun. Aku tak berani berspekulasi bagaimana perasaannya padaku. Aku terlalu takut membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi setelahnya.
+++
Waktu terus berlalu, hampir dua jam kami bermain-main di pantai. Berkejar-kejaran, membuat istana pasir, ikut bergabung dengan anak-anak kecil di pantai bermain sepak bola, sempat juga tadi kami makan jagung bakar yang di jual pedagang asongan di situ.
Kini kami berdua duduk santai di atas batu karang yang berukuran cukup besar, di sisi kiri kanan kami berdiri megah tebing-tebing batu yang curam, seolah menantang ombak untuk menerjangnya. Aku pandangi raut muka julio sore itu, ia tersenyum sumringah memandangi langit senja sore itu. Tak pernah kulihat ia sebahagia ini sebelumnya, ingin sekali tanganku merangkul pundaknya. Berbagi kehangatan dengannya di sore yang semakin dingin ini, namun hatiku kecilku masih melarangku, aku belum berani melakukannya. Sejenak ku lihat ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Buku itu, rasanya ia tak pernah lepas dari buku kecil itu, apa itu sebuah diary ? tapi apa harus ia menulis satiap detil kejadian yang ia alami sepanjang hari ? di tulis di akhir hari sebelum tidur kan juga bisa ?
“kamu nulis apaan sih ?” tanyaku penasaran.
“hmm.. ada deh, rahasia.. Cuma lio yang boleh tau hehe”
“huh, pelit banget sih..” rajukku.
“hehe.. tapi suatu saat lian bakal tau kok”
“maksud kamu ?...”
+++
Belum sempat lio menjawab, kami sudah di hampiri dua orang anak bertubuh dekil. Dari posturnya sepertinya mereka anak smp, satu membawa sebuah gitar usang, satunya lagi memegang krecekan dari tutup botol dan sebuah kantong palstik berisi uang receh. Pengamen. Mereka menyayikan beberapa lagu karya penyanyi senior iwan fals dan band slank. Ku pandangi lio yang terus tersenyum memandangi anak-anak itu bernyayi. Aku pun tertegun melihat mereka, di usia belia yang harusnya mereka gunakan untuk sekolah dan bermain dengan teman-teman, harus mereka habiskan dengan mencari uang, membantu orang tua mereka untuk menafkahi hidup. Berbekal sebuah gitar usang dan suara sumbang mereka, receh demi receh mereka kais dari insan-insan yang sudi memberi, terkadang nasib sial membawa mereka untuk mendapat ejekan dan hujatan dari berbegai pihak, di amankan oleh petugas polisi karena menggangu kenyamanan masyarakat.
“yeee...” lio bertepuk tangan setelah anak-anak itu selesai bernyanyi. Sejurus kemudian ia mengeluarkan dompet mengambil selembar uang seratus ribuan lalu memasukannya ke kantong plastik si anak.
“wah kak, terlalu banyak kak, ini terlalu banyak..” tolak salah satu dari mereka dengan sopan.
“udah ambil aja, anggap aja ini rejeki kalian, sebagian kalian kasih ke orang tua sebagian lagi kalian simpan buat keperluan mendesak” ujar lio yang semakin menambah tumpukan kekagumanku padanya.
“tr..trima kasih kak, terima kasih banyak” sahut si anak terharu.
Saat itu mataku terbelalak melihat sesuatu yang terkuak di balik topi anak yang bermain gitar itu. Rambut panjang. Ternyata ia seorang perempuan, pantas saja begitu mudah terenyuh oleh perlakuan lio tadi.
“kakak boleh pinjam gitarnya ?” tanya lio halus.
“hah ? oh iya kak, ini” jarnya seraya menyerahkan gitar usangnya itu ke tangan lio. Lio memetiknya pelan, lalu perlahan memutar-mutar holder senarnya, ia menyetem ulang gitar itu, setelah di rasa cukup ia mlai memaikannya.
Seperti biasa lio selalu sukses membuat sekitarnya terdiam saat ia mendentingkan senar-senar gitar itu dengan melodi yang menghanyutkan.
###
seandainya bisa terulang kembali saat pertama bertemu antara kau dan aku...
kau sentuh jemari tanganku terbuai indahnya kata cinta terucap olehmu...
manis, manis yang kurasa, ku tak rela cintaku berakhir...
ku minta kau katakan cinta saat ku terjaga adakah kau rasa...
tak seperti diriku kini cintaku tlah hilang...
sayangnya kini aku tak mengerti begitu berat rasa ingin memelukmu...
tapi ku hanya bisa mengingatmu karena kau tak pernah tahu tentang rasa ini...
hilang, hilang yang ku rasa, cintaku kini telah berakhir...
dirimu yang slalu temani hayalku...
tatap mataku rasakan tangisku, agar kau tau...
karena ku biasa denganmu dahulu, di setiap waktu...
ku minta kau katakan cinta saat ku terjaga adakah kau rasa...
tak seperti diriku kini cintaku tlah hilang...
+++
Sekali lagi aku dibuatnya terpanah menyaksikan penampilannya, lantunan lagu itu terdengar begitu sedih dinyanyikan olehnya, entahlah, tapi aku merasa lagu itu dinyanyikan untukku. Batinku semakin kalut saat itu.
“nih gitarnya, makasih yah..”
“iya kak, kami juga terima kasih banyak yah..”
“iya sama-sama..”
“kami permisi dulu ya kak” lio hanya tersenyum sembari melambaikan tangan pada mereka.
+++
“kamu kok baik banget sama mereka ?” tanyaku pelan.
