It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Opus I :
Hembusan angin musim dingin yang kencang mulai membuat dedaunan melantunkan melodi yang mencekam. Burung-burung malam keluar dari peraduannya, mulai mencari mangsa dengan suara yang kontras dengan desiran angin. Suasana makin gelap, namun sang dewi malam tak kunjung menampakan parasnya. Yang tampak di mata hanyalah seberkas sinar di langit yang mengelilingi peraduan dewi malam, namun cahaya itu mulai menghilang dari pandangan ketika awan gelap terbawa angin menutupi persembunyian rembulan. Desahan dedaunan semakin keras, membuat suasana malam itu seakan bertambah gelap dan makin mencekam. Bahkan cahaya lampu taman pun tidak kuasa menerangi malam yang amat gelap ini.
Dari kejauhan, seorang laki-laki sedang duduk termenung di bawah pohon mahogany. Ia hanya sendirian, tak seorang pun ada di taman saat malam yang begitu gelap ini, kecuali sebuah benda besar berwarna hitam yang ia genggam dengan erat. Parasnya rupawan, alisnya tebal tapi membentuk suatu lekukan yang amat indah. Hidungnya mancung dan matanya berwarna hijau bercahaya seperti batu emerald. Namun ia sedikit angkuh. Ia mengenakan sweater broken-white yang terbuat dari woll. Walaupun demikian ia tampak kedinginan. Rambut lurus yang mencapai tengkuknya, sedikit melambai-lambai karena kencangnya hembusan angin. Kacamatanya juga tampak berembun. Entah apa yang sedang ia lakukan di taman itu. Yang terlihat dari raut wajahnya adalah suatu kepedihan yang mendalam.
“Fuih, kenapa mama selalu saja mengatur diriku?” ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pohon mahogany di belakangnya. Ia menonjok batang pohon itu. Seketika itu juga sekujur darah merah segar keluar dari jari tangan pria itu.
“Seandainya mama tidak terlalu mengatur, seandainya mama bisa memahami diriku, aku pasti tidak akan menjadi seperti saat ini,” sekali lagi ia menonjok batang pohon itu. Ia tidak peduli dengan rasa sakit di sekitar jemarinya, ia terus menerus menumpahkan seluruh emosinya melalui tinjuannya ke pohon mahogany itu. Tanpa sadar darah merah segar telah mengalir dari jemarinya.
Beberapa menit telah berlalu, laki-laki yang berusia kira-kira 18 tahun itu mengambil telepon genggamnya dan mulai menekan kipet angka pada telepon genggam itu.
“Sial, kenapa belum diangkat?” agaknya ia mulai merasakan sakit pada bagian tangannya, “Ayo dong, kok nggak diangkat-angkat sih?” ia mulai kesal dan terus menghentakan kakinya. Setelah penantian yang cukup lama akhirnya ia tersambung dengan seseorang yang ia telepon.
“Halo, Raoul? Ini Andrew. Raoul gue boleh nginep semalam nggak di rumah lo?” raut muka laki-laki itu murung, seluruh dirinya seperti diselubungi oleh kesedihan.
“Thanks ya, gue ke sana sekarang,” sambungan telepon terputus, dan ia pun segera meninggalkan tempat yang begitu mencekam itu dan membawa suatu benda hitam.
Sepuluh menit sudah berlalu, akhirnya langkah kaki Andrew terhenti di depan sebuah gerbang pagar besar berwarna putih dan dipenuhi ukiran-ukiran era Romantic. Ia mengangkat tangannya dan menekan bel yang ada pada gerbamg itu..
TING TONG
“Ko, kayaknya ada yang memencet bel deh,” seorang gadis cantik, berambut panjang sebahu bergumam.
“Oh iya, temen gue mau nginep di rumah hari ini,” jawab seorang laki-laki tinggi, dengan gaya rambut spikey, yang sedang duduk di sebelah perempuan tadi.
“Hah, siapa ko?” balas gadis itu penasaran
“Ntar lo juga tau kok,” cetus laki-laki itu.
TING TONG
Dengan tergesa-gesa, laki-laki itu keluar dari pintu rumahnya, dan berlari kea rah pintu gerbang rumahnya. Lalu ia membuka gerbang itu.
