PROLOG
"Eh... si banci tuh kita kerjain aja yok" ujar willi sambil menunjuk kearahku yang tengah kencing di urinoir paling pojok wc sekolah.
"Ide bagus tuh" celetuk ketiga temannya Riki, Gandi dan Gldo. Mereka bergerak kearahku. Aku tak menyadari kehadiran mereka. Pikiranku saat itu tengah bergelut dengan diriku sendiri. Kemarahanku yang mendalam pada papa yang telah mengirimku kesekolah berasrama ini. Mengapa aku yang harus dikorbankan. Semua indraku saat itu beku terbius oleh kekesalanku.
"Puk....." Sebuah tangan kokoh menyentuh bahuku.
"Eh... banci anu loe gede nggak?" ujar pemilik tangan itu dari arah samping sambil menarik tubuhku agak kuat agar berbalik. Aku kaget. Lamunanku buyar seketika. Tubuhku terputar karena tarikan tangannya. Aku menoleh ke wajah pemilik tangan itu. Karena putaran tubuhku yang tak terkontrol maka urine yang keluar dari mr-p ku meluber kemana-mana.
"An-jing nih banci, berani ngencingin gue lagi" ternyata pemilik tangan kokoh tadi adalah Wili. Wili ini bertubuh padat berisi. Walaupun iya berwajah ganteng putih tapi ada yang salah dengannya. Dia adalah kepala brandalan sekolah. Sangat tidak cocok dengan wajah halusnya. Dia dengan ke tiga temannya sering sekali membuat ulah di sekolah ini. Mereka sering sekali dihukum guru akibat ke lakuannya. Tapi semua itu baru ku ketahui belakangan hari. Aku baru tiga hari sekolah di sekolah berasrama ini. Mereka dendam padaku karena pada hari pertama aku masuk ke sekolah ini mereka kena hukum. Mereka berfikir aku telah mengadukan mereka melakukan suatu aksi kebrandalannya pada guru.
Kemarahan membayang di wajah Wili "Hajar aja Wil" Aldo memanas-manasi. Sementara itu Riki dan Gandi memegangku dengan kuat. Tubuhku terkunci tak bisa bergerak. Otomatis posisi wili yang saat itu didepanku sangat mudah ntuk menghabisiku.
Wili bersiap melayangkan pukulan padaku. Aku benar-benar pasrah karena tak bisa berbuat apa-apa. bergerak pun susah kerena kuncian tangan Riki dan Gandi begitu erat. Saat tangan kanan Wili akan bergerak.
"Lepaskan dia" seseorang pemuda seumuran kami mendorong tubuh Wili dengan kuat. Wili terjengkang. Tubuhnya terbanting kedinding kamar mandi. Amarah di wajahnya semakin menyala-nyala.
"Hann...hannn..." dari sampingku Riki tergagap. Matanya membelalak melihat si pemuda tadi. Wajah Gandi dan Aldo juga menunjukkan exsresi yang sama. Mereka melepaskan kuncian ditubuhku. Mereka tampak pucat. Menggigil ketakutan. Sementara Wili yang tadi murka wajahnya kini pucat pasi melihat sang pemuda. Tak berapa lama kemudian mereka langsung berlari terbirit-birit. Kabur keluar wc meninggalkan aku dan pemuda itu.
"Kamu ngak apa-apa" tanya si pemuda sambil membantuku bangkit dari lantai ubin kotor wc sekolah yang jorok ini. Aroma pesing wc berubah wangi tubuh pemuda ini.
"Eng... Enggak apa-apa kok" jawabku sambil bangkit. Sebagian celanaku kotor terkena noda.
Akhirnya aku berdiri tegak. Pemuda itu berada dihadapanku. Saat itu aku bisa memandang jelas wajah sang penolongku.
Frezze...
Dunia sesaat rasanya seperti bergerak pelan kayak di film-film drama murahan. Tetesan air jatuh dari kran yang tak terlalu erat terkunci ibarat untaian mutiara bening bergerak pelan menuju saluran pembuangan. Wajah dihadapanku ini putih bersih. Berkulit halus. Mata bulat hitam dibawah alis yang tak terlalu tebal. Hidung tak mancung tapi proporsional dengan muka yang agak sedikit membulat. Bibir tipis Merah muda. Belahan dagu yang membuat wajah itu semakin enak dilihat. Begitu tampan. Aku tak mengerti kenapa ke empat brandalan sekolah itu bisa lari terbirit-birit seperti maling ayam yang tertangkap basah warga saat melihat wajah pemuda tampan ini.
Apa yang mereka takutkan? Tak ada sedikit pun kesan bringas atau sangar dari sosok dihadapanku ini. Malah aku yakin seyakin-yakinnya kalo setiap cewek yang memandang wajah ini pasti akan klepek-klepek dan saling berebut dengan temannya ntuk bisa mendapat simpati dari sang pemuda.
"Benar loe nggak apa-apa"
"Oh...eh.... Iya gue baikan kok" jawabku tergagap. Malu juga aku karena terlihat bengong kayak ayam habis nelan karet gelang di depan pemuda tampan yang telah menolongku ini.