“kok lian ngomong gitu ? kan mereka emang pantes di bantu yo.. kita harus bersyukur, masih di beri kesempatan oleh tuhan untuk hidup enak, menikmati hari tanpa harus banting tulang seperti mereka, lian tau, lio selalu kagum dengan sosok-sosok seperti mereka, bagi lio, mereka adalah orang-orang yang paling mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Jadi, selagi masih di beri tuhan kesempatan untuk membantu, bantulah mereka sebisa kita” ujarnya panjang lebar tanpa menatapku.
Aku tertegun mendengar ujaran panjangnya itu. Aku tersadar kalau hingga kini aku hidup hanya mengandalkan keringat orang tua, tak pernah aku memikirkan betapa susahnya mama dan papa bekerja untuk menghidupi keluarga kami. aku semakin kagum pada sosok lio. Di balik sikapnya yang pemalu dan cenderung pasif, tersimpan hati yang sungguh mulia. Pupus sudah keberanian yang sudah ku pupuk sejak tadi untuk mengutarakan perasaanku padanya. Rasanya sungguh tak tepat menyatakannya saat ini.
“pulang yuk yan.. udah gelap nih..”
“hmm, yaudah yuk..”
“tapi kali ini lian yang nyetir yah, lio capek” ujarnya dengan manja, semakin membuatku tergila-gila padanya.
“oke deh sip..” sahutku sembari mengacak pelan rambutnya.
+++
Ah, apa ada hariku yang lebih bahagia dari ini. Menghabiskan sore bersama sosok yang sangat ku sayangi, mengenal sisi lain dari dirinya yang semakin membuatku kagum padanya. Kini dia merengkuhku erat tubuhku, menyandarkan kepalanya di bahu kananku, sepertinya ia tertidur. Dapat kulihat guratan senyum dari wajahnya. Bahkan saat tertidur pun ia begitu menawan. Selambat mungkin aku jalankan motor ini agar bisa berlama-lama dalam posisi ini. Namun waktu tetaplah waktu, tetap akan bergulir selambat apapun itu. Perlahan namun pasti kompleks perumahan kami terlihat.
Jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Ku hentikan motor tepat di depan rumah lio.
“yo.. udah nyampe yo..” ujarku pelan, perlahan ia menggeliat terbangun.
“eh.. aduh, maaf ya, lio ketiduran..”
“udah nggak apa-apa..”
“makasih ya yan, udah mau temanin lio jalan-jalan”
“i..iya”
“lio masuk yah”
“iya”
Mataku terus mengikutinya hingga ia menutup pintu rumah, dengan senyum tergurat di wajahku aku melajukan motor ke halaman rumah. Setelah ku parkir motor di garasi aku memasuki rumah. Terlihat mama sedang sibuk memasak di dapur, dan kak igo yang sedang asyik mengedit-edit foto dari laptopnya.
“malam ma, kak.. papa belum pulang ma ?”
“belum nak, mungkin sebentar lagi, mandi dulu kami sana, abis main air di pantai kan”
“iya ma, lian mandi dulu yah...” entah apa yang terjadi padaku, aku masuk ke kamar dengan bersiul-siul, aku juga menanyakan keadaan rumah tadi ke mama dan kak igo, sesuatu yang dulu sangat mustahil ku lakukan.
“adikmu tuh kenapa sih go ?”
“biasalah ma, ababil jatuh cinta, hahaha..”
“heh ! gua dengar kata-kata lu tau !” teriakku sembari menyeruakan kepala dari balik pintu.
Mama dan kak igo sontak tertawa melihat tingkahku. Ah.. sial, lio betul-betul mengubahku. Sesaat kemudian ku lihat kak igo memandangiku dengan tatapan lain. seperti menelusup ke dalam benakku, mencari tau apa yang ada dalam pikiranku. Aku paling hafal dengan kakakku yang satu ini, aku jadi takut membayangkan apa yang ada di benaknya saat ini.
+++
Setelah mandi tadi, aku langsung bergabung dengan mama dan kak igo di meja makan, kami makan malam bersama. Saat sedang makan, papa datang dan langsung bergabung dengan kami. kami makan malam bersama malam itu, sejak awal makan aku sudah jengah di tatapi oleh kak igo dengan tatapan aneh. Aku jadi bingung dengan tingkahnya kali ini.
Selesai makan aku langsung naik ke kamarku, aku keluar melalui jendela kecil menuju balkon, aku ingin bersantai di sini.
“hmm... enak juga yah di sini..” suara kak igo mengagetkanku, entah sejak kapan ia di belakangku.
“eh.. elu..” jawabku acuh, sebagai kakak-adik aku dan kak igo terkesan aneh, bisa di hitung dengan jari berapa kali aku dan dia saling memanggil nama, ‘elu’-‘gua’ agaknya sudah jadi kebiasaan kami, mama dan papa juga sudah jera memarahi kami.
“mau ?” ia menyodorkan sebungkus rokok marlboro lights padaku.
“nggak.. lu aja...” tolakku singkat.
“hmm.. tumben banget, biasanya lu paling doyan ginian abis makan”
“...” aku diam, memang sejak smp aku dan kak igo sudah mengenal rokok bahkan minuman keras, walau tak separah kak igo tapi perlahan namun pasti ia mengenalkan barang-barang haram itu padaku, kami betul-betul sosok kakak-beradik yang tak patut di tiru.
“pasti karena julio lu jadi alim gini kan ?” cetusnya pelas, sontak aku tersentak mendengarnya.
“maksud lu ?” kilahku gugup.
“hmm... adekku sayang, lu bukan orang yang pinter ngeles kayak abang lu ini, mungkin di depan mama dan yang lain lu bisa sembunyiin, tapi nggak di gua” ujarnya sambil tersenyum.