“Hei, Raoul,” sapa Andrew dengan wajah yang pucat, tubuhnya basah kuyup dan mengigil kedinginan.
“Woy Drew, abis ngapain lo? Buset bisa kayak gini,” Tanya laki-laki yang sedang memakai kaus oblong dan celana training itu. Matanya yang agak sipit, namun memiliki pandangan yang tajam, mengamati sekujur tubuh Andrew yang sedang mengigil. “Cepet masuk ke dalam,” perintah laki-laki yang bernama Raoul itu. Dialah tadi yang dihubungi oleh Andrew. Seorang laki-laki, dengan paras tegas, berambut emo, hidungnya mancung, dan matanya berwarna coklat tua. Lalu, mereka berdua segera memasuki rumah itu.
“Rissa, cepat ambil handuk!” teriak Raoul dari depan pintu rumah.
“Buat apaan sih?” balas gadis yang tadi sedang bercakap-cakap dengan Raoul di rumah itu. Dia adalah Clarissa, adiknya Raoul. Dengan segera ia bergegas menghampiri kakaknya.
“Woy, dibilangin suruh ambil handuk, malah nyamperin ke sini,” kata Raoul sinis.
“Iya, gue tau ko, tapi buat a…” kata-katanya terhenti ketika ia melihat Andrew berdiri di belakang Raoul dengan kondisi yang basah kuyup.
“Malah bengong lagi, cepet ambil handuk sama baju gue! Kasihan tuh Andrew,” tegas Raoul kepda Rissa. Dan dengan segera ia berlari menuju kamar kakaknya untuk mengambil handuk dan pakaian kering. Raoul dan Andrew pun segera menuju ruang tengah, dan mereka duduk di situ.
“Nggak kenapa-kenapa kok,”
“Aduh, gak usah pake bohong sama gue. Gue udah kenal lo dari SMP. Nggak mungkin ga ada apa-apa,”
Andrew tersenyum sekilas, lalu ia berkata, “Huh, emang paling susah bohong ke lo. Gue mau cerita ke lo, tapi gue bingung mau mulai dari mana,” sebelum Andrew melanjutkan ceritanya, Rissa menghampiri mereka lagi dengan membawa handuk dan pakaian kering. Kemudian ia memberikan handuk itu kepada Andrew.
“Ini handuknya ko,” kata Rissa
“Thanks Rissa, by the way nggak usah panggil gue pake ‘koko’ segala. Gue belom setua Raoul,” balas Andrew sambil mengarahkan pandangan ke Raoul.
“Sialan lo Drew, emang tampang gue setua itu? Jelas-jelas tampang keren gue ini bisa ngebuat cewek-cewek satu kampus melting,” timpal Raoul.
“Hahahaha, gak usah mimpi ko,” sahut Rissa “Kalau emang bisa memikat cewek-cewek di kampus, buktiin dong!”
“Jiah.. nih anak kecil belagu banget. Gue kan belum masuk kampus dan belum nunjukin batang hidung gue. Kalau udah masuk, bisa-bisa gue jadi trending topic,” jawab Raoul. Perdebatan kecil antara kakak beradik itu sangat menghibur hati Andrew. Kekesalan yang ia rasakan tadi mulai sedikit terlupakan. Ketika, Andrew sibuk mengelap seluruh bagian kepalanya, Raoul melihat jemari Andrew yang penuh dengan luka akibat tonjokan-tonjokan yang dilontarkan Andrew untuk melampiaskan kekesalannya saat di taman tadi.
“Andrew, jari lo kenapa?” tanya Raoul.
“Oh ini, tadi gue abis nonjok pohon,” jawab Andrew cengesan “gue mau ke kamar mandi dong, mau ganti baju,”
“Sini, ikut gue,” kemudian mereka berdua berjalan menuju kamar mandi, sejurus kemudian Raoul berteriak kembali kepada Rissa “Ris, tolong ambil perban sama obat merah ya,”
“Oke bos,” terdengar suara Rissa sayup. Kemudian mereka berdua telah sampai di pintu kamar mandi. Tiba-tiba Andrew berkata.