"Syukur lah kalo gitu, gue mike" ujar pemilik wajah indah ini. Sambil menyodorkan tangan kanannya yang berotot kepadaku. Oh namanya mike! Ujarku dalam hati. Nama yang sangat cocok sekali dengan perawakannya. Sementara tangan kirinya masuk kedalam kantong celananya. Begitu bergaya dia.
"Damon" ucapku sambil menyambut uluran tangan itu.Genggamannya Terasa kokoh.Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Cepat-cepat kutarik tanganku dari genggaman mike.
"Sori mike, gue lupa kalo belum cuci tangan. Tadi gue abis ....." aku tak menyudahi ucapanku. Tapi mataku melirik kearah urinoir yang tadi ku pake. Masih ada terlihat sisa-sisa urineku disana. Dia tampak mengerti dengan apa yang kumaksudkan.
"yah...bisa kena sial nih gue" ujar mike sambil berjalan menuju kran air dekat westafel. Membuka kran. Air pun mengucur dari ujung kran tersebut. Membasahi tangan mike.
"Sori ya mike" pintaku dengan menyesal karena sudah mengotori tangannya dengan sisa urine yang menempel ditanganku yang tadi di pakai untuk salaman.
"Ah..biasa tuh namanya juga accident" mike menyilang-nyilangkan telapak tangannya diair kran biar bersih. Membilas sampai benar-benar bersih. Iya menatap sesaat wajahnya dalam cermin. Ada sedikit gundah kulihat diwajahnya. Kemudian dia menoleh kearahku
"Tapi ngomong-ngomong burungnya apa nggak masuk angin tuh di biari lepas " ujarnya mike sambil melirik kebagian bawah tubuhku.
"ups..." aku memandang kearah pandangan mike. Aku baru sadar kalo resleting celana abu-abuku belum ku tangkupkan. Buru-buru aku berbalik. Dibelakangku terdengar tawa renyah mike menertawakan kebodohanku itu.
"Tapi ngak apa-apa kok damon, burungnya lumayan gede kok buat dipamer-pamerin" ujar mike dengan nada nakal ditengah tawanya. Aku benar-benar malu di buatnya sekaligus senang dengan pujiannya. Wajahku sampai memerah dibuatnya.
Comments
coba pake nama lokal
arif, topan, hendra
pasti lebih bersahabat
kata pengganti orang ketiga mending ditulis 'dia' saja. kalau mau disingkat berarti menjadi 'ia', bukan menjadi 'iya'.. tolong ya diedit, karena kata 'iya' kan mempunyai arti yang berbeda. terasa amat janggal ketika membacanya.
nyimak deh gan..
"Loe baek-baek aja Damon"
Tiba-tiba saja Mike sudah berada disamping. Aku tak tahu sejak kapan dia berada disitu. Cepat-cepat ku seka air mataku dengan kedua tangan. Malu juga ketahuan menanggis. Kucoba ntuk tersenyum kepada Mike. Tak ku jawab pertanyaannya karena lidahku terasa kelu.
"Ngak biasa jauh dari keluarga ya?" tanya Mike seolah-olah ia bisa membaca pikiranku. Tangan Mike menyentuh pundakku.
"Gue dulu juga kayak gitu kok. Sejak kejadian itu nggak ada lagi yang perhatian ama gue. Gue merasa seperti di campakan. Tapi lama-lama gue jadi terbiasa kayak sekarang ini" terang Mike. Ada sorot kesepian yang mendalam di wajah tampannya. Aku jadi merasa punya teman dengan nasib yang sama. Membuatku agak sedikit tegar. Walau masih ada kekesalan pada papa yang telah membuatku terdampar di sekolah berasrama ini.
"Emang loe udah berapa lama nggak pulang ke rumah Mike?" tanyaku setelah kurasa lidahku yang tadi kelu bisa diajak kompromi mengeluarkan kata-kata.
"Lebih kurang enam bulan" jawab Mike.
Matanya memandang kosong kearah halaman sekolah. Aku ikut menatap ke arah pandangan Mike. Beberapa murid asik bermain bola kaki disana. Mereka tampak lincah menpermainkan bola di kakinya. Mengoper. Menendang dengan kuat ke arah gawang. Begitu penuh dengan keceriaan remaja. Kupalingkan kembali wajahku kearah wajah Mike. Mataku menandang bola mata yang biasanya tajam itu kini terlihat rapuh dan sayu tak bercahaya.
"Bukankah ada libur rutin sekali sebulan? Kenapa loe nggak gunakan ntuk melihat orang tuamu Mike?" tanyaku berhati-hati.
"Aku tak bisa Damon, karena mereka sudah tak lagi peduli padaku" suara Mike agak sedikit serak mengucapkan kata-kata itu. Getir terdengar.