“lu ngomong apaan sih !” aku masih saja berkilah.
“rasanya lu lebih tahu apa yang gua omongin di banding gua sendiri dek, tapi gua cuman mau lu tau, gua kakak lu, dan gua akan selalu dukung pilihan lu” kaimat terakhirnya itu sukses membuatku terhenyak. Tak ada rahasia lagi, dia sepertinya sudah tahu semuanya, rasanya terharu mendengarnya memanggiku ‘dek’ , jarang sekali.
Sesaat kemudian ia membuang rokoknya yang masih separuh, lalu tangannya mengacak pelan rambutku. Aku masih tertegun memandanginya sampai ia berlalu dariku. Aku bertanya-tanya, kapan ia tahu ? bagaimana ia tahu semua itu ? ah.. aku semakin sadar aku bukan pembohong yang berbakat.
+++
Ku rebahkan tubuh letih ku ke atas ranjang, sembari mataku menerawang keluar lewat jendela kecil ini. Langit malam ini begitu cerah, sinar rembulan yang temaram bersanding mesra dengan ilauan taburan bintang di seluruh permukaan langit, bulan sabit ini seolah tersenyum bahagia sebahagia hatiku malam ini.
Drrrtttttt. . . . . . ponselku bergetar. . . . . LIO ! sms dari julio...
Mataku langsung terbelalak melihat nama yang tertera di layar handphoneku. Baru minggu lalu aku bertukar nomer ponsel dengannya dan ini adalah kali pertama ia meng-smsku.
-hai lian, lgi ngpain ?-
-lgi di kasur udh mw tidur, km ?-
-sma, lio jga lgi mw tidur, lian dh mkn?-
-udh tadi, km jga udh mkn kn ?-
-iya lio udh mkn kuq, yan, lio mw ngmong ssuatu, tpi lio pen nlpon, lio tlpn lian skrg ya?-
-iya-
Tanganku gemetaran mengetik tiga huruf terakhir tadi untuk ku kirimkan ke lio, dia mau meneleponku. Entah kenapa aku gugup sekali, padahal jika bercakap langsung aku tak segugup ini. Jantungku berdetak begitu cepat, menunggu getaran selanjutnya dari ponselku.
Drrrtttt... nama lio kembali tertera di layar handphone, dengan gemetar ku tekan tombol ok seraya mendekatkan ponsel ke kupingku.
“halo?” suaraku bergetar.
“hh.. halo yan ? halo..”
“i..iya lio, a..ada apa ?”
“eh.. eh.. anu.. lio..”
“hmm..?”
“lio cuman mau bilang lio suka sama lian, lio sayang sama lian” ujarnya agak keras dan secepat kilat kemudian di susul suara tut panjang dari speaker ponselku.
Bagai di siram air es, aku terhenyak ke atas tempat tidur, tanganku masih mendekap ponsel di dadaku. Pikiranku menerawang entah kemana, mencerna kalimat lio yang baru ku dengar tadi. Singkat tapi begitu jelas, dan aku tak mungkin salah dengar. Lio ! dia menyatakan perasaannya padaku, jauh ! sangat jauh dari khayalan tertinggiku pun. Aku masih tak percaya, tapi ini tak mungkin salah ! lio menyatakan cintanya padaku, seperti mimpi saja.
Tak bisa ku tuliskan secara sempurna detail rasa bahagia yang ku rasakan kini. Kasurku bahkan tak berbentuk lagi akibat ku lompati saking senangnya, aku kembali keluar lewat balkon, dan berteriak sepuas-puasnya. Aku tak peduli apapun lagi, bahkan mama dan papa sempat keluar ke halaman dan memarahiku karena berteriak tak karuan di tengah malam. Sempat kulihat kak igo keluar juga melihatku, ia hanya tersenyum padaku, rasanya kami sama-sama tahu apa yang ada di pikiran kami saat itu.
Drrtttt... ponselku kembali bergetar, dari lio lagi !, masih dengan gemetar ku angkat panggilannya...
“hh.. halo..” ujarku gemetar.
“lian nggak usah teriak-teriak dong, ini udah malem..”
“hah, eh.. hehe.. aku.. aku seneng banget yo, aku.. aku juga sayang sama kamu, aku udah suka sama kamu sejak awal kita ketemu” ujarku mulai tenang, tapi tak ada jawaban.
“lio ?” tanyaku pelan.
“hah.. eh.. iya yan, lio.. lio seneng banget malam ini, lio nggak mampu berkata-kata lebih lagi, lio sayang kamu lian” ujarnya terbata-bata, suaranya bergetar, susah payah ia menyusun kata-kata itu untuk ia ucapkan.
“sayang, keluar ke balkon dong, aku pengen liat kamu..”
“ah.. enggak ah yan, lio masih malu..”
“hmm.. ya sudah nggak apa-apa, mimpi indah ya sayang, i love you”
“love you too”
Ujarnya seraya memutus sambungan telepon, aku berjingkrang kegirangan setelahnya. Rasanya seperti mimpi saja, andaikan ini mimpi, aku tak ingin di bangunkan selamanya. Dia menyatakan cinta padaku, aku memanggilnya sayang, kami resmi jadian hari ini. Ah.. kalau tak ingat ini tengah malam sudah ku teriak sepuas-puasnya. Malam ini akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak, dan bahkan tak mustahil dengan mimpi indah.