“Raoul, ngomong-ngomong ngapain lu pake nganterin gue segala deh?”
“Oh iya ya, lo kan udah nggak asing lagi sama rumah gue ya?” jawab Raoul cengengesan.
“Lo mau masuk ke kamar mandi bareng gue?” canda Andrew.
“Wah ngajak nih? Sini gue gantiin bajunya sekalian,” balas Raoul dengan nada bercanda pula.
“Ah jadi malu. Udah ah, bercanda melulu. Gue ganti baju dulu ya,”
“Sip. Gue mau masak makan malem dulu ya,” Raoul pun beranjak dari depan pintu kamar mandi menuju ke dapur untuk memasak makan malam untuk mereka bertiga. Raoul dan Rissa memang merupakan anak orang yang berada. Ayah dan ibunya tinggal di Singapore sejak dua tahun lalu, karena Ayahnya dipindahkan bertugas dari suatu ‘service company’ di Jakarta. Sebenarnya mereka tidak tinggal berdua saja, tetapi bertiga dengan seorang kakak laki-laki pula. Namun, saat ini ia sedang berada di Hong Kong mengikuti paper contest. Walaupun mereka orang berada, mereka bertiga sangat mandiri dan mampu mengurus pekerjaan rumah tangganya sendiri, meskipun mereka memiliki seorang pembantu.
Selang beberapa saat kemudian, Andrew telah mengenakan kaos bertuliskan ‘You are nothing’. Sesaat ia memandangi dirinya pada cermin. Ia terdiam seribu bahasa, hingga akhirnya ia segera keluar dari kamar mandi dan menuju ruang tengah. Sesampainya di ruang tengah, ia melihat Rissa telah duduk sambil memangku kotak P3K. Lalu ia menghampirinya.
“Woy, bengong aja,” sapa Andrew.
“Aduh ko, lo bikin gue kaget aja. Sini jari lo gue kasih alcohol dulu,” kata Rissa. Lalu Andrew segera duduk dihadapan Rissa. Kemudian ia memberikan jari-jarinya yang terluka kepada Rissa untuk dibersihkan dengan alcohol. Sejenak ia terus memperhatikan Rissa, matanya tertuju pada raut muka Rissa yang dengan penuh perhatian sedang terfokus pada luka-luka pada jarinya. Ia tersenyum kecil. Di dalam hatinya, Andrew berkata “Rissa cantik banget, aku seharusnya bisa jatuh cinta nih. Tapi, kok aku nggak merasa deg-degan ya?”. Ia terus saja memandangi Rissa, sampai tiba terdengar suatu bunyi
EHEM… EHEM..
ditunggu kelanjutannya
jgn ngadat ditengah jln ya
Prikitiew...
Ini tokohnya chinese
Panggil koko soalnya...
Mahogony?? Itu pohon mahoni bukan?
Paragraf paling atas aku suka,
Bahasanya sastra banget,
Diksi nya mantep
Alurnya alus..
Wah "like a pulpy" nya @lockerA sama " sakura petals" punya ku bakal dapat saingan berat..
Hehehe..
Ceritanya keren, lanjutin yaa
Jiahahahahaharaaaa..
Jangan matiin anggaku >,<
Iya, tokoh Raoul sama adiknya chinese.. Andrew belum gw deskripsiin.. Hehehe.. Maksudnya mahoni tpi lupa bahasa indonesianya apa, makanya gw tulis inggrisnya.. Hahaha..
Lapaknya bukan saiangan lah, tp lapak temenan.. Hahahaha
Angga jgn dimatiin.. Plis2, dia belum nikah walaupun sering kawin.. Hehehe
Kok Raoul Lemos, dia bukan orang chinese. Trus mukanya serem koko.. -_-
Selamat membaca kakak..
@arcclay : tante tau ga, kamu itu salah satu inspirator kenapa aku pengen buat tulisan.. Hahaha... Jangan sampe lupa sama rumahnya klo bertetangga, nanti kemalingan.. Hahaha
somplak ni mbo clay
@arcclay hayo mbak clay, jangan sampe kemalingan rumahnya... The Memories of Him udah dilanjut belum?