Tiba-tiba saja ekspresi diwajah mike berubah. Dia menatap kearahku "Loh kok gue jadi sedih-sedihan gini. Padahal tadi rencananya gue mau ngibur elo. kok sekarang malah gue yang di hibur?" ujarnya dengan nada ceria. Seulas senyum dibibirnya menghapus duka di wajahnya tadi. Berusaha ntuk tertawa. Tapi aku tahu kesedihan itu masih ada didalam sana. Sesuatu yang kejadian tragis pasti telah menorehkan kepahitan di dirinya. Hal itu membuatku jadi bertanya-tanya dalam hati.
Asrama ini mempunyai aturan jam malam yang sangat ketat. Jam 9:30 malam semua siswa sudah harus tidur. Lampu ruangan akan di matikan oleh penjaga sekolah setiap jam itu. Seluruh ruangan akan menjadi gelap. Menimbulkan kesannya agak menyeramkan. Hanya ada sedikit cahaya yang menerangi dari sela pintu kamar mandi yang berada di salah satu pojok ruangan.
Jam 12:00 malam aku terbangun dari tidurku. Dingin yang menggigit tubuhku membuat kantong kemihku menjadi bereaksi. Aku kebelet kencing. Aku bangun dari rebahku. Duduk di pembaringan. Suasana ruangan ini begitu sepi sekali. Semua penghuninya telah terbang ke alam mimpi masing-masing. Entah dari mana datangnya ketakutanku muncul tiba-tiba. Ada keraguanku ntuk melaksanakan hajatku kencing di wc pojok ruangan ini. Tapi kantong kemihku tak bisa diajak kompromi. Kuraih senter di tepian tempat tidur yang selalu kusediakan disana. Dengan perlahan aku bergerak menuju wc.
Bunyi air dari kran kamar mandi yang kurang kuat terkunci membelah keheningan malam. Menimbulkan suasana semakin membuat bulu kudukku berdiri. Perlahan aku berjalan memasuki ruang wc. Urinore wc itu berbau pesing dari bekas kencing siswa yang malas menyiramnya. Karena itu ku putuskan ntuk kencing di dalam wc saja. Tiga ruang wc berpintu berjejer di salah satu sudut ruangan ini. Aku menuju wc paling pojok. Saat ku buka pintunya menimbulkan derit kayak pintu rumah tua di film-film misteri. Bulu kudukku semakin merinding. Aku memasuki pintu itu. Wc ini sangat bersih sekali. Krannya terbuka. Air mengucur ke dalam sebuah ember hitam. Ember itu telah penuh berisi air sampai luber ke lantai. Kumatikan putaran kran itu. Sekarang suasana di wc ini benar-benar sunyi sekali. Ternyata kran air ini tadi yang menimbulkan bunyi. Kini tak ada lagi suara sedikit pun. Membuat wc ini semakin mencekam. Perlahan aku membuka tali celana piyamaku.
Tapi tiba-tiba.... Kletak...
Aku kaget setengah mati. Engsel pintu wc tempat ku berada terkunci dari luar. Aku panik membayangkan terkurung di dalam wc ini semalaman. Ketahutanku meradang. Bayangan cerita-cerita hantu yang sering ku tonton dari televisi muncul ke permukaan. Tangan-tangan hitam yang keluar dari lubang wc, kepala berdarah terpenggal diatas platform, suster ngesot dengan baju putihnya, pria bermuka rusak dengan pisau berlumuran darah dan banyak lainnya. Mempermainkan akal sehatku. Aku benar-benar dipermainkan oelh rasa takutku sendiri. Tak sadar kencingku yang tadi ku tahan keluar membasah celana piama ku.
"Tok..tuk...Tolong..tolong..."
Aku mengetuk pintu wc berulang-ulang berusaha mencari pertolongan. Tak ada yang mendengarnya. Dan membantu ntuk membuka pintu terkuci itu. Aku benar-benar putus asa jadinya. Tapi ditengah keputus asaanku itu.
"Kletak..."
Tiba-tiba engsel pintu itu terbuka dan pintu wc terkuak. Diluar pintu tak kulihat seorangpun disana. Dengan tergesa-gesa aku segera berlari keluar. Penuh ketakutan seandainya pintu itu terkunci kembali. Aku berlari menuju ranjang besiku. Aku menggigil ketakutan dalam selimut. Di salah satu bagaian ranjang yang berjejer itu ku dengar cekikikan beberapa siswa. Aku kenal dengan suara tawa itu.
"Wili....!, ya wili dan teman-temannya" ucapku dalam hati.
Pasti mereka yang telah mengerjaiku tadi. Mengunci engsel pintu bagian luar tempat ku kencing. Tapi ada pertanyaan yang muncul di otakku. Kalo mereka yang mengunciku didalam wc. Jadi siapa yang telah menolongku membukakan engsel pintu wc itu. Aku tak yakin salah satu diantara mereka. Karena setelah aku keluar dari wc itu tidak ada lagi orang yang keluar dari sana. Tapi sekarang aku tak ambil pusing dengan semua hal itu. Aku cuma berusaha agar bisa memejamkan mataku secepat mungkin dan tenggelam dalam mimpi. Kubiarkan saja celana piama basah yang terkena kencing itu. Aku tak menggantinya dengan yang kering.