Setahun berlalu, tak terasa kami sebentar lagi menyambut kelulusan. Ujian nasional telah kami lewati dengan segala lika-liku yang ada. Kami pasti akan merindukan sensasi-sensasi kita saat detik-detik persiapan ujian, suka duka yang kami lewati dalam mengikuti jam-jam penat dalam bimbingan-bimbingan tambahan mempersiapkan diri menyambut ujian, hingga puncak ketegangan kami saat menghadapi lembar demi lembar soal ujian yang harus kami isi sebisa mungkin.Waktu berlaku begitu cepat,kami sudah melewati itu semua dengan segala baik.kelulusan kini sudah di depan mata, beberapa hari lagi pengumuman hasil ujian. Ketegangan yang kami rasakan tak kalah besar dengan saat mengikuti ujian sebulan yang lalu.
Hubunganku dan lio semakin erat saja. Hidupku benar-benar berubah semenjak menjadi kekasihnya. Hadirnya ia di hidupku betul-betul memicu untukku menjalani hidup lebih bersemangat lagi. Hari-hari yang indah kamin lewati bersama walaupun harus menyembunyikan dari orang tua kami masing-masing. Hanya kak igo yang tahu, dialah yang sering membantu kami berdua. Lio juga sudah lebih akrab lagi dengan kak igo, bahkan terlalu akrab menurutku. Aku sering kesal melihat kak igo yang terlalu memanjakan lio, lio juga, sangat suka bermanja-manjaan dengannya. Tapi aku sadar sifat dasar lio yang memang seperti itu, aku selalu berusaha memahaminya.
***
“ayooo...!” sergah lio sembari mendorongku ke arah papan pengumuman bergabung dengan gerombolan lainnya.
“aduh.. bentar dong aku gugup nih..”
“haha, lianku yang ganteng ini bisa gugup juga yah ternyata..”
“huh,, kamu nih..”
“udah nggak apa-apa kok lian, kita pasti lulus, lio yakin.. tapi lio penasaran liat nilainya nih.. ayoo..” rengeknya tak henti, dasar lio, mana bisa sih aku nolak kemauanmu.
“hmm.. iya-iya.. haduuhh..” kamipun akhirnya melangkah menuju kerumunan orang di depan papan pengumuman.
Mataku masih menjelajah di daftar-daftar nama peserta ujian, terus mencari-cari namaku. Terus terdengar teriakan kegirangan dan juga tangis-tangis keharuan dari para siswa yang sudah mengetahui hasil mereka.
“FILLIAN MARCELL RAHADI...LULUS !!!”
“hwaaaaaa....... aku lulus ! lio aku lulus” teriakku kegirangan.
“lio juga lulus yan, lio lulus !!!” sorak lio tak kalah histeris.
Kami berpelukan begitu erat, tanpa sadar aku mengecup kening lio sekilas saking senangnya. Untung semua sibuk dengan kebahagiaannya masing-masing. Wajah lio memerah saat aku melakukannya, sejurus kemudian ia kembali memelukku, membenamkan wajahnya didadaku.
+++
Entah sejak kapan, baru kusadari kalau lio tak lagi bersamaku, aku kini hanya bersama gerombolan siswa anak kelas ips yang tak ada satupun akrab denganku. Kemana lio ? kemana teman-teman kelasku yang lain ?
Aku berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah dengan bingung dan agak panik. Sepuluh menit berjalan handphoneku bergetar, lio menelpon.
“halo sayang, kamu di mana ? kok aku di tinggal sih ?”
“yan ! tolong lio yan ! tolong ! lio di kelas sekarang, sakittt !” jerit lio setengah merintih, sontak membuatku panik luar biasa.
“halo yo ! halo, kamu nggak apa-apa yo !!! kamu kenapa ? halo !” aku semakin panik saat sambungan telepon di putus.
Gelagapan aku berlari menuju kelas kami di lantai tiga. Bayangkan saja letihnya berlari dari papan pengumuman di lantai dasar menuju kelas kami di sudut lantai tiga. Dalam laju lariku aku bertanya-tanya, untuk apa lio kesana di saat seperti ini ? aku ia mengambil sesuatu yang ia lupa atau apa aku uga tak tau.
Tiba di depan kelas dengan serampangan kubuka pintu dan menerobos ke dalam. Begitu masuk seisi kelas terlihat gelap. Ruangan ini memang di apit beberapa ruangan di kiri-kanan dan sisi belakangnya, tirai-tirai juga menutupi jendela karena ruangan ini sudah tak digunakan sejak seminggu sebelum ujian nasional. Otomatis tanpa cahaya lampu tak ada penerangan berarti di ruangan ini.
“lio ? kamu di man yo ? lio ?” tanyaku panik, tanganku merayap ke samping pintu berusaha mencari saklar lampu, dan dapat !
KLIK !
BYURRRRR !
HAPPY BIRTHDAY LIAAAANNNN !!!!!!!
Mataku terbelalak melihat isi kelas isi setelah lampu menyala, seluruh teman sekelasku ada di dalam, bahkan pak hilman wali kelas kami juga ada, saat lampu menyala tadi tubuhku langsung di guyur seember air tanpa ampun, di susul teriakan selamat ulang tahun dari seisi kelas. Sial, aku di kerjai rupanya. Aku juga bodoh sih, saking tegangnya menunggu pengumuman ujian sampai lupa kalau hari ini juga bertepatan dengan hari ulang tahunku.
“selamat ulang tahun yah lian, panjang umur dan sehat selalu” ujar renata, cewek paling nyentrik di kelas, terkenal sebagai ratu gosip yang pintar membuat seisi sekolah heboh karena beritanya.
“ah, sialan kalian, hehe.. tapi makasih yah”
“happy birthday bro, sukses selalu yah, kalo udah sukses nanti jangan lupa sama kita-kita” rio, teman sekelompokku dalam ujian praktek dulu, setelah kenal banyak dengannya aku baru tahu kalau dia satu sekolahan denganku waktu smp di bandung dulu, hanya saja kita berbeda kelas.
“ah elu yo, thanks ya, kejutan kalian kali ini sukses, hehe..”
“hwaaaaa... liaaaannn ! my honey baby sweetyku tercinta, selamat ulang tahun yah sayang, moga makin sukses, makin ganteng, panjang umur,sehat selalu, sama...”
“langgeng sama lio yaahhh... hehehehe..” kali ini miranda, cewek bertubuh agak tambun ini sudah beberapa kali menyatakan cintanya padaku, sebanyak itu pula aku menolaknya, kini ia jadi salah satu sahabat terbaikku, ia sudah betul-betul mengubah perasaannya padaku. Satu lagi, dialah satu-satunya temanku yang tahu hubunganku dengan lio, awalnya ia kaget dan sangat kecewa dengan kami berdua, tapi perlahan ia akhirnya bisa mengerti dan menjadi salah satu yang mendukung kami berdua.
“hehe, makasih yah mir, tau aja kamu..”
+++
Seisi kelas menyalamiku sampai pak hilman wali kelas kami. kini lio menghampiriku.
“nih..” ia mengulurkan bungkusan plastik merah ke arahku.
“baju ganti, pakai sana di toilet, ntar masuk angin” aku mengernyit,
sepertinya ia memang sudah merencanakan semuanya.
“ooo... jadi udah di rencanain nih, ngerjain aku..”
“hehe, udah ah, nanti aja marah-marahnya, ganti sana” sahutnya sembari mendorongku keluar kelas.
“awas yah, aku bales nanti”
+++
“haaa... di sini rupanya..” sergahku sembari memeluknya dari belakang, ia tersentak kaget dan menggeliat.
“ihh.. lian apaan sih, ntar ada yang liaaattt....” ujarnya tersipu, ku eratkan lagi pelukanku.
“biarin, biar semua tahu seberapa besar cinta aku ke kamu !” ku kecup pelan pipinya dari samping.
“huu, gombal, coba lio mau denger !”
“oke, ehm... JULIO DHARMA AJI, AKU MENCINTAIMUUUU !!!” ku teriakan ke arah lapangan sekeras yang ku bisa, suaraku menggema dari lantai tiga ini, lio terhenyak melihat apa yang baru saja ku lakukan, ia kemudian memelukku dengan erat, sangat erat seolah esok kami akan berpisah.
“kamu liat kan sayang, aku akan lakukan apapun untuk cinta kita, kalaupun akan ada halangan nantinya, kita lewati bersama” ujarku penuh keyakinan padanya, ku genggam erat tangannya, melekatkannya ke pipiku, ia menatapku dengan tatapan sendu menahan haru. Perlahan ku dekatkan wajahku ke wajahnya, ku cium bibirnya perlahan dengan penuh perasaan. Rasanya waktu selalu berhenti setiap aku menciumnya, dunia serasa hanya milik kami berdua. Aku rela, biarlah waktu berhenti saat ini, asal aku tetap bisa bersamanya.
“yan, lian inget nggak waktu pertama kali lio ajak lian kemari”
“ah, nggak usah di bahas dong ay, malu”
“hihi.. lio suka ketawa sendiri kalo inget kejadian waktu itu, kirain lio lian teriak karena takut ketinggian, ga taunya, hahahaha”
“ah, kamu mah, nggak usah di bahas dong, hehe.. malu-maluin yah aku”
“iya, haha... masa kejatohan cecak aja sampe pucet gitu mukanya, hehe...”
“alah kamu ah, nggak usah di bahas atuh ! malu urang teh”
“jiaahh dia nyunda, wae ah ! sabodo teuing hehe...”
“huh, kamu ah, bete nih ! tapi aku harus terima kasih tuh sama tu cecak”
“haha, kok terima kasih, ada-ada aja “
“iya, kalo dia nggak jatoh ke aku, aku nggak bakal dapet pelukan pertama dari kamu kasep” lu kecup pelan keningnya, sambil terus merangkul tubuhnya dari belakang.
Kami kembali bergabung dengan keramaian di lantai bawah, saling memberi salam pada teman-teman lain dan juga menyalami guru-guru tak lupa mengucap terima kasih karena sudah sabar mendidik kami yang bandel ini hingga bisa lulus dengan memuaskan. Acara ‘sungkeman’ ini berlangsung dengan penuh haru.
+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_+_
ckckck brarti SMA?? Wah saya ngerasa jadi dah tua nih, hehe
ayo dilanjut ren...
@okaganteng : thanks, ini mau ku lanjut ^^
Hari ini mama mengadakan syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kelulusan kami juga hari ulang tahunku yang ke delapan belas, hanya mengundang teman sekelasku juga para tetangga-tetangga di komplek rumah kami. beberapa tante dan omku juga terlihat datang.
Kak igo betul-betul merancang pesta ini untuk anak muda, tak ubahnya seperti club halaman belakang rumah kami di sulapnya. Ia bahkan mengundang dj untuk mengiringi kami dengan musik-musik yang meriah. Berlebihan memang, tapi aku senang kak igo sudah lebih perhatian padaku sekarang.
Pesta berlangsung begitu meriah, semua larut dalam hentakan-hentakan musik yang di rancang sang dj. Para orang tua yang agak kurang betah di alihkan mama dan papa ke dalam rumah, mengobrol lebih tenang di sana.
“oke, sekarang kita akan saksikan penampilan dari duo akustik terpopuler di sekolah kita lian dan lio !!!” tibatiba miranda yang menjadi host pada malam itu menunjukku dan lio untuk tampil kedepan.
Aku meliriknya yang masih kelihatan ragu, semester satu yang lalu, aku dan lio tampil mengisi acara dalam perayaan hari ulang tahun sekolah kami. lio awalnya menolak, pak hilman yang menunjuk kami berdua untuk tampil karena ia tahu dari pak ferdi guru kesenian kami kalau aku dan lio punya bakat yang bagus dalam bermusik, setelah di bujuk akhirnya lio mau juga, aku sengaja cepat-cepat menerima tawaran pak hilman, aku ingin melatih ke-percayadiri-an lio. Aku dan lio tampil memukau penonton dengan beberapa lagu yang kami nyanyikan dengan akustik. Aku sangat senang melihat lio sudah mulai bisa membuka dirinya untuk bergaul dengan lingkunagn sekitarnya sejak saat itu.
“yo, ayoo !” ujarku pelan, ia tersenyum lalu mengagguk dan ikut denganku ke arah panggung.
Gitar sudah di pangkuan kami dan kami mulai beraksi...
###
When i see your smile, tears run down my face...
I cant replace, and now i’m stronger i’ve figured out...
How this world turns cold and breaks through my soul...
And i’ll find deep inside me i can be the one...
I will never let you fall, I’ll stand up with you forever...
I’ll be there for you through it all, Even if saving you sends me to heaven...
It’s ok... it’s ok... it’s ok...
Seasons are changing, and waves are crashing...
And stars are falling all for us...
Days grow longer and nights grow shorter...
I can show you i’ll be the one...
I will never let you fall, I’ll stand up with you forever...
I’ll be there for you through it all, Even if saving you sends me to heaven...
Cause you’re my, you’re my, my...
My true love, my whole heart, please dont throw that away...
Cause i’m here for you, please dont walk away, yeah...
Please tell me you’ll stay, stay...
Use me as you will pull my strings just for a thrill...
and i know i’ll be okay, though my skies are turning gray...
I will never let you fall, I’ll stand up with you forever...
I’ll be there for you through it all, Even if saving you sends me to heaven...
+++
Ku tatap wajah indahnya itu, ia menyanyikan bait demi bait lagu ini dengan penuh perasaan. Petikan gitar bersanding dengan suara kami berdua menghasilkan harmoni yang indah. Seluruh peserta pesta pun bertepuk tangan meriah seusai penampilan kami. beberapa teman sekelas kami yang perempuan mengerumuninya saat itu untuk sekedar berfoto bersama, seperti artis saja. Yah.. walaupun sedikit sebal, tapi aku senang, perubahan sifatnya sudah sangat siknifikan, ia tak lagi menutup diri dari dunia luar.
Malam semakin larut namun pesta sepertinya semakin meriah saja, aku dan lio menyingkir sebentar dari keramaian. Berdua kami berjalan mendekati danau di belakng perumahan. Hanya sekitar limapuluh meter dari rumah kami. kami berdiri di samping batang kayu tempat aku melihatnya pertama kali dulu.
Ku peluk tubuhnya dari belakang, sembari ku sandarkan kepalaku di bahunya, ia hanya tersenyum seraya mencium pipiku sekilas. Tangannya kini ikut mengeratkan pelukanku di pinggangnya.
“hehe, inget waktu pertama kali kita di sini ?”
“ahh, nggak usah di bahas ah, lio malu..”
“haha, kamu kenapa setakut itu sih sama aku waktu itu ?”
“ihh.. di bilanging nggak usah dibahasss.. huhh..” desisnya merajuk.
“yaudah lio sayang, nggak usah cembetut gitu dong, jelek !”
“biarin, biar jelek juga lian cinta kan , wek..” ledeknya.
“hmm.. ya deh.. kamu itu hal terindah yang pernah aku dapatkan di hidupku..” ku kecup pelan dahinya seraya mengeratkan pelukanku ke tubuhnya.
Tubuhnya memang sedikit lebih kecil dariku, agak kurus dengan ujung kepalanya yang hanya mencapai dahiku. Memeluknya harus erat untuk dapat merasakan tubuhnya penuh dalam pelukanku. Hanya langit malam dan riak air danaulah yang menjadi saksi kemesraan kami berdua malam itu. Sesaat kemudian kami duduk di atas batang kayu besar di pinggir danau, ia mengeuarkan sesuatu dari sakunya, notes itu lagi.
“nulis apa sih sayang di situ, kayaknya lengket banget buku itu sma kamu ?”
“ada aja ! belum saatnya lian tau, tapi suatu saat lian pasti tahu”
“huhh dasar” aku tak bisa menuntut banyak, terakhir aku memaksa melihat isinya, dia sampai menangis karena itu, aku tak berani mengulanginya lagi.
***
pesta kini betul-betul usai. Rombongan dj dan dan operator soundsystemlah yang terakhir pulang. Setelah membereskan tempat-tempat duduk yang masih berada di luar aku langsung masuk ke rumah.
“yang, aku masuk dulu yah, sampai ketemu besok..” ku bisikan pelan ke telinganya, ia tak menjawab, malah menahan tanganku.
“lian.. emm.. lio.. lio boleh nginep nggak ?” katanya malu-malu, sontak aku kaget mendengarnya, ini pertama kalinya dia minta menginap.
“hah ? oh.. eh.. bboleh sih, mama juga pasti ngijinin kok, tapi..” sahutku gugup, memikirkan akan tidur dengannya malam ini betul-betul membuatku kalut.
“tapi kenapa yan ?”
“eh.. kamu udah ijin orang tua kamu belum ?”
“eh, lio nanti sms kok..”
“oh..eh.. yaudah yuk..”
+++
“eh nak lio mau nginap yah ?” tanya mama yang tengah menyusun piring-piring yang sudah selesai di cuci.
“i..iya tan” sahut lio malu-malu.
“yasudah sana, langsung tidur jangan main-main lagi, udah subuh ini. Ohya, sering-seringlah kamu nginap di sini nak, temani lian” ujar mama.
“iya tante, lio naik yah..” mama mengangguk seraya tersenyum pada lio, ia pun mengikutiku ke kamar.
+++
“aku mandi dulu” ujarku pada lio yang sedang asik mengutak-atik koleksi komikku di samping meja belajar.
“iya” jawabnya pelan. Kira-kira duapuluh menit aku mandi, setelahnya aku keluar dengan hanya berlilitkan handuk di pinggangku, lio yang sedang sibuk dengan komik conanku hampir saja terlonjak kaget saatku keluar.
“eh.. kamu mandi aja dulu, handuknya udah ada kok di dalam, nanti kamu pake bajuku aja, tinggal di pilih di lemari sana” ujarku gugup, jantungku rasanya berdetak jauh lebih cepat malam itu.
“...” hanya di jawabnya dengan anggukan, ia lalu beranjak dari kasur menuju kamar mandi.
Sudah limabelas menit ia belum keluar juga, entah kenapa hatiku tak karuan rasanya malam itu. Aku keluar lewat jendela kecil di samping ranjang, menuju balkon. Ku genggam pembatas besi yang memagari balkon ini. Dingin.. tanganku tak ubahnya memegang sebuah balok es. Ku pandangi langit subuh ini, cerah, bintang begitu indah bersanding dengan cahaya bulan, dingin angin malam perlahan mulai menusuk jantungku.
“hmmmphhh...” desisku saat terasa tubuhku di peluk dari belakang, lio, entah sejak kapan ia di situ.
“eh.. ss..sayang, u..udah selesai mandinya” tanyaku asal, aku makin kalut saat itu, tak pernah aku segugup ini sebelumnya.
“iya dong yang, kalo masih sabunan aku nggak akan di sini, hihi.. kamu aneh deh” sahutnya terkekeh kecil, pelukannya semakin erat.
“...” aku terdiam, hanya menjawab perkataannya dengan senyuman, susah payah ku netralisir kegugupanku ini.
“lian, lio mau kasih lian kado malam ini, lian merem sekarang” ujarnya seraya melepaskan pelukannya, memutar tubuhku menghadapnya, aku tersenyum seraya memejamkan mata, setelah beberapa saat...
“sekarang buka mata..” perlahan ku buka mataku, ku tatap lio yang tersenyum padaku.
“loh, kadonya ?” tanyaku heran, lio tak membawa apa-apa di sini.
“kadonya udah ada kok di depan lian, sekarang sedang berdiri dan tersenyum ke lian” ujarnya sukses membuatku terbelalak.
“mm..maksud kamu ?”
“lio mau jadi kado spesial buat lian malam ini” lepas rasanya jantungku mendengar itu.
Perlahan ia mendekatiku, melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Dadaku kembang kempis saat ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bibir kami akhirnya bertemu, awalnya aku diam menerima lumatan-lumatan halus dari bibir lio, tangannya menarik tubuhku semakin erat dan semakin erat dengan tubuhnya. Perlahan namun pasti birahi mulai menaklukanku, aku mulai membalas ciuman lio, tanganku pun mulai bergreliya di punggungnya mendekapnya erat seiring dengan ciuman kami yang berubah ganas.
Aku menggiringnya masuk ke kamar, lalu perlahan merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Perlahan ku tindih tubuhnya dengan tubuhku, seraya melekatkan lagi bibirku dan bibirnya. Kami kembali larut dalam ciuman-cuman panas penuh gairah.
Nafsu kini betul-betul menguasaiku, aku bangkit dan meloloskan kaos tipis yang ku pakai dari tubuhku, ku loloskan juga kaos lio kemudian mulai melumat lehernya. Ku nikmati senti demi senti tubuhnya dari leher ku turun ke dadanya ku nikmati bagian-bagian sensitif dari tubuh indahnya itu. Terdengar erangan-erangan halus dari lio yang semakin memicu gairahku. Kembali ku nikmati bibirnya seraya tanganku mulai meloloskan celana pendek yang ia pakai.
Sedetik kemudian ku hentikan aksiku. Baru saja aku menyadari sesuatu yang membuatku urung melanjutkan semua ini. Tubuhnya bergetar hebat saat aku mulai melucuti celananya tadi,entah ia ketakutan atau, tapi aku tak tega melakukannya kalau memang ia belum sepenuhnya siap. Ku betulkan kembali celananya. Ku ambil kembali kaosnya yang tergeletak di ujung kasur. Juga kaosku yang tergeletak di lantai.
“nih pake, kalo kamu belum siap aku nggak apa-apa, jangan di paksain” ujarku seraya memakaikan kaos ke tubuhnya, tapis sedetik kemudian ia menahan tanganku.
“lian, lio nggak apa-apa kok, lian boleh lanjutin semuanya” suaranya bergetar.
“ta..tapi, kamu..”
“ssssttt..” ia membekap mulutku dengan telunjuknya seraya menarik tubuhku kembali menindihnya, perlahan namun pasti aku kembali terbuai dalam gairah itu. aku mencumbunya dengan mesra, bergreliya di semua titik-titik sensitif di sekujur tubuhnya. tak bisa ku detilkan secara sempurna semuanya, tak dapat ku jelaskan dengan kata-kata, hanya ada desahan, erangan, dan rintihan dari bibirku dan bibirnya, malam yang luar biasa.
+++
Entah jam berapa aku terjaga dari tidurku, hampir saja aku terlonjak mendapati sesosok tubuh terlelap dalam pelukanku, menggunakan lenganku sebagai bantalnya. Untuk beberapa saat aku masih terpaku menyimpulkan apa yang baru saja terjadi. Mataku nyaris tak berkedip memandangi sosok polos yang tertidur lelap tanpa sehelai benangpun melekat di tubuhnya di pelukanku, hanya selembar selimut yang melindungi kami dari dinginnya angin malam, aku tersenyum mengingat segala yang terjadi beberapa jam yang lalu. Ini betul-betul kado ulang tahun terekstrim yang pernah ku dapatkan.
Lio tiba-tiba menggeliat dalam pelukanku, merapatkan dekapannya di tubuhku. Sekali lagi jantungku berpacu dengan cepatnya, bagaimana tidak, posisi kami saat ini begitu ekstrim, ia mendekapku dari samping, paha kanannya menyentuh paha kiriku hingga sampai ke benda kepunyaanku yang masih setengah menegang. Selama setahun kami berpacaran, ini adalah kali pertama kami melakukan ini, sebelumnya menciumnya pun aku gugup setengah mati. Membayangkan melakukan ini tak pernah terlintas dalam benakku. Namun pagi ini, ia memberikan semuanya sebagai hadiah spesial untukku. Ah lio, tanpa semua ini kau lakukan pun aku tetap mencintaimu, hati dan cintamu sudah cukup bagiku.
Ku belai lembut rambutnya, seraya mendaratkan ciuman lembut ke keningnya. Takkan bosan rasanya walau seharian memandangi wajahnya yang begitu teduh dan mendamaikan ini. Perlahan kelopak matanya mengerut, lalu mulai terbuka, rupanya kecupanku tadi membangunkannya. Aku terdiam kaget melihatnya tersenyum padaku.
“eh.. kkamu kok bangun ?” tanyaku gugup, ia tak menjawab, malah mengeratkan dekapannya ke tubuhku.
“a.. apa yang tadi sakit ? a.. apa aku menyakitimu tadi ?” kataku pelan dengan kegugupan yang semakin menjadi, ia tersenyum.
“nggak sakit, kalo lian yang melakukannya nggak terasa sakit” ujarnya pelan, di belainya wajahku dengan lembut, aku tersenyum lega.
“makasih sayang, ini kado terindah yang pernah aku dapatkan, walau sebenarnya sebelumnya aku sudah mendapatkan kado spesial itu, jauh sebelum hari ulang tahunku”
“hah ? kok bisa” tanyanya bingung.
“iya, kado itu kamu, hati kamu, cinta kamu, itu udah jadi kado terindah dan terspesial buatku” ujarku sembari kembali mengecup pelan keningnya, sukses membuat wajahnya memerah tersipu.
“hmm, tapi lio masih punya hadiah lagi..”
“hah, wah mana ? lian mau liat ?”
Ia kemudian bangkit dari pelukanku, mengenakan kembali boxernya lalu berlari menuju kamar mandi, ia keluar membawa sebuah bungkusan kertas kado kecil yang di hias dengan pita. Niat sekali sepertinya menghias kado kecil itu.
“nih, di buka..”
“...” aku masih terdiam memandangi tubuhnya yang hanya berbalut selembar boxer.
“ihh, ngapain sih mandanginya sampe segitunya, udah ah kadonya dibukaaa...” jengah juga ia rupanya.
“hehe, kamu seksi sayang..” godaku mesum.
“ihh dasar, udah ah buka kadonya..”
“hehe, iya-iyaa...”
Perlahan ku lepaskan pita merah yang melilit kotak kado mini itu. Bungkusannya terbuka, sebuah box mirip kotak perhiasan berbentuk persegi panjang. Aku penasaran isinya apa, ku pandangi lio lagi.
“ayo dibuka...” ujarnya simpul.
Kotak itu ku buka, terpampanglah sebuah kalung besi putih dengan buah berbentung 2 huruf L yang saling menjalin, sepertinya ini adalah dua kalung yang saling di jalin. Aku tertegun memandanginya.
“wah, bagus banget sayang, makasih yah” ujarku seraya sekali lagi mengecup pipinya.
“di pake dong, hmm.. sini lio pakein” ia kemudian mengeluarkan kalung itu dari kotak, melepas kaitan dari rantai kalung lalu perlahan memisahkan jalinan huruf L itu menjadi dua, terpisah sudah kalung itu menjadi dua kalung yang tak kalah indah.
“...” tanpa suara dia memakaikan salah satu kalung ke leherku, ia tersenyum melihatku menggunakan kalung ini.
“bagus..” ujarnya singkat, selanjutnya gantian ku pakaikan kalung satunya ke lehernya.
“ganteng.. hehe.. thanks ay, i love you”
“apaan tuh ay ?”
“ayang atuh eneng, biar mesra gitu aa manggil eneng mah, hehe...”
“huu.. gombal, love you too honey” ku kecup sekali lagi keningnya, sejurus kemudian ia beringsut kembali kedekapanku.
“...” kami diam, memandangi langit pagi yang kian berbinar, rasanya tak ada yang lebih indah dari hari ini.
Hari terus bergulir sejalan dengan kemesraan kami yang kan hari kian indah saja. Aku bersyukur di pertemukan dengan sosok julio, apapun yang mau di katakan dunia, apapun yang cecaran orang lain tentang cinta kita. Bagiku itu takkan berarti. Selama ia di sampingku, berdua kami akan lewati semua itu. Aku mencintainya, hanya itu, dan aku tak peduli apapun lagi.
################################################################################################################################################
[udah dulu ah, sepi nih, tunggu koar2an reader dulu, haha^^ hallah ]
moga gak ada akhir mati atau tragis tragis